Share

Bab 4

Di atas tempat tidur, badanku meringkuk terbungkus selimut tebal. Buliran bening masih sesekali menetes dari sudut mata. Rasa sesak pun masih menggelayut hebat dalam dada. Kepergian Mas Hilman tanpa meminta persetujuan dariku, membuatku merasa menjadi istri yang tak ada artinya sama sekali di matanya. Aku bagaikan seorang istri yang tak dianggap.

Detakan jarum jam terdengar begitu jelas dalam keheningan malam. Sudah hampir pukul sebelas malam, tapi Mas Hilman belum juga kembali. Aku memilih turun dari tempat tidur, lalu mengintip ke arah luar melalui tirai jendela. Nihil. Tak ada tanda-tanda Mas Hilman akan segera pulang.

Aku hanya bisa terus mondar-mandir di dalam kamar dengan hati yang semakin gelisah. Aku pun mengambil ponsel yang tergeletak di atas nakas. Kemudian menekan kontak bernama suamiku. Namun, hanya suara operator yang terdengar menandakan bahwa nomor Mas Hilman tidak aktif.

Lagi-lagi aku hanya bisa menghela napas pelan saat hatiku kembali terasa dit1kam dengan begitu kuat. Aku kembali naik ke atas tempat tidur meski hati masih diliputi rasa waswas. Mencoba memejamkan mata meski sangat sulit karena pikiran yang masih melayang.

Saat mataku hampir tertutup sempurna, aku mendengar deru mesin mobil di halaman rumah. Sepertinya Mas Hilman sudah pulang. Namun, aku enggan untuk menghampirinya ke depan. Biarlah dia masuk sendiri. Toh dia selalu membawa kunci cadangan rumah.

Aku pura-pura tertidur saat derap langkah kaki Mas Hilman mulai terdengar di luar kamar. Sedetik kemudian, pintu kamar pun terdengar terbuka dan langsung ditutup kembali. Masih bisa kudengar dengan jelas aktivitas Mas Hilman saat membuka pintu lemari.

R4njang tempatku berbaring terasa bergerak seiring Mas Hilman yang ikut merebahkan badannya di sampingku. Tiba-tiba aku merasakan tangan Mas Hilman melingkar di pinggangku yang tidur memunggungi dirinya. Ia pun sempat mengecup pucuk kepalaku pelan sebelum akhirnya dengkuran halus keluar dari mulutnya.

***

"Pagi, Sayang." Mas Hilman menyapaku seraya mengecup keningku saat aku sedang menyiapkan sarapan. Sikapnya terlihat biasa seolah apa yang dilakukannya kemarin dan semalam bukanlah masalah besar. Bahkan, tak ada ucapan permintaan maaf atau sejenisnya.

Aku hanya tersenyum tipis menanggapinya. Kemudian meletakkan piring dan gelas tepat di hadapannya yang sudah duduk di kursi meja makan. Aku melayani Mas Hilman seperti biasa. Meski hatiku masih begitu sakit menerima perlakuannya yang lebih mengutamakan Anita, namun, aku tak ingin mengubah mood pagi hari ini dengan mengajaknya kembali berdebat.

"Mas, nanti siang aku mau ke rumah Rima. Sudah lama gak main ke rumahnya," tuturku pada Mas Hilman.

"Tapi pulangnya jangan kesorean. Jangan sampai pas aku pulang, kamu belum ada di rumah," jawab Mas Hilman tegas.

Aku hanya mengangguk pelan pertanda setuju. Tak ingin banyak membantah meski sebenarnya ingin protes. Sudah lelah rasanya dengan pertengkaran selama ini yang tak pernah berujung.

"Oh, iya. Besok kita ke rumah ibu, ya. Hanan pulang katanya." Mas Hilman kembali berbicara.

"Hanan pulang? Kapan?" tanyaku antusias.

"Hari ini. Kayaknya masih di jalan. Makanya kita besok ke sana. Biar Hanan hari ini istirahat," jawab Mas Hilman.

Aku mengangguk. Senang sekali rasanya mendengar Hanan sudah kembali. Hanan adalah adik Mas Hilman yang juga temanku sewaktu SMA. Bedanya, setelah lulus SMA aku langsung bekerja, sementara Hanan melanjutkan kuliah.

Selesai kuliah, sebenarnya Hanan sudah kembali ke kota ini. Namun, tepat sehari sebelum pernikahanku dan Mas Hilman, dia kembali terbang ke luar kota karena ada wawancara kerja dan langsung menetap di sana. Selama itu pula, aku belum pernah bertemu dengannya lagi. Entah kenapa dia enggan pulang meski sudah bertahun-tahun merantau.

