"Ada apa neng kok sepertinya bingung?" tanya si mbok yang kebetulan melihatku saat mengambil beras.
Ini mbok. Nama Bang Yitno itu depanya apa ya. Di undangan kok ada tulisan H. Yitno,"
"Namanya ya tetap Suyitno atuh. Itu Haji Yitno. Memang kadang Yitno tidak mau dipanggil Pak Haji,"
Aku geleng-geleng kepala. Benar heran kenapa juga tidak bilang aku. Apa untung nya disembunyikan. Apalagi dengan keluarga besar ku. Suami kakak-kakak ku belum ada yang bergelar haji. Kenapa Bang Yitno diam saja saat dihina.
Aku memendamnya hingga acara syukuran kami selesai. Bukain main makanan yang disuguhkan. Banyak macamnya, perniknya melebihi orang kota. Walaupun hanya syukuran. Snack yang berisi bermacam-macam kue. Serta nasi kotak menjadi buah tangan untuk mereka yang hadir.
"Aku senang kalau ada hajatan di rumah Kang Yitno. Makananya banyak," celetuk salah satu pemuda yang kebetulan aku mendengarnya. Berarti memang Bang Yitno selalu royal jika ada hajatan begini. Ia hanya menjadi petani tetapi sepertinya ia banyak harta.
*
Selesai acara aku memberondong Bang Yitno dengan segudang pertanyaan.
"Bang, Abang sudah Haji ya kok tidak beri tau aku?" tanyaku dengan memasang muka cemberut.
"Lha kamu nggak nanya dik. Lagipula abang tidak suka di koar-koarkan. Tidak perlu manusia tau yang penting Allah yang tau,"
"Sudah lama bang Haji nya?"
"Sepuluh tahun yang lalu. Kenapa kamu juga ingin dik?"
Alih-alih menjawab pertanyaanya. Aku serasa semakin kesal di buatnya. Ia laki-laki yang menyisakan banyak teka-teki. Tetapi di balik itu semua ada sikap rendah hati yang dia sembunyikan.
"Abang itu ada pekerjaan lain ya? Hingga bisa naik haji?"
"Pekerjaan lain apa maksudnya dik? Pekerja kantoran gitu? Abang petani dik. Setiap hari di rumah,"
"Atau jangan-jangan orang tua Abang meninggalkan warisan yang banyak?"
"Iya. Tanah yang kubangun rumah ini dek. Bapak ku tidak punya sawah semeterpun. Kalau warisan orang tua ku banyak, tentu saudara-saudara abang tidak kocar-kacir merantau di luar kota.
"Abang punya saudara?"
"Ada dua orang merantau di pulau seberang. Kakak ku yang pertama jualan sabun. Yang kedua kerja di stasiun,"
Aku menunduk. Memang Bang Yitno bukan berasal dari orang berada. Kata-kata kakak ku semakin terngiang ngiang di telinga. Apakah memang aku akan hidup miskin? Lalu kenapa ayah membiarkan putri bungsunya yang beliau cukupi dari kecil hingga tidak kekurangan sedikitpun dibiarkan menikah dengan pria aneh ini?
*
Keesokan paginya. Bang Yitno hanya duduk-duduk di teras sembari menyeruput kopi. Katanya petani, kenapa tidak ke sawah. Terlihat santai sekali hidupnya.
"Bang," panggilku dengan cemberut.
"Kenapa sih dek? Kok cemberut terus,"
"Udah hampir siang bang. Abang tidak bekerja?"
"Kan sudah abang bilang. Abang bukan pekerja kantoran. Abang hanya petani."
"Iya-iya tau. Apa Abang tidak ke sawah?"
"Nanti dulu dek. Kalau sempat,"
"Abang," ucapku semakin geram.
"Apa lagi dek ?"
"Jangan malas bang. Kalau abang malas, kita mau makan apa?"
"Beras masih banyak dek. Sayur mayur beserta bumbu di belakang rumah melimpah ruah. Tidak usah khawatir,"
Dikira beli sabun juga pakai sayur mungkin...
