Share

2

Author: Anik Safitri
last update Last Updated: 2025-05-14 17:47:16

"Kamu nggak lihat kalau keluarga kami semua ini keluarga terpandang ? Beraninya kamu menikahi adik kami. Mau ajak adik kami menjadi miskin?" sindir Kak Mayang lebih tajam.

Lagi-lagi Yitno hanya tersenyum. pun dengan wajahnya tak menampakan rasa kesal sedikitpun.

"Perempuan yang baik adalah dia yang mau diajak hidup susah oleh seorang pria. Tetapi pria yang baik adalah dia yang tidak membiarkan wanitanya hidup susah," jawab Yitno dengan bijak. Terdengar lembut.  Namun terkesan tegas.

Ketiga kakak ku terdiam karena bersamaan ayah juga datang.

"Kalian mau diadakan resepsi di gedung mana?" tanya ayah dengan tiba-tiba.

Aku menggeleng cepat.

"Tidak usah resepsi ayah. Sela hanya ingin ijab kabul saja di rumah. Di tempat lahir Sela,"

"Benar itu ayah. Tidak usah pakai resepsi. Malu dilihat orang. Sela bersuamikan seorang petani dari desa. Lagipula dana nya apa cukup?" Kak Oliv menimpali.

"Ayah bertanya kepada Sela dan Yitno. Bukan bertanya kepada kalian," kata ayah penuh penekanan dan sedikit tatapan tajam.

Mendengar nada suara ayah yang tak biasa, ketiga kakak ku masuk ke dalam. Mereka sengaja menginap seminggu disini karena mendengar aku ingin di lamar seseorang.

Tidak berhenti di situ, kakakku justru menempelkan telinga mereka rapat di tembok untuk melanjutkan apa yang ayah akan bicarakan dengan Yitno nanti.

"Bagaimana? Kalian ingin konsep pernikahan yang seperti apa? Kedua kakak Sela sudah saya nikahkan dengan meriah. Tinggal Sela. Dan semestinya ia juga akan mendapatkan hak yang sama." lanjut Papa.

"Kalau saya, apa kata Sela saja. Saya nurut Om. Mau resepsi atau ijab kabul, yang penting sah. Saya hanya ingin bilang, jika ada kekurangan atau ada perlu apapun, jangan sungkan bilang ya Om," pinta Yitno dengan sopan.

Ah entah mengapa, lantunan suaranya yang lembut penuh dengan sopan santun, justru terdengar begitu dingin di telinga.

"Baiklah. Nanti saya rundingkan dengan Sela. Jadi, apapun keputusannya kamu menerima?"

Yitno mengangguk dengan mantap 

***

Setelah Yitno pulang, kami membuka uang dari nya. Kami terbelalak kaget menghitungnya. Jumlahnya lima puluh juta. Tidak kurang tidak lebih. Padahal niat kami hanya ijab kabul biasa.

"Jangan-jangan ini uang hasil hutang, Yah. Kasian Sela kalau harus menanggung hutang setelah menikah,"

"Kalian tidak boleh suudzon. Jika ada lebihnya akan ayah kembalikan,"

*

Ijab kabul berlangsung khidmat dan lancar. Hanya ketiga kakak ku tetap tidak suka padanya. Karena Yitno tidak seperti suami-suami mereka.

"Yitno, uang yang kamu berikan kepada ayah kemarin terlalu berlebihan. Ambilah ini sisanya,"

Yitno menolak dengan halus pemberian ayah.

"Tidak ayah. Ini sudah menjadi hak ayah sekeluarga. Yitno menyerahkanya dengan ikhlas. Insya Allah ini halal bukan uang riba ayah,"

Ayah merangkul Yitno dengan hangat. Beliau seperti terharu dengan segala tutur kata dan sopan santun Yitno.

***

Selesai acara, aku diboyong ke arah tenggara kota. Menuju kediaman suamiku. Dia adalah anak yatim piatu. Jadi aku akan tinggal hanya dengan suamiku. Sejauh perjalanan melewati beberapa desa dan hamparan sawah, aku bertanyan dalam hati kenapa tidak kunjung sampai ? Apakah rumahnya memang sangat pelosok. Ku lihat kanan kiri warga kampung yang riwa-riwi beraktifitas. Juga ada sebuah pemandangam beberapa anak kecil bermain di sungai. Oh Tuhan apakah nasibku sama, apa benar yang dikatakan kakak ku kalau aku harus mandi di sungai kalau hidup di desa ?

