"Mas Ryan?" sapaku saat melihat Ryan sedang ada di belakang. "Sama siapa?" tanyaku memperhatikan sisi kiri dan kanannya."Sendiri aja. Maklum, belum punya kenalan daerah sini," jawabnya. "Kalau gitu, gabung sini aja. Kebetulan kita lagi makan siang," tawarku sambil tersenyum. "Memang boleh, ya? Apa ... yang lain gak keberatan?" Mas Ryan nampak ragu. Aku menatap Fara. Ia pun mengangguk. Sementara Hanan, datar tanpa ekspresi. "Tentu saja tidak. Orang kita tetanggaan," jawabku. "Oke, kalau gitu. Aku gabung, ya," timpalnya sambil menarik kursi dan mendudukinya. "Hai Ilham. Masih ingat sama Om?" Mas Ryan menatap Ilham yang masih menikmati es krimnya. "Om yang anterin Ilham sama Bunda ke rumah nenek, kan?" tebak Ilham. "Ya, benar. Om juga, kan, rumahnya di depan rumah nenek Ilham," jawab Mas Ryan. "Oh, iya. Ilham suka lihat," timpal Ilham. "Oh, iya, Mas, kenalkan ini Fara, adikku," tuturku sambil memegang lengan Fara. Mereka pun saling bersalaman sambil mengatakan nama masing-masi
Aku mendadak tak enak pada Mas Ryan setelah mengatakan hal demikian. Hingga suasana sempat terasa sedikit canggung. "Gak masalah. Lagipula, aku sudah ikhlas, kok. Mungkin ini sudah takdir yang digariskan Tuhan untukku," jawabnya sambil tersenyum. "Benar, Mas. Sebagai seorang manusia, kita hanya perlu menjalani peran sebaik-baiknya. Untuk hasilnya, serahkan sepenuhnya pada yang di atas," timpalku. Keasikan berbincang, akhirnya aku dan Mas Ryan sampai di area play ground anak. Aku mengedarkan pandangan, mencari-cari keberadaan Ilham bersama Tante dan Om-nya. "Itu Ilham!" tunjuk Mas Ryan pada arena permainan tembak-tembakan. "Oh, iya," timpalku sambil berjalan hendak menghampiri Ilham. Nampak ia sedang fokus bermain tembak-tembakan diajari oleh Hanan. Sementara Fara sedang fokus mengambil boneka kecil dari permainan yang dijepit. Sayangnya, boneka beruang berwarna pink itu keburu terjatuh sebelum akhirnya sampai ke lubang."Arrggghh ....!" Fara pun menjerit kesal. "Coba lagi," tit
"Gak enak kenapa. Orang di sini sudah pada kenal Nak Hanan semua." Ibu menimpali sambil terkekeh. "Hehe. Iya, Bu. Makasih banyak, ya. Saya senang banget bisa bertemu dengan orang-orang yang menganggap saya seperti keluarga sendiri," balas Hanan. "Melihat ibu dan bapak, saya selalu teringat pada ibu dan bapak saya yang sudah gak ada," lanjut Hanan dengan raut wajah berubah sendu. "Nak Hanan gak usah sedih. Anggap saja ibu sama bapak seperti ibu dan bapak Nak Hanan sendiri. Gak perlu sungkan." Ibu mengusap punggung Hanan lembut. "Ini adik atau kakakku ketemu gede, ya, Bu?" godaku agar Hanan tak bersedih lagi. "Ish ... kamu ini. Orang lagi sedih malah digangguin!" Ibu menepuk lenganku pelan. "Saya gak apa-apa, kok, Bu. Cuma terharu," timpal Hanan sambil tersenyum tipis."Udah, gak perlu sedih lagi. Entar aku masakin makanan kesukaan kamu," kataku pada Hanan. "Memangnya masih ingat?" Dia malah bertanya. "Tumis kangkung sama perkedel, kan?" tebakku. "Aku tuh masih ingat banget, wakt
Tak ingin lagi melihat hal yang membuat hatiku porak poranda, aku pun memilih meletakkan ponsel itu ke tempatnya semula. Aku segera mengusap kedua mata yang mulai berair. Ingin menepati janjiku pada diri sendiri, kalau aku tak ingin menangisi lagi tentang apapun yang berkaitan dengan Mas Hilman. Tawa riang Ilham dari teras depan membuat pikiranku teralihkan. Aku pun bangkit untuk menghampirinya. Nampak ia sedang asik bermain mobil-mobilan yang dinaiki ditemani ibu yang sedang selonjoran di teras. Mengetahui kedatanganku, ibu menoleh. Kemudian tersenyum tulus. "Sudah selesai beres-beresnya?" tanya ibu. Aku mengangguk sambil tersenyum kecil. "Duduk sini. Enak anginnya seger," pinta ibu. Aku melangkah. Menuruti perintah ibu dan duduk di sebelahnya. "Bu," kataku membuat ibu menoleh. "Mas Hilman dan Anita sudah menikah." "Apa? Kok bisa? Bukannya kalian belum resmi berpisah?" timpal ibu terlihat kaget. "Entahlah, Bu. Aku juga gak tau. Mungkin saking ngebetnya makanya menghalalkan s
