Share

Bab 3. Silau Harta

Author: Fithri Aulia
last update Last Updated: 2023-04-05 11:09:13

Lepas pembicaraan itu, Mirza masuk ke kamar dan melihat sang istri tidur memunggunginya. Dia menghela napas lega karena Arumi tak mengancam dengan mengemasi barangnya. Berniat pulang ke kampung meninggalkan Tangerang di mana Mirza mengadu peruntungan di kota ini.

“Rum.”

Mirza duduk di tepi kasur, mengusap sisi paha sang istri dengan lembut. “Jangan patah semangat, ya! Bantu aku dengan doa aja biar dapat kerjaan. Aku juga nggak mau anak kita menderita nantinya.”

“Ya kalau gitu, cari kerja!” Arumi berbalik, tidur telentang sambil menyenter tajam wajah sendu Mirza. “Apa, kek! Mikir! Pokoknya bulan depan, aku harus dapat uang lagi,” keluh Arumi sambil menarik selimut sebatas kepala.

Suara adzan menyela keresahan hati Mirza. Dia membuka kemeja sebab gerah dan lengket. Harus menyegarkan diri sebelum melaksanakan fardhu ashar.

“Mas Mirza!”

Suara Arumi mengejutkan. Tiba-tiba istrinya itu duduk dan bersemangat bicara. Lekas Mirza berbalik, mengambil handuk untuk digantungkan pada bahunya.

“Kenapa kamu nggak kerja jadi model aja?” tanya Arumi dengan senyum sumringah. “Kamu ganteng, loh! Sayang kalau cuma kerja di depan mesin sama asap pabrik. Mukamu itu mubadzir.”

Mirza mengerutkan dahi melihat istrinya itu cengar-cengir. Arumi menyenter badan sang suami yang proporsional, tinggi tegap dan menambah kesan seksi karena keringat yang memenuhinya.

“Iya! Mukamu, badanmu, itu asset, Mas! Kerja jangan nguli aja, dipikirin gimana caranya dapat duit banyak.”

“Jangan becanda, Rum!” Mirza menyentak sedikit bernada tinggi. “Nanti aku coba ngojek dulu selagi belum ada kerjaan. Yang penting makan tiap hari terpenuhi, kan? Uang yang tadi itu, jangan pakai belanja baju dulu, beli susu sama makan buat kamu. Aku nggak apa-apa makan seadanya. Yang penting calon bayi kita.”

Binar mata teduh Mirza menatap ke arah perut Arumi yang belum terlihat. Didekatinya sang istri, tapi tangannya terburu ditepis saat hendak memegang perut Arumi.

“Cari uang dulu! Anakmu ini nggak akan mau hidup di dunia kalau punya bapak melarat kayak kamu. Cari kerja yang duitnya gede! Jangan kasih aku recehan!” kecam wanita matrealistis tersebut.

Arumi tak ingin berdebat lagi, lebih memilih keluar untuk menghirup udara sore. Ada banyak teman-teman bergosip ria sambil duduk di pos ronda. Sudah habis kesibukan mengurus rumah, para ibu-ibu itu menyisihkan waktu untuk melepas penat dengan cengkrama.

“Rum, gimana perut kamu? Sehat? Apa ada masalah? Mukamu ditekuk gitu?” seru wanita bersanggul tinggi itu sambil mengipas sisi lehernya yang gerah.

Arumi belum menyahut, hanya mencomot kue lapis yang berada di piring depan duduknya. “Nggak ada, May.”

“Liat, nih! Suamiku baru gajian, langsung aku boyong ke toko emas. Cantik, kan? Asli, loh!”

Arumi menyimpan senyum kecut saat tetangganya itu sengaja mengulurkan tangan dengan rentetan gelang emas yang memenuhi pergelangannya.

“Suamimu itu kerja apa, sih, di Jakarta, Suk? Setiap pulang, kok, kamu kinclong terus? Banyak perhiasan, baju bagus, muka juga makin cakep aja perawatan.”

Teman-temannya yang lain masih asik bertanya pada tetangganya yang memawerkan perhiasannya. Sukma namanya. Silau mata Arumi melihat kesuksesan tetangganya itu. Lepas cengkrama, sungkan Arumi mengikuti Sukma sampai ke rumah. Sadar diikuti, Sukma berbalik dan mengajak wanita cantik berdaster itu duduk di taman depan rumahnya.

