Share

Bab 5

Mumpung hari masih siang, aku pun memutuskan untuk langsung ke rumah Anita dan menitipkan Ilham di rumah Rima. Beruntung aku mengetahui alamat rumah sahabat suamiku itu karena dulu Mas Hilman sempat mengajakku ke rumahnya.

Berbekal motor matik milik Rima, aku melaju menembus jalanan di siang hari yang panasnya terasa begitu menyengat dan membakar kulit. Sepanjang perjalanan hatiku tak karuan memikirkan reaksi apa yang akan ditampilkannya padaku. Ah b0do amat. Mas Hilman kan memang suamiku, bukan suaminya. Jadi aku yang lebih berhak menentukan siapa saja yang boleh bergaul dekat dengan suamiku itu.

Setelah setengah jam perjalanan, akhirnya motor yang aku kendarai sampai di halaman rumah yang kini nampak jauh berbeda dari rumahnya dulu. Bangunannya kini lebih besar dan luas dengan terlihat megah. Tak heran, karena Anita sebelumnya mempunyai seorang suami yang sukses dan mapan. Entah hal apa yang menyebabkan mereka memutuskan untuk bercerai padahal sudah ada putri kecil yang sangat cantik dari hasil pernikahan mereka.

Saat turun dari motor, jantungku sudah mulai berdetak tak karuan. Apalagi saat kakiku melangkah menuju pintu yang tertutup rapat di depan sana. Berkali-kali aku menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan untuk mengurangi debaran hebat dalam dada.

Grogi, takut, semuanya bercampur menjadi satu. Bagaimana tidak, seumur-umur aku belum pernah melabrak seorang wanita. Tapi kini, aku harus berani melakukannya demi keutuhan rumah tanggaku.

Beberapa saat setelah aku mengetuk pintu itu, seorang wanita paruh baya keluar seraya tersenyum ramah. Aku pun lekas mengucapkan salam yang langsung dijawab olehnya.

"Maaf, apa Mbak Anita-nya ada di rumah?" Aku bertanya sesopan mungkin.

"Oh ... Ibu Anita. Ada. Kebetulan dia baru saja pulang dari butik," jawab wanita yang mengenakan ciput sebagai penutup rambutnya tersebut. "Silakan masuk. Biar, Mbok panggilkan dulu," lanjutnya.

Aku pun mengangguk lalu masuk ke dalam rumah yang nampak megah tersebut. Tubuhku yang hampir mendarat sempurna di sofa gegas aku angkat kembali saat mataku menangkap sebuah foto yang begitu mengganggu pikiranku. Aku pun melangkah mendekati foto tersebut. Foto kebersamaan Anita dan Mas Hilman dulu sebelum keduanya sama-sama menikah.

Tiba-tiba hatiku terasa direm4s melihat kebersamaan mereka yang nampak begitu akrab dan nyaris tanpa jarak. Bahkan Anita mengalungkan kedua tangannya di leher Mas Hilman yang berdiri di depannya.

'Sabar Zara sabar. Itu cuma foto masa lalu.' Aku berusaha menenangkan hatiku sendiri saat dadaku mulai bergemuruh dengan begitu hebatnya. Bahkan, kepalaku rasanya sudah berasap saking panasnya api cemburu yang membakar kalbu.

"Ehhmm."

Suara deheman membuatku langsung berbalik. Mengalihkan perhatianku dari foto yang masih kupandangi pada wanita bertubuh tinggi semampai di hadapanku.

"Duduk, Ra!" titahnya datar. Bahkan wajahnya sama sekali tidak menunjukkan rasa bersalah atas apa yang terjadi kemarin dan juga semalam.

"Terima kasih." Aku menjawab seraya mendaratkan tubuhku di atas sofa tak jauh darinya.

Untuk sesaat, hening menyelimuti kami berdua. Aku bingung harus mulai bicara dari mana.

"Bagaimana keadaan Nisya sekarang? Bukannya semalam demam, ya!" Aku memulai percakapan dengan basa-basi.

"Sudah baikan. Demamnya sudah mulai turun tadi pagi. Sekarang lagi tidur siang," jawab Anita sembari menatapku.

"Alhamdulillah. Syukurlah kalau sudah baikan," timpalku. "Sebenarnya, aku ke sini karena ada hal yang ingin aku bicarakan dengan Mbak Anita," lanjutku. Dari dulu aku memang selalu memanggilnya Mbak karena usianya lebih tiga tahun di atasku.

"Katakan saja!" Dia mengubah posisi duduknya menjadi lebih maju. Seolah bersiap untuk mendengar hal yang akan kusampaikan.

