Share

Bab 5. Mas, Ceraikan Aku!

Sesampainya di depan rumah, Ulfa tidak langsung turun melainkan memperbaiki perasaan dulu. Fajar membiarkannya dengan terus diam, ingin berbicara juga sungkan karena tahu bagaimana perasaan wanita itu saat ini.

Beberapa menit kemudian, Ulfa melihat tetangganya membuka pintu sambil menggendong Alea yang terlelap. Gegas Ulfa memaksa dirinya tersenyum, berterimakasih pada Fajar, kemudian turun dari mobil dan menghampiri Kancana.

"Mbak, sini Alea-nya biar aku saja yang gendong!"

"Nggak usah, Fa. Mbak saja yang gendong, kamu buka pintu aja, gih!"

Ulfa mengangguk, lalu mengambil kunci rumah yang dia sembunyikan di bawah pot bunga depan rumah. Saat pintu terbuka lebar, Kancana langsung masuk dan membawa Alea menuju kamarnya. Perasaan Ulfa semakin tidak enak karena kembali sadar kalau saat ini rumah tangganya sedang tidak baik-baik saja.

Tanpa mampu dia tahan, Ulfa menjatuhkan dirinya di lantai kamar Alea. Tangisnya kembali pecah, menduga Sano masih bertepuk tangan merayakan ulang tahun Tantri. Entahlah, belum ada kejelasan apakah Sano akan melanjutkan hubungan dengan Dita dan memilih berpisah dengan Ulfa dan Alea.

"Bagaimana masalah kamu, Fa? Apa sudah selesai?" tanya Kancana lembut. Dia memang tetangga yang baik dan perhatian. Ulfa selalu menaruh kepercayaan padanya karena selama hidup bertetangga, Ulfa belum pernah melihatnya membicarakan keburukan orang lain.

"Berjalan dengan baik, Mbak. Tadi aku ngelabrak mereka di rumah mertua, benar saja, di sana ada selingkuhan Mas Sano."

"Terus kamu nangis di depan Mas Sano?"

Ulfa menggeleng pelan. "Nggak, Mbak. Sekuat hati aku menahan air mata supaya nggak nangis di depan mereka semua. Ternyata ibu mertuaku mendukung Mas Sano selingkuh sama Dita, kalau bapak mertua kayaknya nggak setuju. Tapi, tetap aja nggak ada bedanya mereka setuju atau nggak karena keputusan ada di tangan Mas Sano."

"Biasanya, dukungan dari orang tua menjadi faktor utama terbukanya peluang untuk selingkuh, Fa. Mbak doakan semoga kamu menemukan jalan keluar yang paling terbaik dari Allah. Mbak cuma pengen bilang, jaga kesehatan kamu. Kamu harus tetap kuat apa pun yang terjadi nanti, demi dirimu, demi Alea juga. Kalau kamu butuh sesuatu, bisa minta tolong sama mbak. Jangan sungkan-sungkan, oke?"

Ulfa hanya bisa mengangguk karena saat ini sangat sulit baginya untuk berkata sepatah kata pun. Rasa sakit yang dialami terlalu dalam, Ulfa masih berharap apa yang dia lihat tadi adalah mimpi.

Seorang wanita pasti selalu ingin terlihat kuat di mana orang yang mencoba merendahkannya. Ulfa kembali menangis, bahkan sebelum Kancana pamit pulang. Wanita berambut ikal itu pun membawa Ulfa dalam pelukannya untuk memberi kekuatan.

"Kamu harus kuat, Fa. Jangan menangis terlalu lama, atau matamu akan bengkak. Kalau Alea bangun, pasti dia ikutan nangis. Alea memang masih empat tahun, tetapi dia sangat peka dan berperasaan. Kamu yang kuat!" hibur Kancana mengusap punggung Ulfa.

"Menurut Mbak Kancana, aku harus gimana? Andai saja Mbak ada di posisi aku."

Terdengar embusan napas kasar dari Kancana. Dia menatap jauh ke depan, pandangannya menyiratkan kesedihan dan Ulfa tidak bisa menebak isi pikiran tetangganya itu. Kancana hidup sendiri di rumahnya karena sang suami bekerja di Kalimantan. Entah bagaimana hubungan keduanya, Kancana belum pernah bercerita.

