"Kamu pikir bisa ngajak aku bersaing karena penampilan dan usiamu yang lebih muda? Nggak, Dit. Kamu memang cantik, tapi semuanya palsu. Kamu rela ngabisin banyak uang demi terlihat cantik, betul?" Ulfa mengakhiri kalimatnya dengan senyum mengejek.
"Aku nggak peduli yang penting Mas Sano cinta sama aku!"
"Tutup mulutmu!" bentak Ulfa, anehnya dia masih bisa menjaga ekspresi padahal jauh di lubuk hati, dia sudah sangat hancur.
Apalagi ketika matanya beradu pandang dengan Sano. Lelaki yang dulu dia puja dengan cinta begitu tega mengkhianatinya. Ulfa sendiri belum tahu sudah berapa lama hubungan mereka terjalin, yang pasti ada bukti kuat kalau keduanya adalah pengkhianat.
Ponsel tadi masih Ulfa genggam erat. Dia sengaja mengeluarkan ponselnya sebagai contoh karena dia menyalakan alat perekam suara agar nanti ketika mengadu pada orangtuanya di Makassar, Ulfa memiliki bukti.
"Hentikan!" Mahika, sang ibu mertua maju satu langkah. "Katamu ke sini tidak mau membuat keributan, tapi lihat apa yang terjadi. Kamu nggak sadar sudah merusak acara Tantri? Dia ketakutan, sampai lari masuk kamarnya!"
Ulfa memilih diam beberapa saat. Benar, Tantri yang usianya baru menginjak delapan belas tahun itu berlari masuk kamar. Kalau karena rasa takut, semua bisa ditepis dengan mudah. Berbeda dengan perasaan Ulfa saat ini.
Dia duduk dengan posisi tegak, padahal hatinya hancur lebur. Akan tetapi, seperti tidak ada yang mau peduli padanya. Ulfa menyimpan nama mereka dalam hati, untuk mengingat luka itu.
"Sudahlah, Bu. Jangan memarahi Ulfa. Harusnya ibu bisa mengerti sebagai sesama perempuan, makanya sejak awal aku nggak pernah setuju sama hubungan Sano dengan Dita, tapi kalian keras kepala," protes Mahatma, suaminya. Lelaki bertubuh tinggi itu memilih masuk ke ruang tengah untuk menonton televisi. Mahika pun menyusulnya sebelum perdebatan semakin panjang.
Sekarang tinggal mereka bertiga di ruang tamu yang sudah didekorasi sedemikian cantiknya itu. Balon-balon masih setia berada di sudut ruangan, begitu juga dengan kue yang lilinnya baru saja ditiup, belum dipotong sama sekali.
"Pulanglah, Dek. Kamu nitip Alea sama tetangga lagi, 'kan?"
Ulfa tidak mengindahkan pertanyaan suaminya, dia memilih menatap Dita tanpa ekspresi karena wanita sialan itu masih betah duduk di tempatnya. "Dit, mungkin kamu nggak sadar kalau kamu itu tidak lebih baik dari sampah!"
"Sampah? Keterlaluan banget kamu!" teriak Dita frustrasi. Kini rambutnya berantakan dan sangat miris karena Sano tidak berusaha menenangkannya.
Bagaimana mungkin Sano melakukan itu di hadapan Ulfa, sementara Ulfa sendiri adalah cinta pertamanya. Dia sudah berjanji pada mertuanya untuk menjaga Ulfa, menjauhkannya dari luka karena pengkhianatan. Ada satu janji yang membuat Sano sulit untuk berkutik.
Di surat perjanjian sebelum mereka menikah, Sano menulis bahwa siapa pun yang ketahuan berselingkuh harus meninggalkan rumah tanpa membawa apa pun. Kini, dia melanggar aturan yang dia buat sendiri. Untung saja pada surat itu tertera bahwa ketika pasangan memberi maaf atau kesempatan, maka pasangan yang berselingkuh boleh tetap tinggal dengan syarat tidak mengulangi kesalahannya.
"Aku memang keterlaluan, Dit. Mungkin kamu terkejut karena selama ini kamu mengenalku sebagai perempuan lugu dan patuh sama suami. Perlu kamu tahu, air yang tenang tidak selamanya aman. Ingat, kata-kataku ini, Dit. Sekali lagi kamu berani menemui suamiku, maka kamu akan mendapat lebih dari sekadar kata-kata kasar. Aku pastikan kamu bahkan tidak bisa mengataiku keterlaluan. Paham?" Ulfa menajamkan pandangannya. "Aku tidak pernah sekadar mengancam."
