Share

Bab 4. Pergi

"Kamu pikir bisa ngajak aku bersaing karena penampilan dan usiamu yang lebih muda? Nggak, Dit. Kamu memang cantik, tapi semuanya palsu. Kamu rela ngabisin banyak uang demi terlihat cantik, betul?" Ulfa mengakhiri kalimatnya dengan senyum mengejek.

"Aku nggak peduli yang penting Mas Sano cinta sama aku!"

"Tutup mulutmu!" bentak Ulfa, anehnya dia masih bisa menjaga ekspresi padahal jauh di lubuk hati, dia sudah sangat hancur.

Apalagi ketika matanya beradu pandang dengan Sano. Lelaki yang dulu dia puja dengan cinta begitu tega mengkhianatinya. Ulfa sendiri belum tahu sudah berapa lama hubungan mereka terjalin, yang pasti ada bukti kuat kalau keduanya adalah pengkhianat.

Ponsel tadi masih Ulfa genggam erat. Dia sengaja mengeluarkan ponselnya sebagai contoh karena dia menyalakan alat perekam suara agar nanti ketika mengadu pada orangtuanya di Makassar, Ulfa memiliki bukti.

"Hentikan!" Mahika, sang ibu mertua maju satu langkah. "Katamu ke sini tidak mau membuat keributan, tapi lihat apa yang terjadi. Kamu nggak sadar sudah merusak acara Tantri? Dia ketakutan, sampai lari masuk kamarnya!"

Ulfa memilih diam beberapa saat. Benar, Tantri yang usianya baru menginjak delapan belas tahun itu berlari masuk kamar. Kalau karena rasa takut, semua bisa ditepis dengan mudah. Berbeda dengan perasaan Ulfa saat ini. 

Dia duduk dengan posisi tegak, padahal hatinya hancur lebur. Akan tetapi, seperti tidak ada yang mau peduli padanya. Ulfa menyimpan nama mereka dalam hati, untuk mengingat luka itu.

"Sudahlah, Bu. Jangan memarahi Ulfa. Harusnya ibu bisa mengerti sebagai sesama perempuan, makanya sejak awal aku nggak pernah setuju sama hubungan Sano dengan Dita, tapi kalian keras kepala," protes Mahatma, suaminya. Lelaki bertubuh tinggi itu memilih masuk ke ruang tengah untuk menonton televisi. Mahika pun menyusulnya sebelum perdebatan semakin panjang.

Sekarang tinggal mereka bertiga di ruang tamu yang sudah didekorasi sedemikian cantiknya itu. Balon-balon masih setia berada di sudut ruangan, begitu juga dengan kue yang lilinnya baru saja ditiup, belum dipotong sama sekali.

"Pulanglah, Dek. Kamu nitip Alea sama tetangga lagi, 'kan?"

Ulfa tidak mengindahkan pertanyaan suaminya, dia memilih menatap Dita tanpa ekspresi karena wanita sialan itu masih betah duduk di tempatnya. "Dit, mungkin kamu nggak sadar kalau kamu itu tidak lebih baik dari sampah!"

"Sampah? Keterlaluan banget kamu!" teriak Dita frustrasi. Kini rambutnya berantakan dan sangat miris karena Sano tidak berusaha menenangkannya.

Bagaimana mungkin Sano melakukan itu di hadapan Ulfa, sementara Ulfa sendiri adalah cinta pertamanya. Dia sudah berjanji pada mertuanya untuk menjaga Ulfa, menjauhkannya dari luka karena pengkhianatan. Ada satu janji yang membuat Sano sulit untuk berkutik.

Di surat perjanjian sebelum mereka menikah, Sano menulis bahwa siapa pun yang ketahuan berselingkuh harus meninggalkan rumah tanpa membawa apa pun. Kini, dia melanggar aturan yang dia buat sendiri. Untung saja pada surat itu tertera bahwa ketika pasangan memberi maaf atau kesempatan, maka pasangan yang berselingkuh boleh tetap tinggal dengan syarat tidak mengulangi kesalahannya.

"Aku memang keterlaluan, Dit. Mungkin kamu terkejut karena selama ini kamu mengenalku sebagai perempuan lugu dan patuh sama suami. Perlu kamu tahu, air yang tenang tidak selamanya aman. Ingat, kata-kataku ini, Dit. Sekali lagi kamu berani menemui suamiku, maka kamu akan mendapat lebih dari sekadar kata-kata kasar. Aku pastikan kamu bahkan tidak bisa mengataiku keterlaluan. Paham?" Ulfa menajamkan pandangannya. "Aku tidak pernah sekadar mengancam."

