Share

BAB 3

Semua impian dan juga harapannya runtuh seketika. Semuanya menghilang tanpa bekas seperti istana pasir yang lenyap tergelung ombak.

"Jangan menangis Aera. Dia tidak pantas untuk air matamu yang berharga," lirihnya menguatkan diri.

Dengan sisa-sisa kekuatannya, Aera memutuskan untuk kembali ke rumah. Setelah membersihkan diri, Aera menuju dapur untuk memasak makan malamnya yang sudah sangat terlambat.

Ia mencampurkan sosis dan sebungkus tteok atau kue beras ke dalam ramen. Setelah matang, ia membawa panci ramen yang masih mengepulkan asap dari kuah merah yang mendidih itu ke meja rendah di depan televisi.

Aera memutar radio di aplikasi ponselnya. Beberapa hari ini ia sangat giat mendengarkan siaran dari salah satu saluran. Terkadang Aera suka mendengarkan siaran tersebut kala sedang lembur atau tidak bisa tidur.

"Rasa tidak ikhlas menerima kenyataan ketika kita ditinggalkan adalah pengalaman yang mungkin sebagian orang pernah merasakan. Beragam emosi akan keluar. Entah itu marah, sedih, menangis, berteriak adalah ungkapan rasa tidak terima sesuatu yang buruk menimpa kita. Hal tersebut sangat wajar dan setiap individu berbeda dalam menyikapinya." Suara lembut yang tidak asing dari penyiar radio tersebut menyapa pendengaran Aera.

Aera mengeraskan volume ponselnya dan berjalan menuju pantri untuk mengambil kaleng bir.

"The Journal of American Medical Association mengutarakan, perasaan dan respon kita itu masuk ke dalam tahapan berduka alias stages of grief. Tahapan itu ada lima. Awalnya kita akan menyangkal, lalu marah, kemudian berusaha menawar, depresi, lalu terakhir menerima."

Aera melambatkan kunyahannya. Ia menimbang keadaan dirinya berdasarkan apa yang penyiar itu sampaikan. Ia merasa bahwa apa yang dikatakan penyiar itu benar. Awal mulanya ia menyangkal kebenaran apa yang ia ketahui.

Menyiksa dirinya dengan topeng baik-baik saja yang selalu ia kenakan. Andai saat itu, ketika dirinya pertama kali melihat Sagara bersama seorang gadis, ia langsung mengakhiri semuanya, apakah keadaannya sekarang akan berbeda?

Tetapi semuanya telah terlambat. Ia kembali memberikan kesempatan kepada Sagara yang kemudian kembali membohonginya. Ia merasa kesabarannya sudah habis. Topengnya sudah tidak mampu menahan air matanya. Serta hatinya tidak selapang sebelumnya.

Aera meneguk birnya. Dahinya mengernyit kala cairan fermentasi apel itu turun melewati kerongkongannya. Walaupun sudah meneguk ratusan kali sejak ia legal untuk mencicipi minuman beralkohol tersebut, Aera tetap tidak bisa terbiasa.

“Jahat sekali….”

Aera kembali mengambil tegukan kedua. Tanpa sadar, ia meremas kaleng bir itu dengan tangan bergetar.

Aera merasakan bahwa semua ini hanyalah mimpi buruk, ia berharap dapat terbangun dan menemukan dirinya masih berada di dalam dekapan Sagara. Atau setidaknya, Sagara menemuinya dan mengatakan bahwa semuanya itu tidaklah benar.

“Itu tidak benar, kan?”

Aera merasakan kepalanya mulai berat. Ia membiarkan suara penyiar yang terdengar semakin jauh itu.

Satu kaleng ternyata tidak cukup, jadi Aera mulai mengeluarkan lebih banyak bir dari kulkas. Ia meminumnya dengan cepat, secepat bir itu bereaksi. Aera menelungkupkan kepalanya pada lipatan tangan.

Sepertinya tidak masalah jika satu malam lagi ia lewati dengan mata yang basah sebelum menjemput mimpi.

***

"Aera Larasati."

Suara tegas milik Sagara mengudara tepat sebelum Aera meninggalkan dapur. Aera tahu bahwa Sagara sedang kesal sekarang. Tetapi ia sama sekali tidak ingin peduli.

Aera menghela napas panjang.

