Mirza tersenyum miris melihat hidangan sarapan yang ada di atas meja. Hanya secangkir teh dan ubi rebus saja. Padahal dia harus pergi sepagi ini seharian untuk mencari lowongan pekerjaan lagi di kota.
"Makan yang ada aja!" sahut Arumi saat menyadari Mirza tak menarik kursi untuk duduk.
Wanita itu meletakkan sepiring nasi lagi dengan telur mata sapi dan juga botol kecap sebagai tambahan.
"Selama masih belum dapat kerja, aku berhemat dulu. Kalau mau makan enak, buruan kasih aku uang lagi," kecam wanita berambut sebahu itu.
Uang dan uang. Tiap hari Arumi selalu membuat kepalanya pusing dengan tuntutan materi itu. Padahal baru kemarin dia memberikan pesangon, belum lagi Arumi yang baru saja mendapatkan segepok uang hasil dari arisan yang diikutinya. Itu pun dari uang gaji Mirza yang diambilnya tiap bulan.
"Nggak mau duduk?" tanya Arumi lagi dengan senyum sinis.
Mirza mengalah saja. Dia pun menyantap menu seadanya untuk mengisi perut. Istrinya itu hanya tersenyum sambil menikmati segelas susu ibu hamil untuk nutrisi janinnya.
"Gimana soal tawaran kerja dari temanku, Mas? Kamu mau, kan?" tanya Arumi, lagi.
"Nanti dulu, Rum. Aku mau coba cari kerja yang lain dulu. Masih sanggup, kok, keliling-keliling untuk nemu kerjaan yang lebih pantas dan cocok untukku."
Begitu dingin tanggapan Mirza, membuat bibir Arumi mengerucut geram pada sikap sang suami.
"Kamu ini! Udah kere, pengangguran, sok-sokan milih kerjaan. Udah untung ada yang nawarin kerjaan mudah dengan gaji gede.” Arumi mendecak dengan nada geram. Sudah tak sabar dirinya ingin meraup uang lagi dari kerja sang suami.
"Tapi aku nggak biasa dengan lingkungan begitu, Rum." Mirza mencoba menjelaskan.
"Terserah kamu, lah! Pokoknya dalam minggu ini, aku harus dengar kalau kamu punya kerjaan baru yang gaji bulanannya sama atau lebih banyak dari kemarin."
Kecaman kembali digaungkan Arumi. Mirza tak ingin berdebat. Dirinya pergi untuk menyiapkan motornya lebih dulu. Cuaca hari ini cukup bagus, memudahkannya untuk mencari di tiap sendi perkotaan.
Arumi mengambil sebotol air mineral dingin dari kulkas, memberinya pada Mirza yang sedang duduk di kursi teras sambil mengikat tali sepatunya.
"Nih!"
"Suami pergi cari kerjaan tuh, harusnya dikasih senyuman, didoain biar dapat rejeki," ujar Mirza sambil meraih minuman dingin itu. Sedikit dirinya merayu wajah cemberut istri cantiknya.
"Doaku itu nggak manjur, Mas. Dulu aku berdoa biar dapat suami tajir supaya hidup nggak susah, taunya malah dapat suami kere kayak kamu! Malas jadinya aku mau doa-doa lagi."
Mirza hanya tersenyum mendengar ujar ketus sang istri. Dua tahun dirinya bersabar sebab sangat mencintai Arumi dan Seno juga sahabat baiknya. Wanita itu melenggang masuk dengan cuek, tak peduli dengan Mirza yang tadinya mengulurkan tangan untuk diciumnya sebelum pergi.
"Assalamualaikum!" seru Mirza dengan nada sedikit tinggi agar didengar dari dalam sana.
Sambil menghela napas dalam, gumam bismillah terlantun lembut dari bibirnya. Sepeda motor hitam itu melaju cepat menjejaki jalanan demi mencari pundi-pundi rupiah dengan keringatnya sendiri.
Tak lama Mirza pergi, Arumi pun berdandan secantik mungkin. Sudah dibawanya uang untuk pergi ke Jakarta. Uang pesangon, transferan Seno, dan juga uang arisan menjadi alasan senyumnya secerah ini.
"Aku naik bis aja ke Jakarta, beli emas. Nanti juga sekalian belanja baju sama nyalon. Apa aku ganti hape yang lebih bagus aja, ya?"
Arumi pun pergi menaiki bis untuk segera tiba di salah satu mall di Jakarta. Tak peduli dengan peluh yang membanjiri, juga perutnya yang kini sedang hamil muda, hasratnya untuk menghabiskan uang tak lagi terbendung.