“Kamu kenapa? Apa ada yang bisa kubantu? Wajah ayumu itu ndak enak dilihat kalau masam terus,” goda Sukma.

Mata Arumi tak lepas dari perhiasan mewah di pergelangan Sukma. Berlagak merengek, dia pun menceritakan sang suami yang telah dipecat dan kini masa depan suram menantinya.

“Kamu lagi hamil gini, suamimu pengangguran? Kasihan kamu, Rum,” ujar Sukma seraya menepuk punggung Arumi.

“Trus gimana, Suk? Bisa bantu, nggak? Cariin Mas Mirza kerjaan, kek. Suruh aja suamimu bawa dia ke Jakarta sana. Terserah, deh, kerja apa. Yang penting duit lancar.”

Sukma manggut-manggut sambil senyum sumringah. “Oke. Nanti aku kabarin kamu, ya! Mau kerja apa aja, kan?”

“Tapi, kerja apa, nih?” Arumi mencecar tak sabaran. “Duitnya banyak, kan?”

“Mirza itu ganteng, loh! Di kota bisa sukses. Kerjaan banyak buat dia. Tapi karena anak baru, paling juga masih part time.”

“Aku tanya gajinya, Suk. Berapa?” tanya Arumi, lagi.

Senyum licik Sukma tak disadari oleh Arumi. Wanita itu hanya silau harta dan materi yang tak bisa Mirza berikan. Bahkan dia tak peduli juga dengan janin yang dikandungnya.

“Dia itu mau jadi bapak! Enak-enakan nyantai sementara aku harus ngandung anak dia. Ogah! Mending aku gugurin aja kalau dia nggak bisa jamin hidupku sama anakku aman nantinya.”

“Tenang, Rum! Kalau masih baru, paling juga lima jutaan sekali part time.”

Arumi meneguk ludah saat Sukma berujar uang menggiurkan itu. Sekali bekerja, lima juta. Pekerjaan apa? Peduli apa dia, yang penting uang.

“Kabarin aku kalau Mas-mu setuju, ya!” pesan Sukma.

Bagai kejatuhan bintang, janji manis jutaan rupiah membuat Arumi bahagia. Berjalan di jalan setapak di antara susunan rumah pada gang sempit itu dia lalui dengan dendang tipis.

“Sekali kerja lima juta? Bisa buat nyalon terus, belanja. Makan enak!”

Bibir Arumi menggerutu, menyadari perutnya berisi janin bibit lelaki yang tak dia cintai itu. “Kalau bapakmu ngeyel, kubuang kamu, ya! Jangan manja! Nggak usah rewel segala.”

Arumi berhenti sebentar di bangku kecil di bawah pohon belimbing wuluh. Diraihnya ponsel untuk menghubungi Seno, mas-nya yang bekerja di Jakarta sana.

“Mas, kirimin aku duit, dong! Besok aku mau beli gelang! Kebutuhan rumah yang lain. Males aku ngarepin temenmu yang males itu,” cerocos Arumi begitu panggilan tersambung.

“Iya, nanti Mas transfer. Tapi nggak bisa banyak. Mas belum gajian.”

Panggilan itu ditutup sepihak.

Di seberang sana, Seno menggerutu sambil menatap layar. Sudah dipastikan memang adiknya itu akan kembali menjadi benalu setelah Mirza kehilangan pekerjaan.

“Si Rum ini gimana caranya biar tobat, sih? Mirza aja nggak mempan ngadepin dia,” gerutu Seno.

Suara klakson mobil mengejutkan Seno. Lekas dia beranjak dari pos karena mobil sedan hitam mewah itu berhenti di depan pintu gerbang besar. Digeretnya gerbang itu untuk membiarkan mobil masuk.

Sudah beberapa tahun ini, Seno bekerja di rumah Hermawan, salah seorang pengusaha garmen terkenal di Jakarta. Rumah tinggi yang cantik dilapisi marmer hijau mengkilap. Deretan mobil koleksi garasi, juga ornament taman yang ditata cantik di sekeliling air mancur desain mewah.

“Mas Seno!”

Seno terkejut saat seorang wanita cantik keluar dari mobil setelah dibukakan pintu oleh supir yang menggantikannya.