Ini orang memang kelewat santai. Dikira hidup cuma perlu makan apa,' batinku kesal.
"Oh iya. Dibawah bantal ada amplop, itu uang buat adik," ucap Bang Yitno tiba-tiba.
Kalau kurang bilang ya dik." lanjutnya.
Sepanjang perjalanan pulang, Bang Yitno hanya terdiam. Aku menjadi takut mengajaknya berbicara. Mungkin ia begitu sakit hati dengan ucapan kakak-kakak ku.Tiba-tiba Bang Yitno menepikan motor di sebuah restoran besar." Mau ngapain bang ?"" Makan lah dik. Habis emosi ternyata menguras tenaga. Abang lapar,"" Abang nggak malu ?"" Kenapa malu dik ? Kita disini beli kok. Nggak ngutang,"Aku mau menjawab menjadi takut menyinggung nya. Disini restoran terkenal. Banyak para elit mampir disini. Terlihat dari kendaraan yang terpakir rapi berjejer-jejer.Bang Yitno memilih menu dengan harga - harga termahal." Aku suka di restoran ini dik. Menunya memang mahal. Tapi sesuai dengan kualitas rasanya,"Aku diam saja Aku sudah tau karena restoran ini terkenal seantero kota." Bang, abang kok beri ayah hadiah segitu banyaknya ?,"" Dik, selama kita mampu, abang merasa tidak apa-apa. Rezeki yang kita peroleh tak lepas dari do'a orang tua juga. Siapa tau dengan do'a orang tua rezeki kita bertambah l
Ayah mulai membuka kado dari Bang Yitno. Dalamnya ada sebuah kado. Kotak kecil yang terdapat tulisan Bismillah yang menempel pada kotaknya. Ayah menariknya dan ternyata isinya yaitu uang seratus ribuan yang digandeng gandeng panjang. Ayah tersenyum menariknya yang tidak kunjung bertemu ujungnya.Kakak-kakak ku semua melengos. Ternyata kado dari Bang Yitno lebih unik. Pecahan uang seratus ribu berjumlah dua ratus lembar. Alias uang dua puluh juta rupiah." Maaf ayah kalau saya terkesan kurang sopan. Yitno tidak tau kesenangan ayah maupun kebutuhan ayah. Oleh karena itu Yitno memberi sedikit rezeki dari hasil panen. Barangkali bisa digunakan sewaktu-waktu." ucap Bang Yitno lirih.Aku mengembangkan senyum bangga. Ternyata Bang Yitno cerdas juga. Ayah menepuk pundak Bang Yitno dengan bangga." Uang panen dikasih ayah, mau diberi makan apa si Sela ?" olok Mas Andi, suami Mbak Oliv." Kalau saya tidak sanggup menafkahi Sela, tentu sedari awal saya tidak akan menikahinya mas," jawab Mas Yitn
" Jangan, dik," cegah Bang Yitno tegas." Jangan kenapa lagi bang ? Aku tidak suka dengan cara pandang mereka yang selalu melihat dari luarnya saja."" Abang kan sudah bilang, biarlah itu menjadi urusan mereka. Terkadang orang yang tulus itu kita dapatkan saat kita di posisi bawah."" Bang, walaupun abang di posisi tinggipun mereka tetap mencari kesalahan abang,". Aku mulai kesal dengan segala sifat mengalahnya itu." Dengar dik. Mungkin ini ujian pernikahan kita. Bisa saja lambat laun, kakak-kakakmu menyukaiku. Ujian pernikahan bermacam-macam dik. Dari mertua, ekonomi, dari pasangan bisa juga dari ipar. Tidak ada pernikahan yang sempurna itu,. Akan ada saatnya mereka juga akan tau dik"" Tapi kapan bang ?"" Diam lah jika kamu masih mampu bersabar. Tetapi jika diam mu tidak dihargai, bicaralah agar mereka diam,"Aku mulai mengalah kala Bang Yitno sudah ceramah. Entah terbuat dari apa hingga hatinya sesabar itu.Berjam-jam perjalanan ke rumah ayah hingga keringat turun sejagung-jagung
