Share

BAB 7

"Jadi, lusa kakak

akan berangkat ke Amerika?" tanya Aera setelah meletakkan cangkir kopi di atas meja dan duduk di sofa.

Seojin yang sedang asik bermain dengan Yoonji hanya mengangguk. Seojin kemudian membawa Yoonji dalam gendongannya ketika gadis kecil itu terlihat merengek bosan dengan mainannya.

"Seharusnya Kak Seojin bisa meneleponku saja. Tidak perlu jauh-jauh kemari," ucap Aera. Ia merasa sangat tidak enak karena bukannya beristirahat atau mempersiapkan keberangkatanya, Seojin malah menemuinya.

"Tidak masalah, aku tidak menggunakan mobil pribadi, jadi aku bisa sambil beristirahat di kereta. Aku ingin bertemu denganmu dan Yoonji."

Selain itu, Seojin juga memiliki satu misi rahasia yang tidak boleh diketahui oleh Aera. "Ah, iya. Ini untukmu." Seojin memberikan sebuah paper bag berwarna putih.

Aera dengan bingung menerimanya. "Aku heran, kenapa kau selalu melupakan hari ulang tahunmu? Apakah itu bukan hal yang penting?"

Aera tersenyum getir, omelan Seojin mengingatkannya pada Sagara. Pria yang selalu protes saat dirinya memasang tampang bingung setiap diberikan hadiah.

"Bukan seperti itu, Kak. Aku tidak pernah menganggap hari ulang tahunku spesial. Karena bagiku semuanya akan berjalan seperti biasanya. Selain itu, aku bukan lagi anak kecil yang selalu menanti diberikan kado ataupun kue tart."

Seojin menatap punggung Aera yang berjalan menuju balkon. Ia sangat tahu bagaimana apiknya seorang Aera Larasati menyimpan semua kesakitannya. Aera dan Sagara sama-sama tidak menyadari bahwa selama ini mereka saling menyakiti, memperdalam luka itu dengan tidak sadar.

Tatapannya beralih ke gendongannya. Yoonji yang telah jatuh terlelap. "Kau mirip sekali dengan ayahmu. Ketika masih kecil, ayahmu juga sangat mudah jatuh tertidur ketika berada digendongan nenekmu atau siapapun itu. Yoonji-ya, mau bertemu ayah?"

"Apa maksudnya bertemu ayah?"

Seojin terkesiap ketika suara Aera mengudara dengan nada yang dingin, mengalahkan angin yang berhembus masuk melalui jendela balkon yang terbuka.

 "Aku hanya menawarkan, tetapi Yoonji tidak menjawabku. Ia sudah tidur." Seojin kemudian berlalu untuk menidurkan Yoonji di kamar.

Aera hanya diam sambil memperhatikan bagaimana Seojin yang menidurkan Yoonji dengan hati-hati. Ia tak bisa berbohong, hati kecilnya selalu merasa bersalah mengingat bagaimana Yoonji akan tumbuh besar tanpa sosok seorang ayah.

Aera kembali menuju balkon. Ia menyalakan kembali putung rokok yang tadi sempat ia padamkan. Semenjak melahirkan Yoonji, Aera kerap menghabiskan setidaknya dua putung rokok kala dirinya merasa pikirannya kalut. Atau setidaknya satu kaleng bir agar ia bisa tidur dengan lelap tanpa harus khawatir dengan luka hatinya.

"Sudah aku katakan, asap rokok tidak baik untuk Yoonji." Seojin merebut rokok tersebut kemudian memadamkannya di pembatas balkon.

"Aku akan mengganti baju dan juga mencuci tanganku setelah selesai, Kak. Biarkan aku meluruskan pikiranku." Aera kembali mencoba menghidupkan satu batang lagi.

"Cukup Aera. Kau sudah egois memisahkan Yoonji dengan ayahnya. Kau juga ingin membuatnya sakit?" Aera menghentikan gerakannya memantik korek, ia hanya mampu tersenyum getir.

"Pada akhirnya hanya aku yang disalahkan atas semua ini. Jika aku egois, bagaimana dengannya Kak? Mengapa semua orang menudingkan jari telunjuknya hanya kepadaku?" Aera mulai terisak.

Ia kembali menemui titik terendah dalam siklus kesehariannya. Jika mentari mulai bersinar, itu artinya ia harus menjadi seorang ibu dan juga karyawan teladan, meninggalkan semua kesakitannya dan menyimpannya untuk kembali kala rembulan kembali bersinar dan sebagian besar penghuni bumi terlelap.

Selama tiga tahun belakangan, Aera merasa dirinya adalah pesakit yang harus berjuang diambang batas kewarasannya. Hanya Yoonji dan sejuta kesibukan kantornya yang dapat menjadi obat baginya. Walaupun hanya sebatas pengalihan bukan penyembuh.

"Setidaknya hiduplah dengan benar. Sagara tidak akan tersiksa ataupun terpengaruh, Yoonji yang akan terlantar jika kau sakit. Jadi aku mohon, setidaknya demi Yoonji." Seojin merengkuh Aera dalam pelukannya.

Ia tahu, sangat tahu bagaimana Aera melewati tiga tahun ini. Dalam diam ia memperhatikannya, bagaimana pada awalnya ia terkucilkan akibat kehamilannya tanpa seorang suami disisinya sampai ia bisa mengatasi semuanya sendirian.

Membesarkan Yoonji dan juga bisa terlihat lebih baik. Berjuang untuk hidup di dunia yang kejam ini tidaklah mudah.

"Kakak tahu? Seberapa pun keras aku mencoba, tetapi sepertinya dunia tidak pernah mengijinkanku untuk bahagia," lirih Aera disela isakannya.

Hanya Seojin dan Yoonjilah yang ia punya walau hanya dirinya sendiri satu-satunya yang ia percayai. Tetapi malam ini ia benar-benar membutuhkan seseorang yang mendengarkan semua keluh kesahnya.

"Aku mengira, setelah pergi jauh dari kehidupannya, aku tidak akan tersiksa, aku tidak sakit. Aku akan melupakannya kemudian aku akan bahagia. Tetapi itu semuanya tidak semudah itu, Kak."

Seojin menepuk lembut punggung Aera yang bergetar, ia akan membiarkan Aera menumpahkan semua air mata dan kesakitannya karena ini memang pertama kalinya Aera menangis tersedu di hadapannya. Selama ini ia selalu disambut dengan senyuman kosong milik Aera.

"Bukan masalah seberapa jauh jarak yang tercipta di antara kalian, tetapi bagaimana kerelaan hatimu untuk menerima perpisahan ini. Jangan biarkan dirimu terkurung di dalam luka. Kau berhak bahagia, Aera. Yoonji juga. Hatimu pasti paling mengetahuinya.

"Tidak semua luka itu harus dilupakan. Ada syarat untuk sepenuhnya sembuh dari luka, yaitu kau nggak boleh memaksakan diri untuk menghapus lukamu. Kau harus menerima dan mencintai luka itu, tiap luka akan menjadi peta untuk kehidupan kita yang akan memberikan petunjuk bagaimana untuk kembali melewatinya dan membuktikan bahwa kau telah berkembang."

Aera mengeratkan pelukannya. Ia hanya perlu menumpahkan semuanya sampai habis tak bersisa, ia akan kembali lega esok ketika menyambut hari yang baru.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status