Share

Bab 6. Degup yang Masih Tersisa

Mirza tiba di rumah sekitar pukul sepuluh malam. Arumi yang tadinya duduk santai di depan televisi, terkejut melihat tampilan lusuh suaminya itu. Pakaiannya kucel dengan bekas noda lumpur. Masih lembab setelah bermandikan hujan tadinya.

“Kamu apa-apaan, sih, Mas? Kamu nyari kerja yang bener, ya! Aku nggak mau kamu jadi tukang gali gorong-gorong atau mungutin sampah jalanan!” Arumi memekik sambil menarik-narik krah sang suami. 

Mirza tak menyahuti. Sia-sia rasanya berdebat dengan Arumi. Masih terasa nyeri luka akibat sabetan belati tadi. Akan tetapi, pedulikah istrinya ini? Dirinya menepis tangan Arumi, masuk ke kamar karena harus membersihkan dirinya sebelum sholat isya.

Arumi pun tak puas dengan sikap Mirza. Lekas ditariknya tangan sang suami ketika berhasil mencekalnya masuk ke dalam toilet kamar.

“Mas! Udah mulai berani kamu nyuekin aku, ya! Jangan bikin aku malu sama temen-temen arisan dan tetangga kalau kamu kerja nguli dan keliatan gembel gini!” tukas Arumi, geram.

Mirza sedikit membungkuk saat Arumi memukul keras dadanya. Entah sudah berapa besar kesabarannya menghadapi tingkah Arumi. Takut jika emosi tak terkontrol, kata talak terujar nyaring dari bibirnya.

“Aku belum dapat kerjaan, Rum!” bentak Mirza. “Ini tadi cuma kena ciprat mobil aja. Besok aku cari kerja lagi, atau mangkal di depan perumahan aja, ngojek.”

Arumi melihat wajah merah padam Mirza menahan emosinya. Pria itu tak mengatakan apa pun terkait kejadian heroik yang dia lakukan pada pria bernama Hermawan tersebut.

"Nggak perlu banyak alasan. Jadi hari ini kamu pulang nggak bawa apa-apa? Minimal duit lima ribu perak juga enggak, Mas?" keluh Arumi, tak percaya.

“Kamu itu bisa bersabar sedikit, nggak?!”

Suara Mirza mulai meninggi saat emosinya membuncah keluar.

Lekas Arumi memasang wajah manis untuk meluluhkan. Dibantunya Mirza membuka kancing kemejanya, melepas pakaian kotor itu hingga Arumi bisa menyapu dada bidang suaminya itu. Masih berlapis kaos dalam putih miliknya. Mirza memang sangat gagah, badannya atletis karena pekerjaannya sebagai buruh kerja kasar.

Tetaplah Arumi memperioritaskan uang. Tampan tapi kere, buat apa? Selama ini pun, Mirza sangat pendiam dan sabar pada Arumi. Suatu saat semua pertahanan itu akan runtuh berganti gejolak emosi.

“Maafin aku, Mas. Aku cuma takut anak kita nanti gagal berkembang di perutku. Kalau cuma susu sama makanan, masih bisa diusahakan. Gimana kalau vitamin, obat, sama kontrol ke dokter? Juga USG? Semua butuh biaya, kan?” rayu Arumi sambil menarik tangan Mirza untuk diletakkan di perutnya. “Papanya harus kuat, ya! Jangan patah semangat!”

Binar Mirza berubah teduh. Sedikit dia menunduk ketika Arumi menarik tengkuknya. Memudahkan Arumi menjangkau bibir plum Mirza yang lembut tanpa garis kehitaman sebab Mirza tak pernah menyentuh rokok. Sebenarnya Arumi selalu candu untuk menyentuh suami tampannya ini. Kecupan tertaut dengan gejolak mesra. Amarah Mirza mereda. Direngkuhnya pinggang langsing Arumi untuk lebih merapat padanya.

“Mas,” bisik Arumi dengan nada menggemaskan.

Napas berat Mirza terhela bersamaan dadanya yang naik turun setelah kecupan berlalu satu menit lamanya.

“Maafin aku, ya! Tadi sempat emosi. Jangan diambil hati dan dipikirkan, Rum! Sehat-sehat dan jaga bayi kita. Aku akan lebih berusaha lagi,” lirih Mirza seraya mengecup tipis puncak dahi Arumi.

Wanita itu berhasil menaklukkan emosi sang suami lagi. Bersabar ditunggunya Mirza mandi dan berberes dan selesai dengan fardhu Isya-nya. Arumi pun lekas turun untuk menyiapkan teh dan makan malam.

“Mas!”

Arumi gegas menarik tangan Mirza untuk membawanya duduk di kursi meja makan. “Makan dulu, ya!”

Biarlah perut Mirza terisi dulu sebelum Arumi berulah lagi. Sudah terkendali semua, barulah dia berkuasa lagi dengan arogansinya.

“Kalau gitu, besok Mas ikut aja sama Sukma dan suaminya ke Jakarta! Kerja di sana sama mereka. Jangan buang-buang waktu lagi! Nggak baik nolak rejeki,” pinta Arumi sambil mengutip piring kotor untuk diletakkan ke baki cuci.