Ulfa berdiri, begitu pun dengan Sano yang masih bungkam melihat perdebatan antara istri dan selingkuhannya. Hati lelaki itu benar-benar kacau mengingat kalau bulan depan dia harus menikahi selingkuhannya karena sudah berjanji pada orang tua Dita.
Bagaimana mungkin Sano bisa menikah jika sekarang sudah ketahuan? Ulfa yang lugu benar-benar hilang. Sekarang dia terlihat buas seperti singa. Sano mengacak rambut kesal, merasa tidak berguna sebagai lelaki. Ada rasa takut untuk melawan Ulfa, tetapi melihat tatapan tajam dari Dita membuatnya kembali membuka suara.
"Dek, sebenarnya malam ini kami mengadakan pesta ulang tahun Tantri sekaligus membahas sesuatu yang penting. Mas rencananya pengen beli lukisan buat kamu. Kamu, kan, suka mengoleksi lukisan, kebetulan Dita itu pandai melukis. Lukisannya sudah banyak yang beli dan punya toko sendiri, kamu bisa dikasih diskon kalau mau."
Ulfa menaikkan sebelas alisnya menatap bingung pada Sano. Dia memang suka mengoleksi lukisan saat masih gadis dulu, tetapi setelah menikah dengan Sano, dia menepikan hobinya itu.
Dengan senyum elegan, Ulfa menatap Sano dan Dita bergantian. "Aku tertarik untuk melihat lukisan Dita, tetapi menolak menerima diskon. Mas sendiri, kan, tahu kalau yang diskon itu biasanya barang murah dan aku nggak selalu suka sama barang murah apalagi murahan!"
Sindiran Ulfa berhasil memancing emosi Dita. Gadis itu ikut berdiri, hendak mencakar wajah Ulfa. Sayang sekali karena Sano berusaha mencegahnya. Ulfa sekarang menertawakan penampilan Dita yang berantakan karena memberontak sendirian.
Tantri, Mahatma dan Mahika kembali keluar setelah mendengar teriakan Dita yang terdengar seperti orang gila. Ulfa pun merasa kalau sudah saatnya dia pergi dari sana. Begitu Sano ingin mengikuti, Ulfa kembali menoleh santai lantas berkata dengan anggun, "santai dan nikmati pesta ini sebelum kalian berpisah, Mas. Maaf karena aku harus pulang, malam ini aku cukup sibuk!"
"Ulfa."
Setelah itu, Ulfa melangkah cepat melewati pintu utama. Mobil yang sejak tadi menunggunya di depan kembali membawa Ulfa pergi.
Selama perjalanan, Ulfa menumpahkan air matanya. Dia tidak lagi bisa menahan sesak dalam dada. Pengkhianatan Sano benar-benar di luar dugaan sampai Ulfa tidak pernah menaruh curiga. Melihat mertua yang memberi restu pada Sano menjadi salah satu bukti kalau hubungan mereka sudah berlangsung lama.
"Sebenarnya aku sudah curiga sama Sano sejak awal, Fa. Makanya aku nasihati dia buat jaga jarak sama Dita, tapi dia selalu mengelak. Sano selalu bilang kalau hubungannya sama Dita itu sekadar teman, padahal aku sering melihat mereka ketemuan di cafe atau restoran. Maaf karena aku nggak langsung ngasih tahu kamu, takutnya jadi penyebab perpisahan kalian. Ngomong-ngomong, gimana rencana kamu selanjutnya, Fa? Kamu mau ngasih kesempatan kedua buat Sano?"
Ulfa menghapus jejak di pipinya, kemudian menoleh ke samping kanan. "Aku juga bingung, mungkin aku nggak bisa ngasih kesempatan kedua buat Mas Sano, tapi bagaimana kalau Alea masih butuh papanya? Kamu tahu sendiri kalau Alea itu sayang banget sama papanya."
Lelaki itu terdiam sambil terus fokus mengemudi. Dia adalah Fajar, sepupu Sano yang bekerja di kantor yang sama dengannya. Kebetulan sore tadi Fajar mengunjungi Alea sehingga Ulfa berpikir untuk menceritakan masalahnya. Ide pun muncul secara tiba-tiba karena Fajar kesal pada Sano.
