Home / Rumah Tangga / SUAMI YANG TERGADAI DEMI RUPIAH / Bab 6. Degup yang Masih Tersisa

Share

Bab 6. Degup yang Masih Tersisa

Author: Fithri Aulia
last update Last Updated: 2023-04-12 15:15:40

Mirza tiba di rumah sekitar pukul sepuluh malam. Arumi yang tadinya duduk santai di depan televisi, terkejut melihat tampilan lusuh suaminya itu. Pakaiannya kucel dengan bekas noda lumpur. Masih lembab setelah bermandikan hujan tadinya.

“Kamu apa-apaan, sih, Mas? Kamu nyari kerja yang bener, ya! Aku nggak mau kamu jadi tukang gali gorong-gorong atau mungutin sampah jalanan!” Arumi memekik sambil menarik-narik krah sang suami. 

Mirza tak menyahuti. Sia-sia rasanya berdebat dengan Arumi. Masih terasa nyeri luka akibat sabetan belati tadi. Akan tetapi, pedulikah istrinya ini? Dirinya menepis tangan Arumi, masuk ke kamar karena harus membersihkan dirinya sebelum sholat isya.

Arumi pun tak puas dengan sikap Mirza. Lekas ditariknya tangan sang suami ketika berhasil mencekalnya masuk ke dalam toilet kamar.

“Mas! Udah mulai berani kamu nyuekin aku, ya! Jangan bikin aku malu sama temen-temen arisan dan tetangga kalau kamu kerja nguli dan keliatan gembel gini!” tukas Arumi, geram.

Mirza sedikit membungkuk saat Arumi memukul keras dadanya. Entah sudah berapa besar kesabarannya menghadapi tingkah Arumi. Takut jika emosi tak terkontrol, kata talak terujar nyaring dari bibirnya.

“Aku belum dapat kerjaan, Rum!” bentak Mirza. “Ini tadi cuma kena ciprat mobil aja. Besok aku cari kerja lagi, atau mangkal di depan perumahan aja, ngojek.”

Arumi melihat wajah merah padam Mirza menahan emosinya. Pria itu tak mengatakan apa pun terkait kejadian heroik yang dia lakukan pada pria bernama Hermawan tersebut.

"Nggak perlu banyak alasan. Jadi hari ini kamu pulang nggak bawa apa-apa? Minimal duit lima ribu perak juga enggak, Mas?" keluh Arumi, tak percaya.

“Kamu itu bisa bersabar sedikit, nggak?!”

Suara Mirza mulai meninggi saat emosinya membuncah keluar.

Lekas Arumi memasang wajah manis untuk meluluhkan. Dibantunya Mirza membuka kancing kemejanya, melepas pakaian kotor itu hingga Arumi bisa menyapu dada bidang suaminya itu. Masih berlapis kaos dalam putih miliknya. Mirza memang sangat gagah, badannya atletis karena pekerjaannya sebagai buruh kerja kasar.

Tetaplah Arumi memperioritaskan uang. Tampan tapi kere, buat apa? Selama ini pun, Mirza sangat pendiam dan sabar pada Arumi. Suatu saat semua pertahanan itu akan runtuh berganti gejolak emosi.

“Maafin aku, Mas. Aku cuma takut anak kita nanti gagal berkembang di perutku. Kalau cuma susu sama makanan, masih bisa diusahakan. Gimana kalau vitamin, obat, sama kontrol ke dokter? Juga USG? Semua butuh biaya, kan?” rayu Arumi sambil menarik tangan Mirza untuk diletakkan di perutnya. “Papanya harus kuat, ya! Jangan patah semangat!”

Binar Mirza berubah teduh. Sedikit dia menunduk ketika Arumi menarik tengkuknya. Memudahkan Arumi menjangkau bibir plum Mirza yang lembut tanpa garis kehitaman sebab Mirza tak pernah menyentuh rokok. Sebenarnya Arumi selalu candu untuk menyentuh suami tampannya ini. Kecupan tertaut dengan gejolak mesra. Amarah Mirza mereda. Direngkuhnya pinggang langsing Arumi untuk lebih merapat padanya.

“Mas,” bisik Arumi dengan nada menggemaskan.

Napas berat Mirza terhela bersamaan dadanya yang naik turun setelah kecupan berlalu satu menit lamanya.

“Maafin aku, ya! Tadi sempat emosi. Jangan diambil hati dan dipikirkan, Rum! Sehat-sehat dan jaga bayi kita. Aku akan lebih berusaha lagi,” lirih Mirza seraya mengecup tipis puncak dahi Arumi.

Wanita itu berhasil menaklukkan emosi sang suami lagi. Bersabar ditunggunya Mirza mandi dan berberes dan selesai dengan fardhu Isya-nya. Arumi pun lekas turun untuk menyiapkan teh dan makan malam.

