Share

Bab 5. Garis Takdir

Sukma mengangguk saja, kembali meneguk sirup jingga pada gelas kristal.

 

“Memangnya kerja apa, sih? Sampai tampang jadi syarat utama? Memangnya mas-mu itu bakal diterima?” keluh Siti.

 

“Iya, dong! Mas Mirza, suamiku itu ganteng,” ujar Arumi dengan penuh bangga. “Sukma bilang, kerjanya di permodelan gitu. Ya, kan? Padahal part time, tapi gajinya aja sampai lima juta.”

 

Arumi bersikap jumawa di depan para temannya, sedangkan Sukma menyimpan tawa di balik senyum di bibir merah meronanya.

 

“Iya, yang ganteng kayak Mirza itu jadi prioritas, sih! Badannya bagus, proporsional. Gantengnya alami. Agak kucel aja karena kerjanya nguli. Dipoles dikit juga kinclong kayak aktor Korea.” Sukma lanjut berkata.

 

Begitu tenang para wanita ini bergosip di pagi hari. Entah jika tugas rumahnya sudah beres semua. Arumi pun puas menikmati hidupnya hasil dari tumpukan uang yang dia dapat belakangan ini.

 

Sore harinya, Arumi duduk santai di ruang tengah sambil mengumpul uang arisan yang dia peroleh. Pesangon dari Mirza kemarin juga masih utuh, belum terpakai.

 

“Baju masih banyak, nyalon juga baru minggu lalu. Duitnya buat beli emas aja kali, ya! Itung-itung tabunganku kalau si Mirza nggak bisa diharap lagi. Cari suami lagi, deh!”

 

Arumi berkata dengan entengnya. Direbahkannya punggung pada sofa. Menikmati tontonan sinetron sore dengan burger dan camilan mewah lainnya yang baru saja dia pesan dari restoran saji pada aplikasi.

 

“Pokoknya harus buru-buru bujuk si Mirza untuk kerja sama si Sukma. Duit segini, pasti cepat abisnya.”

 

Bunyi pesan masuk muncul di layar ponsel. Dari Seno.

 

[Rum, Mas udah transfer dua juta ke rekening kamu. Hemat, dong! Kasian sama Mirza. Jangan sampai kelakuan kamu ini bikin dia nggak tahan dan nalak kamu.]

 

Baru saja dia tersenyum mendapat transferan uang, isi sambungan pesan Seno justru membuatnya kesal.

 

“Nalak apa? Berani, memangnya? Udah bagus aku nggak ninggalin suami kere kayak dia!”

 

Arumi kembali menikmati tontonan sore. Raut sumringah kembali terukir saat membaca pesan masuk dari Sukma.

 

[Rum, aku udah tunjuk foto Mirza sama Mas-ku, dia setuju banget. Boss-nya suka dan tertarik untuk mempekerjakan Mirza. Kabarin aku kalau suamimu setuju. Apa perlu aku transfer dulu DP upah part time-nya?]

 

“Yes!” girang Arumi.

 

Uang selalu membuatnya buta.

 

*

 

Seharian Mirza melintasi jalan raya kota untuk mencari pekerjaan. Demi masa depan dan hidup keluarga yang harus dia penuhi.

 

“Maaf, Mas, untuk saat ini perusahaan belum menerima lowongan.”

 

Kalimat yang sama diterima Mirza setiap kali mendatangi pintu-pintu untuk mendapatkan pekerjaan. Peluh membanjiri dahi, diusapnya dengan rasa sabar.

 

“Jadi OB juga nggak ada, Pak?” tanya Mirza lagi pada security.

 

“Maaf, Mas. Tidak ada.”

 

Dengan langkah gontai, Mirza menyisiri kembali jalanan tanpa kenal lelah. Matahari terik tepat di atas kepala, hanya menenggak sebotol air mineral untuk mengusir dahaga.

 

“Semangat, Mir! Bismillah.”

 

Hanya bisa menguatkan demi sang calon buah hati di kandungan Arumi.

 

Sebelum terlalu sore, Mirza menyempatkan diri ke bank. Dirogohnya buku tabungan dari dalam tas dan berniat menarik uang dari tabungan rahasianya itu. Sebab mengetahui tingkat keborosan sang istri, dia enggan memberikan penuh gajinya pada Arumi. Istrinya itu pun tak tahu berapa gaji penuhnya. Mirza hanya memberikan lewat amplop saja tiap bulan.

 

“Tabungan segini aku sisihkan tiap bulan dari gajiku. Bulan ini udah lepas bayar listrik, air, sama kontrakan. Uang bensin selama nyari kerjaan, lalu uang makan. Kalau nggak ada pemasukan, tabungan bisa abis juga.”

 

Mirza menunduk lesu di kursi luar tunggu bank pemerintah tersebut. Hanya bisa mengusap dada, bersabar akan rejeki yang sedang diatur porsinya oleh Sang Pencipta.

 

“Pulang aja, deh!”