Gerah di sekujur tubuh tersapu dengan dinginnya AC yang menguar ketika dia masuk ke dalam mall. Matanya dimanjakan oleh barang-barang bermerk untuk bisa dia pamerkan pada temannya nanti.
"Tas, baju, perhiasan. Oke! Semangat, Rum!"
Berkeliling sendiri dengan antusias, membeli perhiasan untuk ajang pamer dan juga aset berharga yang dia simpan sendiri.
Pandangannya terpatri pada layar televisi di dalam toko. Seorang wanita cantik terlihat di sana dengan kulit cantik mulusnya, mengiklankan produk kosmetik ternama buatan luar negeri.
"Bella? Ah, ternyata kamu sesukses ini, ya! Kudengar setelah ibumu menikah lagi dan mendapatkan seorang konglomerat, hidupmu jadi semewah ini."
Arumi tersenyum kecut, mengalihkan wajahnya dari tampilan elegan teman lamanya itu. Sedikit dia menyikut pelanggan lain di sebelahnya.
"Tau nggak, Mbak, yang di tivi itu, Bella Graciela, dia temen sekolahku waktu SMU."
Seorang wanita yang sedang membeli perhiasan itu hanya tersenyum miring ketika Arumi mengajaknya bergosip. Tak mengenal, tapi seolah akrab tanpa jarak. Sesekali Arumi masih memilih cincin yang pas di jarinya.
"Dulu dia sekampung denganku. Tapi setelah bapaknya meninggal, dia pindah ke Jakarta karena ibunya nikah lagi. Ih, perempuan apaan, ya, lakik baru mati setengah tahun udah langsung kawin aja? Kurasa genitnya si Bella itu nurun dari ibunya, deh. Dia, kan, ngincer suamiku dari jaman sekolah dulu. Kasihan, ya, suamiku lebih milih aku. Aku lebih cantik, sih."
Arumi tertawa jumawa meski orang di sebelahnya hanya tersenyum. Entah jika mereka percaya, atau hanya senyum meledek.
Masih terlalu siang, Arumi pun menghabiskan waktu untuk memanjakan diri dengan perawatan kulit di salon dalam mall.
"Buat saya sekinclong cewek itu ya, Mbak!" perintah Arumi sambil menunjuk ke layar televisi yang lagi-lagi memutar iklan kosmetik ternama itu.
Pegawai salon itu hanya tersenyum, siap melayani kliennya yang satu ini.
Bella, teman yang sudah lama tak dia temui setelah lulus SMU. Belakangan Arumi mulai mendengar kabarnya saat Bella santer muncul di televisi sebagai model. Juga bisnis yang mulai dibangunnya sendiri atas sokongan sang ayah tiri.
Sementara itu di kediaman Hermawan, Bella sudah berdandan rapi dan anggun dengan polesan make up natural dan bibir plum cherry berwarna merah. Dress ungu lapis tile juga padu dengan tas branded mahal yang berada di tangannya.
“Mas Seno setirin saya, ya!”
Dihampirinya Seno yang sedang duduk di pos satpam, menikmati secangkir teh di suasana sore.
“Loh? Kenapa saya, Non? Si Danu mana?”
Bella berbisik rendah, lalu berkata, “Males, ah! Lebih seru kalau disetirin sama Mas Seno. Mas Danu kaku banget, nggak asik diajakin ngobrol.”
Terkekeh kecil, Seno pun menuruti perintah nona mudanya itu. Sedan hitam itu melaju santai membelah jalan raya. Sesekali Seno menoleh pada spion untuk mencuri pandang Bella yang tak henti memperbaiki dandanannya.
“Ini kita ke mana, Non?” tanya Seno sambil terus menginjak gas.
"Ke mall dulu, Mas. Aku mau beli sesuatu buat Bastian."
Bella tersenyum sambil sedikit poles-poles tampilan dengan cermin pada bedak compact di tangannya. “Nanti setelah itu, kita ke apartemen Diamond, Mas.”
“Apartemennya Mas Bastian?”
“Iya. Sebenarnya ada janji sama dia malam ini di café Autumn. Tapi aku kasih kejutan datang cepat aja, ya! Langsung ke apartemennya. Udah kangen banget seminggu ditinggal dinas sama dia.”
Nonanya yang kasmaran. Seno tahu bahwa Bella telah menjalin hubungan lama dengan Bastian, temannya semasa SMU dan masih betah berpacaran sampai usia menginjak kepala tiga.
Seno pun tak menyinggung perihal Arumi, adiknya yang dulu adalah teman lama Bella.