“Mas!”

Arumi gegas menarik tangan Mirza untuk membawanya duduk di kursi meja makan. “Makan dulu, ya!”

Biarlah perut Mirza terisi dulu sebelum Arumi berulah lagi. Sudah terkendali semua, barulah dia berkuasa lagi dengan arogansinya.

“Kalau gitu, besok Mas ikut aja sama Sukma dan suaminya ke Jakarta! Kerja di sana sama mereka. Jangan buang-buang waktu lagi! Nggak baik nolak rejeki,” pinta Arumi sambil mengutip piring kotor untuk diletakkan ke baki cuci.

“Kerja apa, Rum?” Mirza bertanya, penasaran. 

Istrinya ini bersikukuh memintanya untuk ikut kerja seperti yang ditawarkan tetangganya bernama Sukma tersebut.

“Gampang, kok. Kalau menurutku, mungkin di bidang model-model gitu. Soalnya part time aja gajinya gede.”

Memikirkan uang yang masih dalam angan saja, Arumi meneguk ludah. Hanya part time sebanyak itu, bagaimana jika Mirza banyak mengabiskan waktu bekerja tetap bersama Sukma dan suaminya?

“Model?” Mirza mengerutkan dahi. “Aku mana bisa begituan, Rum. Liat mas-mu ini, kucel. Jadi model itu nggak gampang.”

“Tinggal cekrak-cekrek doang, kok! Udahlah! Pokoknya ikutin aja saranku dulu atau aku nggak mau tanggung jawab kalau terjadi apa-apa sama anakmu ini!” ancam Arumi sambil menunjuk perutnya.

Lagi-lagi, kehamilan dijadikan ancaman. Tak ada pilihan bagi Mirza selain bungkam. Belum menyetujui atau menolak.

“Jangan ego kamu aja yang kamu pikirkan, Mas! Pikirin aku sama anakmu ini! Semua kerjaan harus dibabat kalau demi keluarga, kan?”

Mirza tak menyahut lagi, berlalu untuk duduk di depan televisi meski pikirannya tak terpusat penuh pada olahraga bola kaki tersebut.

'Besok aku coba cari kerja lagi. Mungkin kalau agak ke kota, lowongan masih banyak.'

*

"Papa baru pulang?"

Bella keluar dari kamar saat mendengar suara mesin mobil memasuki pelataran. Pria berusia sekitar 40 tahun itu, melepas jas kantornya sambil duduk lelah di sofa ruang tengah.

"Tadi kita hampir dirampok, Non!" seru sang supir yang menyusul setelahnya.

Dia adalah Hermawan, pria yang ditolong oleh Mirza beberapa jam yang lalu. Istrinya, Mayang mendekati dengan cemas sambil meletakkan teh di atas meja. Duduk tepat di samping sang suami.

"Tapi kamu baik-baik saja, kan, Pa?" tanya Mayang, khawatir.

"Ya, Alhamdulillah. Tadi ada orang baik yang menolong kami. Saya bersyukur sekali, semoga ada kesempatan untuk membalas budinya."

Bella tak menyahuti lagi saat melihat ibunya begitu perhatian pada sang ayah, Hermawan. Bukan sebab wanita itu terlihat pucat karena belakangan ini kurang sehat, melainkan memang Hermawan berusia jauh lebih muda darinya.

Hermawan adalah pria yang menikahi ibunya Bella setelah kematian ayah kandungnya. Meski awalnya canggung sebab hanya terpaut usia sepuluh tahun, Bella akhirnya bisa menerima keberadaan pria itu di keluarga kecilnya.

"Bel, siang tadi sudah bawa mamamu check up? Terakhir kali dokter mengatakan apa?" tanya Hermawan.

"Dokter bilang akan lebih baik kalau mama melakukan pemasangan ring jantung, Pa. Takutnya nanti bisa kambuh lagi," jawab Bella, khawatir.

Mayang tersenyum menyadari perhatian keduanya. Ditegakkannya duduk sambil memperbaiki lilitan syal di lehernya.

"Mama sudah sakit-sakitan begini, jadi kapan kamu bisa ngasih cucu ke mama, Bel?" Lagi, Mayang menyinggung jodoh putrinya.

Bella menipiskan senyum, lalu beralih tatap pada sang ayah tiri. Pria itu kembali menanyakan keseriusan hubungan sang putri dengan kekasihnya yang sudah berjalan cukup lama.

"Hubungan kamu sama Bastian gimana?” tanya Hermawan. “Coba ditanyakan dulu, apa memang dia ada niat melamar atau tidak. Kalau memang nggak niat, nanti papa carikan saja jodohmu."

