Share

Bab 4

Penulis: Siska_ayu
last update Terakhir Diperbarui: 2022-11-03 10:48:42

Di atas tempat tidur, badanku meringkuk terbungkus selimut tebal. Buliran bening masih sesekali menetes dari sudut mata. Rasa sesak pun masih menggelayut hebat dalam dada. Kepergian Mas Hilman tanpa meminta persetujuan dariku, membuatku merasa menjadi istri yang tak ada artinya sama sekali di matanya. Aku bagaikan seorang istri yang tak dianggap.

Detakan jarum jam terdengar begitu jelas dalam keheningan malam. Sudah hampir pukul sebelas malam, tapi Mas Hilman belum juga kembali. Aku memilih turun dari tempat tidur, lalu mengintip ke arah luar melalui tirai jendela. Nihil. Tak ada tanda-tanda Mas Hilman akan segera pulang.

Aku hanya bisa terus mondar-mandir di dalam kamar dengan hati yang semakin gelisah. Aku pun mengambil ponsel yang tergeletak di atas nakas. Kemudian menekan kontak bernama suamiku. Namun, hanya suara operator yang terdengar menandakan bahwa nomor Mas Hilman tidak aktif.

Lagi-lagi aku hanya bisa menghela napas pelan saat hatiku kembali terasa dit1kam dengan begitu kuat. Aku kembali naik ke atas tempat tidur meski hati masih diliputi rasa waswas. Mencoba memejamkan mata meski sangat sulit karena pikiran yang masih melayang.

Saat mataku hampir tertutup sempurna, aku mendengar deru mesin mobil di halaman rumah. Sepertinya Mas Hilman sudah pulang. Namun, aku enggan untuk menghampirinya ke depan. Biarlah dia masuk sendiri. Toh dia selalu membawa kunci cadangan rumah.

Aku pura-pura tertidur saat derap langkah kaki Mas Hilman mulai terdengar di luar kamar. Sedetik kemudian, pintu kamar pun terdengar terbuka dan langsung ditutup kembali. Masih bisa kudengar dengan jelas aktivitas Mas Hilman saat membuka pintu lemari.

R4njang tempatku berbaring terasa bergerak seiring Mas Hilman yang ikut merebahkan badannya di sampingku. Tiba-tiba aku merasakan tangan Mas Hilman melingkar di pinggangku yang tidur memunggungi dirinya. Ia pun sempat mengecup pucuk kepalaku pelan sebelum akhirnya dengkuran halus keluar dari mulutnya.

***

"Pagi, Sayang." Mas Hilman menyapaku seraya mengecup keningku saat aku sedang menyiapkan sarapan. Sikapnya terlihat biasa seolah apa yang dilakukannya kemarin dan semalam bukanlah masalah besar. Bahkan, tak ada ucapan permintaan maaf atau sejenisnya.

Aku hanya tersenyum tipis menanggapinya. Kemudian meletakkan piring dan gelas tepat di hadapannya yang sudah duduk di kursi meja makan. Aku melayani Mas Hilman seperti biasa. Meski hatiku masih begitu sakit menerima perlakuannya yang lebih mengutamakan Anita, namun, aku tak ingin mengubah mood pagi hari ini dengan mengajaknya kembali berdebat.

"Mas, nanti siang aku mau ke rumah Rima. Sudah lama gak main ke rumahnya," tuturku pada Mas Hilman.

"Tapi pulangnya jangan kesorean. Jangan sampai pas aku pulang, kamu belum ada di rumah," jawab Mas Hilman tegas.

Aku hanya mengangguk pelan pertanda setuju. Tak ingin banyak membantah meski sebenarnya ingin protes. Sudah lelah rasanya dengan pertengkaran selama ini yang tak pernah berujung.

"Oh, iya. Besok kita ke rumah ibu, ya. Hanan pulang katanya." Mas Hilman kembali berbicara.

"Hanan pulang? Kapan?" tanyaku antusias.

"Hari ini. Kayaknya masih di jalan. Makanya kita besok ke sana. Biar Hanan hari ini istirahat," jawab Mas Hilman.

Aku mengangguk. Senang sekali rasanya mendengar Hanan sudah kembali. Hanan adalah adik Mas Hilman yang juga temanku sewaktu SMA. Bedanya, setelah lulus SMA aku langsung bekerja, sementara Hanan melanjutkan kuliah.