“Mas Seno kenapa? Banyak melamunnya? Masih belum nyaman kerja di pos, ya? Iya, nih! Saya juga belum terbiasa sama Mas Danu, biasanya Mas Seno yang setirin.” Bibir merah delimanya mengoceh, tapi tetap terlihat cantik.

“Non Bella dari kantor, ya?”

Nona mudanya itu pun tersenyum ramah pada setiap pekerja di hunian megah Hermawan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • SUAMI YANG TERGADAI DEMI RUPIAH   Bab 42. Keangkuhan Arumi

    Bella melangkah memasuki rumah megah keluarga Hermawan dengan hati berdebar. Setelah percakapan lalu, dia bertekad harus menemukan kebenaran. Kejadian ibunya jatuh dari tangga terasa janggal. Hati kecilnya menolak percaya itu hanyalah kecelakaan.Di ruang tamu, Bella menatap para pelayan yang berbaris di depannya. Dengan suara tegas, dia mulai mengintrogasi satu per satu."Apa kalian melihat sesuatu hari itu? Siapa yang terakhir kali bersama Mama saya?"Semua pelayan hanya menunduk."Kami tidak tahu, Nona Bella," ujar seorang pelayan tua dengan nada ragu."Benar, kami tidak tahu apa-apa," timpal pelayan lainnya.Bella menggertakkan giginya. Jawaban mereka sama, dingin dan kosong. Tak ada seorang pun yang berani memberi petunjuk. Kekecewaan meliputinya, tapi dia belum menyerah.Tiba-tiba Bella teringat sesuatu. CCTV! Di ruang tengah rumah ini ada kamera yang pasti merekam semuanya. Dia langsung melangkah cepat menuju ruang keamanan.Di sana, kepala keamanan, Pak Sarman, sedang duduk di

  • SUAMI YANG TERGADAI DEMI RUPIAH   Bab 41. Semakin Terkuak

    Sejak malam Mirza menemui Arumi, hubungan mereka berubah dingin. Bella tetap menjalankan rutinitasnya sebagai istri: menyiapkan pakaian kerja dan sarapan untuk Mirza. Namun, tidak ada sapaan atau senyuman. Bahkan, pandangan pun dihindari.Mirza tahu dirinya salah. Setiap kali melihat Bella yang tak memedulikannya, hatinya terasa remuk. “Aku bodoh,” gumamnya pelan di kantor, mencoba menenggelamkan diri dalam pekerjaan. Namun, bayangan sang istri terus menghantui.Usai matahari terbenam, Mirza pulang membawa martabak Mesir, makanan favorit istrinya yang sedang hamil itu. Mirza memangkas jarak untuk berdiri tepat di ambang pintu. Dari sela yang setengah terbuka, nampak di sana Bella sedang terbaring memunggunginya. Mirza menghela napas, lalu berkata dengan lembut, “Aku pulang.”Tak ada jawaban, berpikir mungkin Bella sedang tidur.Setelah membersihkan diri beberapa menit, Mirza pun masuk kamar. Istrinya itu sudah bangun, merapikan kasur yang sedikit berantakan dengan tenang. Sprei dan

  • SUAMI YANG TERGADAI DEMI RUPIAH   Bab 40. Luka Hati

    Di tengah malam yang sunyi, Mirza terbangun oleh suara notifikasi ponselnya. Dengan mata yang masih berat, dia melihat layar ponselnya. Satu pesan masuk dari Arumi, mantan istrinya.[Aku menunggumu di bawah pohon beringin, di samping paviliun.]Mirza duduk diam sejenak, menatap pesan itu. Ia melirik Bella yang tertidur pulas di sampingnya, wajahnya tenang dan perutnya besar mengandung buah hatinya. Tanpa banyak pikir, Mirza berdiri perlahan, berusaha untuk tidak membangunkan Bella. Dia tidak menyadari bahwa Bella sempat membuka matanya sedikit, mengawasi gerak-geriknya dengan cemas.Di depan pintu rumah, Mirza terhenti. Ada keraguan yang memenuhi pikirannya. Apakah ia benar-benar perlu menemui Arumi? Bagaimanapun, hubungan mereka sudah berakhir. Saat ini ia seharusnya menjaga perasaan Bella yang sedang hamil besar. Namun, ada perasaan rindu yang membawanya untuk tetap melangkah ke luar rumah.Ketika tiba di dekat beringin, Mirza melihat Arumi berdiri di sana, menunggunya di bawah baya