"Tidak ada yang ingin kau katakan padaku?" tanya Sagara segera setelah Aera mendudukkan diri di sofa yang berada di hadapannya. “Apa yang membuatmu sampai semabuk itu?”

Aera mendengus. "Bukankah pertanyaan itu untukmu?"

"Jangan membalikkan ucapanku. Apa yang kau pikirkan ketika meminum bir itu, Aera Larasati?" tanya Sagara tajam.

"Dan apa yang kau pikirkan setelah membohongiku, Sagara Balamani?" serang Aera.

Ia tidak dapat menahan emosinya. Melihat bagaimana Sagara yang menghakiminya karena setengah kaleng bir yang ia tenggak membuat emosinya naik ke ubun-ubun.

"Kau mengatakan padaku kau memantau pembangunan di Gangnam, nyatanya kau sedang berbelanja dengan seorang wanita dan menggendong seorang balita! Mungkin aku bodoh karena bisa kau bohongi, tetapi aku tidak buta! Siapa mereka? Katakan padaku, siapa mereka!?"

Sagara terpaku. Lidahnya terasa kelu, ia sama sekali tidak bisa menjawab satupun pertanyaan Aera. Ia merasa telah tertangkap basah.

"Jawab aku, Sagara Balamani! Siapa mereka?" desak Aera.

Melihat Sagara yang terdiam membuat Aera takut bahwa persepsinya benar. Bahwa Sagara telah membohonginya.

Air matanya kembali luruh. Bagaimana Sagara kembali memadamkan cahaya kepercayaan terakhir yang susah payah ia jaga. Diamnya Sagara menjadi sebuah jawaban untuknya.

Di tengah perdebatan mereka, ponsel Sagara di atas meja bergetar.

"Ah, jadi namanya Bomi?" lirih Aera ketika membaca nama sang pemanggil di ponsel Sagara. Nama yang sama dengan yang terakhir Aera curigai.

Dengan sigap, Sagara membalikkan ponselnya tanpa berniat untuk menjawabnya.

"Dengarkan penjelasanku—" ucap Sagara patah-patah sambil berusaha menggenggam tangan Aera.

Tetapi Aera menghindar, dan ponsel Sagara kembali bergetar, membuatnya terpaksa untuk mematikan panggilan itu.

"Aera, tolong beri kesempatan untuk aku menjelaskan…." ucap Sagara memelas.

Sebelum Aera sempat menjawab, ponsel Sagara kembali bergetar. Dengan sigap Aera mengambil ponsel itu dan menekan tombol hijau menerima panggilan itu.

"Eunbi terjatuh, aku harus bagaimana?"

Suara wanita di seberang sana terdengar panik dengan latar suara bayi yang menangis keras. Aera tersenyum miris sedang Sagara terlihat kalut.

"Semuanya pilihanmu. Silahkan pergi atau tetap berada di sini. Aku tidak akan menahan ataupun melarangmu."

Aera masih diam, membiarkan Sagara memilih. Namun, hal yang terjadi kemudian, justru membuat seluruh tubuhnya melemas.

Sagara menyambar ponselnya, dan pergi dari rumah itu.

Tak!

Pintu tertutup dengan keras, membiarkan Aera seorang diri dalam rumah yang dingin itu.

Ketakutan terbesarnya saat ini datang begitu cepat. Sagara Balamani yang pergi meninggalkannya dan membiarkan dirinya menanggung semuanya sendirian. Aera memeluk dirinya menangis tersedu, menumpahkan semua perih yang ia pendam selama ini.

Tak ada yang aneh jika semuanya ia hubungkan. Berapa lama Sagara telah membohonginya? Aera tak berani menghitung.

Walau masih pening, Aera kembali mengambil beberapa kaleng bir dalam kulkasnya. Akhir-akhir ini minuman beralkohol itu sudah seperti sahabat karib baginya.

Saat tegukan kedua pada kaleng ketiga, pening yang menderanya semakin menjadi. Bahkan ia tidak dapat merasakan kakinya yang menapak pada lantai.

Aera hampir tumbang saat ponselnya berbunyi. Susah payah ia melangkah hingga bisa mencapai ponselnya di atas meja makan.

“Halo,” ucapnya serak sebelum akhirnya kehilangan kesadaran.

[Kau baik-baik, saja?]

“Aku? Tentu—”

Bruk!

[AERA! AERA!]

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status