Aku mendongak. Apa Bang Yitno bisa membaca pikiranku ? Ah segera ku tepis rasa itu. Yang penting sekarang melihat bawah bantal terlebih dahulu. Tetapi dari kalimat terakhir nya seperti uanh yang diberi memang pas-pasan. Ya aku harus maklum aku bersuamikan petani.
Dibawah bantal ada sebuah amplop tebal yang membuat aku penasaran dengan isinya. Atau jangan-jangan ini isinya surat ? Betapa terkejutnya aku isinya benar-benar uang nyata. Lima juta rupiah. Ini lebih dari cukup untuk kebutuhan sebulan. Ah ternyata Bang Yitno tidak seperti yang aku bayangkan.
Hari berganti hari suasana desa di kaki gunung membuat ku betah hidup disini. Jauh dari polusi serta bising kendaraan. Tetapi suami ku semakin menunjukan keanehanya. Ia berkata bahwa ia seorang petani. Tetapi sama sekali ia tidak pergi ke sawah. Jadi pekerjaanya apa ? Atau dia punya pesugihan ? Ih ngeri.
"Bang, adik boleh nanya sesuatu?"
"Enggak boleh," jawabnya singkat.
"Ih abang kok gitu?"
"Kalau bertanya itu langsung aja dik. Aku suamimu. Kewajibanku menyenangkan istri. Termasuk menjawab pertanyaanmu. Silahkan wartawan, nara sumber sudah siap," candanya.
Aku nyengir kuda. Malu juga kesal dibuatnya.
"Abang itu pesugihan ya?"
"Astagfirullohaladzim dek. Pertanyaan sekali saja kok sudah begitu. Musrik dek. Dosa yang tidak diampuni sama Gusti Allah. Andaikata abang tidak punya uang sepeserpun, abang tidak akan pernah mau menyekutukan Gusti Allah,"
"Habisnya kata abang, abang itu petani. Kok tidak pernah ke sawah?"
"Emang petani harus setiap hari ke sawah. Kalau ada yang penting aja baru ke sawah. Lagipula sawah juga tidak bakal hilang kan dek,"
Rasanya malas jika harus beradu argumen dengan Bang Yitno. Yang penting jelas uang yang ku terima itu halal. Kapan-kapan saja aku akan ikut ke sawah.
Tiba-tiba hp ku berdering. Menandakan ada pesan yang masuk. Aku seketika menciut melihat pesan itu. Pesan dari Kak Dinda.
"Kenapa dik? Lihat hp kok seperti lihat hantu?"
"Mbak Dinda, bang,"
"Kenapa? Mbak Dinda jadi hantu?"
"Ih abang apa-apa an sih? Mbak Dinda ngajak akhir pekan berkumpul di rumah ayah,"
"Keluargamu itu luar biasa, dik. Jarang sekali jaman sekarang yang gemar bersilaturahmi,"
"Disana hanya akan terjadi ajang pamer bang. Aku capek dengan cara pandang mereka menilai keluarga kita. Apalagi mereka tidak suka abang,"
"Biarin lah dek. Yang penting abang suka sama adek,"
"Abang, aku serius,"
"Aku dua rius dek. Kakak-kakakmu itu sayang sama kamu. Mereka hanya takut kamu hidup kekurangan jika menikah denganku,"
Aku hanya diam tidak mampu menjawab. Karena memang pernikahan ini baru seumur jagung. Aku tidak tau kedepanya.
"Kenapa diam dik ? Kurangkah pemberian abang yang lalu?"
"Bagaimana bisa kurang bang. Yang ada malah awet. Sayur mayur bumbu tinggal petik,"
"Itulah gunanya punya suami petani dik,"
'Petani apaan ? Ke sawah aja tidak pernah?' batinku.
*
Keesokan harinya aku melihat para bapak-bapak memakai topi capil hendak berangkat ke sawah. Mereka juga tampak ditemani istri-iatri mereka. Membuat hasratku menggebu ingin juga melihat sawah Bang Yitno
"Bang antar aku sekarang juga," kataku tegas kepada Bang Yitno.
"Kemana dik? Ke puskesmas? Adik sakit?
"Ke sawah,"
"Yakin adek mau ke sawah? Nanti ngeluh panas,"
"Sudah pakai sunblock,"
Bang Yitno tertawa kecil.
"Anak kota. Takut hitam. Hidup di kaki gunung itu memang hitam dek. Tapi eksotis,"
Aku cubit pinggang Bang Yitno. Padahal aku ingin melihat pekerjaan asli suamiku.
"Aku itu ingin melihat pekerjaan asli abang."
