Share

3

Author: Anik Safitri
last update Last Updated: 2025-05-14 17:47:44

Rumah yang menurutku sederhana namun layak. Aku kira rumah orang desa berdinding anyaman bambu beralaskan tanah. Tetapi rumah Bang Yitno sudah tembok dan keramik. Walau tidak semewah rumah-rumah di kota. Tetapi rumah ini tergolong bagus untuk ukuran desa. Tampak lantainya bersih juga mengkilap. Terlihat Bang Yitno telaten membersihkanya.

"Dek, besok ada syukuran pernikahan kita,"

"Oh iya? Abang pesan makanan apa untuk acaranya?"

"Disini tidak ada acara pesan begitu dik. Paling snack nya yang pesan. Makananya buat sendiri,"

Aku tercengang. Mana bisa aku masak sendiri dalam jumlah besar. Lagipula ku lihat magicom hanya satu berukuran sedang. Berapa lama waktu yang dihabiskan untuk menanak nasi?

"Jangan takut dik. Besok ada ibu-ibu yang membantu," Bang Yitno seakan mengerti kegelisahanku.

Kak Mayang pernah bilang bahwa ibu - ibu desa itu suka bicara pedas. Aku bergidik takut.

"Dik, ini beras yang dimasak besok,"

Bang Yitno mengajak ku ke sebuah ruangan yang hampir dipenuhi dengan berkarung-karung beras. Kalau dimakan berdua cukup lah untuk lima tahun. 

"Kenapa abang beli beras sebanyak ini?" 

"Dik, ini hasil sawah abang,"

Aku berpikir hasil sebanyak ini, tentu Bang Yitno tidak menjual nya. Lalu apa dikata keluarga hanya perlu makan ? Bukankah juga perlu kebutuhan lain seperti sabun, pasta gigi. Tapi biarlah aku tak enak hati tanya bermacam- macam.

"Dik, kalau kamu mau ambil bumbu, di belakang ya,"

"Iya bang,"

Aku segera pergi ke dapur. Ku lihat wadah bumbu yang ditata rapi. Tapi semuanya sudah habis tak bersisa. Lupa atau bagaimana Bang Yitno ini.

"Bang.. Abang," teriak ku.

Bang Yitno bergegas menghampiriku.

"Ada apa dik?"

"Mana bumbuny ? Tidak ada satupun bumbu yang ada,"

Dia justru tertawa kecil.

"Di belakang dik. Di kebun belakang,"

Aku digandengnya ke belakang rumah. Ku lihat hamparan tanaman cabai, tomat, aneka umbi-umbian dan sayur. Segar dipandang mata. Artinya tidak perlu bekerja, setidaknya kami bisa makan. Tetapi apakah memang begitu kenyataanya?

***

Keesokan harinya berbondong-bondong ibu-ibu datang ke rumah seraya memperkenalkan diri.

"Yitno ternyata pintar ya mencari istri. Cantik,"

"Anak muda zaman sekarang. Mana ada yang kayak kita dulu. Bedakan pakai tepung beras juga dibilang cantik," 

Semua yang ada terkekeh. Disini semua murah senyum. Tidak ada yang membicarakan orang lain. Yang ada hanya melontar canda.

"Neng, berasnya mana. Sini biar yang mbok masak,"

"Mbok tapi maaf magicomnya hanya satu,"

Si mbok tersenyum memperlihatkan giginya yang sudah hilang termakan usia.

 "Ya masak di kayu atuh neng. Kalau masak di magicom ya tidak kunjung selesai."

Aku merasa malu dibuatnya. Seumur umur belum pernah aku melihat orang memasak di atas tungku api yang menyala.

Aku memdekati mereka. Ikut membantu apa yang kurang.

"Neng di dalam aja atuh. Tuan rumah apalagi pengantin baru kok turut di dapur,"

Aku tersenyum kikuk. Tak enak hati. Tetapi ibu-ibu itu tetap memaksa ku untuk ke dalam.

"Asalamualaikum,". Terdengar suara salam dari luar. Seorang pria muda berdiri di depan pintu.

"Mbak, ini ada undangan buat suaminya,"

"Terimakasih ya," ucapku sembari menerimanya.

