“Masih juga tanggal 15, udah gajian aja, Mas!”
Mata Arumi berbinar saat Mirza, suaminya itu meletakkan amplop cokelat di atas meja. Cukup tebal hingga membuat wanita cantik berdaster batik itu meneguk ludah.
Mirza menatap nanar pada sang istri. Bukannya membuatkan teh setelah menyambutnya pulang, peluh keringat yang menempel di kemejanya saja diabaikan Arumi. Uang terus yang dia tagih. Suaminya itu terlihat murung. Wajah tampannya terlihat kusam karena sering beradu dengan panasnya mesin di pabrik.
“Banyak sekali, Mas Mirza? Tau aja kalau anak kita ini ngidam pizza sama burger yang sering kulihat di tivi-tivi itu, loh.”
Lembar uang merah itu dia bagi menjadi beberapa bagian. Mengatur sedemikian rupa agar cukup dihabiskan dalam sebulan.
“Aku lagi hamil enam minggu. Perlu minum susu dan makan yang bergizi lainnya. Kamu harus rajin kerja, Mas! Kalau nggak cukup duit kerja di pabrik, cari sambilan lain. Ngojek, misalnya. Masa depan kita masih panjang. Ini aja aku stop dulu untuk skin care. Tapi jatah untuk itu, tetep aku simpen, yo! Sisanya buat keperluan rumah yang lain.”
Arumi mencecar tanpa peduli sejak tadi, Mirza kesusahan untuk buka suara. Lelaki berusia 30 tahun itu beranjak sejenak ke dapur. Ruang sempit itu tersusun dari perangkat dapur yang sederhana. Dia mencari termos air panas untuk menyeduh teh. Toples gula isinya menipis, tak dia temukan juga teh celup pada rak.
‘Padahal awal bulan udah kukasih uang gaji, tapi kebutuhan dapur selalu aja kurang. Gimana kalau Arumi tau kalau yang tadi itu uang pesangonku?’ gusar Mirza, membatin.
Mirza menggerutu sambil mengacak rambutnya, tak berniat lagi menikmati secangkir teh di sore hari. Camilan ubi goreng pun tak tersedia di dapur, padahal ada banyak pakaian Arumi yang memenuhi lemari setiap awal bulan.
"Aku ini anak kepala desa, hidup enak sejak dulu. Kalau bukan Mas Seno yang bujuk-bujuk aku untuk terima lamaranmu, aku nggak mau nikah sama kamu, Mas. Modal ganteng doang, kerja juga pas-pasan. Entah kamu pelet apa Mas-ku sampai dia segitu percayanya adik cantiknya ini menikah denganmu,” oceh Arumi, tak ada habisnya.
Mirza masih mengingat jelas cecar Arumi saat mulai bertengkar. Dirasa Mirza harusnya beruntung beristrikan dia yang cantik dan putri kepala desa dan tak boleh membuatnya hidup serba kekurangan. Keduanya teman semasa sekolah, bagi Mirza, Arumi adalah cinta yang selalu dia idamkan.
“Entah ada angin apa tiba-tiba perusahaan melakukan PHK massal. Ini pasti Arumi bakal ngomel lagi. Sekarang ini susah nemu kerjaan baru.”
Mirza takut menanyakan ke mana semua gajinya itu pergi karena Arumi sangat pemarah. Dia akan nekat kabur jika bertengkar karena hal-hal sepele.
“Nggak perlu disembunyikan juga. Besok pasti dia akan curiga kalau aku nggak berangkat kerja.”
Mirza duduk di depan Arumi yang sedang bersandar sambil mengibas lembaran uang merah itu di wajahnya. Hati-hati Mirza berucap, mengatur napas untuk mengatakan perihal pemecatannya. Takut saja Arumi stress dan mempengaruhi kehamilannya.
“Mas pasti di pabrik, kerjanya rajin, ya! Sampai dapat bonus gini. Kalau gitu, tiap hari lembur aja, Mas. Nggak apa-apa. Hamilku juga anteng, kok. Yang penting kantongku anget.”