"Kalau aku di posisi kamu, pasti sekarang udah nangis kejer. Terus nggak bakal ada kesempatan kedua. Mereka yang sudah pernah berkhianat, bisa saja memiliki peluang selingkuh lagi kedepannya. Kalau dia sudah mendua, artinya rasa cinta telah pudar. Nggak mungkin selingkuh kalau masih cinta, Fa. Apalagi menurut mbak, nggak ada alasan bagi Sano untuk selingkuh karena kamu itu baik, lugu bahkan mengurus Alea dengan baik."

"Nggak ada kesempatan kedua, ya, Mbak? Tapi aku mikirin perasaan Alea, kecuali di kesempatan kedua dia tetap saja berbuat salah, baru dikasih perhitungan. Menurut Mbak Kancana gimana?"

Tidak ada jawaban, Kancana terlihat berpikir. Ulfa pun melanjutkan, "aku juga bukan orang baik, Mbak, tetapi aku tahu bagaimana cara memperlakukan orang dengan baik. Kalau ada yang bilang aku jahat, mungkin dia yang bermasalah sama aku. Sebenarnya aku itu bisa jahat bisa baik juga, tergantung sikap orang itu sama aku. Contoh nih ya, Mbak Kancana bilang aku orang baik, tapi kalau Dita, pasti nganggap aku jahat karena sudah ngomong kasar sama dia meskipun sebenarnya dia yang salah karena ngerebut Mas Sano."

"Mbak ngerti perasaan kamu, Fa."

Ulfa tersenyum. "Mbak istirahat gih, atau kalau mau menginap di sini juga boleh. Sudah larut, pasti Mbak Kancana lelah jagain Alea tadi. Makasih ya, Mbak, selalu mau direpotkan."

"Nggak apa-apa, Fa. Mbak juga senang kok karena ada temannya. Mbak pamit dulu, nginapnya kapan-kapan saja. Assalamu'alaikum!" pamitnya sambil melangkah keluar kamar sampai melewati pintu utama.

"Iya, Mbak, makasih sekali lagi. Wa'alaikumussalam!"

***

Pagi menyapa, sejak subuh tadi Alea bangun dan menanyakan keberadaan ayahnya. Dia terus menangis memaksa Ulfa membawanya bertemu Sano. Padahal Ulfa sudah beralasan kalau Sano sedang keluar mencari makanan.

Tiba-tiba, pintu utama terketuk memaksa Ulfa berdiri untuk membukanya. Dia terkejut melihat kedatangan Sano bersama Dita. Hati Ulfa berdenyut nyeri menatap mereka bergantian, lalu memintanya masuk ke rumah.

"Ada apa?" tanya Ulfa ketus.

"Dita mau bicara sama kamu, Dek. Alea biar main sama mas dulu." Sano yang menjawab, kemudian membawa Alea keluar dari rumah.

Suasana berubah tegang, Ulfa berusaha menjaga ekspresi seperti tadi malam agar tetap terlihat elegan dan baik-baik saja. Setelah Dita, Ulfa pasti akan memberi pelajaran pada Sano karena berani membawa selingkuhannya ke rumah.

"Aku ke sini karena dipaksa Ibu Mahika. Kamu mau memberi izin untuk Mas Sano menikah lagi, 'kan? Kamu sudah mendapatkan segalanya, anak dan harta, jadi kalau berbagi sama aku pasti nggak masalah buat kamu."

Ulfa menarik sudut bibirnya tipis, lalu dengan gerak cepat melayangkan tamparan di wajah Dita membuat gadis itu memekik kesakitan. Biarkan saja, Ulfa merasa senang melihat pipi Dita yang merah karena ulahnya.

"Keterlaluan!"

"Keterlaluan?" Ulfa tertawa kecil. "Kamu nggak terima aku tampar? Lalu kamu pikir aku terima sikap kamu yang ingin seenaknya ke aku? Tidak! Kalau perlu, Mas Sano harus memilih antara aku atau kamu dan jika dia memilih kamu, itu artinya dia sudah siap hancur. Aku bertahan bukan karena dia segalanya. Mas Sano itu nggak penting, tetapi belum saatnya untuk dibuang."

Setelah itu, Ulfa berdiri, melangkah ke depan mencari keberadaan Sano. Ternyata lelaki tidak tahu diri itu sedang bermain di halaman depan bersama Alea. Hati Ulfa semakin sakit, sepertinya Alea harus memudarkan senyumannya.

"Mas, ceraikan aku!"

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Isabella
tabok aja si sano
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status