Bab 1 Viana Si Gadis Penindas
"Kalo jalan pake mata, sialan! Lihat gara-gara kecerobohan lo baju gue kotor!" bentak Viana Rajendra— berusia 17 tahun siswi kelas XII I. Siswi paling berkuasa di SMA Galaksi yang memiliki sebuah geng untuk menindas murid lemah. "Maaf, Kak. Aku engga sengaja!" Siswi yang beberapa saat yang lalu menabrak Viana, sehingga jus mangga yang berada di tangannya tumpah mengenai seragam Viana. "Gak sengaja lo bilang?" Viana terkekeh sinis membuat keadaan kantin SMA Galaksi semakin ricuh. SMA Galaksi merupakan sekolah swasta yang terkenal di Kota Swinden. SMA Galaksi berisi murid-murid yang berasal dari keluarga terpandang termasuk Viana dan keempat temannya yang suka menindas orang. "Viana, kayanya tuh cewek emang sengaja cari perkara sama lo!" teriak salah satu siswa dengan sengaja. "Kasih paham, Vi, biar dia gak bikin ulah lagi!" teriak siswa lainnya. Beberapa siswa dan siswi yang berada dipihak Viana dengan gencar memanas-manasi keadaan. Sebagian lagi memilih untuk diam tidak ikut campur. Dan mereka berhasil emosi Viana tersulut detik itu juga. Viana membaca tanda pengenal pada seragam gadis itu. Alin Nazila, Viana akan mengingat nama itu. Waktu menunjukan pukul 09.30 pagi kota Swinden. Waktu istirahat bagi para murid SMA Galaksi, namun Viana selalu menggunakannya untuk merundung murid lain. "Angkat kepala lo kalo ada orang ngomong!" sentak Viana lagi membuat tubuh Alin bergetar ketakutan. Geram dengan Alin yang masih setia menunduk. Viana menarik rambut Alin sehingga wajah gadis itu terangkat. Viana berdecih melihat air mata yang membasahi kedua pipi Alin. "Gue belum apa-apain lo aja udah nangis!" Viana mengulurkan tangan pada Rachel, salah satu temannya. Rachel yang mengerti menyerahkan satu gelas jus strawberry yang diterima baik oleh Viana. Dia dengan sengaja menyiramkan jus tersebut pada kepala Alin sebagai pembalasan. "Maaf, gue sengaja!" Viana tertawa diikuti oleh ketiga temannya. "Kasian banget Vi, seharusnya lo gak gitu kali," celetuk Kanara yang kini berdiri di samping Viana. "Yah, gue cuma bales kelakuan dia, kok. Emang salah?" Viana melepaskan jambakannya pada rambut Alin dengan kasar, membuat gadis itu terhuyung sedikit ke belakang. "Gak salah, sih, cuma kurang aja pembalasan Lo," sahut Seyra sambil tertawa. Viana ikut tertawa. Dia menarik dagu Alin dan mencengkeramnya dengan kuat. Tidak peduli dengan ringisan Alin saat kuku panjang Viana menancap pada dagunya. "Alin Nazila, itu nama lo, kan?" Manik abu-abu milik Viana menyorot Alin tajam. "Le–pasin, kak, sakit...," ringis Alin menahan perih pada dagunya. "Dengerin gue baik-baik! Karena lo udah cari gara-gara sama gue berarti lo udah siap sama konsekuensinya!" Seringai jahat terbit pada bibir ranum Viana. Wajah cantiknya terlihat menyeramkan di mata Alin yang kini dipenuhi air mata. "Selamat menikmati kehidupan neraka di SMA Galaksi!" Viana melepaskan cengkeramannya lalu mendorong tubuh kecil Alin dengan kuat. Alin terjatuh di lantai kantin. Tidak ada yang berani menolong Alin dari Viana dan ketiga temannya. Siapa yang ingin mencari masalah dengan gadis penindas seperti Viana? Tidak ada semua murid ingin hidup tenang di SMA Galaksi. "Gitu doang jatuh! Dasar lemah lo!" Viana mencemooh Alin. Tidak sampai disitu saja tangan Viana bersiap untuk menampar Alin. Namun, terhentin karena sebuah teriakan sopran. "Viana!" Viana dan ketiga temannya menoleh. Menemukan Bu Ajeng selaku guru BK di SMA Galaksi berjalan ke arahnya dengan wajah marah. Guru muda itu terkenal galak di sekolah hanya Viana yang berani mencari gara-gara pada Bu Ajeng. Kanara, Rachel, dan Seyra melirik takut pada Bu Ajeng. Sedangkan Viana justru tersenyum dengan wajah tak berdosa. "Ada apa, Bu?" tanyanya membuat Bu Ajeng naik pitam. "Kamu nanya ada apa sama saya, Viana?" geram Bu Ajeng menahan segala bentuk emosi dalam dirinya. Kelakuan Viana yang suka sekali menindas orang membuat dirinya kualahan.Tiap hari selalu ada murid yang melapor tentang aksi Viana yang sedang merundung murid lain. "Ibu, ngapain di sini? Mau makan siang di kantin murid?" Viana melupakan kekesalannya pada Alin.Gadis itu justru semakin memancing kemarahan Bu