"Ih, kenapa carikan jodoh segala?" Bella bersungut-sungut dengan nada kesal. "Jaman, ya, main jodoh-jodohan?"

Hermawan tersenyum, menyesap teh sebentar untuk menghangatkan perutnya. Diletakkannya lagi cangkir itu pada tatakan. 

"Ya nggak ada salahnya. Ah, lelaki tadi, seandainya dia belum menikah, papa ingin sekali punya menantu seperti dia. Besok papa akan mulai cari tau saja siapa dia sebenarnya," ujar Hermawan.

"Laki-laki yang nolong Papa tadi?"

"Iya, Ma. Mirza, namanya. Tampan, santun, baik sekali. Pemberani juga."

Pembicaraan kedua orangtua tadi hanya didengar oleh Bella. Nama itu begitu familiar, menyeret degup jantungnya yang telah lama tak berdetak sekencang itu saat nama manis itu singgah di telinganya.

'Mirza. Dia ... apa kabar, ya? Aku nggak datang di pernikahannya dua tahun lalu. Benar, aku masih menyukainya.'

Tak Bella ketahui bahwa Mirza yang dimaksud oleh sang papa adalah Mirza yang sama, pria dari masa lalunya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • SUAMI YANG TERGADAI DEMI RUPIAH   Bab 42. Keangkuhan Arumi

    Bella melangkah memasuki rumah megah keluarga Hermawan dengan hati berdebar. Setelah percakapan lalu, dia bertekad harus menemukan kebenaran. Kejadian ibunya jatuh dari tangga terasa janggal. Hati kecilnya menolak percaya itu hanyalah kecelakaan.Di ruang tamu, Bella menatap para pelayan yang berbaris di depannya. Dengan suara tegas, dia mulai mengintrogasi satu per satu."Apa kalian melihat sesuatu hari itu? Siapa yang terakhir kali bersama Mama saya?"Semua pelayan hanya menunduk."Kami tidak tahu, Nona Bella," ujar seorang pelayan tua dengan nada ragu."Benar, kami tidak tahu apa-apa," timpal pelayan lainnya.Bella menggertakkan giginya. Jawaban mereka sama, dingin dan kosong. Tak ada seorang pun yang berani memberi petunjuk. Kekecewaan meliputinya, tapi dia belum menyerah.Tiba-tiba Bella teringat sesuatu. CCTV! Di ruang tengah rumah ini ada kamera yang pasti merekam semuanya. Dia langsung melangkah cepat menuju ruang keamanan.Di sana, kepala keamanan, Pak Sarman, sedang duduk di

  • SUAMI YANG TERGADAI DEMI RUPIAH   Bab 41. Semakin Terkuak

    Sejak malam Mirza menemui Arumi, hubungan mereka berubah dingin. Bella tetap menjalankan rutinitasnya sebagai istri: menyiapkan pakaian kerja dan sarapan untuk Mirza. Namun, tidak ada sapaan atau senyuman. Bahkan, pandangan pun dihindari.Mirza tahu dirinya salah. Setiap kali melihat Bella yang tak memedulikannya, hatinya terasa remuk. “Aku bodoh,” gumamnya pelan di kantor, mencoba menenggelamkan diri dalam pekerjaan. Namun, bayangan sang istri terus menghantui.Usai matahari terbenam, Mirza pulang membawa martabak Mesir, makanan favorit istrinya yang sedang hamil itu. Mirza memangkas jarak untuk berdiri tepat di ambang pintu. Dari sela yang setengah terbuka, nampak di sana Bella sedang terbaring memunggunginya. Mirza menghela napas, lalu berkata dengan lembut, “Aku pulang.”Tak ada jawaban, berpikir mungkin Bella sedang tidur.Setelah membersihkan diri beberapa menit, Mirza pun masuk kamar. Istrinya itu sudah bangun, merapikan kasur yang sedikit berantakan dengan tenang. Sprei dan

  • SUAMI YANG TERGADAI DEMI RUPIAH   Bab 40. Luka Hati

    Di tengah malam yang sunyi, Mirza terbangun oleh suara notifikasi ponselnya. Dengan mata yang masih berat, dia melihat layar ponselnya. Satu pesan masuk dari Arumi, mantan istrinya.[Aku menunggumu di bawah pohon beringin, di samping paviliun.]Mirza duduk diam sejenak, menatap pesan itu. Ia melirik Bella yang tertidur pulas di sampingnya, wajahnya tenang dan perutnya besar mengandung buah hatinya. Tanpa banyak pikir, Mirza berdiri perlahan, berusaha untuk tidak membangunkan Bella. Dia tidak menyadari bahwa Bella sempat membuka matanya sedikit, mengawasi gerak-geriknya dengan cemas.Di depan pintu rumah, Mirza terhenti. Ada keraguan yang memenuhi pikirannya. Apakah ia benar-benar perlu menemui Arumi? Bagaimanapun, hubungan mereka sudah berakhir. Saat ini ia seharusnya menjaga perasaan Bella yang sedang hamil besar. Namun, ada perasaan rindu yang membawanya untuk tetap melangkah ke luar rumah.Ketika tiba di dekat beringin, Mirza melihat Arumi berdiri di sana, menunggunya di bawah baya