Sesampainya di depan rumah, Ulfa tidak langsung turun melainkan memperbaiki perasaan dulu. Fajar membiarkannya dengan terus diam, ingin berbicara juga sungkan karena tahu bagaimana perasaan wanita itu saat ini.Beberapa menit kemudian, Ulfa melihat tetangganya membuka pintu sambil menggendong Alea yang terlelap. Gegas Ulfa memaksa dirinya tersenyum, berterimakasih pada Fajar, kemudian turun dari mobil dan menghampiri Kancana."Mbak, sini Alea-nya biar aku saja yang gendong!""Nggak usah, Fa. Mbak saja yang gendong, kamu buka pintu aja, gih!"Ulfa mengangguk, lalu mengambil kunci rumah yang dia sembunyikan di bawah pot bunga depan rumah. Saat pintu terbuka lebar, Kancana langsung masuk dan membawa Alea menuju kamarnya. Perasaan Ulfa semakin tidak enak karena kembali sadar kalau saat ini rumah tangganya sedang tidak baik-baik saja.Tanpa mampu dia tahan, Ulfa menjatuhkan dirinya di lantai kamar Alea. Tangisnya kembali pecah, menduga Sano masih bertepuk tangan merayakan ulang tahun Tantr
"A-apa? Kamu bilang apa?" Sano menggendong Alea demi mendekati istrinya. "Aku bilang ceraikan aku, Mas!" ulang Ulfa tegas, lalu dengan cepat meraih Alea dan membawanya masuk ke ruang tamu di mana Dita duduk manis. Sano yang masih terkejut, terpaku beberapa detik sebelum akhirnya menyusul. Sebenarnya dia bisa meluapkan amarah pada Ulfa dan mengakui kalau dia sama sekali tidak takut kehilangan anak dan istrinya demi Dita. Akan tetapi, ada hal yang memaksanya bertahan dalam rumah tangga yang kini terasa hambar. "Kenapa mas harus ceraikan kamu?" "Pertanyaan yang bodoh. Jelas mas harus ceraikan aku kalau mau menikah sama Dita. Kamu pikir aku mau berbagi suami? Nggak bakal, Mas. Sekarang mas pilih, bertahan sama aku atau melanjutkan hubungan sama Dita!" Lelaki itu tampak berpikir, sayang sekali karena Ulfa tidak bisa menebak isi pikirannya. Dia hanya bisa menunggu dengan perasaan yang sulit digambarkan. Jangan tanya bagaimana hatinya saat ini karena sungguh permintaan Dita benar-benar d
Bab 7. Mata Dita melebar mendengar ledekan itu. Dia ingin maju untuk memberi pelajaran pada Ulfa, tetapi sayang karena Sano sudah lebih dulu menariknya ke luar rumah. Mereka berdiri dengan tatapan yang sulit di artikan. Sungguh, Dita bingung dengan sikap Sano yang mendadak berubah padahal biasanya dia akan menyetujui apa pun permintaan Dita. Betul bahwa mereka belum menyepakati tentang izin menikah pada Ulfa. Namun, Dita sudah tidak bisa menahan diri apalagi diminta menunggu lama. Dia kesal dipermalukan, tetapi seolah dilarang berkutik. "Jangan rusak mimpi aku, Dita. Aku menyesal selingkuh di belakang Ulfa dan mulai detik ini hubungan kita berakhir. Jangan cari aku lagi karena aku tidak akan menceraikan Ulfa demi kamu, demi siapapun!" "Mas!" pekik Dita dengan suara tertahan. Gadis itu mengusap wajah gusar, merasa dipermainkan. "Aku serius. Aku nggak bisa melanjutkan hubungan kita. Nyatanya, aku lebih membutuhkan Ulfa dan juga Alea. Aku tidak bisa menepati janji untuk terus bersam
"Jangan terus nyalahin mas, Dek. Mas udah bilang menyesal sudah selingkuh sama dia dan sekarang mas minta maaf. Mari kita mulai semuanya dari awal lagi dan lupakan tentang Dita. Dengan begitu, pikiranmu akan tenang dan Alea juga pasti merasa senang kalau orangtuanya bahagia." Sano mulai memberanikan diri untuk meninggikan suara meskipun pada akhir kalimat suaranya hampir tidak terdengar. Sebenarnya Ulfa membaca sebuah doa agar Sano kesulitan untuk melawannya. Dia tahu doa itu sejak dirinya masih gadis. Benar saja, ketika diamalkan, lawan bicaranya kerap tidak berkutik. "Semudah itu, Mas?" "Tolonglah, Dek. Kita sama-sama dewasa, mengatasi masalah itu jangan kayak anak kecil," lanjut Sano lagi dengan tatapan mengiba. Ulfa mendelik kesal pada suaminya. Jika saja dia bersikap dewasa, pasti menepikan rasa ingin mendua. Namun, pada kenyataannya dia jauh lebih kekanakan. Ulfa menyesal menerima lamaran itu dahulu. Melihat Sano mendekat, Ulfa langsung memutar badan, melangkah cepat melewat