Aku mengernyitkan dahi membaca nama yang tertera di undangan itu. H. Yitno. Bukankah nama Bang Yitno itu hanya Suyitno. Lalu apa singkatan huruf H di depan ini? Harianto, Haryadi atau Hartono. Atau justru jangan-jangan Haji Yitno? Apa Bang Yitno Haji ?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • SUAMI YANG DIHINA KELUARGAKU   50

    Malam itu langit gelap gulita. Bulan tertutup mendung, menyisakan suasana mencekam di kampung kecil itu. Lampu di teras rumah Yitno menyala redup. Di sudut halaman, Rijal duduk bersandar di kursi kayu pendek, pentungan di tangan kanannya, senter menggantung di pinggangnya. Matanya awas menatap ke segala arah, sesekali menghela napas panjang mencoba menepis kantuk.Di dalam rumah, Sella terlelap dengan gelisah. Berkali-kali tubuhnya menggeliat dalam tidur, keringat dingin membasahi pelipis meski angin malam menembus celah genting. Yitno yang duduk di kursi dekat tempat tidurnya terjaga, matanya sembab, tetapi tetap awas. Pikirannya penuh dengan was-was.Tiba-tiba...Tok… tok… tok…Suara ketukan pelan terdengar dari arah pagar depan. Rijal segera berdiri, menggenggam erat pentungannya.“Siapa itu?!” teriak Rijal lantang.Sunyi. Tak ada jawaban.Rijal melangkah cepat mendekat ke pintu pagar. Ia menyorotkan senter, tapi tak ada siapa pun. Hanya jalan setapak kosong, dan semak-semak di sis

  • SUAMI YANG DIHINA KELUARGAKU   49

    Hari-hari berikutnya, suara pagar besi yang diketok dan mesin molen semen yang berdengung terus terdengar dari rumah Yitno. Di balik tembok tinggi itu, Sella beristirahat dalam diam. Yitno sibuk mengawasi pekerjaan tukang, memastikan setiap sudut aman, setiap celah tertutup rapat. Rijal mulai rutin berjaga malam, duduk di bawah lampu temaram depan rumah dengan pentungan di samping termos kopinya.Namun di luar pagar itu, gelombang omongan miring makin menggulung besar. Dan Pak Kardi menjadi pemandunya.“Sekarang giliran siapa yang mau dibatasi aksesnya? RT? RW? Keluarganya sendiri?” ujar Pak Kardi suatu sore saat berkumpul di pos ronda bersama beberapa bapak-bapak lain.Pak Darto masih berusaha netral. “Dia cuma pengin istri dan rumahnya aman, Pak.”Pak Kardi langsung menyambar, suaranya meninggi. “Lha, semua orang juga pengin aman, Dar! Tapi kita ini hidup di kampung, bukan kompleks pejabat! Apa setiap orang mau pasang pagar kayak begitu juga?”Beberapa warga mulai mengangguk. Ada ya

  • SUAMI YANG DIHINA KELUARGAKU   48

    Sella memegang perutnya erat-erat, rasa nyeri makin menajam. Nafasnya pendek-pendek, keringat dingin mulai merembes di pelipisnya. Dengan tangan yang gemetar, ia meraih ponsel yang tergeletak di atas meja ruang tamu.Jari-jarinya bergetar saat menekan nama Yitno di layar. Sekali dering. Dua kali.“Ya Allah, angkat dong Mas…” gumamnya lemah.Akhirnya terdengar suara berat yang familier. “Halo, Dik? Ada apa?”Suara itu jadi pemicu tangis kecil yang akhirnya pecah juga. “Mas… pulang sekarang… aku nggak kuat…”“Astaghfirullah. Kamu kenapa?”“Sakit, Mas… perutku kenceng banget. Aku takut…”“Ya Allah…” terdengar suara Yitno berbalik arah dari sawah. “Tahan sebentar, aku pulang sekarang! Jangan panik ya, aku segera sampai!”Yitno datang sekitar sepuluh menit kemudian. Nafasnya masih tersengal saat membuka pintu dan langsung memeluk istrinya yang terduduk lemah di lantai dekat kamar.“Kita ke dokter sekarang,” ucapnya tegas.Tak butuh waktu lama, mereka meluncur ke klinik ibu dan anak di kota