Selesai kuliah, sebenarnya Hanan sudah kembali ke kota ini. Namun, tepat sehari sebelum pernikahanku dan Mas Hilman, dia kembali terbang ke luar kota karena ada wawancara kerja dan langsung menetap di sana. Selama itu pula, aku belum pernah bertemu dengannya lagi. Entah kenapa dia enggan pulang meski sudah bertahun-tahun merantau.

***

Aku berdiri di depan pintu bercat putih di hadapanku. Menunggu sang pemilik rumah membukanya setelah aku menekan bel.

"Zara ...!" Rima langsung menghambur memeluk badanku saat pintu sudah terbuka. "Kangen banget, sih," lanjutan seraya mengurai pelukan.

"Ckk. Baru juga seminggu gak ketemu," timpalku seraya tersenyum lebar.

"Hehe, iya, sih." Ia ikut tersenyum lebar. "Ayo, masuk. Ilham, masuk yuk, Sayang!" Rima menuntun tangan Ilham memasuki rumahnya.

"Ria .... Ada Ilham, nih! Ajakin main gih!" Rima sedikit berteriak memanggil Ria, anaknya yang berbeda satu tahun dengan Ilham.

Sesaat kemudian, anak perempuan berambut dikuncir itu datang dengan langkah cepat.

"Hai, Ilham," sapanya pada anakku. Mereka memang sudah cukup dekat karena sering bertemu.

"Ilham main di dalam sama Kak Ria, ya. Bunda nungguin di sini," titahku pada Ilham.

Ilham mengangguk kemudian mengikuti langkah Ria menuju ruang khusus bermain. Sementara aku dan Rima duduk di ruang TV.

"Kamu kenapa sih? Mukanya kok kayak kusut gitu!" Rima menelisik wajahku dengan kening berkerut.

"Biasalah. Mas Hilman," jawabku singkat. Rima memang selalu menjadi tempatku untuk curhat.

"Sama Anita lagi?" tebaknya tanpa mengalihkan matanya dari mataku.

Aku mengangguk mengiyakan. "Anita sekarang sudah pindah lagi ke sini. Dia udah cerai sama suaminya."

"What?" Rima nampak terperanjat.

Aku kembali mengangguk lalu menceritakan peristiwa kemarin di mall dan tentang kepergian Mas Hilman semalam.

"Suamimu benar-benar parah, Ra!" Rima menggelengkan kepalanya. "Dulu-dulu, cuma telponan aja udah berlebihan menurutku. Apalagi sekarang mereka kembali dekat. Gak cuma lewat telepon." Rima melanjutkan perkataannya.

"Aku tau Rim. Tapi aku bingung harus gimana! Aku udah capek ngingetin dia. Toh gak pernah digubris!" Aku mengeluh pelan.

"Ra, yang namanya laki-laki dan perempuan deket, itu gak mungkin murni cuma karena sahabatan. Pasti salah satunya ada yang menyimpan rasa. Percaya deh sama aku. Kalau bukan Anita yang mencintai suamimu, berarti suamimu yang mencintai Anita."

Wajahku langsung mendongak menatap sepasang mata Rima yang nampak berbicara dengan serius. Apa benar Mas Hilman mencintai Anita? Atau mungkin Anita yang mencintai Mas Hilman?

"Terus aku harus gimana, Rim? Apa aku harus nyerah aja dan melepaskan Mas Hilman? Aku udah cape, Rim. Ngebahas masalah yang itu-itu mulu bertahun-tahun."

"Jangan langsung nyerah gitu saja dong, Ra. Kamu itu istrinya Hilman. Jelas kamu lebih berhak daripada Anita atau wanita manapun. Apalagi kamu sudah jadi ibu untuk anaknya Hilman. Kalau kamu sudah menegur Hilman berkali-kali tapi tetap tak ada perubahan, berarti kamu harus negur Anita. Toh Hilman juga gak mungkin deketin Anita terus kalau Anita-nya gak merespon." Rima berkata dengan berapi-api.

