Hancur. Cinta dan kesetiannya selama lebih dari sepuluh tahun dipatahkan oleh Bastian yang ternyata selingkuh di belakangnya. Bella menekan panggilan pada Bastian. Suara dering terdengar, pria bernama Bastian itu malas mengangkatnya karena dirasa gangguan saat bergumul mesra.“Mas, itu kenapa teleponnya nggak diangkat dari tadi? Kayaknya itu Bella.”Suara centil wanita itu terdengar memuakkan bagi Bella. Dia yang tak lain adalah Leona, sahabatnya yang kini mencuri kekasihnya sendiri. Bella belum beranjak, menikmati sejauh mana dua orang kepercayaannya itu tega menusuknya seperti ini.“Iya, nanti malam aku ada janji sama dia. Tapi sebelum itu, aku lebih kangen sama kamu, Leona,” sahut Bastian lagi.Bella menahan gemuruh di dadanya. Dua orang itu mengolok persahabatan dan kepercayaan yang ditanamkan. Seno tak sampai hati melihat ketegaran nona mudanya itu.“Bella belum ada bicara soal merit, Mas?” tanya Leona sambil mencium pipi Bastian. “Iya, dia ngeluh ke aku karena papa-mamanya des
"Kamu dari mana, Rum?"Arumi berlalu saja dari pertanyaan Mirza. Suaminya itu sudah pulang lebih dulu selepas senja, sementara dirinya baru saja tiba setelah aktivitas belanjanya di Jakarta."Aku bosan di rumah kecil ini, suntuk. Malah sekarang duit juga menipis. Aku ini lagi hamil, nggak boleh stres!" gerutu Arumi.Mirza tetap mengikuti langkah sang istri ke kamar. Menatap semua belanjaan baju dan juga perhiasan di atas kasur."Uang dari mana ini?" tanya Mirza, penasaran."Dari Mas Seno. Sengaja aku beliin emas, buat jaga-jaga. Nggak tau juga, bulan depan dapat gaji atau enggak dari kamu."Bulan depan. Mirza hanya mengurut sisi pelipisnya. Sudah beberapa hari sejak dia dipecat, belum ada titik terang untuk mencari rejeki lagi."Jadi gimana? Mau nganggur gini aja?"Mirza tak menyahut."Aku kalau harus hidup melarat gini, mending kita udahan aja, deh, aku minta cerai!" kecam Arumi, lagi.Binar mata Mirza melotot tajam saat sang istri berkata dengan entengnya. "Cerai apa? Kamu lagi hami
Mendengar Adel bicara seemosi itu, Bella kembali menenggak kasar minumannya. Jika ingin mabuk, dia akan melakukannya. Sayangnya, Bella masih ingin berpikir jernih menghadapi masalah.“Kayaknya gue yang bodoh banget, ya? Masa gue nggak tau mereka berdua punya hubungan padahal mereka dekat banget sama gue, Del?” gerutu Bella, mengasihani diri sendiri.Dirinya memainkan denting gelas yang beradu dengan gelas di sampingnya. “Bodoh, gue bodoh!”“Jadi lo ke sini cuma buat nangisin nasib jelek lo ini, ya?” Adel mulai tertawa. Berpikir menemani orang frustrasi ini dengan membawanya enjoy saja. “Kayaknya lo beneran cinta banget sama si Bastian.”“Cinta mati, sih, enggak juga. Cuma, ya, gila aja kalau gue masih baik-baik aja dikhianatin sahabat dan pacar gue sendiri. Bodoh! Sialan! Rasanya gue malu sama diri gue sendiri. Pengen aja gue nyemplung ke kali Ciliwung!” geram Bella sambil membenamkan wajahnya di atas meja.Adel merasa lucu dengan sikap putri konglomerat itu. Ditoyornya kepala Bella d
Bella tampak bingung. Tentu Mirza hanya masa lalu, apalagi teringat dengan pertemuan terakhir kali dengan Arumi tentang tawaran menjual suami seharga satu milyar itu.“Apa, sih? Enggak, bukan urusanku juga. Nanti yang ada, aku harus berurusan lagi sama si Rumi. Males banget. Tapi Mirza ...”Bella kembali masuk ke dalam kelab. Sempat dilihatnya di ujung sana, wanita berambut pendek cat merah itu mengibas-ngibas amplop tebal saat bertransaksi dengan barang bagus miliknya.Beberapa pria tinggi besar, dan juga wanita berdandan menor dengan tampilan seksi itu, memegang pipi lelaki tampan yang tak sadarkan diri, kini telah menjadi mangsanya dengan senyum penuh kepuasan.Bella mencoba abai dan kembali ke duduknya.Kepala Bella terasa pecah karena hal yang dia lihat justru hadir setelah dirinya galau dikhianati sang kekasih. Kekasihnya, Bastian bahkan tak menghubungi untuk sekadar berbasa-basi dan meminta maaf.“Beneran nggak mau mabok?”Adel kembali menawarkan segelas minuman beralkohol saat