Aku enggan bertanya lebih jauh kepada Bu Sumi. Karena ada hal yang jauh lebih penting yang ingin aku tanyakan." Bu, kenal Tina yang dulu mau dinikahi Bang Yitno ?"" Wanita tidak benar itu mbak. Naudzubillah. Untung Mas Yitno tidak jadi menikah dengan dia. Sudah mau dinikahi juragan, haji bergelar sarjana pula masih neko-neko sampai hamil. Sekarang ngejar-ngejar Mas Yitno lagi. Urat malunya sudah putus kali,"Aku bernafas lega. Apa yang diucapkan Bang Yitno sama dengan penuturan Bu Sumi." Sebenarnya saya kesini juga ingin menanyakan itu bu. Saya takut Bang Yitno berbohong,"Bu Sumi tertawa kecil." Mbak Sela tidak perlu takut. Mas Yitno itu orang nya jujur. InsyaAllah mbak Sela berjodoh dengan laki-laki yang tepat."Aku girang bukan main dengan ucapan Bu Sumi. Sepanjang perjalanan aku hanya senyum senyum sendiri mengingatnya,tanpa sadar Bang Yitno sudah menunggu kedatanganku di teras." Adik tidak apa-apa ? Pulang-pulang kok senyum-senyum sendiri ?"" Aku sedang bahagia sekali bang,
" Suami kamu itu penipu dan pembohong," Ibu itu menyerangku tiba-tiba. Aku yang tidak tahu masalahnya, bingung harus menjawab apa." Bu, silahkan masuk ke dalam dulu. Kita bicara baik-baik. Jujur saya tidak mengerti maksud ibu. Sekalian menunggu Bang Yitno pulang.Akhirnya anak dan ibu tersebut mau masuk." Begini ya mbak. Saya kesini bukan ingin ketemu Yitno. Tetapi saya mau melampiaskan kekesalan saya. Dia berjanji akan menikahi putri saya. Dan sabar menunggu hingga kuliah nya di Semarang selesai. Tetapi nyatanya ia malah menikah dengan kamu. Kamu sadar tidak menikah dengan calon suami orang ?"Degg... Bagai di hantam petir di atas kepala. Aku yang baru saja bahagia menikah dengan Bang Yitno, harus memakan kenyataan sedemikian pahitnya. Apa aku ini juga pantas disebut pelakor ? Padahal aku hanyalah korban.*" Dik, kenapa kopernya dikeluarkan ?"Bang Yitno kaget melihatku yang telah duduk di ruang tamu serta membawa koper." Dulu abang memintaku kelada ayah dengan cara baik-baik.Se
Aku harus bertanya pada siapa tentang pria aneh yang kini bergelar suamiku ini ? Bahkan aku juga tidak tau keluarga dan saudara-saudaranya.Malam ini, aku mengendap keluar kamar. Di ruang tengah ada sebuah lemari. Mungkin disana aku bisa menemukan riwayat hidup suamiku. Karena lemari di kamar hanya berisi baju. Lama aku mencari, hampir isi dari setengah lemari telah aku keluarkan. Tetapi aku belum menemukan apa yang aku cari. Setelah rasa menyerah menghampiri dan pasrah tentang kehidupan kedepanya, tanganku menyentuh sesuatu dipinggir lemari yang sepertinya sengaja disembunyikan. WISUDA SARJANA.Penasaran aku membukanya. Ijazah siapa di lemarinya ini. Atau jangan-jangan ijazah mantan istrinya ? Apa Mas Yitno itu duda ?Daripada penasaran, aku buka saja dalamnya. Betapa aku tercengang. Nama yang tertera di ijazah itu Suyitno. Sarjana Pertanian.Ulah apalagi yang disembunyikan. Dia haji juga sarjana, juragan. Belum selesai aku cemberut serasa dibohongi tiba tiba dari balik lemari, dia m
