SUAMIKU BUKAN LULUSAN D3 BAB 2
*** “Dek. Bangun!” Kudengar samar suara Mas Rino, kemudian sentuhan lembut tangannya membelai pipiku. Perlahan kubuka mata. Kudapati Mas Reno tersenyum memandang wajahku. Rupanya aku ketiduran. “Mas sudah pulang rupanya. Tumben Mas pulang telat, memangnya ada rapat di sekolah, Mas?” “Ehm, anu, itu. Iya. Eh, enggak, eh, kamu kenapa tidur di teras? Nggak enak dilihat orang lewat. Kenapa nggak tidur di kamar aja?” Mas Reno ini. Aku tanya apa, dia jawab apa. Ingin bertanya lagi tapi, indra penciumanku megalihkan rasa ingin tahuku perihal alasan apa yang membawanya telat pulang. “Mas, kamu habis makan bakso?” tanyaku penasaran. “Ehm. Iya, Dek. Tadi Pak Ridwan traktir kecil-kecilan di sekolah. Dia membelikan para guru bakso. Nih, aku bawakan air baksonya untuk kita makan bersama nanti sore, punya teman-temanku yang kuah baksonya nggak habis juga aku bawa untuk kita makan malam nanti. Tinggal dihangatkan aja. Nggak apa kan aku cuma bawa kuah baksonya aja? Masih ada mie bihunnya juga, loh, itu. Sayang kalau dibuang. Untung aku punya inisiatif untuk membereskan mangkok baksonya sebelum dicuci.” tangan Mas Reno sibuk mengeluarkan isi kantong plastik yang ia bawa. Sebenarnya hatiku sedih mendengar Mas Reno makan bakso di sekolah dan aku hanya dibawakan kuah bakso sisa teman temannya, tapi, lagi lagi aku harus maklum dengan keadaan ini. Masih untung aku dibawakan kuah bakso sisa orang. Setidaknya nanti malam untuk aku tidak lagi makan nasi campur garam. Membayangkan itu semua perutku kembali merasa lapar. “Mas, boleh nggak aku makan kuah baksonya sekarang campur nasi?” tanyaku takut-takut. “Memangnya kamu belum makan?” “Sudah, sih, tapi perutku lapar lagi ketika mencium aroma kuah bakso itu.” “Dek, kalau sudah makan ya sudah. Ini untuk nanti malam saja. Aku juga nggak makan siang, kok.” “Emang makan bakso itu bukan makan siang?” Aku mendelik kesal. “Makan itu pakai nasi, Dek. Kalau bakso saja itu namanya nyemil,” jelasnya sewot. Lah, aturan dari mana itu. Makan, ya, makan. Mau nasi atau apapun tetap saja menurutku Mas Reno makan bakso itu adalah makan siang. “Tapi, kan Mas sudah makan dua kali sedangakan aku baru sekali.” “Ya, Ampun, Dek. Makan bakso nggak pakai nasi mah kayak nggak makan.” Benar saja apa yang aku duga. Karena tidak pakai nasi Mas Reno menganggap dia tidak makan siang. Hatiku jadi mencelos dilarang makan oleh suamiku sendiri. Ingin marah rasanya. Hanya kuah bakso pun aku di larang makan. Menurutku ini keterlaluan. Jadi nggak sabar ingin cepat menjual kalung emasku. Biar bisa punya usaha kecil kecilan dan menghasilkan uang. Jangankan kuah bakso. Baksonya pun nanti aku bisa beli sendiri. Melihat aku yang memberikan reaksi muka masam. Mas Reno akhirnya memberikan bungkus kuah bakso yang paling sedikit isinya padaku. “Dah, jangan cemberut, jelek tau!” Mas Reno kemudian mencolek hidung bangirku. Aku mencebik. Hilang sudah seleraku untuk mencicipi kuah bakso bawaan Mas Reno. Tiba-tiba aku teringat istri Pak Ridwan yang aku temui di pasar, apa jangan jangan uang traktiran bakso ini bentuk syukur Pak Ridwan karena sudah jadi P3K. “Mas, tadi aku bertemu istri Pak Ridwan. Katanya suaminya sudah jadi P3K, jadi traktiran bakso ini karena dia sudah turun SK, ya?” Terlihat jakun Mas Reno turun naik. “Kamu bertemu di mana? Terus dia bilang apa lagi? Nggak ngegibahin aku, kan?” Wajah Mas Reno kini tampak putih cenderung pucat? “Bu Ridwan bilang suaminya dan Mas Reno sudah jadi P3K. Bahkan SK sudah turun.” Mas Reno gelagapan. “Ah, Bu Ridwan itu suka asal ngomong aja, pasti dia cuma ingin mengolok kita, Dek. Mentang-mentang suaminya sudah punya gaji gede. Sudah, Dek, kamu jangan dekat-dekat dia lagi, nanti kamu malah sakit hati denger