Hari hampir larut. Arumi menikmati camilan malamnya sambil menonton televisi. Sudah seharian sang suami pergi ke Jakarta, tak ada satu pun pesan atau panggilan masuk ke ponsel-nya."Suamiku kerja keras banget, ya! Beruntungnya aku."Tak dia sadari takdir buruk apa yang telah menjerat Mirza. Bahkan malam sudah terlewati, belum ada tanda-tanda Mirza akan pulang.Sebentar dia keluar rumah untuk menunggu kedatangan suami. Sudah hampir pukul sebelas malam."Ini kenapa ditelepon nggak diangkat, sih?" gusarnya sambil menatap layar. Tersambung, tapi tak dijawab. Tak lama, panggilannya beralih ke Sukma. Tak juga disahuti."Ini apa Mas Mirza nginap di sana dan nggak pulang, ya?"Bukannya khawatir, Arumi masuk saja ke rumah. Berbaring nyaman di kasur empuk sambil menatap amplop cokelat di sisi pembaringannya. Uang dari Sukma masih utuh, belum ada agenda akan dia ke mana kan tiap rupiah itu."Ini duitnya buat apa, ya? Belanja baju, udah, nyalon juga udah, kemarin. Emas juga udah banyak. Besok ma
“Hape kamu mati, Mas? Mas Seno neleponin aku terus.”Gerutu Arumi belum ditanggapi oleh Mirza. Sudah dua hari berlalu sejak kejadian itu, Mirza tak banyak bicara. Ponsel dimatikan karena enggan beraktifitas apa pun. Jiwanya masih terguncang pasca insiden kelab itu. Tak bisa marah pada siapa pun karena nyatanya, Arumi juga ditipu oleh temannya.“Mau sampai kapan kamu begini terus?” Arumi bertanya sambil meletakkan secangkir teh di atas meja. “Nganggur di rumah mau sampai kapan? Bukannya aku nggak perhatian sama kejadian kemarin, tapi mau dipikirin berlarut-larut juga nggak ada gunanya, kan? Udah hampir dua minggu sejak dipecadan kamu belum dapat kerjaan lagi, Mas.”Mirza menghela napas gusar, disekanya wajah sembari bergumam istighfar. Ya, dia tak bisa terus berpangku tangan. Arumi dan kandungannya harus dipikirkan.Mirza mengintip dari sisi pintu ketika melihat Arumi duduk sendirian di dapur pada malamnya. Setelah menyeduh segelas susu ibu hamil, sang istri bermain ponsel sembari ter
"Hai, Bel, ketemu lagi, ya!" seru Arumi, pongah. Senyum licik terukir di bibirnya. Bella belum menyahut. Arumi berjalan mendekati, menyenter penampilan teman lamanya itu dari ujung rambut sampai kaki. Begitu bergaya dengan merk ternama.'Kapan, ya, aku bisa pakai barang-barang branded gini?' lamunnya, membatin.Sejak tadi Bella berpikir. Ada angin apa tiba-tiba Arumi datang menemuinya?'Apa Mirza cerita kalau aku ketemu dia di kelab ke Arumi? Firasatku nggak enak banget, nih.'Lekas Bella menarik tangan Arumi untuk menyeret langkah keduanya. Bersantai sejenak dan bicara di coffee shop perusahaan."Katakan apa maumu? Kenapa kamu bisa ada di sini?" gerutu Bella, menghentak meja.Arumi tersenyum, meraih secangkit latte yang dihidangkan padanya. "Mas Seno, mantan supir kamu itu, masku. Saudara kandungku."Mata Bella membeliak. Sekian tahun Seno bekerja pada Keluarga Hermawan, bagaimana hal ini bisa terjadi?"Kamu adiknya Mas Seno? Apa dia ...""Dulu pas SMU, kamu juga nggak pernah ketemu
Mirza menatap nonanya yang mendekati dengan koper di sisi kakinya. Sudah dia dengar dari Danu bahwa Bella akan pergi tugas selama hampir seminggu di Bandung."Kamu setirin aku, ya. Papa yang minta," perintah Bella, cuek.Mirza mengangguk. "Ba-baik, Bel. Eum, Nona."Selama dua minggu ini, mereka tak saling bicara. Bella juga lebih banyak menghabiskan waktu bekerja di luar. Sekalipun berpapasan di rumah, mereka saling mengabaikan seolah tak mengenal.Sepanjang perjalanan ke Bandung, sesekali Mirza menatap Bella dari spion. Wanita itu hanya sibuk dengan berkas dan ponsel di tangan."Fokus ke jalanan saja, Mirza!" tegur Bella."Ah, ya."Sebenarnya Bella sangat marah perihal kebohongan yang dilakukan Mirza. Pun sebab dia berpikir bahwa Mirza sama buruknya dengan Arumi.Setibanya di villa Bandung, Mirza menyeret koper Bella untuk masuk ke rumah inapan itu. Hanya ada seorang tukang kebun yang menjaga villa keluarga Hermawan."Kamar tidurmu di belakang. Dan juga, besok sekitar jam sepuluh pag