"Mbak Anita tau sendiri kan, Mas Hilman sekarang sudah menjadi suamiku. Aku ingin meminta Mbak untuk mengurangi intensitas kedekatan dengan Mas Hilman. Aku tidak meminta kalian untuk tidak berhubungan sama sekali, tapi aku mohon, batasi kedekatan kalian. Tolong hargai aku sebagai istri Mas Hilman." Aku berkata dengan wajah mengiba. Biarlah untuk kali ini aku rendahkan dulu diriku untuk sementara di hadapan Anita.

"Apa, Ra? Apa aku gak salah denger?" Anita seolah terkejut dengan permintaanku. Dia menatap mataku lekat seraya menggeleng-gelengkan kepalanya. "Kamu cemburu lihat kedekatan aku sama Mas Hilman?" Anita justru balik bertanya padaku. Entah sejak kapan panggilan Anita pada sahabatnya itu menjadi Mas. Padahal dulu selalu memanggil dengan sebutan nama.

"Tidak akan ada seorang pun istri di dunia ini yang tidak cemburu melihat kedekatan suaminya dengan wanita lain." Aku menjawab sejujurnya.

"Tapi kita itu sahabatan, Ra. Bahkan, aku sama Mas Hilman sudah deket jauh sebelum kalian menikah. Bukannya kamu juga tau itu!" Anita melipat kedua tangannya di dada seraya mendelik tak suka.

"Tapi sekarang aku sudah jadi istrinya Mas Hilman. Aku tidak mau Mas Hilman dekat dengan wanita manapun termasuk Mbak Anita. Jadi tolong jauhi suamiku!"

Lekas aku bangkit dari sofa lalu berjalan keluar rumah. Malas rasanya untuk berlama-lama dengan wanita yang sama sekali tidak mengerti dengan perasaan wanita lain. Padahal, dia juga pernah menjadi seorang istri. Aku juga yakin, dia juga tidak akan rela jika suaminya dekat dengan perempuan lain.

Sebelum menaiki motor, aku menghela napas panjang terlebih dahulu untuk menormalkan detakan jantung yang masih memburu dengan dada masih naik turun. Setidaknya, sekarang aku merasa lega karena sudah memperingatkan Anita. Semoga saja dia mau menuruti permintaanku.

Aku kembali melajukan motorku menuju rumah Rima. Kendaraan roda dua tersebut aku pacu dengan kecepatan lumayan tinggi karena khawatir keburu sore dan Mas Hilman keburu pulang.

"Aku langsung pulang, ya, Rim. Terima kasih banyak, lho, udah bantu ngejaga Ilham. Makasih juga udah pinjemin motor." Aku tersenyum lebar menatap Rima.

"Kamu ini kayak sama siapa aja. Lagian Ilham anteng kok sama Ria," jawab Rima sembari menepuk pundakku pelan. "Oh, iya. Aku cuma bisa mendoakan, semoga pernikahan kalian baik-baik saja, ya. Moga Hilman bisa ngertiin perasaan kamu. Tapi kalau kamu ada apa-apa, jangan sungkan cerita sama aku!" Rima mengelus punggungku pelan sambil tersenyum tipis.

"Aamiin. Aku pulang sekarang, ya. Dah Ria!" Aku melambaikan tangan pada Ria yang di dalam sana. Lalu masuk ke dalam grab yang sudah menunggu di depan.

Sepanjang perjalanan, aku mendengarkan cerita Ilham tentang keseruannya bermain bersama Ria. Matanya begitu berbinar diikuti suaranya yang terdengar riang. Aku mengecup pucuk kepalanya berkali-kali di tengah-tengah ceritanya yang belum berakhir. Hingga akhirnya, mobil yang kutumpangi sampai di halaman rumahku.

Saat kakiku turun dari mobil, mataku sedikit membulat melihat Mas Hilman yang sudah berdiri di teras rumah. Dia memandang ke arahku dengan tatapan tajam. Tumben Mas Hilman sudah pulang padahal baru pukul empat sore. Tak biasanya dia pulang cepat seperti ini.

"Ayah ...!" Kaki mungil Ilham langsung berlari menghampiri ayahnya itu. Sementara aku mengikutinya dari belakang dengan jantung yang berdegup tak beraturan.

"Sudah pulang, Mas?" tanyaku dengan mimik wajah senormal mungkin seraya mengulurkan tangan untuk mencium tangannya.

"Dari mana kamu?" Bukannya menjawab, dia malah balik bertanya tanpa membalas uluran tanganku.

"Aku ... dari rumah Rima. Kan tadi pagi sudah bilang sama Mas," jawabku.

"Bukannya kamu habis dari rumah Anita? Ngomong apa kamu sama dia?" Mas Hilman kembali bertanya dengan sepasang matanya yang menatapku ny4lang.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status