Mobil berhenti di sebuah rumah.

"Kita sudah sampai dik,"

Rumah yang menurutku...

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • SUAMI YANG DIHINA KELUARGAKU   50

    Malam itu langit gelap gulita. Bulan tertutup mendung, menyisakan suasana mencekam di kampung kecil itu. Lampu di teras rumah Yitno menyala redup. Di sudut halaman, Rijal duduk bersandar di kursi kayu pendek, pentungan di tangan kanannya, senter menggantung di pinggangnya. Matanya awas menatap ke segala arah, sesekali menghela napas panjang mencoba menepis kantuk.Di dalam rumah, Sella terlelap dengan gelisah. Berkali-kali tubuhnya menggeliat dalam tidur, keringat dingin membasahi pelipis meski angin malam menembus celah genting. Yitno yang duduk di kursi dekat tempat tidurnya terjaga, matanya sembab, tetapi tetap awas. Pikirannya penuh dengan was-was.Tiba-tiba...Tok… tok… tok…Suara ketukan pelan terdengar dari arah pagar depan. Rijal segera berdiri, menggenggam erat pentungannya.“Siapa itu?!” teriak Rijal lantang.Sunyi. Tak ada jawaban.Rijal melangkah cepat mendekat ke pintu pagar. Ia menyorotkan senter, tapi tak ada siapa pun. Hanya jalan setapak kosong, dan semak-semak di sis

  • SUAMI YANG DIHINA KELUARGAKU   49

    Hari-hari berikutnya, suara pagar besi yang diketok dan mesin molen semen yang berdengung terus terdengar dari rumah Yitno. Di balik tembok tinggi itu, Sella beristirahat dalam diam. Yitno sibuk mengawasi pekerjaan tukang, memastikan setiap sudut aman, setiap celah tertutup rapat. Rijal mulai rutin berjaga malam, duduk di bawah lampu temaram depan rumah dengan pentungan di samping termos kopinya.Namun di luar pagar itu, gelombang omongan miring makin menggulung besar. Dan Pak Kardi menjadi pemandunya.“Sekarang giliran siapa yang mau dibatasi aksesnya? RT? RW? Keluarganya sendiri?” ujar Pak Kardi suatu sore saat berkumpul di pos ronda bersama beberapa bapak-bapak lain.Pak Darto masih berusaha netral. “Dia cuma pengin istri dan rumahnya aman, Pak.”Pak Kardi langsung menyambar, suaranya meninggi. “Lha, semua orang juga pengin aman, Dar! Tapi kita ini hidup di kampung, bukan kompleks pejabat! Apa setiap orang mau pasang pagar kayak begitu juga?”Beberapa warga mulai mengangguk. Ada ya

  • SUAMI YANG DIHINA KELUARGAKU   48

    Sella memegang perutnya erat-erat, rasa nyeri makin menajam. Nafasnya pendek-pendek, keringat dingin mulai merembes di pelipisnya. Dengan tangan yang gemetar, ia meraih ponsel yang tergeletak di atas meja ruang tamu.Jari-jarinya bergetar saat menekan nama Yitno di layar. Sekali dering. Dua kali.“Ya Allah, angkat dong Mas…” gumamnya lemah.Akhirnya terdengar suara berat yang familier. “Halo, Dik? Ada apa?”Suara itu jadi pemicu tangis kecil yang akhirnya pecah juga. “Mas… pulang sekarang… aku nggak kuat…”“Astaghfirullah. Kamu kenapa?”“Sakit, Mas… perutku kenceng banget. Aku takut…”“Ya Allah…” terdengar suara Yitno berbalik arah dari sawah. “Tahan sebentar, aku pulang sekarang! Jangan panik ya, aku segera sampai!”Yitno datang sekitar sepuluh menit kemudian. Nafasnya masih tersengal saat membuka pintu dan langsung memeluk istrinya yang terduduk lemah di lantai dekat kamar.“Kita ke dokter sekarang,” ucapnya tegas.Tak butuh waktu lama, mereka meluncur ke klinik ibu dan anak di kota