ucapan dia.” “Jadi benar apa yang dikatakan Bu Ridwan?” “Jelas itu tidak benar, mana mungkin aku diangkat P3K, aku kan bukan sarjana, sedangakan salah satu syaratnya itu S1.” “Bukan itu yang kumaksud, Mas. Maksudku itu, jadi benar apa yang dikatakan istrinya Pak Ridwan itu bahwa suaminya sudah menjadi pegawai pemerintah?” “Ya, kalau dia memang sudah, Dek. Tapi, kalau aku belum.” Kok aku jadi curiga, ya. Cara Mas Reno bicara itu seperti gugup. Bahkan dia tidak berani menatap mataku saat menjelaskan semua itu. “Mas!” panggilku ketika dia asik mengetukan kaki ke lantai secara berulang seperti tukang jahit. Mas Reno tak bereaksi saat aku panggil, kuputuskan memanggilnya lagi. “Mas!” Panggilku lagi. Mas Reno tersentak. “Eh, iya, Dek, ada apa? Bakso, ya? Ya, udah kamu makan sana! Katanya kamu mau makan bakso,” ucapnya ketika aku menatap matanya dengan tajam. “Bakso apa’an, kuah bakso kali, Mas!” “Oh, iya, Mas lupa. Sabar, ya, Dek, hari ini kamu makan kuahnya dulu, besok atau nanti aku akan belikan bakso untukmu.” Terlihat sekali dia sedang menyembunyikan sesuatu. Ia berbicara dengan terus menggaruk hidung dan mengusap tangannya. Bahkan kakinya pun masih saja seperti tukang jahit. Tiba-tiba muncul ide di kepalaku untuk memancing apa yang ia pikirkan. “Mas, aku ingin berjualan aneka jajanan di sekolahan tempatmu ngajar. Kamu nggak malu kan, Mas, kalau istrimu ada di sana.” “Hah! Kamu mau dagang di sekolah maksudmu, Dek?” “Iya, Mas. Lumayan kan buat bantu memenuhi kebutuhan kita sehari hari.” “Nggak usah, lah, Dek.” “Kenapa? Kamu malu, Mas?” “Bukan malu. Tapi aku nggak punya modal buat kamu.” Bersambung …. Keknya Mas Reno udah mulai panik, tuh. Jangan lupa koment, ya!🥰🙏SUAMIKU BUKAN LULUSAN D3BAB 50PoV: Reno“Dek!” Aku memiringkan dudukku sedikit mengarah pada Atik.“Apa lagi, sih, Mas? Udah habisin sarapannya, nanti kamu kesiangan berangkat ngajarnya!” Atik berbicara tanpa mau menoleh padaku.Kulihat isi mangkuk yang disendoki Atik, ternyata bubur sudah tinggal setengah. Cepat sekali makan Atik, aku saja baru tiga sendok, aku menghitung dengan jari sambil mengingat-ingat.“Mas! Buruan habisin, punyaku sudah habis, nih!”“Hah!” Kulihat mangkuk Atik sekali lagi. Seakan tak percaya ucapannya. Tetapi, benar adanya. Aku menggeleng takjub.“Adek laper? Aku pesan satu mangkok lagi, ya?”Atik menatapku dengan membesarkan mata. “Memanganya boleh? Nggak rugi nawarin aku makan lagi? Nanti uangmu bisa habis, loh.” Kemudian ia mengambil tisu dan mengusut ujung bibirnya.“Mas mana berani pelit lagi sama kamu, Dek. Aku benar-benar menyesal atas sikap pelitku selama ini,
SUAMIKU BUKAN LULUSAN D3BAB 49PoV: RenoKulihat kedua alis Bu Weni bertautan, ia juga tersenyum dan mengangguk-angguk.“Kenapa saya nggak kepikiran dari dulu, ya. Wah, Bu Karsih.” Kemudian Bu Weni melirikku lalu pada anaknya. “Owalah. Piye, Arlan? Nggak usah jauh-jauh. Pilihan ada di depan mata.”Aku yang mendengar Bu Weni berkata, langsung bisa menerka kemana arah ucapannya. Suasana yang awalnya tadi tegang karena uacapan ibuku, kini telah berubah menjadi riuh tawa mereka. Sebab obrolan ibuku dan Bu Weni langsung terkoneksi alias nyambung. Aku saja yang lelaki mengerti, kok. Masa iya Arlan tidak paham?Belum lepas senyum di wajahku, aku melirik Arlan. Betapa terkejutnya aku ketika mendapati Arlan melihatku dengan tatapan sinisnya.“Aku tahu jalan pikiranmu,” ucap Arlan padaku.“Aku juga tahu pikiran orang tua kita,” jawabaku santai. Kemudian mengalihkan pandanganku ke l