  • SUAMI YANG TERGADAI DEMI RUPIAH   Bab 39. Janji Cinta

    Bella menghentikan mobilnya mendadak di tengah jalan. "Aduh, ponselku!" serunya, menyadari benda penting itu tertinggal di kamar. Tanpa pikir panjang, dia memutar balik dan melaju menuju rumah. Saat membuka pintu kamar, dia mendapati Mirza, suaminya, sedang berdiri tanpa jarak dengan Arumi, mantan istrinya. Bella tercekat ketika melihat tangan Arumi menyentuh dada Mirza tanpa penolakan dari sang suami.“Mas…?” Suara Bella terdengar parau. Mirza terkejut, dengan cepat menjauh dari Arumi. Ada rasa bersalah dalam hati ketika melihat binar kekecewaan di mata sang istri.Sementara itu, Arumi tertawa sinis, menoleh pada Bella dengan ekspresi congkak. “Oh, Bella, kamu kembali rupanya. Aku dan Mirza hanya membicarakan masa lalu. Aku harap kamu tak keberatan.”Bella lekas mendekati Arumi sembari mengedarkan tatapan tajam, menahan emosi yang bergejolak. “Nggak ada yang perlu dibicarakan. Keluar kamu, Rum. Pergi dari sini!"Arumi mendengkus, tertawa meremehkan. “Santai saja, Bella. Jangan te

  • SUAMI YANG TERGADAI DEMI RUPIAH   Bab 38. Sentuhan yang Menggoyahkan

    Mentari pagi menembus tirai jendela kamar, mengisi ruangan dengan sinar lembut. Bella bangkit dan merapikan diri. Setelah bersiap, Bella melangkah ke sofa di mana suaminya masih tertidur pulas di sana. "Mas." Bella tersenyum melihat wajah Mirza. Disentuhnya rambut legam sang suami dengan lembut, lalu membisikkan namanya. “Mas, bangun. Sudah pagi.” Mirza bergerak sedikit, menggeliat malas. Perlahan, matanya terbuka, menatap Bella dengan pandangan bingung. "Kamu udah rapi sekali sepagi ini. Mau ke mana?” "Aku ada janji hari ini, mau kontrol kandungan, udah masuk bulan ketujuh, kan?" Mirza mengangguk pelan, mengusap wajahnya agar lebih sadar. “Mau kuantar?” “Nggak perlu, Mas. Aku diantar dengan Mas Ujang aja. Oh ya, aku udah siapin sarapan dan pakaian kerja kamu. Semua beres, tinggal kamu yang bangun.” Bella tersenyum genit, maju selangkah lebih dekat hingga berdiri tepat di depan Mirza. Pria itu menatap Bella sedikit bingung, tapi belum sepenuhnya sadar. “Ada a

  • SUAMI YANG TERGADAI DEMI RUPIAH   Bab 37. Ambisi dan Cinta

    Di sore yang tenang, Arumi membawa secangkir teh ke ruang kerja Hermawan. Mengetuk pintu perlahan, kemudian masuk dengan senyum menggoda.“Mas Hermawan, teh hangatnya sudah datang,” katanya lembut, melirik pria paruh baya itu yang tengah sibuk dengan berkas-berkasnya.Hermawan menoleh dan tersenyum tipis. “Terima kasih, Arumi.”Arumi meletakkan cangkir teh di meja, tetapi tidak segera beranjak. Dengan perlahan, ia menyentuh lengan Hermawan, mencoba mencari perhatian lebih. “Mas, tidak lelah bekerja terus? Mungkin ada yang bisa aku bantu?”Hermawan terdiam sejenak, lalu melepaskan pandangannya dari berkas-berkas, menatap Arumi yang berdiri di sampingnya dengan tatapan lembut namun penuh tanda tanya. “Arumi, kamu tahu bukan kalau hubungan kita ini rumit?” bisiknya, mengambil tangan Arumi dan menggenggamnya erat.Arumi mendesah, menunduk. “Aku tahu, Mas. Tapi… bagaimana dengan kita? Istri Bapak sudah meninggal tiga bulan lalu. Sampai kapan aku harus menunggu seperti ini?”Hermawan men

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status