Share

BAB 5

Aera menggeret kopernya memasuki sebuah apartemen sederhana yang telah disiapkan untuknya. Ia merebahkan dirinya di atas kasur yang terbalut seprai berwarna mint. Mencoba memejamkan matanya. Ia terlalu lelah, berharap hari ini dapat segera berakhir.

Bahkan air matanya sudah mengering. Perjalanan Seoul-Jeonju yang selama empat jam ia habiskan di bus sedikit menghibur dirinya. Aera bangkit dan menyibak tirainya, langit senja terlihat indah dengan beberapa kawanan burung yang terbang kembali pulang. 

"Bahkan mereka memiliki rumah untuk kembali pulang," lirihnya. 

"Mama mengambil keputusan yang benar kan? Kita berdua bisa melewatinya bersama." Aera mengelus perutnya dengan lembut. Sumber kekuatannya saat ini. Ia tidak boleh mengorbankan anaknya yang tidak tahu apapun.  

Karenaa ia sadar, bahwa yang ia miliki hanya ini adalah janin yang berada dalam kandungannya. Perjalanannya akan sedikit lebih berat mulai saat ini. “Mama akan sekuat tenaga untuk tidak membiarkanmu kesusahan,” gumamnya sambil mengelus perutnya lembut.

Lamunannya tersadar ketika mendengar bunyi bel. Ia kemudian menuju pintu. Seorang pria terlihat tersenyum dan membawa dua kantong penuh barang belanjaan. Aera mempersilahkannya masuk. Ia sebenarnya merasa tidak enak, sudah merepotkan banyak hal pada pria itu. Tetapi ia masih belum memiliki pilihan yang paling masuk akal. 

"Bagaimana perjalananmu?" tanya pria itu sambil mengeluarkan barang-barang belanjaannya.

"Menyenangkan, setidaknya aku mendapatkan empat jam healing time," ucap Aera berusaha terdengar ceria. Pria itu tersenyum. Ia merasa bersyukur, bagaimana keadaan Aera yang terlihat baik-baik saja berbanding terbalik dari yang ia perkirakan. Walaupun ia tahu, Aera menutup rapat lukanya. 

"Jika kau sabar sampai jadwal operasiku selesai, kau tidak akan duduk di kursi bus yang keras."

Aera tersenyum lebar. "Kursinya tidak sekeras yang kau bayangkan. Pemerintah Korea Selatan sudah mengupgrade semua bus lama mereka dengan bus yang menakjubkan. Kau harus mencobanya sesekali, Kak Seojin."

Seojin tertawa mendengar selorohan Aera. "Baiklah, kapan-kapan aku akan mencobanya." 

Pria itu sibuk memasukkan satu persatu belanjaan yang tadi sempat ia beli sebelum mengunjungi Aera.

"Terima kasih," ucap Aera, membuat Seojin menghentikan kegiatannya. Ia dapat melihat senyum tulus yag Aera berikan.

Seojin mengangguk. Ia kemudian berbalik menghadap Aera.

"Pastikan kau makan dan beristirahat dengan baik. Kau boleh menangis semaumu tetapi ingat, jangan melakukan hal yang bodoh. Dia bukanlah sebuah kesalahan dan ia tidak bersalah dengan ini semua." 

Aera tersenyum dengan lembut. "Aku akan menjadi ibu yang keren. Kakak lihat saja nanti." 

***

“Mohon, maaf. Kami tidak bisa menerima seorang wanita yang sedang mengandung.”

Aera mengembuskan napas panjang. Langit Jeonju yang terik membuatnya sedikit pusing. Ia berbalik melihat gedung tinggi yang menjulang di hadapannya. Perusahaan itu adalah yang ketiga, ia datangi untuk wawancara. Namun semuanya menolaknya saat mengetahui dirinya sedang berbadan dua.

Tabungannya yang menipis membuatnya sedikit lebih rajin akhir-akhir ini. Selain itu,ia juga tahu bahwa tidak selamanya ia dapat bergantung pada Seojin.

Aera dikejutkan oleh dering ponselnya. Busur senyumnya tertarik saat membaca nama Seojin di layar.

[Kau dimana?]

“Aku masih berada di luar, Kak. Ada apa?” jawab Aera sambil melangkah memasuki bus yang baru saja datang.

[Besok aku akan ke Jeonju. Apakah kau ingin menitip sesuatu?]

“Ada seminar lagi?”

[Hm. Walau hanya satu hari. Aku akan menyempatkan untuk melihatmu.]

“Tidak ada yang kuinginkan saat ini, Kak,” ucap Aera.

[Benarkah? Kau tidak mengidam?]

Walau Seojin tidka melihatnya, tetapi Aera tetap menggelang. “Tidak. Sepertinya ia tahu bahwa saat ini tidak boleh terlalu manja,” ucapnya sambil mengelus perutnya.

Kehamilannya memanglah tidak terlalu merepotkan. Anaknya seperti tahu bahwa keadaan ibunya saat ini tidak baik-baik saja.

[Baiklah. Sampai jumpa besok.]

Aera menutup panggilan. Bus yang membawanya melewati jalanan Jeonju yang terkenal. Pohon sakura yang bermekaran di sepanjang jalan sedikit menghiburnya.

***

“Nona Aera.”

Aera yang hampir membuka pintu flatnya berbalik. Dua orang wanita paruh baya menghampiri dirinya.

“Selamat sore Nyonya Shim,” sapa Aera sopan sambil menundukkan kepalanya.

Nyonya Shim adalah tetangganya. Sedang wanita paruh baya satunya sepertinya adalah teman dari Nyonya Shim.

“Kau baru pulang?”

Aera mengangguk. Semenjak ia datang, Nyonya Shim menjadi tetangga yang begitu perhatian padanya.

“Apakah suamimu belum datang?” tanya Nyonya Shim. “Kau tahu? Suaminya adalah seorang dokter yang ramah dan tampan,” lanjut Nyonya Shim kepada kawannya.

Aera menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Seluruh orang di lingkungannya menganggap Seojin adalah suaminya. Awalnya ia bermaksud untuk mengelak. Namun Seojin mengatakan bahwa hal itu tidak perlu. Setidaknya ia tidak akan dicemooh jika mereka tahu bahwa ia hamil tanpa seorang suami.

“Kak Seojin masih di Seoul,” jawab Aera.

“Kasihan sekali dirimu. Seharusnya suamimu bisa lebih perhatian untuk tidak meninggalkanmu sendiri disaat hamil seperti ini.”

Mendengar ucapan rekan Nyonya Shim, dada Aera berdenyut nyeri.  Ia hanya mampu tersenyum.

“Setidaknya kau memiliki seorang suami. Zaman sekarang para anak muda seperti tidak tahu malu. Banyak yang memiliki bayi tanpa seorang suami.”

“Kau benar. Miris melihatnya.”

Aera menelan ludahnya kasar. “Saya pamit terlebih dahulu, Nyonya Shim.”

Penghakiman seperti itulah yang Seojin tidak ingin ia dengar. Namun, ia tidak dapat membohongi dirinya sendiri. Karena itulah fakta sebenarnya.

“Kau harus kuat, Aera,” gumamnya pada diri sendiri.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status