 

Baru saja Mirza men-stater motornya, sebuah mobil melaju kencang dari samping. Tindak arogan yang menyebabkan percikan air kubangan bekas hujan, mengenai tepat pada kemeja putih Mirza dan juga wajahnya.

 

‘Astaghfirullah! Apes bener hari ini,’ gumamnya sambil menyeka wajah.

 

Berulang kali dirinya menguatkan hati bertahan dengan rumitnya hidup di Tangerang. Tak terasa hari mulai senja. Sengaja dia menepikan motornya pada masjid untuk melaksanakan Maghrib. Gerimis turun di luar, terpaksa dirinya berteduh sebentar sebelum kembali pulang.

 

[Assalamualaikum, Rum. Di sini hujan, mas belum bisa pulang. Jaga kesehatan, ya! Makan duluan aja, kunci pintu. Hati-hati di rumah.]

 

Pesan perhatian hanya dibaca saja oleh sang istri, tak ada balasan.

 

Setelah hujan reda, Mirza melajukan sepeda motornya di jalanan yang cukup sunyi. Sengaja dia putar arah melalui komplek agar terhindar dari kemacetan jalan.

 

"Astaghfirullah!"

 

Mirza menarik rem saat melihat perampokan di depan sana. Sebuah mobil sedan mewah hitam terhenti dengan dua orang di bawah sandera pisau. Seorang diyakininya sebagai supir, seorang lagi pria separuh baya dengan jas necis tampak takut sambil meraba kantung untuk mencari dompet.

 

'Ya Allah, aku harus apa?'

 

Semula Mirza ingin abai, tapi nuraninya terketuk saat melihat dua orang korban tadi dipukuli. Lekas dia mendekati, membuat dua perampok itu berujar geram karena aksinya hendak dikacaukan.

 

"Apa-apaan lo?"

 

"Kalian merampok harta bendanya, apa harus mempermainkan nyawa orang lain juga?" geram Mirza.

 

Sudah bisa dia pastikan uang dan kunci mobil si kaya itu berada di tangan sang perampok, lalu kenapa harus memukuli lagi?

 

"Lo nganggur banget, ya, sampai ikut campur segala?"

 

Seorang perampok itu dengan tangkas menghajar Mirza di bawah rintik hujan yang mewarnai. Supir tadi lebih memilih melindungi tuannya dan membiarkan saja Mirza menghalau ketangkasan dua perampok tadi.

 

"Awas!"

 

Teriakan itu menarik perhatian Mirza. Dengan cepat dia menghindar dari sabetan belati yang dilancarkan seorang perampok bertubuh tambun.

Tubuh lelahnya tak cukup stamina untuk menghadapi keduanya. Beruntung beberapa orang pemuda yang melintas, gegas berlari untuk menolong korban dari perampokan itu. Takut diamuk massa, keduanya pun kabur membawa lari dompet sang korban, walau gagal memboyong sedan mewah yang tadinya dirampok.

 

"Kamu baik-baik saja?" tanya pria yang tadi hampir dirampok.

 

Mirza hanya menggeleng sungkan. Dahinya mengerut sakit. Sabetan belati tadi sempat mengenai sisi pinggangnya saat lengah sesaat.

 

"Itu berdarah, Pak!" seru sang supir, menunjuk pada sisi kemeja Mirza yang berubah merah.

 

"Luka kecil saja, Pak. Nggak apa-apa," jawab Mirza, sungkan.

 

Cemas dengan keadaan pria yang ditolongnya, pria tadi pun membawa Mirza ke rumah sakit terdekat untuk ditangani. Satu jam berlalu, Mirza mulai cemas karena meninggalkan sang istri terlalu lama. Lukanya juga sudah selesai diatasi. Lekas dia beranjak duduk dari kasur meski nyeri terasa ke tulang.

 

"Kamu mau ke mana?"

 

"Saya mau pulang saja, Pak. Sudah baikan, kok. Nggak apa-apa," jawab Mirza, berniat segera pulang karena cemas meninggalkan Sukma di rumah sendirian.

 

"Terima kasih telah menolong saya. Saya Hermawan."

 

"Saya Mirza."

 

Pria itu mengulurkan tangan untuk memperkenalkan diri. Dia berutang nyawa setelah diselamatkan Mirza dari perampokan itu. Masih terlihat muda dengan pakaian formalnya, tampak berkelas.

 

"Bagaimana caranya saya membayar utang budi ini? Sungguh, saya sangat bersyukur. Terima kasih, Mirza."

 

Semula, pria bernama Hermawan itu menyodorkan amplop berisi tumpukan uang. Dengan sopan, Mirza tersenyum untuk menolaknya.

 

"Saya ikhlas, Pak, biarkan Allah yang membalasnya. Saya pulang saja, sudah larut."

 

Meski Hermawan membujuk agar Mirza dirawat saja, pria itu menolak dan lebih memilih pulang sebab mencemaskan sang istri di rumah sendirian.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status