***

Aku berdiri di depan pintu bercat putih di hadapanku. Menunggu sang pemilik rumah membukanya setelah aku menekan bel.

"Zara ...!" Rima langsung menghambur memeluk badanku saat pintu sudah terbuka. "Kangen banget, sih," lanjutan seraya mengurai pelukan.

"Ckk. Baru juga seminggu gak ketemu," timpalku seraya tersenyum lebar.

"Hehe, iya, sih." Ia ikut tersenyum lebar. "Ayo, masuk. Ilham, masuk yuk, Sayang!" Rima menuntun tangan Ilham memasuki rumahnya.

"Ria .... Ada Ilham, nih! Ajakin main gih!" Rima sedikit berteriak memanggil Ria, anaknya yang berbeda satu tahun dengan Ilham.

Sesaat kemudian, anak perempuan berambut dikuncir itu datang dengan langkah cepat.

"Hai, Ilham," sapanya pada anakku. Mereka memang sudah cukup dekat karena sering bertemu.

"Ilham main di dalam sama Kak Ria, ya. Bunda nungguin di sini," titahku pada Ilham.

Ilham mengangguk kemudian mengikuti langkah Ria menuju ruang khusus bermain. Sementara aku dan Rima duduk di ruang TV.

"Kamu kenapa sih? Mukanya kok kayak kusut gitu!" Rima menelisik wajahku dengan kening berkerut.

"Biasalah. Mas Hilman," jawabku singkat. Rima memang selalu menjadi tempatku untuk curhat.

"Sama Anita lagi?" tebaknya tanpa mengalihkan matanya dari mataku.

Aku mengangguk mengiyakan. "Anita sekarang sudah pindah lagi ke sini. Dia udah cerai sama suaminya."

"What?" Rima nampak terperanjat.

Aku kembali mengangguk lalu menceritakan peristiwa kemarin di mall dan tentang kepergian Mas Hilman semalam.

"Suamimu benar-benar parah, Ra!" Rima menggelengkan kepalanya. "Dulu-dulu, cuma telponan aja udah berlebihan menurutku. Apalagi sekarang mereka kembali dekat. Gak cuma lewat telepon." Rima melanjutkan perkataannya.

"Aku tau Rim. Tapi aku bingung harus gimana! Aku udah capek ngingetin dia. Toh gak pernah digubris!" Aku mengeluh pelan.

"Ra, yang namanya laki-laki dan perempuan deket, itu gak mungkin murni cuma karena sahabatan. Pasti salah satunya ada yang menyimpan rasa. Percaya deh sama aku. Kalau bukan Anita yang mencintai suamimu, berarti suamimu yang mencintai Anita."

Wajahku langsung mendongak menatap sepasang mata Rima yang nampak berbicara dengan serius. Apa benar Mas Hilman mencintai Anita? Atau mungkin Anita yang mencintai Mas Hilman?

"Terus aku harus gimana, Rim? Apa aku harus nyerah aja dan melepaskan Mas Hilman? Aku udah cape, Rim. Ngebahas masalah yang itu-itu mulu bertahun-tahun."

"Jangan langsung nyerah gitu saja dong, Ra. Kamu itu istrinya Hilman. Jelas kamu lebih berhak daripada Anita atau wanita manapun. Apalagi kamu sudah jadi ibu untuk anaknya Hilman. Kalau kamu sudah menegur Hilman berkali-kali tapi tetap tak ada perubahan, berarti kamu harus negur Anita. Toh Hilman juga gak mungkin deketin Anita terus kalau Anita-nya gak merespon." Rima berkata dengan berapi-api.

Benar apa yang dikatakan Rima barusan. Aku memang sudah sering menegur Mas Hilman, tapi aku tak pernah menegur Anita. Dulu aku berpikir, itu bukanlah kewajibanku tapi kewajiban suaminya Anita. Tapi sekarang, Anita sudah sendiri. Kalau aku terus-terusan membiarkan Mas Hilman dekat dengan Anita, itu artinya aku membiarkan Mas Hilman mendekati jurang kehinaan, yaitu zina. Aku juga takut akan adanya fitnah yang menimpa Mas Hilman suatu hari nanti.

"Kamu benar, Rim. Aku harus menemui Anita dan memintanya untuk menjauhi Mas Hilman. Sebelum semuanya terlampau jauh dan aku tak bisa menyelamatkan pernikahanku," tuturku dengan mata menerawang.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status