“Rum,” panggil Mirza, sedikit ragu.
Arumi menatap raut serius Mirza saat mengambil tangannya. Bias wajahnya ragu. Tergagap, akhirnya dia berkata, “Itu tadi pesangon, Rum. Mas dipecat.”
Bukan main Arumi memencak marah. Dia beranjak bangkit, mengabaikan perutnya yang memang masih hamil muda. Siap rasanya mencecar sang suami dengan kemarahan.
“Dipecat? Kamu gila, Mas?” Arumi memencak dengan garang, matanya melotot penuh amarah. “Mau makan apa nanti kita? Aku lagi hamil, Mas! Seenakmu aja bicara! Aku nggak mau tau! Pokoknya kalau nggak dapat kerjaan juga, aku balik ke rumah bapakku!”
Arumi mengutip tumpukan uang di atas meja, hanya menyisakan selembar uang lima puluh ribu untuk sang suami.
“Ini untuk makanmu seminggu ini! Aku nggak mau urusin!”
“Rum, kenapa kamu marah-marah?” tanya Mirza sambil mengusap sisi kepala Arumi.
Istrinya itu menepis dengan kasar. Sejak awal dia tak pernah mencintai Mirza. Kalau bukan karena Mirza yang rupawan di antara pemuda kampung, juga Mas Seno-nya yang mengagungkan lelaki alim ini, Arumi enggan menerima lamaran pria beriris mata kecokelatan tersebut. Bahkan sejak jaman sekolah, tak sedikit pun dia melirik suaminya ini. Hanya tampan saja, pakaiannya saja selalu lusuh. Apa yang bisa dia banggakan?
“Suami nggak guna, kamu! Baru kerja dua tahun di pabrik itu, udah bagus-bagus, malah dipecat segala!” geram Arumi sambil meremas amplop kosong di tangannya.
“Rum, memang pabrik lagi ada masalah serius. Udah untung Pak Boss-nya ngasih satu gaji penuh untuk pesangonku,” bujuk Mirza lagi.
“Pokoknya, kamu cari kerja lagi untukku dan anak kamu di perutku ini kalau kamu mau dia lahir ke dunia ini! Kamu yang hamilin aku, nggak mikir kalau aku masih butuh banyak uang sampai melahirkan,” kecam Arumi.
Wanita cantik itu berjalan menghentak-hentak, lalu membanting pintu kamar agar suaminya tahu dia sangat marah. Mirza kembali duduk di kursi ruang tamu, menatap selembar uang yang dititipkan Arumi dari sisa pesangonnya.
“Arumi benar. Dia lagi hamil dan butuh banyak biaya. Nggak boleh stress juga. Aku harus cari kerja di mana, ya?”
Mirza merogoh ponsel untuk menghubungi Seno, ipar sekaligus sahabatnya sejak kecil. Panggilan tersambung dengan cepat. Sudah dua tahun ini Mirza membawa Arumi tinggal di Tangerang meninggalkan kampung halamannya di Malang. Sesekali memang dia menemui Seno di Jakarta untuk bertegur sapa.
“Assalamualaikum, Seno. Tumben cepat ngangkatnya. Kirain tadi lagi sibuk,” sahut Mirza, berbasa-basi.
“Iya, nih! Lagi istirahat aja. Kebetulan tugas nyupirin si boss cantik udah diambil alih temen. Aku jadi security aja di sini. Ada apa, Mir? Ada perlu?” sahut Seno dari seberang panggilan.
Cepat sekali Seno mengerti isyaratnya. Tak bisa menyembunyikan apa pun, Mirza pun menceritakan pemecatan yang dia alami, juga pertengkarannya dengan Arumi yang selalu menjadi dampak jika terkait dengan uang.
“Maafin Rumi, ya, Mir! Malu aku soal adikku itu. Tapi beneran, aku nggak bisa bantu, nggak ada kerjaan juga di sini. Kalau kamu ke Jakarta, kasihan Rum ditinggal lagi hamil. Nanti, deh, aku kirim sedikit-sedikit uang saku ke Rum supaya dia nggak bawel.”
