Share

Bab 7. Menghabiskan Uang

Mirza tersenyum miris melihat hidangan sarapan yang ada di atas meja. Hanya secangkir teh dan ubi rebus saja. Padahal dia harus pergi sepagi ini seharian untuk mencari lowongan pekerjaan lagi di kota.

"Makan yang ada aja!" sahut Arumi saat menyadari Mirza tak menarik kursi untuk duduk.

Wanita itu meletakkan sepiring nasi lagi dengan telur mata sapi dan juga botol kecap sebagai tambahan.

"Selama masih belum dapat kerja, aku berhemat dulu. Kalau mau makan enak, buruan kasih aku uang lagi," kecam wanita berambut sebahu itu.

Uang dan uang. Tiap hari Arumi selalu membuat kepalanya pusing dengan tuntutan materi itu. Padahal baru kemarin dia memberikan pesangon, belum lagi Arumi yang baru saja mendapatkan segepok uang hasil dari arisan yang diikutinya. Itu pun dari uang gaji Mirza yang diambilnya tiap bulan.

"Nggak mau duduk?" tanya Arumi lagi dengan senyum sinis.

Mirza mengalah saja. Dia pun menyantap menu seadanya untuk mengisi perut. Istrinya itu hanya tersenyum sambil menikmati segelas susu ibu hamil untuk nutrisi janinnya.

"Gimana soal tawaran kerja dari temanku, Mas? Kamu mau, kan?" tanya Arumi, lagi.

"Nanti dulu, Rum. Aku mau coba cari kerja yang lain dulu. Masih sanggup, kok, keliling-keliling untuk nemu kerjaan yang lebih pantas dan cocok untukku."

Begitu dingin tanggapan Mirza, membuat bibir Arumi mengerucut geram pada sikap sang suami.

"Kamu ini! Udah kere, pengangguran, sok-sokan milih kerjaan. Udah untung ada yang nawarin kerjaan mudah dengan gaji gede.” Arumi mendecak dengan nada geram. Sudah tak sabar dirinya ingin meraup uang lagi dari kerja sang suami.

"Tapi aku nggak biasa dengan lingkungan begitu, Rum." Mirza mencoba menjelaskan.

"Terserah kamu, lah! Pokoknya dalam minggu ini, aku harus dengar kalau kamu punya kerjaan baru yang gaji bulanannya sama atau lebih banyak dari kemarin."

Kecaman kembali digaungkan Arumi. Mirza tak ingin berdebat. Dirinya pergi untuk menyiapkan motornya lebih dulu. Cuaca hari ini cukup bagus, memudahkannya untuk mencari di tiap sendi perkotaan.

Arumi mengambil sebotol air mineral dingin dari kulkas, memberinya pada Mirza yang sedang duduk di kursi teras sambil mengikat tali sepatunya.

"Nih!"

"Suami pergi cari kerjaan tuh, harusnya dikasih senyuman, didoain biar dapat rejeki," ujar Mirza sambil meraih minuman dingin itu. Sedikit dirinya merayu wajah cemberut istri cantiknya.

"Doaku itu nggak manjur, Mas. Dulu aku berdoa biar dapat suami tajir supaya hidup nggak susah, taunya malah dapat suami kere kayak kamu! Malas jadinya aku mau doa-doa lagi."

Mirza hanya tersenyum mendengar ujar ketus sang istri. Dua tahun dirinya bersabar sebab sangat mencintai Arumi dan Seno juga sahabat baiknya. Wanita itu melenggang masuk dengan cuek, tak peduli dengan Mirza yang tadinya mengulurkan tangan untuk diciumnya sebelum pergi.

"Assalamualaikum!" seru Mirza dengan nada sedikit tinggi agar didengar dari dalam sana.

Sambil menghela napas dalam, gumam bismillah terlantun lembut dari bibirnya. Sepeda motor hitam itu melaju cepat menjejaki jalanan demi mencari pundi-pundi rupiah dengan keringatnya sendiri.

Tak lama Mirza pergi, Arumi pun berdandan secantik mungkin. Sudah dibawanya uang untuk pergi ke Jakarta. Uang pesangon, transferan Seno, dan juga uang arisan menjadi alasan senyumnya secerah ini.

"Aku naik bis aja ke Jakarta, beli emas. Nanti juga sekalian belanja baju sama nyalon. Apa aku ganti hape yang lebih bagus aja, ya?"

Arumi pun pergi menaiki bis untuk segera tiba di salah satu mall di Jakarta. Tak peduli dengan peluh yang membanjiri, juga perutnya yang kini sedang hamil muda, hasratnya untuk menghabiskan uang tak lagi terbendung.

Gerah di sekujur tubuh tersapu dengan dinginnya AC yang menguar ketika dia masuk ke dalam mall. Matanya dimanjakan oleh barang-barang bermerk untuk bisa dia pamerkan pada temannya nanti.

"Tas, baju, perhiasan. Oke! Semangat, Rum!"

Berkeliling sendiri dengan antusias, membeli perhiasan untuk ajang pamer dan juga aset berharga yang dia simpan sendiri.

Pandangannya terpatri pada layar televisi di dalam toko. Seorang wanita cantik terlihat di sana dengan kulit cantik mulusnya, mengiklankan produk kosmetik ternama buatan luar negeri.

"Bella? Ah, ternyata kamu sesukses ini, ya! Kudengar setelah ibumu menikah lagi dan mendapatkan seorang konglomerat, hidupmu jadi semewah ini."