Ulfa berdiri, begitu pun dengan Sano yang masih bungkam melihat perdebatan antara istri dan selingkuhannya. Hati lelaki itu benar-benar kacau mengingat kalau bulan depan dia harus menikahi selingkuhannya karena sudah berjanji pada orang tua Dita.

Bagaimana mungkin Sano bisa menikah jika sekarang sudah ketahuan? Ulfa yang lugu benar-benar hilang. Sekarang dia terlihat buas seperti singa. Sano mengacak rambut kesal, merasa tidak berguna sebagai lelaki. Ada rasa takut untuk melawan Ulfa, tetapi melihat tatapan tajam dari Dita membuatnya kembali membuka suara.

"Dek, sebenarnya malam ini kami mengadakan pesta ulang tahun Tantri sekaligus membahas sesuatu yang penting. Mas rencananya pengen beli lukisan buat kamu. Kamu, kan, suka mengoleksi lukisan, kebetulan Dita itu pandai melukis. Lukisannya sudah banyak yang beli dan punya toko sendiri, kamu bisa dikasih diskon kalau mau."

Ulfa menaikkan sebelas alisnya menatap bingung pada Sano. Dia memang suka mengoleksi lukisan saat masih gadis dulu, tetapi setelah menikah dengan Sano, dia menepikan hobinya itu.

Dengan senyum elegan, Ulfa menatap Sano dan Dita bergantian. "Aku tertarik untuk melihat lukisan Dita, tetapi menolak menerima diskon. Mas sendiri, kan, tahu kalau yang diskon itu biasanya barang murah dan aku nggak selalu suka sama barang murah apalagi murahan!"

Sindiran Ulfa berhasil memancing emosi Dita. Gadis itu ikut berdiri, hendak mencakar wajah Ulfa. Sayang sekali karena Sano berusaha mencegahnya. Ulfa sekarang menertawakan penampilan Dita yang berantakan karena memberontak sendirian.

Tantri, Mahatma dan Mahika kembali keluar setelah mendengar teriakan Dita yang terdengar seperti orang gila. Ulfa pun merasa kalau sudah saatnya dia pergi dari sana. Begitu Sano ingin mengikuti, Ulfa kembali menoleh santai lantas berkata dengan anggun, "santai dan nikmati pesta ini sebelum kalian berpisah, Mas. Maaf karena aku harus pulang, malam ini aku cukup sibuk!"

"Ulfa."

Setelah itu, Ulfa melangkah cepat melewati pintu utama. Mobil yang sejak tadi menunggunya di depan kembali membawa Ulfa pergi.

Selama perjalanan, Ulfa menumpahkan air matanya. Dia tidak lagi bisa menahan sesak dalam dada. Pengkhianatan Sano benar-benar di luar dugaan sampai Ulfa tidak pernah menaruh curiga. Melihat mertua yang memberi restu pada Sano menjadi salah satu bukti kalau hubungan mereka sudah berlangsung lama.

"Sebenarnya aku sudah curiga sama Sano sejak awal, Fa. Makanya aku nasihati dia buat jaga jarak sama Dita, tapi dia selalu mengelak. Sano selalu bilang kalau hubungannya sama Dita itu sekadar teman, padahal aku sering melihat mereka ketemuan di cafe atau restoran. Maaf karena aku nggak langsung ngasih tahu kamu, takutnya jadi penyebab perpisahan kalian. Ngomong-ngomong, gimana rencana kamu selanjutnya, Fa? Kamu mau ngasih kesempatan kedua buat Sano?"

Ulfa menghapus jejak di pipinya, kemudian menoleh ke samping kanan. "Aku juga bingung, mungkin aku nggak bisa ngasih kesempatan kedua buat Mas Sano, tapi bagaimana kalau Alea masih butuh papanya? Kamu tahu sendiri kalau Alea itu sayang banget sama papanya."

Lelaki itu terdiam sambil terus fokus mengemudi. Dia adalah Fajar, sepupu Sano yang bekerja di kantor yang sama dengannya. Kebetulan sore tadi Fajar mengunjungi Alea sehingga Ulfa berpikir untuk menceritakan masalahnya. Ide pun muncul secara tiba-tiba karena Fajar kesal pada Sano.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Isabella
cerai aja fa biar Sani sama si felakir
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status