Benar apa yang dikatakan Rima barusan. Aku memang sudah sering menegur Mas Hilman, tapi aku tak pernah menegur Anita. Dulu aku berpikir, itu bukanlah kewajibanku tapi kewajiban suaminya Anita. Tapi sekarang, Anita sudah sendiri. Kalau aku terus-terusan membiarkan Mas Hilman dekat dengan Anita, itu artinya aku membiarkan Mas Hilman mendekati jurang kehinaan, yaitu zina. Aku juga takut akan adanya fitnah yang menimpa Mas Hilman suatu hari nanti.

"Kamu benar, Rim. Aku harus menemui Anita dan memintanya untuk menjauhi Mas Hilman. Sebelum semuanya terlampau jauh dan aku tak bisa menyelamatkan pernikahanku," tuturku dengan mata menerawang.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • SUAMIKU BUKAN SUAMIMU   Bab 63b

    Aku menoleh. Lalu mengerlingkan mata ke arahnya. "Coba lihat jam dinding. Sudah hampir pukul enam, Sayang. Mau pas lagi tanggung tiba-tiba ada yang gedor pintu?" Hanan pun langsung tertawa ngakak mendengarnya. Hari ini, kami minta ijin pada kedua orang tuaku untuk pindah ke toko kelontongan. Dengan senang hati, ibu bapak mengijinkan. Melihat Fara, aku semakin yakin untuk pindah dari rumah ini. Karena bukan tidak mungkin, jika aku dan Hanan tetap tinggal di sini, Fara akan tersakiti melihat kemesraan kami. Menjelang siang, aku dan Hanan berangkat ke toko tanpa membawa banyak barang. Hanya baju-baju milikku, Ilham dan Hanan yang dibawa. Karena menurut Hanan, di sana sudah ada barang-barang rumah tangga yang cukup komplit. Sampai di sana, keadaan toko masih tutup karena Hanan memang sengaja libur dari kemarin. Tokonya lumayan besar. Apalagi lokasinya tepat di jalan utama dekat dengan pasar induk. "Yuk, masuk!" ajaknya padaku dan Ilham saat kami turun dari mobil. Kami pun memasuki

  • SUAMIKU BUKAN SUAMIMU   Bab 63a

    "Bangun, Sayang. Mandi dulu." Hanan berbisik tepat di telingaku. Dia juga mengecup keningku lembut saat mata ini masih tertutup. Sejujurnya, aku sudah terbangun saat merasakan pergerakan ia yang turun dari ranjang. Hanya saja, aku ingin mengetahui bagaimana caranya dia membangunkan aku setelah apa yang terjadi semalam. Ternyata semanis ini. Aku pura-pura masih terlelap dan tak menanggapinya. Berkali-kali dia mencium pipi dan keningku bergantian. Andai aku tak menahannya, sudah dipastikan aku akan tersenyum tanpa henti karena sikap romantisnya. "Sayang ... bangun! Atau ... aku perlu mengulang apa yang sudah kita lakukan semalam?" Mendengar penuturannya, mataku langsung terbuka lebar. Lekas aku beringsut dan duduk sambil menatapnya. Hanan yang duduk di pinggir ranjang langsung tertawa kecil melihat reaksiku. "Bercanda. Sebentar lagi juga subuh," tukasnya dengan sisa tawa di bibirnya. Aku pun langsung mengerucutkan bibir sambil turun dari ranjang. "Air panasnya sudah aku tuang ke da

  • SUAMIKU BUKAN SUAMIMU   Bab 62b

    Kami duduk saling berhadapan sambil menunggu pesanan tiba. Tidak dipungkiri, ada rasa grogi saat kembali bertemu dengannya. Apalagi saat dia terus menatapku tanpa berkedip. Rasanya pipiku sudah memerah dan memanas. "Kamu kenapa ngeliatin gitu?" tanyaku salah tingkah. Dia malah menyangga dagunya dengan tangan tanpa mengalihkan pandangan dariku. "Sebulan loh, Ra, kita gak ketemu. Aku kan udah bilang berkali-kali kalau aku kangen banget sama kamu. Apalagi, makin hari kamu makin cantik. Bagaimana mungkin aku bisa melewatkan kesempatan sebagus ini.""Ish ... udah pintar ngegombal ternyata." Aku sedikit mendelik sambil tersipu malu. "Bukan menggombal. Tapi ini kenyataan," timpalnya. "Oh, iya. Besok aku ke rumah kamu buat lamaran. Kamu juga libur, kan?" tanyanya. Aku mengangguk. Mendengar kata lamaran, jantungku kembali berlompatan. Aku serasa melayang di langit paling tinggi saking bahagianya. Hingga akhirnya pesanan bakso sampai dan kami menikmati bakso itu sambil berbincang ringan. M