Setidaknya dia mendengar hubungan ketiganya buruk sejak cinta tak terbalaskan nonanya ini pada Mirza, iparnya yang berusia lima tahun lebih muda darinya. Dulu juga tak bertemu langsung karena Seno lebih sering merantau ke kota untuk mencari pekerjaan.
“Pacarannya awet, ya, Non. Tapi jangan pacaran mulu, dikawinin kapan?” goda Seno sambil memutar stir ke kiri menuju mall. “Kasihan bapak sama ibu, pengen nimang cucu.”
Bella tersenyum kecil. Jelas rona merah muncul di wajahnya. Wanita ini sangat cerdas dan berpendidikan. Akan tetapi, soal cinta, dia begitu tulus dan polos. Beberapa kali Seno mendengar keluhan Pak Hermawan perihal Bastian. Sepertinya kekasih putrinya itu bukan lelaki baik.
“Kalau dia pria baik-baik, ya langsung nikahin aja, Non. Butuh apa lagi? Sama-sama tajir, karir juga lagi bagus-bagusnya.”
“Mas Seno udah sama bawelnya kayak papa-mama, ya!” sahut Bella. “Nanti aku tanya ke Bastian, deh.”
Mobil pun melaju cepat menuju mall pilihan Bella ketika ingin membeli sesuatu. Seno menepi sebentar di pintu masuk, urung masuk ke basemen parkiran.
"Non, maaf. Lama, nggak, belanjanya?" tanya Seno.
"Kenapa, Mas?"
"Ndak tau ini, mesinnya kayaknya agak kurang enak. Saya mau mampir dulu di bengkel terdekat. Takutnya ada apa-apa."
"Oh, ya udah, Mas. Nanti kalau sekiranya lama, saya bisa pulang naik taksi aja," putus Bella sambil melangkah keluar dari mobil.
"Saya usahakan cepat, Non."
Bella melangkah memasuki rumah megah keluarga Hermawan dengan hati berdebar. Setelah percakapan lalu, dia bertekad harus menemukan kebenaran. Kejadian ibunya jatuh dari tangga terasa janggal. Hati kecilnya menolak percaya itu hanyalah kecelakaan.Di ruang tamu, Bella menatap para pelayan yang berbaris di depannya. Dengan suara tegas, dia mulai mengintrogasi satu per satu."Apa kalian melihat sesuatu hari itu? Siapa yang terakhir kali bersama Mama saya?"Semua pelayan hanya menunduk."Kami tidak tahu, Nona Bella," ujar seorang pelayan tua dengan nada ragu."Benar, kami tidak tahu apa-apa," timpal pelayan lainnya.Bella menggertakkan giginya. Jawaban mereka sama, dingin dan kosong. Tak ada seorang pun yang berani memberi petunjuk. Kekecewaan meliputinya, tapi dia belum menyerah.Tiba-tiba Bella teringat sesuatu. CCTV! Di ruang tengah rumah ini ada kamera yang pasti merekam semuanya. Dia langsung melangkah cepat menuju ruang keamanan.Di sana, kepala keamanan, Pak Sarman, sedang duduk di
Sejak malam Mirza menemui Arumi, hubungan mereka berubah dingin. Bella tetap menjalankan rutinitasnya sebagai istri: menyiapkan pakaian kerja dan sarapan untuk Mirza. Namun, tidak ada sapaan atau senyuman. Bahkan, pandangan pun dihindari.Mirza tahu dirinya salah. Setiap kali melihat Bella yang tak memedulikannya, hatinya terasa remuk. “Aku bodoh,” gumamnya pelan di kantor, mencoba menenggelamkan diri dalam pekerjaan. Namun, bayangan sang istri terus menghantui.Usai matahari terbenam, Mirza pulang membawa martabak Mesir, makanan favorit istrinya yang sedang hamil itu. Mirza memangkas jarak untuk berdiri tepat di ambang pintu. Dari sela yang setengah terbuka, nampak di sana Bella sedang terbaring memunggunginya. Mirza menghela napas, lalu berkata dengan lembut, “Aku pulang.”Tak ada jawaban, berpikir mungkin Bella sedang tidur.Setelah membersihkan diri beberapa menit, Mirza pun masuk kamar. Istrinya itu sudah bangun, merapikan kasur yang sedikit berantakan dengan tenang. Sprei dan