“Jangan gitu, Seno! Nggak, lah. Biar aku aja yang tangani,” tolak Mirza, sungkan.
“Nggak apa-apa. Rum, kan, adikku. Paham betul aku gimana borosnya dia. Aku yang nggak enak udah ngasih adikku yang blangsak untuk kamu yang baik gini, Mir.”
Mirza tersenyum getir, lalu menyamankan punggung untuk duduk bersandar di sofa. “Baik tapi nggak bisa memenuhi kebutuhan istri, apa bisa disebut baik? Sekarang pakai dipecat segala, tanggung jawabku masa jadi lalai begini? Tapi keadaan sudah seperti ini, Seno. Aku malu sama Rum.”
“Jangan malu! Kamu, kan, masih mau berusaha. Nanti-nanti kukabarin kalau ketemu kerjaan untukmu.”
“Apa aku ajak Rum pulang ke kampung, ya? Aku bisa bantu pakde-ku nyangkul di ladang. Kasian juga pakde, nggak punya anak laki. Aku juga bisa jadi pekerja, kan? Macul gitu, lumayan juga kalau hasil sawah dan kebun sekali panen.”
Hilang sedikit gusar hati Mirza saat bercengkrama dengan sahabatnya itu. Tawa Seno membuat lengkung bibir tipis terbit di wajahnya.
“Ngantuk kamu, Mir? Istrimu udah mulai gila shopping, maruk kena salon sama mall, mau kamu bawa lagi panas-panasan sambil bawa bakul nasi ke ladang nemenin kamu macul? Mir, Mir! Bentaran aja, Rum pasti merengek, ngadu ke bapak dan minta cerai dari kamu.”
Apa mau dikata, meski Seno yang menjodohkan, Mirza mulai bertanggung jawab dan mencintai Arumi sepenuh hati sebab wanita itu sudah mencuri hatinya sejak di bangku sekolah.
Lepas pembicaraan itu, Mirza masuk ke kamar dan melihat sang istri tidur memunggunginya. Dia menghela napas lega karena Arumi tak mengancam dengan mengemasi barangnya. Berniat pulang ke kampung meninggalkan Tangerang di mana Mirza mengadu peruntungan di kota ini.“Rum.”Mirza duduk di tepi kasur, mengusap sisi paha sang istri dengan lembut. “Jangan patah semangat, ya! Bantu aku dengan doa aja biar dapat kerjaan. Aku juga nggak mau anak kita menderita nantinya.”“Ya kalau gitu, cari kerja!” Arumi berbalik, tidur telentang sambil menyenter tajam wajah sendu Mirza. “Apa, kek! Mikir! Pokoknya bulan depan, aku harus dapat uang lagi,” keluh Arumi sambil menarik selimut sebatas kepala.Suara adzan menyela keresahan hati Mirza. Dia membuka kemeja sebab gerah dan lengket. Harus menyegarkan diri sebelum melaksanakan fardhu ashar.“Mas Mirza!”Suara Arumi mengejutkan. Tiba-tiba istrinya itu duduk dan bersemangat bicara. Lekas Mirza berbalik, mengambil handuk untuk digantungkan pada bahunya.“Ken
Seno mengikuti gerak langkah dari ketukan heels si cantik bertubuh langsing itu. Rambut pirangnya terurai menutupi punggung yang berbalut gaun merah darah. Heels setinggi tujuh senti begitu padu di kaki jenjang cantiknya.“Ada yang mau saya bicarakan, Mas. Duduk!” pinta Bella, mempersilakan Seno duduk di sofa seberangnya.Seno duduk sungkan sebab Bella selalu ramah pada setiap pegawai rumahnya. Senyumnya saja membuat para lelaki di rumah itu berdebar karenanya.“Saya dapat laporan, katanya Mas Seno minta setengah gaji di muka, benar?” tanya Bella.Seno mengangguk malu. Kalau bukan karena Arumi, dia enggan mengiba seperti ini. Uang gajinya tentu sudah untuk istri dan anaknya. Sebab kasihan pada Mirza, terpaksa dia meminjam uang ekstra pada majikannya ini.“Iya, Non. Untuk bapak saya di kampung.”“Baik, nanti saya transfer. Gaji bulan depan sisanya ya, Mas.”Seno mengangguk syukur. Saat Bella beranjak, tiba-tiba Seno teringat pada Mirza yang sedang menganggur di sana. Kali saja Mirza bi
