Share

Bab 3. Silau Harta

Lepas pembicaraan itu, Mirza masuk ke kamar dan melihat sang istri tidur memunggunginya. Dia menghela napas lega karena Arumi tak mengancam dengan mengemasi barangnya. Berniat pulang ke kampung meninggalkan Tangerang di mana Mirza mengadu peruntungan di kota ini.

“Rum.”

Mirza duduk di tepi kasur, mengusap sisi paha sang istri dengan lembut. “Jangan patah semangat, ya! Bantu aku dengan doa aja biar dapat kerjaan. Aku juga nggak mau anak kita menderita nantinya.”

“Ya kalau gitu, cari kerja!” Arumi berbalik, tidur telentang sambil menyenter tajam wajah sendu Mirza. “Apa, kek! Mikir! Pokoknya bulan depan, aku harus dapat uang lagi,” keluh Arumi sambil menarik selimut sebatas kepala.

Suara adzan menyela keresahan hati Mirza. Dia membuka kemeja sebab gerah dan lengket. Harus menyegarkan diri sebelum melaksanakan fardhu ashar.

“Mas Mirza!”

Suara Arumi mengejutkan. Tiba-tiba istrinya itu duduk dan bersemangat bicara. Lekas Mirza berbalik, mengambil handuk untuk digantungkan pada bahunya.

“Kenapa kamu nggak kerja jadi model aja?” tanya Arumi dengan senyum sumringah. “Kamu ganteng, loh! Sayang kalau cuma kerja di depan mesin sama asap pabrik. Mukamu itu mubadzir.”

Mirza mengerutkan dahi melihat istrinya itu cengar-cengir. Arumi menyenter badan sang suami yang proporsional, tinggi tegap dan menambah kesan seksi karena keringat yang memenuhinya.

“Iya! Mukamu, badanmu, itu asset, Mas! Kerja jangan nguli aja, dipikirin gimana caranya dapat duit banyak.”

“Jangan becanda, Rum!” Mirza menyentak sedikit bernada tinggi. “Nanti aku coba ngojek dulu selagi belum ada kerjaan. Yang penting makan tiap hari terpenuhi, kan? Uang yang tadi itu, jangan pakai belanja baju dulu, beli susu sama makan buat kamu. Aku nggak apa-apa makan seadanya. Yang penting calon bayi kita.”

Binar mata teduh Mirza menatap ke arah perut Arumi yang belum terlihat. Didekatinya sang istri, tapi tangannya terburu ditepis saat hendak memegang perut Arumi.

“Cari uang dulu! Anakmu ini nggak akan mau hidup di dunia kalau punya bapak melarat kayak kamu. Cari kerja yang duitnya gede! Jangan kasih aku recehan!” kecam wanita matrealistis tersebut.

Arumi tak ingin berdebat lagi, lebih memilih keluar untuk menghirup udara sore. Ada banyak teman-teman bergosip ria sambil duduk di pos ronda. Sudah habis kesibukan mengurus rumah, para ibu-ibu itu menyisihkan waktu untuk melepas penat dengan cengkrama.

“Rum, gimana perut kamu? Sehat? Apa ada masalah? Mukamu ditekuk gitu?” seru wanita bersanggul tinggi itu sambil mengipas sisi lehernya yang gerah.

Arumi belum menyahut, hanya mencomot kue lapis yang berada di piring depan duduknya. “Nggak ada, May.”

“Liat, nih! Suamiku baru gajian, langsung aku boyong ke toko emas. Cantik, kan? Asli, loh!”

Arumi menyimpan senyum kecut saat tetangganya itu sengaja mengulurkan tangan dengan rentetan gelang emas yang memenuhi pergelangannya.

“Suamimu itu kerja apa, sih, di Jakarta, Suk? Setiap pulang, kok, kamu kinclong terus? Banyak perhiasan, baju bagus, muka juga makin cakep aja perawatan.”

Teman-temannya yang lain masih asik bertanya pada tetangganya yang memawerkan perhiasannya. Sukma namanya. Silau mata Arumi melihat kesuksesan tetangganya itu. Lepas cengkrama, sungkan Arumi mengikuti Sukma sampai ke rumah. Sadar diikuti, Sukma berbalik dan mengajak wanita cantik berdaster itu duduk di taman depan rumahnya.

“Kamu kenapa? Apa ada yang bisa kubantu? Wajah ayumu itu ndak enak dilihat kalau masam terus,” goda Sukma.