"Jangan dik. Mereka itu orang- orang ku,"Aku tercengang menatap Bang Yitno. Menyisakan penuh tanda tanya."Iya. Itu semua orang yang kusuruh untuk memanen pete abang.""Abang itu kan petani. Malas sekali memanen sendiri. Sayang uang nya kan. Lagipula pete laku berapa sih," gerutuku. Jiwa emak-emak dan perhitunganku meronta-ronta."Tidak apa-apa dik. Hitung-hitung sedekah. Ada anak istri mereka yang menunggu di rumah."Aku semakin tidak habis pikir dengan jalan pikiran Bang Yitno. Mempekerjakan orang, tetapi justru dia bermalas-malasan enggan ke sawah. Dengan muka yang masih cemberut, aku mengikuti nya di belakang."Gan, truk nya sudah siap?""Paling dua jam lagi datang. Kalau ada sisa waktu istirahat dulu," kata Bang Yitno lembut.Panggilan apa lagi ini. Kemarin ' H ', hari ini ' Gan '. Besok apa lag ?"Bang, Gan itu apa? Ganten ? Memangnya suami saya ganteng begitu?" tanyaku pada pekerja itu."Agan neng. Juragan. Tidak sopan kalau saya langsung memanggil nama."Juragan? Katanya peta
Aku mendongak. Apa Bang Yitno bisa membaca pikiranku ? Ah segera ku tepis rasa itu. Yang penting sekarang melihat bawah bantal terlebih dahulu. Tetapi dari kalimat terakhir nya seperti uanh yang diberi memang pas-pasan. Ya aku harus maklum aku bersuamikan petani.Dibawah bantal ada sebuah amplop tebal yang membuat aku penasaran dengan isinya. Atau jangan-jangan ini isinya surat ? Betapa terkejutnya aku isinya benar-benar uang nyata. Lima juta rupiah. Ini lebih dari cukup untuk kebutuhan sebulan. Ah ternyata Bang Yitno tidak seperti yang aku bayangkan. Hari berganti hari suasana desa di kaki gunung membuat ku betah hidup disini. Jauh dari polusi serta bising kendaraan. Tetapi suami ku semakin menunjukan keanehanya. Ia berkata bahwa ia seorang petani. Tetapi sama sekali ia tidak pergi ke sawah. Jadi pekerjaanya apa ? Atau dia punya pesugihan ? Ih ngeri."Bang, adik boleh nanya sesuatu?""Enggak boleh," jawabnya singkat."Ih abang kok gitu?""Kalau bertanya itu langsung aja dik. Aku sua
"Ada apa neng kok sepertinya bingung?" tanya si mbok yang kebetulan melihatku saat mengambil beras. Ini mbok. Nama Bang Yitno itu depanya apa ya. Di undangan kok ada tulisan H. Yitno,""Namanya ya tetap Suyitno atuh. Itu Haji Yitno. Memang kadang Yitno tidak mau dipanggil Pak Haji,"Aku geleng-geleng kepala. Benar heran kenapa juga tidak bilang aku. Apa untung nya disembunyikan. Apalagi dengan keluarga besar ku. Suami kakak-kakak ku belum ada yang bergelar haji. Kenapa Bang Yitno diam saja saat dihina.Aku memendamnya hingga acara syukuran kami selesai. Bukain main makanan yang disuguhkan. Banyak macamnya, perniknya melebihi orang kota. Walaupun hanya syukuran. Snack yang berisi bermacam-macam kue. Serta nasi kotak menjadi buah tangan untuk mereka yang hadir."Aku senang kalau ada hajatan di rumah Kang Yitno. Makananya banyak," celetuk salah satu pemuda yang kebetulan aku mendengarnya. Berarti memang Bang Yitno selalu royal jika ada hajatan begini. Ia hanya menjadi petani tetapi sepe