Sukma mengangguk saja, kembali meneguk sirup jingga pada gelas kristal.“Memangnya kerja apa, sih? Sampai tampang jadi syarat utama? Memangnya mas-mu itu bakal diterima?” keluh Siti.“Iya, dong! Mas Mirza, suamiku itu ganteng,” ujar Arumi dengan penuh bangga. “Sukma bilang, kerjanya di permodelan gitu. Ya, kan? Padahal part time, tapi gajinya aja sampai lima juta.”Arumi bersikap jumawa di depan para temannya, sedangkan Sukma menyimpan tawa di balik senyum di bibir merah meronanya.“Iya, yang ganteng kayak Mirza itu jadi prioritas, sih! Badannya bagus, proporsional. Gantengnya alami. Agak kucel aja karena kerjanya nguli. Dipoles dikit juga kinclong kayak aktor Korea.” Sukma lanjut berkata.Begitu tenang para wanita ini bergosip di pagi hari. Entah jika tugas rumahnya sudah beres semua. Arumi pun puas menikmati hidupnya hasil dari tumpukan uang yang dia dapat belakangan ini.Sore harinya, Arumi duduk santai di ruang tengah sambil mengumpul uang arisan yang dia peroleh. Pesangon dari Mi
Mirza tiba di rumah sekitar pukul sepuluh malam. Arumi yang tadinya duduk santai di depan televisi, terkejut melihat tampilan lusuh suaminya itu. Pakaiannya kucel dengan bekas noda lumpur. Masih lembab setelah bermandikan hujan tadinya.“Kamu apa-apaan, sih, Mas? Kamu nyari kerja yang bener, ya! Aku nggak mau kamu jadi tukang gali gorong-gorong atau mungutin sampah jalanan!” Arumi memekik sambil menarik-narik krah sang suami. Mirza tak menyahuti. Sia-sia rasanya berdebat dengan Arumi. Masih terasa nyeri luka akibat sabetan belati tadi. Akan tetapi, pedulikah istrinya ini? Dirinya menepis tangan Arumi, masuk ke kamar karena harus membersihkan dirinya sebelum sholat isya.Arumi pun tak puas dengan sikap Mirza. Lekas ditariknya tangan sang suami ketika berhasil mencekalnya masuk ke dalam toilet kamar.“Mas! Udah mulai berani kamu nyuekin aku, ya! Jangan bikin aku malu sama temen-temen arisan dan tetangga kalau kamu kerja nguli dan keliatan gembel gini!” tukas Arumi, geram.Mirza sedikit
Mirza tersenyum miris melihat hidangan sarapan yang ada di atas meja. Hanya secangkir teh dan ubi rebus saja. Padahal dia harus pergi sepagi ini seharian untuk mencari lowongan pekerjaan lagi di kota."Makan yang ada aja!" sahut Arumi saat menyadari Mirza tak menarik kursi untuk duduk.Wanita itu meletakkan sepiring nasi lagi dengan telur mata sapi dan juga botol kecap sebagai tambahan."Selama masih belum dapat kerja, aku berhemat dulu. Kalau mau makan enak, buruan kasih aku uang lagi," kecam wanita berambut sebahu itu.Uang dan uang. Tiap hari Arumi selalu membuat kepalanya pusing dengan tuntutan materi itu. Padahal baru kemarin dia memberikan pesangon, belum lagi Arumi yang baru saja mendapatkan segepok uang hasil dari arisan yang diikutinya. Itu pun dari uang gaji Mirza yang diambilnya tiap bulan."Nggak mau duduk?" tanya Arumi lagi dengan senyum sinis.Mirza mengalah saja. Dia pun menyantap menu seadanya untuk mengisi perut. Istrinya itu hanya tersenyum sambil menikmati segelas s