  • SUAMIKU BUKAN SUAMIMU   Bab 62a

    Aku menangis. Meremas seprai kuat-kuat untuk menyalurkan rasa sakit yang tak tertahankan. Tiba-tiba saja aku merasa tubuhku diguncang seseorang. "Ra, bangun! Kamu kenapa?" Aku membuka mata. Memperhatikan sekeliling. Hanya ada ibu yang berdiri di pinggir ranjang dengan tatapan heran. "Kamu kenapa nangis nangis jam segini?" Ibu mengulang pertanyaannya. Aku melirik jam dinding. Ternyata baru menunjuk ke angka empat dini hari. Lekas aku mengusap wajah sambil mengucap Alhamdulillah karena semua itu hanya mimpi. "Zara gak apa-apa, Bu. Cuma mimpi buruk," jawabku tersipu malu. "Walah, kamu ini. Makanya, sebelum tidur itu baca doa, biar gak mimpi buruk kayak gitu," timpal ibu sambil berbalik dan pergi meninggalkan kamarku. Saking bahagianya, semalam aku memang lupa tidak berdoa sebelum tidur. Mungkin itulah sebabnya aku bisa mimpi mengerikan seperti itu.Untuk menenangkan debaran jantung yang masih belum beraturan, aku pun turun dari ranjang lalu mengambil air wudu. Setelahnya, aku meng

  • SUAMIKU BUKAN SUAMIMU   Bab 61b

    Tidak terlalu banyak percakapan di antara kami. Karena otakku juga sibuk memutar ulang momen yang baru saja terjadi. Momen bahagia yang membuatku berbunga-bunga dan tersipu tanpa sadar. Bahkan, saat kembali melanjutkan pekerjaan pun, bayang-bayang itu tak kunjung hilang dari ingatan. Membuatku sudah merindukan Hanan padahal baru berpisah beberapa jam yang lalu. Sore menjelang. Waktu pulang pun sudah tiba. Sebelum bersiap, aku mengecek ponsel untuk melihat pesan yang masuk. Karena dari tadi aku sudah gelisah menunggu kabar dari Hanan yang tak kunjung muncul. Aku menghela napas pelan saat mengetahui kalau Hanan tak mengirim pesan sama sekali. Rasa kecewa membuat dadaku tiba-tiba sesak. Namun, baru saja aku akan kembali memasukkan ponsel ke dalam tas, getarannya membuatku urung. Saat dilihat, mataku langsung berbinar melihat siapa yang mengirim pesan.[ Maaf baru ngabarin. Tadi ponselku lowbat dan mati. Alhamdulillah aku sudah sampai dengan selamat. Kamu sudah pulang belum?][ Alhamdu

  • SUAMIKU BUKAN SUAMIMU   Bab 61a

    Laju air mata mengalir semakin deras setelah mendengar penuturan Hanan. Kakiku rasanya lemas tak bertulang hingga hampir ambruk andai tak ada kursi yang langsung menopang tubuhku. Aku terduduk di kursi itu dengan perasaan campur aduk. "Ra ...!" Mas Ryan mendekat. Tangannya hampir memegang pundakku andai tanganku tak langsung memberi kode agar ia jangan melakukan hal itu. "Tapi kenapa, Han? Bukannya kamu sendiri pernah bilang, kalau kamu gak akan pernah pergi jika aku mengatakan perasaan yang sebenarnya." Aku kembali menatap Hanan yang masih berdiri di tempatnya. "Maaf, Ra. Aku sudah janji ke perusahaan akan segera kembali untuk mengurus semuanya," jawab Hanan."Maksudnya? Mengurus apa? Lalu aku dan Ilham?" Aku semakin terisak. Perih sekali rasanya mengetahui Hanan tetap akan pergi dan tak akan mengurungkan niatnya."Justru karena hal itulah aku terpaksa harus pergi. Pihak perusahaan memintaku untuk tetap stay di sana. Jika aku menolak, aku diminta untuk mengundurkan diri. Dan aku,

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status