" Yakin dek ? Nanti jangan kabur ya kalau tau pekerjaan abang," godanya.
Dia menganggap ini bercanda. Tetapi pikiranku terlalu menjerumus kemana-mana.
"Adik mau sawah yang kiri atau kanan?"
Aku menoleh ke arahnya. Apakah sawah Bang Yitno luas hingga memberikan pilihan?
"Ke depan aja ada nggak bang?"
"Ada. Tapi kecil mungkin. Tidak ada dua meter,"
"Kok kecil sekali bang ?"
"Rumah masa depan abang. Pemakaman,"
Aku semakin cemberut dibuatnya. Aku hanya menunjukan tanganku ke kanan. Dan Bang Yitno menggandengku. Kami melewati pematang kecil yang kanan kiri banyak ditumbuhi sayur mayur. Juga parit parit kecil.
"Bang tau nggak dulu aku mengira aku akan mandi di sungai,"
"Karena tinggal di desa begitu?"
Aku mengangguk.
"Zaman udah maju dik. Mana ada orang mandi di sungai. Kamu juga bukan bidadari yang turun dari kayangan terus mandi di sungai. Kamu bidadari yang turun di hati abang. Asyik. Itu lahan abang sudah kelihatan. Yang ada pohon petenya itu,"
Aku mengarahkan pandang mengikuti telunjuk Bang Yitno tanpa mengindahkan candaanya. Sayur mayur yang bersebelahan dengan kebun pete. Tetapi ada banyak orang di lahan itu. Ada yang memanjat. Ada yang memasukan karung
"Bang itu maling ya? Pete abang dicuri,". Aku panik luar biasa. Reflek aku melempari mereka batu bertubi-tubi
"Dek, jangan ! Mereka itu...
Malam itu langit gelap gulita. Bulan tertutup mendung, menyisakan suasana mencekam di kampung kecil itu. Lampu di teras rumah Yitno menyala redup. Di sudut halaman, Rijal duduk bersandar di kursi kayu pendek, pentungan di tangan kanannya, senter menggantung di pinggangnya. Matanya awas menatap ke segala arah, sesekali menghela napas panjang mencoba menepis kantuk.Di dalam rumah, Sella terlelap dengan gelisah. Berkali-kali tubuhnya menggeliat dalam tidur, keringat dingin membasahi pelipis meski angin malam menembus celah genting. Yitno yang duduk di kursi dekat tempat tidurnya terjaga, matanya sembab, tetapi tetap awas. Pikirannya penuh dengan was-was.Tiba-tiba...Tok… tok… tok…Suara ketukan pelan terdengar dari arah pagar depan. Rijal segera berdiri, menggenggam erat pentungannya.“Siapa itu?!” teriak Rijal lantang.Sunyi. Tak ada jawaban.Rijal melangkah cepat mendekat ke pintu pagar. Ia menyorotkan senter, tapi tak ada siapa pun. Hanya jalan setapak kosong, dan semak-semak di sis
Hari-hari berikutnya, suara pagar besi yang diketok dan mesin molen semen yang berdengung terus terdengar dari rumah Yitno. Di balik tembok tinggi itu, Sella beristirahat dalam diam. Yitno sibuk mengawasi pekerjaan tukang, memastikan setiap sudut aman, setiap celah tertutup rapat. Rijal mulai rutin berjaga malam, duduk di bawah lampu temaram depan rumah dengan pentungan di samping termos kopinya.Namun di luar pagar itu, gelombang omongan miring makin menggulung besar. Dan Pak Kardi menjadi pemandunya.“Sekarang giliran siapa yang mau dibatasi aksesnya? RT? RW? Keluarganya sendiri?” ujar Pak Kardi suatu sore saat berkumpul di pos ronda bersama beberapa bapak-bapak lain.Pak Darto masih berusaha netral. “Dia cuma pengin istri dan rumahnya aman, Pak.”Pak Kardi langsung menyambar, suaranya meninggi. “Lha, semua orang juga pengin aman, Dar! Tapi kita ini hidup di kampung, bukan kompleks pejabat! Apa setiap orang mau pasang pagar kayak begitu juga?”Beberapa warga mulai mengangguk. Ada ya