"Bunda ....!" Tiba-tiba Ilham berlari ke arahku dan langsung memeluk tubuhku. "Katanya mau beli sepeda?" tanya Ilham dengan bibir mengerucut. "Sekarang kan sudah sore, Sayang. Besok lagi, ya?" jawabku sambil tersenyum dan membelai pucuk kepalanya. "Ilham mau sepeda?" tanya Hanan sambil menatap keponakannya itu. Ilham mengangguk antusias. "Nanti beli sama Om, ya!" timpalnya. "Kapan, Om?" Ilham bertanya dengan penuh pengharapan. "Ehmm ... gimana kalau besok sore? Sekarang udah mau magrib. Tokonya pasti sudah pada tutup," jawab Hanan."Asik .... Janji, ya, Om!" Hanan mengulurkan jari kelingkingnya pada Hanan. "Janji!" Hanan pun mengaitkan jari kelingkingnya dengan senyum merekah. "Makasih, Om!" ucap Ilham sambil mengecup pipi Hanan."Sama-sama jagoan!" timpal Hanan sambil mengacak pelan rambut Ilham. Hatiku menghangat sekaligus terenyuh melihat kedekatan dan keakraban mereka berdua. Keberadaan Hanan, benar-benar mampu menjadi sosok ayahnya yang kian hari kian tak ada kabar. Bahk
Baru saja aku akan meletakkan ponselku saat layarnya kembali menyala. Pesan dari Mas Hilman kembali masuk dan langsung aku buka.[Baiklah. Kita bicarakan semuanya nanti saat ketemu. Yang penting sekarang, kita harus ketemu secepat mungkin. Katakan saja kamu mau ketemuan di mana?][Nanti sore aku mau ke daerah kota untuk beli sepeda Ilham. Kita ketemu di taman kota saja. Jam setengah lima sore.] balasku. [Baiklah. Aku tunggu kamu di sana.]Aku memilih untuk tak membalasnya. Langsung saja aku letakkan kembali ponsel itu di tempat semula. Badan yang terasa lengket karena tak hentinya beraktivitas dari pagi, membuatku buru-buru melangkah menuju kamar mandi. Apalagi hari juga sudah hampir masuk waktu duhur. ***Waktu yang dinanti pun tiba. Setelah melaksanakan solat asar, aku dan Ilham sudah bersiap. Duduk di teras depan menunggu Hanan keluar dari kamarnya. "Bu, sepertinya aku pulangnya telat. Ada urusan sebentar," tuturku pada ibu yang juga ikut duduk di dekat cucunya itu. "Mau ke man
Mobil yang baru saja melaju kini langsung berhenti saat Hanan tiba-tiba menginjak remnya. Aku langsung menoleh dan menatapnya. "Ketemu Bang Hilman?" tanya Hanan seolah ragu dengan apa yang dikatakan. Aku mengangguk. "Dia mau ketemu Ilham katanya. Ada perlu juga sama aku.""Kan bisa datang langsung ke rumah. Rumah ibu bapakmu masih di tempat yang sama. Belum pindah. Kenapa harus ketemu di luar." Hanan terdengar menggerutu meski ia kembali melajukan mobilnya. "Aku sudah bilang gitu, tapi dia gak mau," jawabku. "Gak apa-apa lah. Daripada berdebat, mending ikutin aja kemauannya. Lagian, aku juga kan ada perlu sama dia. Mau minta dia buru-buru urus perceraian kami."Hanan tak lagi menanggapi. Dia mengemudikan mobilnya dalam diam. Raut wajahnya terlihat kesal. Meski begitu, mobilnya tetep melaju ke arah taman kota. Bahkan hampir sampai karena jarak dari toko sepeda memang lumayan dekat. "Mau ikut turun?" tanyaku saat mobil sudah menepi tepat di samping taman kota. "Enggak. Aku di sini
POV HananAku melirik jam berwarna hitam yang bertengger di pergelangan tangan. Sudah hampir setengah jam Zara pergi, tapi belum ada tanda-tanda dia akan segera kembali. Entah apa yang sedang dia dan Bang Hilman bicarakan. Bahkan, Ilham yang duduk di sampingku pun sudah terlihat gelisah. Padahal, aku sudah memberinya tontonan anak di hp milikku. "Om, kok, Bunda lama, ya?" tutur Ilham dengan wajah sedikit merengut. "Ilham bosan?" tanyaku sambil menatap sepasang mata beningnya.Anak berambut hitam pekat itu mengangguk pelan. Tangannya lalu mengulurkan ponsel yang masih memutar video film kartun kesukaannya. "Kalau gitu, kita turun, ya. Sambil nyari es krim," tawarku padanya. "Mau, Om!" timpalnya dengan mata berbinar. Aku pun mengajak Ilham turun. Menuntun tangan kecilnya menyusuri pinggiran taman kota sambil mengedarkan pandangan mencari-cari keberadaan tukang es krim. Angin sore yang berhembus menerpa wajahku menghadirkan rasa sejuk dan segar. Namun, tidak sampai ke dalam hatiku