Setelah tiba di mall, Bella menghabiskan waktu belanja berkeliling. Tak sabar rasanya menyambut kekasih yang sudah seminggu ini berjarak darinya. Hanya membeli seutas dasi, jam tangan, dan beberapa camilan lain yang bisa dihabiskan sambil bercengkrama."Udah, deh, ini aja dulu. Nanti beli cake aja. Dan sekalian juga, aku harus tanya Bastian tentang rencana pernikahan. Apa beneran dia nggak ada niat serius?"Bella terus mendengkus sebal. Jika bukan kedua orangtuanya yang terus merongrong mengakhiri masa lajang, dia lebih memilih untuk single dan berkarir saja. Sama seperti dirinya yang puas memandangi tampilannya di layar televisi di dalam mall."Udahlah, nikah itu ibadah, Bel. Harus diusahakan."Sambil menjinjing beberapa paper bag, Bella bersiap pulang. Ditunggunya beberapa menit sebab Seno tadinya hendak memperbaiki sedikit kerusakan mobil."Masih lama, Mas?" tanya Bella ketika panggilan telepon terhubung."Ini udah mau nyampe ke mall, Non. Ntar aja pulang dari apartemen Mas Bas, sa
Hancur. Cinta dan kesetiannya selama lebih dari sepuluh tahun dipatahkan oleh Bastian yang ternyata selingkuh di belakangnya. Bella menekan panggilan pada Bastian. Suara dering terdengar, pria bernama Bastian itu malas mengangkatnya karena dirasa gangguan saat bergumul mesra.“Mas, itu kenapa teleponnya nggak diangkat dari tadi? Kayaknya itu Bella.”Suara centil wanita itu terdengar memuakkan bagi Bella. Dia yang tak lain adalah Leona, sahabatnya yang kini mencuri kekasihnya sendiri. Bella belum beranjak, menikmati sejauh mana dua orang kepercayaannya itu tega menusuknya seperti ini.“Iya, nanti malam aku ada janji sama dia. Tapi sebelum itu, aku lebih kangen sama kamu, Leona,” sahut Bastian lagi.Bella menahan gemuruh di dadanya. Dua orang itu mengolok persahabatan dan kepercayaan yang ditanamkan. Seno tak sampai hati melihat ketegaran nona mudanya itu.“Bella belum ada bicara soal merit, Mas?” tanya Leona sambil mencium pipi Bastian. “Iya, dia ngeluh ke aku karena papa-mamanya des
"Kamu dari mana, Rum?"Arumi berlalu saja dari pertanyaan Mirza. Suaminya itu sudah pulang lebih dulu selepas senja, sementara dirinya baru saja tiba setelah aktivitas belanjanya di Jakarta."Aku bosan di rumah kecil ini, suntuk. Malah sekarang duit juga menipis. Aku ini lagi hamil, nggak boleh stres!" gerutu Arumi.Mirza tetap mengikuti langkah sang istri ke kamar. Menatap semua belanjaan baju dan juga perhiasan di atas kasur."Uang dari mana ini?" tanya Mirza, penasaran."Dari Mas Seno. Sengaja aku beliin emas, buat jaga-jaga. Nggak tau juga, bulan depan dapat gaji atau enggak dari kamu."Bulan depan. Mirza hanya mengurut sisi pelipisnya. Sudah beberapa hari sejak dia dipecat, belum ada titik terang untuk mencari rejeki lagi."Jadi gimana? Mau nganggur gini aja?"Mirza tak menyahut."Aku kalau harus hidup melarat gini, mending kita udahan aja, deh, aku minta cerai!" kecam Arumi, lagi.Binar mata Mirza melotot tajam saat sang istri berkata dengan entengnya. "Cerai apa? Kamu lagi hami