Sella memegang perutnya erat-erat, rasa nyeri makin menajam. Nafasnya pendek-pendek, keringat dingin mulai merembes di pelipisnya. Dengan tangan yang gemetar, ia meraih ponsel yang tergeletak di atas meja ruang tamu.Jari-jarinya bergetar saat menekan nama Yitno di layar. Sekali dering. Dua kali.“Ya Allah, angkat dong Mas…” gumamnya lemah.Akhirnya terdengar suara berat yang familier. “Halo, Dik? Ada apa?”Suara itu jadi pemicu tangis kecil yang akhirnya pecah juga. “Mas… pulang sekarang… aku nggak kuat…”“Astaghfirullah. Kamu kenapa?”“Sakit, Mas… perutku kenceng banget. Aku takut…”“Ya Allah…” terdengar suara Yitno berbalik arah dari sawah. “Tahan sebentar, aku pulang sekarang! Jangan panik ya, aku segera sampai!”Yitno datang sekitar sepuluh menit kemudian. Nafasnya masih tersengal saat membuka pintu dan langsung memeluk istrinya yang terduduk lemah di lantai dekat kamar.“Kita ke dokter sekarang,” ucapnya tegas.Tak butuh waktu lama, mereka meluncur ke klinik ibu dan anak di kota
Sella berdiri diam di ambang lorong, memandangi punggung Budhe Inem yang semakin menjauh lalu menghilang di balik pintu. Suara pintu ditutup pelan oleh Darto menjadi satu-satunya bunyi yang terdengar di tengah rumah yang hening itu. Lalu hening. Tak ada yang berbicara. Bahkan istri Darto hanya menunduk, seperti ingin segera lenyap dari ruangan itu. Sella menarik napas pelan, lalu berbalik menghadap Yitno yang masih duduk memijat pelipis. Matanya tampak lelah, namun keteguhan wajahnya tak berubah sedikit pun.“Mas…” Sella akhirnya membuka suara. Yitno menoleh, mengangguk kecil.“Iya?” Sella ragu sejenak sebelum akhirnya melangkah mendekat dan duduk di sisi suaminya.“Kamu… pernah nyesel nggak?” suaranya nyaris tak terdengar. “Mengadopsi mereka berdua… Yumna, Yusna. Apa kamu pernah ngerasa ini semua terlalu berat? Terlalu… bukan bagian dari hidup kita?”Yitno menatap wajah istrinya lama. Mata Sella tampak berkabut, seperti menyimpan luka yang sulit dikatakan dengan kata-kata. Ia tahu
Yusna langsung berbalik badan, berjalan ke arah lemari kecilnya dengan langkah riang. Ia membuka pintu lemari sambil bersenandung pelan, benar-benar yakin bahwa kedatangan orang tuanya malam-malam seperti ini hanya berarti satu hal bahwa dia akan dibawa pulang. Entah karena kangen, atau karena merasa bersalah telah meninggalkannya jauh dari rumah.Sella dan Yitno hanya saling pandang. Yitno menahan napas panjang, sementara Sella menggenggam ujung bajunya erat.“Yusna…” panggil Sella pelan.“Iya, Bu?” jawab gadis itu riang, sambil melipat handuk kecil ke dalam tas.“Kami ke sini karena kami dapat telepon dari orang yang mengaku pihak asrama,” lanjut Sella, suaranya mulai mantap. “Katanya kamu hilang. Kami panik. Kami takut terjadi apa-apa dengan kamu.”Yusna langsung menoleh, wajahnya bingung. “Hah? Hilang? Aku? Siapa yang bilang? Aku dari tadi cuma di kamar. Terus makan, terus mandi, ya udah gitu aja.”Yitno melangkah maju, suaranya lebih tegas. “Ada orang yang pura-pura jadi petugas
Sella langsung berdiri dari kursi goyang. Segelas susu hangat tumpah ke lantai, tapi ia tak peduli. “Halo? Apa maksud Anda? Yusna kenapa?!”Suara di seberang terdengar tergesa. “Kami tidak bisa menjelaskan lewat telepon. Tapi Yusna… dia tidak ada di kamarnya sejak sore. Kami sudah mencarinya di sekitar asrama, tapi tidak ditemukan. Kami butuh Bapak dan Ibu datang secepatnya. Ini serius, Bu.”Jantung Sella berdetak tak karuan. Wajahnya pucat. Ia menatap Yitno yang baru saja bangkit dari kasur.“Ada apa?” tanya Yitno cepat, melihat kegelisahan istrinya.“Yusna hilang… dari tadi sore,” jawab Sella nyaris tak terdengar.Yitno langsung mengambil ponsel dari tangan istrinya. “Halo? Ini ayahnya. Siapa Anda?”“Pak, saya pengurus shift malam. Kami sudah hubungi kepala asrama tapi belum ada kabar. Kami butuh bantuan Anda untuk melakukan pencarian lanjutan. Tapi kami butuh dana operasional, Pak. Untuk mobil, konsumsi, dan tenaga kerja.”Yitno mengerutkan dahi. “Dana operasional? Itu tanggung jaw