Mata Arumi tak lepas dari perhiasan mewah di pergelangan Sukma. Berlagak merengek, dia pun menceritakan sang suami yang telah dipecat dan kini masa depan suram menantinya.

“Kamu lagi hamil gini, suamimu pengangguran? Kasihan kamu, Rum,” ujar Sukma seraya menepuk punggung Arumi.

“Trus gimana, Suk? Bisa bantu, nggak? Cariin Mas Mirza kerjaan, kek. Suruh aja suamimu bawa dia ke Jakarta sana. Terserah, deh, kerja apa. Yang penting duit lancar.”

Sukma manggut-manggut sambil senyum sumringah. “Oke. Nanti aku kabarin kamu, ya! Mau kerja apa aja, kan?”

“Tapi, kerja apa, nih?” Arumi mencecar tak sabaran. “Duitnya banyak, kan?”

“Mirza itu ganteng, loh! Di kota bisa sukses. Kerjaan banyak buat dia. Tapi karena anak baru, paling juga masih part time.”

“Aku tanya gajinya, Suk. Berapa?” tanya Arumi, lagi.

Senyum licik Sukma tak disadari oleh Arumi. Wanita itu hanya silau harta dan materi yang tak bisa Mirza berikan. Bahkan dia tak peduli juga dengan janin yang dikandungnya.

“Dia itu mau jadi bapak! Enak-enakan nyantai sementara aku harus ngandung anak dia. Ogah! Mending aku gugurin aja kalau dia nggak bisa jamin hidupku sama anakku aman nantinya.”

“Tenang, Rum! Kalau masih baru, paling juga lima jutaan sekali part time.”

Arumi meneguk ludah saat Sukma berujar uang menggiurkan itu. Sekali bekerja, lima juta. Pekerjaan apa? Peduli apa dia, yang penting uang.

“Kabarin aku kalau Mas-mu setuju, ya!” pesan Sukma.

Bagai kejatuhan bintang, janji manis jutaan rupiah membuat Arumi bahagia. Berjalan di jalan setapak di antara susunan rumah pada gang sempit itu dia lalui dengan dendang tipis.

“Sekali kerja lima juta? Bisa buat nyalon terus, belanja. Makan enak!”

Bibir Arumi menggerutu, menyadari perutnya berisi janin bibit lelaki yang tak dia cintai itu. “Kalau bapakmu ngeyel, kubuang kamu, ya! Jangan manja! Nggak usah rewel segala.”

Arumi berhenti sebentar di bangku kecil di bawah pohon belimbing wuluh. Diraihnya ponsel untuk menghubungi Seno, mas-nya yang bekerja di Jakarta sana.

“Mas, kirimin aku duit, dong! Besok aku mau beli gelang! Kebutuhan rumah yang lain. Males aku ngarepin temenmu yang males itu,” cerocos Arumi begitu panggilan tersambung.

“Iya, nanti Mas transfer. Tapi nggak bisa banyak. Mas belum gajian.”

Panggilan itu ditutup sepihak.

Di seberang sana, Seno menggerutu sambil menatap layar. Sudah dipastikan memang adiknya itu akan kembali menjadi benalu setelah Mirza kehilangan pekerjaan.

“Si Rum ini gimana caranya biar tobat, sih? Mirza aja nggak mempan ngadepin dia,” gerutu Seno.

Suara klakson mobil mengejutkan Seno. Lekas dia beranjak dari pos karena mobil sedan hitam mewah itu berhenti di depan pintu gerbang besar. Digeretnya gerbang itu untuk membiarkan mobil masuk.

Sudah beberapa tahun ini, Seno bekerja di rumah Hermawan, salah seorang pengusaha garmen terkenal di Jakarta. Rumah tinggi yang cantik dilapisi marmer hijau mengkilap. Deretan mobil koleksi garasi, juga ornament taman yang ditata cantik di sekeliling air mancur desain mewah.

“Mas Seno!”

Seno terkejut saat seorang wanita cantik keluar dari mobil setelah dibukakan pintu oleh supir yang menggantikannya.

“Mas Seno kenapa? Banyak melamunnya? Masih belum nyaman kerja di pos, ya? Iya, nih! Saya juga belum terbiasa sama Mas Danu, biasanya Mas Seno yang setirin.” Bibir merah delimanya mengoceh, tapi tetap terlihat cantik.

“Non Bella dari kantor, ya?”

Nona mudanya itu pun tersenyum ramah pada setiap pekerja di hunian megah Hermawan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status