Arumi tersenyum kecut, mengalihkan wajahnya dari tampilan elegan teman lamanya itu. Sedikit dia menyikut pelanggan lain di sebelahnya.

"Tau nggak, Mbak, yang di tivi itu, Bella Graciela, dia temen sekolahku waktu SMU."

Seorang wanita yang sedang membeli perhiasan itu hanya tersenyum miring ketika Arumi mengajaknya bergosip. Tak mengenal, tapi seolah akrab tanpa jarak. Sesekali Arumi masih memilih cincin yang pas di jarinya.

"Dulu dia sekampung denganku. Tapi setelah bapaknya meninggal, dia pindah ke Jakarta karena ibunya nikah lagi. Ih, perempuan apaan, ya, lakik baru mati setengah tahun udah langsung kawin aja? Kurasa genitnya si Bella itu nurun dari ibunya, deh. Dia, kan, ngincer suamiku dari jaman sekolah dulu. Kasihan, ya, suamiku lebih milih aku. Aku lebih cantik, sih."

Arumi tertawa jumawa meski orang di sebelahnya hanya tersenyum. Entah jika mereka percaya, atau hanya senyum meledek. 

Masih terlalu siang, Arumi pun menghabiskan waktu untuk memanjakan diri dengan perawatan kulit di salon dalam mall.

"Buat saya sekinclong cewek itu ya, Mbak!" perintah Arumi sambil menunjuk ke layar televisi yang lagi-lagi memutar iklan kosmetik ternama itu.

Pegawai salon itu hanya tersenyum, siap melayani kliennya yang satu ini.

Bella, teman yang sudah lama tak dia temui setelah lulus SMU. Belakangan Arumi mulai mendengar kabarnya saat Bella santer muncul di televisi sebagai model. Juga bisnis yang mulai dibangunnya sendiri atas sokongan sang ayah tiri.

Sementara itu di kediaman Hermawan, Bella sudah berdandan rapi dan anggun dengan polesan make up natural dan bibir plum cherry berwarna merah. Dress ungu lapis tile juga padu dengan tas branded mahal yang berada di tangannya.

“Mas Seno setirin saya, ya!”

Dihampirinya Seno yang sedang duduk di pos satpam, menikmati secangkir teh di suasana sore.

“Loh? Kenapa saya, Non? Si Danu mana?”

Bella berbisik rendah, lalu berkata, “Males, ah! Lebih seru kalau disetirin sama Mas Seno. Mas Danu kaku banget, nggak asik diajakin ngobrol.”

Terkekeh kecil, Seno pun menuruti perintah nona mudanya itu. Sedan hitam itu melaju santai membelah jalan raya. Sesekali Seno menoleh pada spion untuk mencuri pandang Bella yang tak henti memperbaiki dandanannya.

“Ini kita ke mana, Non?” tanya Seno sambil terus menginjak gas.

"Ke mall dulu, Mas. Aku mau beli sesuatu buat Bastian."

Bella tersenyum sambil sedikit poles-poles tampilan dengan cermin pada bedak compact di tangannya. “Nanti setelah itu, kita ke apartemen Diamond, Mas.”

“Apartemennya Mas Bastian?”

“Iya. Sebenarnya ada janji sama dia malam ini di café Autumn. Tapi aku kasih kejutan datang cepat aja, ya! Langsung ke apartemennya. Udah kangen banget seminggu ditinggal dinas sama dia.”

Nonanya yang kasmaran. Seno tahu bahwa Bella telah menjalin hubungan lama dengan Bastian, temannya semasa SMU dan masih betah berpacaran sampai usia menginjak kepala tiga.

Seno pun tak menyinggung perihal Arumi, adiknya yang dulu adalah teman lama Bella.

Setidaknya dia mendengar hubungan ketiganya buruk sejak cinta tak terbalaskan nonanya ini pada Mirza, iparnya yang berusia lima tahun lebih muda darinya. Dulu juga tak bertemu langsung karena Seno lebih sering merantau ke kota untuk mencari pekerjaan.

“Pacarannya awet, ya, Non. Tapi jangan pacaran mulu, dikawinin kapan?” goda Seno sambil memutar stir ke kiri menuju mall. “Kasihan bapak sama ibu, pengen nimang cucu.”

Bella tersenyum kecil. Jelas rona merah muncul di wajahnya. Wanita ini sangat cerdas dan berpendidikan. Akan tetapi, soal cinta, dia begitu tulus dan polos. Beberapa kali Seno mendengar keluhan Pak Hermawan perihal Bastian. Sepertinya kekasih putrinya itu bukan lelaki baik.

“Kalau dia pria baik-baik, ya langsung nikahin aja, Non. Butuh apa lagi? Sama-sama tajir, karir juga lagi bagus-bagusnya.”

“Mas Seno udah sama bawelnya kayak papa-mama, ya!” sahut Bella. “Nanti aku tanya ke Bastian, deh.”

Mobil pun melaju cepat menuju mall pilihan Bella ketika ingin membeli sesuatu. Seno menepi sebentar di pintu masuk, urung masuk ke basemen parkiran.

"Non, maaf. Lama, nggak, belanjanya?" tanya Seno.

"Kenapa, Mas?"

"Ndak tau ini, mesinnya kayaknya agak kurang enak. Saya mau mampir dulu di bengkel terdekat. Takutnya ada apa-apa."

"Oh, ya udah, Mas. Nanti kalau sekiranya lama, saya bisa pulang naik taksi aja," putus Bella sambil melangkah keluar dari mobil.

"Saya usahakan cepat, Non."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status