Di tengah malam yang sunyi, Mirza terbangun oleh suara notifikasi ponselnya. Dengan mata yang masih berat, dia melihat layar ponselnya. Satu pesan masuk dari Arumi, mantan istrinya.[Aku menunggumu di bawah pohon beringin, di samping paviliun.]Mirza duduk diam sejenak, menatap pesan itu. Ia melirik Bella yang tertidur pulas di sampingnya, wajahnya tenang dan perutnya besar mengandung buah hatinya. Tanpa banyak pikir, Mirza berdiri perlahan, berusaha untuk tidak membangunkan Bella. Dia tidak menyadari bahwa Bella sempat membuka matanya sedikit, mengawasi gerak-geriknya dengan cemas.Di depan pintu rumah, Mirza terhenti. Ada keraguan yang memenuhi pikirannya. Apakah ia benar-benar perlu menemui Arumi? Bagaimanapun, hubungan mereka sudah berakhir. Saat ini ia seharusnya menjaga perasaan Bella yang sedang hamil besar. Namun, ada perasaan rindu yang membawanya untuk tetap melangkah ke luar rumah.Ketika tiba di dekat beringin, Mirza melihat Arumi berdiri di sana, menunggunya di bawah baya
Bella menghentikan mobilnya mendadak di tengah jalan. "Aduh, ponselku!" serunya, menyadari benda penting itu tertinggal di kamar. Tanpa pikir panjang, dia memutar balik dan melaju menuju rumah. Saat membuka pintu kamar, dia mendapati Mirza, suaminya, sedang berdiri tanpa jarak dengan Arumi, mantan istrinya. Bella tercekat ketika melihat tangan Arumi menyentuh dada Mirza tanpa penolakan dari sang suami.“Mas…?” Suara Bella terdengar parau. Mirza terkejut, dengan cepat menjauh dari Arumi. Ada rasa bersalah dalam hati ketika melihat binar kekecewaan di mata sang istri.Sementara itu, Arumi tertawa sinis, menoleh pada Bella dengan ekspresi congkak. “Oh, Bella, kamu kembali rupanya. Aku dan Mirza hanya membicarakan masa lalu. Aku harap kamu tak keberatan.”Bella lekas mendekati Arumi sembari mengedarkan tatapan tajam, menahan emosi yang bergejolak. “Nggak ada yang perlu dibicarakan. Keluar kamu, Rum. Pergi dari sini!"Arumi mendengkus, tertawa meremehkan. “Santai saja, Bella. Jangan te
Mentari pagi menembus tirai jendela kamar, mengisi ruangan dengan sinar lembut. Bella bangkit dan merapikan diri. Setelah bersiap, Bella melangkah ke sofa di mana suaminya masih tertidur pulas di sana. "Mas." Bella tersenyum melihat wajah Mirza. Disentuhnya rambut legam sang suami dengan lembut, lalu membisikkan namanya. “Mas, bangun. Sudah pagi.” Mirza bergerak sedikit, menggeliat malas. Perlahan, matanya terbuka, menatap Bella dengan pandangan bingung. "Kamu udah rapi sekali sepagi ini. Mau ke mana?” "Aku ada janji hari ini, mau kontrol kandungan, udah masuk bulan ketujuh, kan?" Mirza mengangguk pelan, mengusap wajahnya agar lebih sadar. “Mau kuantar?” “Nggak perlu, Mas. Aku diantar dengan Mas Ujang aja. Oh ya, aku udah siapin sarapan dan pakaian kerja kamu. Semua beres, tinggal kamu yang bangun.” Bella tersenyum genit, maju selangkah lebih dekat hingga berdiri tepat di depan Mirza. Pria itu menatap Bella sedikit bingung, tapi belum sepenuhnya sadar. “Ada a
Di sore yang tenang, Arumi membawa secangkir teh ke ruang kerja Hermawan. Mengetuk pintu perlahan, kemudian masuk dengan senyum menggoda.“Mas Hermawan, teh hangatnya sudah datang,” katanya lembut, melirik pria paruh baya itu yang tengah sibuk dengan berkas-berkasnya.Hermawan menoleh dan tersenyum tipis. “Terima kasih, Arumi.”Arumi meletakkan cangkir teh di meja, tetapi tidak segera beranjak. Dengan perlahan, ia menyentuh lengan Hermawan, mencoba mencari perhatian lebih. “Mas, tidak lelah bekerja terus? Mungkin ada yang bisa aku bantu?”Hermawan terdiam sejenak, lalu melepaskan pandangannya dari berkas-berkas, menatap Arumi yang berdiri di sampingnya dengan tatapan lembut namun penuh tanda tanya. “Arumi, kamu tahu bukan kalau hubungan kita ini rumit?” bisiknya, mengambil tangan Arumi dan menggenggamnya erat.Arumi mendesah, menunduk. “Aku tahu, Mas. Tapi… bagaimana dengan kita? Istri Bapak sudah meninggal tiga bulan lalu. Sampai kapan aku harus menunggu seperti ini?”Hermawan men