SUAMIKU BUKAN LULUSAN D3BAB 48PoV: Reno***Aku terbangun karena mendengar adzan yang aku setting di handphone-ku. Sebab aku tak mau meninggalkan sholat subuh lagi hari ini. Ya, setelah diceramahi sang adik bungsu, hatiku merasa tersirami oleh keimanan yang luar biasa.Sholat sebelum tidur membuat hati ini menjadi tenang, tidak lagi gelisah memikirkan permasalahan hidup, bahkan aku kini berserah jika nanti Atik benar-benar tak ingin kembali padaku lagi.Masya Allah, sungguh luar biasa dampak dari sholat yang dijalani dengan khusuk.***Setelah selesai menunaikan ibadah sholat subuh, tak lupa aku melakukan amalan dzikir dan sebagainya, sesudah itu barulah berdoa, salah satu nama yang kusebut dalam do’a adalah Atik. Doa yang sama seperti tadi malam selepas sholat isya.“Ya, Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang, jika Atik benar jodohku, maka mudahkanlah jalan untukku kembali membina rumah tangga lagi dengannya, tetapi, jika tidak, berilah keikhlasan sedalam samudra dan seluas jagad r
SUAMIKU BUKAN LULUSAN D3BAB 47PoV: Reno“Ren, Atik kan sudah bilang, katanya dia lelah dan ingin segera beristirahat. Tunda dulu bicaranya. Lain kali saja, ya?” Kemudian ibu dan anak itu kembali membalikkan badan.Aku menghela nafas perlahan. Ya, sudahlah, aku tidak mungkin memaksa, lagipula aku juga melihat wajah Atik begitu lesu. Lebih baik aku menekan ego-ku.Walau kaki ini melangkah mendekati motor, tapi hati ini masih ingin disini, pulang dan tinggal bersama-sama lagi seperti dulu saat aku dan Atik menjadi suami istri. Tapi kini aku harus sadar diri bahwa Atik sudah berstatus mantan istriku. Aku menoleh kembali dan menatap punggung Atik yang hampir masuk setelah ibunya lebih dulu membuka pintu untuknya. Nasib! Aku masih berandai dalam anganku. Harusnya malam ini Atik mendengar apa yang aku katakan ketika di perjalanan mengantarnya pulang. Sayangnya tidak.Aku pikir ketika dia mengatakan, iya, iya, Atik juga menginginkan apa yang aku inginkan. Rupanya …., yah, sekali lagi, nasib
SUAMIKU BUKAN LULUSAN D3Bab 46PoV: Atik“Aku pulang diantar Mas Reno, Mas,” jawabku jujur. Kemudian ikut beranjak.“Jadi benar kamu masih mencintai Reno?” Suara Mas Arlan terdengar melemah. “Jujurlah, Tik! Agar aku bisa tau diri.”“Cinta? Justru aku nggak tahu arti cinta sebenarnya itu apa, Mas.”“Loh, kamu nikah atas dasar apa jika bukan karena cinta?” Kening Mas Arlan berkerut, matanya juga menatapku lekat.Aku menggeleng.“Tik, biasanya perempuan itu tidak mau disentuh oleh lelaki manapun kecuali sang wanita mencintai lelaki yang menyentuhnya. Kalian sudah pernah menjadi suami istri, pasti sering melakukan hubungan intim. Itu juga bisa diartikan cinta.”“Apa iya?” Aku menggaruk kepalaku yang tak gatal.“Iya, lah!” Mas Arlan mengambil tanganku lalu mencium punggung tanganku.Aku tersentak dan segera menarik tanganku. Kejadian itu begitu cepat dan tak pernah aku sangka. Kalau aku tahu dia akan melakukan itu pasti sebisa mungkin aku menghindari lelaki yang ada di hadapanku ini. Aku
SUAMIKU BUKAN LULUSAN D3BAB 45PoV: Atik“Tapi, Bu Weni, akan butuh waktu lama menunggu lagi kalau Mas Arlan yang jemput, sedangkan biaya administrasi sudah dibayarkan oleh Mas Reno.”“Jadi mantan suamimu itu minta kita pulang cepat supaya uangnya ingin segera diganti? Bilang padanya, saya akan ganti uangnya yang terpakai dua kali lipat. Dasar lelaki pelit perhitungan, takut sekali uangnya tidak diganti!” Bu Weni bersungut-sungut.Bu Weni sedang tidak sehat, baiknya aku tidak memaksanya untuk pulang bersama Mas Reno. Bu Weni juga sepertinya juga marah sekali mendengar nama Mas Reno. Jadi percuma jika aku memaksa.“Bukan Atik mau membela Mas Reno, Bu. Tapi aku tadi sudah mengatakan padanya bahwa setelah kita pulang dari sini akan mengganti uangnya. Tapi, ia tidak mau. Katanya anggap saja sebagai penebus dosanya pada Ibu.”Bu Weni hanya diam, sepetinya dia enggan menimpali ucapanku.Akhirnya aku memutuskan untuk menemui Mas Reno. Ketika aku sampai di depan lobi puskesmas, ternyata Mas