“Kerja apa, Rum?” Mirza bertanya, penasaran. 

Istrinya ini bersikukuh memintanya untuk ikut kerja seperti yang ditawarkan tetangganya bernama Sukma tersebut.

“Gampang, kok. Kalau menurutku, mungkin di bidang model-model gitu. Soalnya part time aja gajinya gede.”

Memikirkan uang yang masih dalam angan saja, Arumi meneguk ludah. Hanya part time sebanyak itu, bagaimana jika Mirza banyak mengabiskan waktu bekerja tetap bersama Sukma dan suaminya?

“Model?” Mirza mengerutkan dahi. “Aku mana bisa begituan, Rum. Liat mas-mu ini, kucel. Jadi model itu nggak gampang.”

“Tinggal cekrak-cekrek doang, kok! Udahlah! Pokoknya ikutin aja saranku dulu atau aku nggak mau tanggung jawab kalau terjadi apa-apa sama anakmu ini!” ancam Arumi sambil menunjuk perutnya.

Lagi-lagi, kehamilan dijadikan ancaman. Tak ada pilihan bagi Mirza selain bungkam. Belum menyetujui atau menolak.

“Jangan ego kamu aja yang kamu pikirkan, Mas! Pikirin aku sama anakmu ini! Semua kerjaan harus dibabat kalau demi keluarga, kan?”

Mirza tak menyahut lagi, berlalu untuk duduk di depan televisi meski pikirannya tak terpusat penuh pada olahraga bola kaki tersebut.

'Besok aku coba cari kerja lagi. Mungkin kalau agak ke kota, lowongan masih banyak.'

*

"Papa baru pulang?"

Bella keluar dari kamar saat mendengar suara mesin mobil memasuki pelataran. Pria berusia sekitar 40 tahun itu, melepas jas kantornya sambil duduk lelah di sofa ruang tengah.

"Tadi kita hampir dirampok, Non!" seru sang supir yang menyusul setelahnya.

Dia adalah Hermawan, pria yang ditolong oleh Mirza beberapa jam yang lalu. Istrinya, Mayang mendekati dengan cemas sambil meletakkan teh di atas meja. Duduk tepat di samping sang suami.

"Tapi kamu baik-baik saja, kan, Pa?" tanya Mayang, khawatir.

"Ya, Alhamdulillah. Tadi ada orang baik yang menolong kami. Saya bersyukur sekali, semoga ada kesempatan untuk membalas budinya."

Bella tak menyahuti lagi saat melihat ibunya begitu perhatian pada sang ayah, Hermawan. Bukan sebab wanita itu terlihat pucat karena belakangan ini kurang sehat, melainkan memang Hermawan berusia jauh lebih muda darinya.

Hermawan adalah pria yang menikahi ibunya Bella setelah kematian ayah kandungnya. Meski awalnya canggung sebab hanya terpaut usia sepuluh tahun, Bella akhirnya bisa menerima keberadaan pria itu di keluarga kecilnya.

"Bel, siang tadi sudah bawa mamamu check up? Terakhir kali dokter mengatakan apa?" tanya Hermawan.

"Dokter bilang akan lebih baik kalau mama melakukan pemasangan ring jantung, Pa. Takutnya nanti bisa kambuh lagi," jawab Bella, khawatir.

Mayang tersenyum menyadari perhatian keduanya. Ditegakkannya duduk sambil memperbaiki lilitan syal di lehernya.

"Mama sudah sakit-sakitan begini, jadi kapan kamu bisa ngasih cucu ke mama, Bel?" Lagi, Mayang menyinggung jodoh putrinya.

Bella menipiskan senyum, lalu beralih tatap pada sang ayah tiri. Pria itu kembali menanyakan keseriusan hubungan sang putri dengan kekasihnya yang sudah berjalan cukup lama.

"Hubungan kamu sama Bastian gimana?” tanya Hermawan. “Coba ditanyakan dulu, apa memang dia ada niat melamar atau tidak. Kalau memang nggak niat, nanti papa carikan saja jodohmu."

"Ih, kenapa carikan jodoh segala?" Bella bersungut-sungut dengan nada kesal. "Jaman, ya, main jodoh-jodohan?"

Hermawan tersenyum, menyesap teh sebentar untuk menghangatkan perutnya. Diletakkannya lagi cangkir itu pada tatakan. 

"Ya nggak ada salahnya. Ah, lelaki tadi, seandainya dia belum menikah, papa ingin sekali punya menantu seperti dia. Besok papa akan mulai cari tau saja siapa dia sebenarnya," ujar Hermawan.

"Laki-laki yang nolong Papa tadi?"

"Iya, Ma. Mirza, namanya. Tampan, santun, baik sekali. Pemberani juga."

Pembicaraan kedua orangtua tadi hanya didengar oleh Bella. Nama itu begitu familiar, menyeret degup jantungnya yang telah lama tak berdetak sekencang itu saat nama manis itu singgah di telinganya.

'Mirza. Dia ... apa kabar, ya? Aku nggak datang di pernikahannya dua tahun lalu. Benar, aku masih menyukainya.'

Tak Bella ketahui bahwa Mirza yang dimaksud oleh sang papa adalah Mirza yang sama, pria dari masa lalunya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status