  • SUAMI YANG DIHINA KELUARGAKU   47

    Sella berdiri diam di ambang lorong, memandangi punggung Budhe Inem yang semakin menjauh lalu menghilang di balik pintu. Suara pintu ditutup pelan oleh Darto menjadi satu-satunya bunyi yang terdengar di tengah rumah yang hening itu. Lalu hening. Tak ada yang berbicara. Bahkan istri Darto hanya menunduk, seperti ingin segera lenyap dari ruangan itu. Sella menarik napas pelan, lalu berbalik menghadap Yitno yang masih duduk memijat pelipis. Matanya tampak lelah, namun keteguhan wajahnya tak berubah sedikit pun.“Mas…” Sella akhirnya membuka suara. Yitno menoleh, mengangguk kecil.“Iya?” Sella ragu sejenak sebelum akhirnya melangkah mendekat dan duduk di sisi suaminya.“Kamu… pernah nyesel nggak?” suaranya nyaris tak terdengar. “Mengadopsi mereka berdua… Yumna, Yusna. Apa kamu pernah ngerasa ini semua terlalu berat? Terlalu… bukan bagian dari hidup kita?”Yitno menatap wajah istrinya lama. Mata Sella tampak berkabut, seperti menyimpan luka yang sulit dikatakan dengan kata-kata. Ia tahu

  • SUAMI YANG DIHINA KELUARGAKU   46

    Yusna langsung berbalik badan, berjalan ke arah lemari kecilnya dengan langkah riang. Ia membuka pintu lemari sambil bersenandung pelan, benar-benar yakin bahwa kedatangan orang tuanya malam-malam seperti ini hanya berarti satu hal bahwa dia akan dibawa pulang. Entah karena kangen, atau karena merasa bersalah telah meninggalkannya jauh dari rumah.Sella dan Yitno hanya saling pandang. Yitno menahan napas panjang, sementara Sella menggenggam ujung bajunya erat.“Yusna…” panggil Sella pelan.“Iya, Bu?” jawab gadis itu riang, sambil melipat handuk kecil ke dalam tas.“Kami ke sini karena kami dapat telepon dari orang yang mengaku pihak asrama,” lanjut Sella, suaranya mulai mantap. “Katanya kamu hilang. Kami panik. Kami takut terjadi apa-apa dengan kamu.”Yusna langsung menoleh, wajahnya bingung. “Hah? Hilang? Aku? Siapa yang bilang? Aku dari tadi cuma di kamar. Terus makan, terus mandi, ya udah gitu aja.”Yitno melangkah maju, suaranya lebih tegas. “Ada orang yang pura-pura jadi petugas

  • SUAMI YANG DIHINA KELUARGAKU   45

    Sella langsung berdiri dari kursi goyang. Segelas susu hangat tumpah ke lantai, tapi ia tak peduli. “Halo? Apa maksud Anda? Yusna kenapa?!”Suara di seberang terdengar tergesa. “Kami tidak bisa menjelaskan lewat telepon. Tapi Yusna… dia tidak ada di kamarnya sejak sore. Kami sudah mencarinya di sekitar asrama, tapi tidak ditemukan. Kami butuh Bapak dan Ibu datang secepatnya. Ini serius, Bu.”Jantung Sella berdetak tak karuan. Wajahnya pucat. Ia menatap Yitno yang baru saja bangkit dari kasur.“Ada apa?” tanya Yitno cepat, melihat kegelisahan istrinya.“Yusna hilang… dari tadi sore,” jawab Sella nyaris tak terdengar.Yitno langsung mengambil ponsel dari tangan istrinya. “Halo? Ini ayahnya. Siapa Anda?”“Pak, saya pengurus shift malam. Kami sudah hubungi kepala asrama tapi belum ada kabar. Kami butuh bantuan Anda untuk melakukan pencarian lanjutan. Tapi kami butuh dana operasional, Pak. Untuk mobil, konsumsi, dan tenaga kerja.”Yitno mengerutkan dahi. “Dana operasional? Itu tanggung jaw

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status