  • SUAMI YANG DIHINA KELUARGAKU   47

    Sella berdiri diam di ambang lorong, memandangi punggung Budhe Inem yang semakin menjauh lalu menghilang di balik pintu. Suara pintu ditutup pelan oleh Darto menjadi satu-satunya bunyi yang terdengar di tengah rumah yang hening itu. Lalu hening. Tak ada yang berbicara. Bahkan istri Darto hanya menunduk, seperti ingin segera lenyap dari ruangan itu. Sella menarik napas pelan, lalu berbalik menghadap Yitno yang masih duduk memijat pelipis. Matanya tampak lelah, namun keteguhan wajahnya tak berubah sedikit pun.“Mas…” Sella akhirnya membuka suara. Yitno menoleh, mengangguk kecil.“Iya?” Sella ragu sejenak sebelum akhirnya melangkah mendekat dan duduk di sisi suaminya.“Kamu… pernah nyesel nggak?” suaranya nyaris tak terdengar. “Mengadopsi mereka berdua… Yumna, Yusna. Apa kamu pernah ngerasa ini semua terlalu berat? Terlalu… bukan bagian dari hidup kita?”Yitno menatap wajah istrinya lama. Mata Sella tampak berkabut, seperti menyimpan luka yang sulit dikatakan dengan kata-kata. Ia tahu

  • SUAMI YANG DIHINA KELUARGAKU   46

    Yusna langsung berbalik badan, berjalan ke arah lemari kecilnya dengan langkah riang. Ia membuka pintu lemari sambil bersenandung pelan, benar-benar yakin bahwa kedatangan orang tuanya malam-malam seperti ini hanya berarti satu hal bahwa dia akan dibawa pulang. Entah karena kangen, atau karena merasa bersalah telah meninggalkannya jauh dari rumah.Sella dan Yitno hanya saling pandang. Yitno menahan napas panjang, sementara Sella menggenggam ujung bajunya erat.“Yusna…” panggil Sella pelan.“Iya, Bu?” jawab gadis itu riang, sambil melipat handuk kecil ke dalam tas.“Kami ke sini karena kami dapat telepon dari orang yang mengaku pihak asrama,” lanjut Sella, suaranya mulai mantap. “Katanya kamu hilang. Kami panik. Kami takut terjadi apa-apa dengan kamu.”Yusna langsung menoleh, wajahnya bingung. “Hah? Hilang? Aku? Siapa yang bilang? Aku dari tadi cuma di kamar. Terus makan, terus mandi, ya udah gitu aja.”Yitno melangkah maju, suaranya lebih tegas. “Ada orang yang pura-pura jadi petugas

  • SUAMI YANG DIHINA KELUARGAKU   45

    Sella langsung berdiri dari kursi goyang. Segelas susu hangat tumpah ke lantai, tapi ia tak peduli. “Halo? Apa maksud Anda? Yusna kenapa?!”Suara di seberang terdengar tergesa. “Kami tidak bisa menjelaskan lewat telepon. Tapi Yusna… dia tidak ada di kamarnya sejak sore. Kami sudah mencarinya di sekitar asrama, tapi tidak ditemukan. Kami butuh Bapak dan Ibu datang secepatnya. Ini serius, Bu.”Jantung Sella berdetak tak karuan. Wajahnya pucat. Ia menatap Yitno yang baru saja bangkit dari kasur.“Ada apa?” tanya Yitno cepat, melihat kegelisahan istrinya.“Yusna hilang… dari tadi sore,” jawab Sella nyaris tak terdengar.Yitno langsung mengambil ponsel dari tangan istrinya. “Halo? Ini ayahnya. Siapa Anda?”“Pak, saya pengurus shift malam. Kami sudah hubungi kepala asrama tapi belum ada kabar. Kami butuh bantuan Anda untuk melakukan pencarian lanjutan. Tapi kami butuh dana operasional, Pak. Untuk mobil, konsumsi, dan tenaga kerja.”Yitno mengerutkan dahi. “Dana operasional? Itu tanggung jaw

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status