Bab 9 Pesan Whats-App yang Fajar kirim terus saja membayangi pikiran Ulfa bahkan sampai tiga hari berlalu. Wanita itu memang bisa bersikap biasa saja di hadapan Sano, tetapi hatinya gundah gulana. Dalam hati berpikir keras cara terbaik untuk balas dendam. Ulfa berharap suatu hari nanti Sano akan bertekuk lutut memintanya kembali dengan penuh penyesalan. Memulai hubungan dengan cara berselingkuh, Ulfa yakin suatu hari mereka akan mendapat balasan setimpal dari Tuhan. Menyakiti perasaan istri, pura-pura berpisah dari Dita dam beragam kebohongan lainnya. "Kok, melamun, Dek?" tegur Sano yang sudah lengkap dengan pakaian kerjanya. Padahal sekarang hari sabtu, lantas hendak ke mana dia? "Gak apa-apa, Mas. Mau ke mana rapi begitu?" Ekspresi wajah Sano berubah sedih, dia kemudian duduk di tepi ranjang sambil menatap kosong ke arah dinding. "Mas berat buat ngasih tahu kamu, Dek. Sejak kemarin mas menimbang apakah harus pergi atau tidak, tetapi boss nggak mau nerima alasan apapun. Mas haru
Bab 10 Ulfa memutar otak berusaha mencari jawaban. Jika ditanya tentang keberanian, tentu saja iya karena Ulfa adalah istri sah di mana ketika mereka terlibat perkelahian, maka orang-orang pasti mendukung dirinya sekaligus membantu mempermalukan Dita. Akan tetapi, banyak pertimbangan yang harus Ulfa pikirkan. Selain Sano masih menjadi suami sekaligus ayah dari Alea, Ulfa juga tidak mau masalah rumah tangganya diketahui oleh orang asing yang bisa saja mereka merekam video dan mengunggahnya di berbagai sosial media. Tepatnya, Ulfa tidak ingin kelak ketika Alea besar, dia melihat sifat buruk dari sang ibu. Dia tidak ingin beradu fisik, lebih memilih balas dendam dengan cara elegan, tetapi mematikan. "Gimana?" tanya Fajar lagi tidak sabar sambil melepaskan genggaman tangannya begitu menyadari kalau dugaannya tadi salah. "Gak usah dilabrak, cukup foto mereka aja deh. Aku malas berurusan di tempat seperti ini." Fajar mengangguk meskipun sedikit kecewa, tetapi dia harus menghormati kepu
Bab 11 "Kenapa ngasih tahu Mas Sano, Mbak?" lanjut Ulfa penasaran. Kalau Kancana memberitahu Sano karena marah pada Ulfa ditinggal lama bersama Alea, bukankah dia sendiri yang meminta untuk bermain bersama? Lagi pula, Ulfa tidak tahu menahu tentang Kancana yang ingin ikut. Dia pikir hanya berdua dengan Fajar. Wanita itu menghela napas ketika melihat Kancana tersenyum sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Sebenarnya mbak disuruh Sano buat memata-matai kamu, Fa." "Disuruh memata-matai aku dan Mbak Kancana mau?" "Pantes aja Mbak Kancana niat banget ikut kita berdua mengintai Sano, ternyata ada alasannya toh?" tambah Fajar menampilkan raut wajah kesal agar Kancana merasa bersalah. Dalam hati, dia ingin menurunkan Kancana di sana karena sudah menjadi musuh dalam selimut kalau saja tidak memiliki hati nurani. Percuma saja mereka bersembunyi dari Sano jika Kancana dengan mudahnya memberitahu keberadaan mereka. Rencana gagal, semuanya percuma. "Jangan salah paham dulu. Mbak me
Bab 12 "Iya, Dit. Aku bilang sama istriku kalau kamu itu pandai melukis, jadi emang banyak peminatnya. Bahkan saat pameran, lukisanmu tampil paling depan." Sano menjawab dengan suara pelan. Berusaha tersenyum santai agar Ulfa tidak curiga. Padahal wanita itu bukan lagi anak kecil yang bisa dengan mudahnya dikelabui. Ulfa bisa melihat rasa cemburu terpancar di mata Dita ketika tangannya memeluk pinggang sang suami. "Sudah kubilang, suamiku sangat pandai menilaimu. Yah, bagaimana pun kalian tetap pernah punya hubungan yang dekat." "Kami tidak sedekat itu, Dek," gumam Sano, raut wajahnya langsung berubah membuat Ulfa harus menahan tawa. "Tidur bersama hampir setiap hari, apa itu masih belum dikata dekat, Mas?" "Ayolah, jangan bahas masa lalu lagi, Dek. Mas sudah bilang kalau kami tidak lagi punya hubungan apa-apa." "Benar, harusnya aku tidak membahas itu lagi. Masa lalu hanyalah sampah yang harus dibuang pada tempatnya." Ulfa tersenyum miring lantas mendekati sebuah lukisan berukur