  • SUAMI YANG TERGADAI DEMI RUPIAH   Bab 39. Janji Cinta

    Bella menghentikan mobilnya mendadak di tengah jalan. "Aduh, ponselku!" serunya, menyadari benda penting itu tertinggal di kamar. Tanpa pikir panjang, dia memutar balik dan melaju menuju rumah. Saat membuka pintu kamar, dia mendapati Mirza, suaminya, sedang berdiri tanpa jarak dengan Arumi, mantan istrinya. Bella tercekat ketika melihat tangan Arumi menyentuh dada Mirza tanpa penolakan dari sang suami.“Mas…?” Suara Bella terdengar parau. Mirza terkejut, dengan cepat menjauh dari Arumi. Ada rasa bersalah dalam hati ketika melihat binar kekecewaan di mata sang istri.Sementara itu, Arumi tertawa sinis, menoleh pada Bella dengan ekspresi congkak. “Oh, Bella, kamu kembali rupanya. Aku dan Mirza hanya membicarakan masa lalu. Aku harap kamu tak keberatan.”Bella lekas mendekati Arumi sembari mengedarkan tatapan tajam, menahan emosi yang bergejolak. “Nggak ada yang perlu dibicarakan. Keluar kamu, Rum. Pergi dari sini!"Arumi mendengkus, tertawa meremehkan. “Santai saja, Bella. Jangan te

  • SUAMI YANG TERGADAI DEMI RUPIAH   Bab 38. Sentuhan yang Menggoyahkan

    Mentari pagi menembus tirai jendela kamar, mengisi ruangan dengan sinar lembut. Bella bangkit dan merapikan diri. Setelah bersiap, Bella melangkah ke sofa di mana suaminya masih tertidur pulas di sana. "Mas." Bella tersenyum melihat wajah Mirza. Disentuhnya rambut legam sang suami dengan lembut, lalu membisikkan namanya. “Mas, bangun. Sudah pagi.” Mirza bergerak sedikit, menggeliat malas. Perlahan, matanya terbuka, menatap Bella dengan pandangan bingung. "Kamu udah rapi sekali sepagi ini. Mau ke mana?” "Aku ada janji hari ini, mau kontrol kandungan, udah masuk bulan ketujuh, kan?" Mirza mengangguk pelan, mengusap wajahnya agar lebih sadar. “Mau kuantar?” “Nggak perlu, Mas. Aku diantar dengan Mas Ujang aja. Oh ya, aku udah siapin sarapan dan pakaian kerja kamu. Semua beres, tinggal kamu yang bangun.” Bella tersenyum genit, maju selangkah lebih dekat hingga berdiri tepat di depan Mirza. Pria itu menatap Bella sedikit bingung, tapi belum sepenuhnya sadar. “Ada a

  • SUAMI YANG TERGADAI DEMI RUPIAH   Bab 37. Ambisi dan Cinta

    Di sore yang tenang, Arumi membawa secangkir teh ke ruang kerja Hermawan. Mengetuk pintu perlahan, kemudian masuk dengan senyum menggoda.“Mas Hermawan, teh hangatnya sudah datang,” katanya lembut, melirik pria paruh baya itu yang tengah sibuk dengan berkas-berkasnya.Hermawan menoleh dan tersenyum tipis. “Terima kasih, Arumi.”Arumi meletakkan cangkir teh di meja, tetapi tidak segera beranjak. Dengan perlahan, ia menyentuh lengan Hermawan, mencoba mencari perhatian lebih. “Mas, tidak lelah bekerja terus? Mungkin ada yang bisa aku bantu?”Hermawan terdiam sejenak, lalu melepaskan pandangannya dari berkas-berkas, menatap Arumi yang berdiri di sampingnya dengan tatapan lembut namun penuh tanda tanya. “Arumi, kamu tahu bukan kalau hubungan kita ini rumit?” bisiknya, mengambil tangan Arumi dan menggenggamnya erat.Arumi mendesah, menunduk. “Aku tahu, Mas. Tapi… bagaimana dengan kita? Istri Bapak sudah meninggal tiga bulan lalu. Sampai kapan aku harus menunggu seperti ini?”Hermawan men

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status