Ajeng. "Viana, udah deh, kita lagi dalam masalah besar," bisik Rachel menyuruh Viana berhenti. Viana mana peduli, dia semakin senang memancing kemarahan Bu Ajeng. Dengan begitu keinginannya tercapai. "Sudah berapa kali saya kasih peringatan sama kalian! Terutama kamu Viana!" Tunjuk Bu Ajeng dengan pelototan geram. Viana berdecih dengan tatapan sinis. "Saya hanya memberi pelajaran pada mereka yang sudah mengganggu saya!" balas Viana, terdengar santai. "Berhenti menindas orang! Kelakuan buruk kamu ini merugikan orang lain!" bentak Bu Ajeng dengan nada tinggi. Viana hanya menganggap ucapan Bu Ajeng angin lalu. Dengan kesal, Bu Ajeng menghembuskan napas kasar lalu menyuruh kelimanya untuk ikut ke ruang BK. "Kalian berempat ikut saya ke ruang BK!" Rachel, Kanara, dan juga Seyra yang sejak tadi menunduk. Menarik Viana untuk mengikuti Bu Ajeng yang sudah keluar dari kantin lebih dahulu. Viana melangkah dengan angkuh keluar dari kantin diikuti tatapan kagum dari para siswa yang sejak tadi memperhatikannya. Sesampainya di ruang BK, Viana dan 3 sahabatnya diberikan 4 surat panggilan orang tua. Disaat ketiga sahabatnya gelisah, Viana justru tersenyum senang. Viana tersenyum penuh harap bahwa Arthur Rajendra— Ayah kandungnya akan datang ke sekolah memenuhi surat panggilan ini. "Saya harap orang tua kalian datang untuk memenuhi surat panggilan ini!" Saking lelahnya, Bu Ajeng tidak ingin berbicara panjang lebar menasehati Viana dan ketiga sahabatnya ini. Viana merupakan gadis pembully di SMA Galaksi. Dia merupakan putri tunggal keluarga Rajendra, keluarga kelas atas sehingga dia selalu berlaku seenaknya. Dia cantik, pintar, tapi sayangnya dia angkuh dan suka menindas murid lain. *** Sayangnya harapan Viana tidak terjadi. Besoknya Viana melihat Elvano Rhisandi— asisten Arthur, datang ke sekolahnya. Viana begitu marah dan kecewa. Dia segera menghubungungi Arthur. Suara Arthur terdengar saat panggilan telpon tersambung. "Jangan ganggu Papa, Viana! Jika ada yang ingin dibicarakan nanti malam saja, Papa akan pulang!" Viana menelan kembali perkataannya. Dia mendadak senang saat Arthur mengatakan ingin pulang. Belum sempat dirinya membalas perkataan Arthur, panggilan itu sudah berakhir.Viana menggenggam setir erat-erat, tangannya masih gemetar, wajahnya pucat, dan napasnya memburu tak beraturan. Suara mesin meraung kencang, mengguncang tubuh mobil. Di kaca spion, bayangan motor hijau itu masih membuntuti—Andi, dengan mata merah membara dan ekspresi seperti iblis haus darah. Jalanan mulai sempit, membelah antara rumah-rumah padat penduduk, tapi kejaran itu tak berhenti. Viana menggertakkan gigi, mencoba menepis rasa panik yang makin mencengkeram dadanya.“Tenang, lo bisa ... lo bisa,” gumamnya berulang kali seperti mantra, memaksa dirinya tetap waras.Suara ban menggerus aspal terdengar dari belakang, keras dan agresif. Andi membunyikan klakson motornya berulang kali, seolah ingin mencabik-cabik konsentrasi Viana. Motor itu menyusul dari sisi kanan, hanya berjarak sehelai rambut dari jendela mobil. Viana menoleh cepat. Dia melihat tatapan itu—mata penuh kebencian, penuh dendam. Andi membuka mulutnya, berteriak sesuatu, tapi yang terdengar di dalam mobil hanya raungan
“Satya, cepat kabur juga!”Langkah Viana tertahan, tubuhnya gemetar menatap Satya yang dikeroyok tujuh orang sekaligus. Tapi cowok itu tetap berdiri di depan, melindunginya.“Pergi, Vi!” suara Satya kembali menggema. Matanya menatap Viana penuh tekanan. “Lari sekarang!”Viana mengepalkan tangannya. Jantungnya berpacu seperti genderang perang. Dengan sisa tenaga, dia berbalik dan berlari menyusuri lorong sekolah yang semakin sepi.Derap langkahnya menggema di antara dinding abu-abu. Nafasnya terengah, tak beraturan. Gemeta dan panik. Dia tak berani menoleh ke belakang.Namun, dari arah lorong lain, suara teriakan itu terdengar jelas. “Vianaaa! Gue nggak bakal biarin lo pergi!”Suara Andi terdengar lantang penuh amarah dan ancaman. Langkah Viana semakin cepat. Kakinya nyaris tak menapak sempurna di lantai yang licin. Pandangannya kabur karena air mata dan ketakutan. Dia melewati ruang UKS, lorong perpustakaan, lalu memutar ke arah kantin yang sudah kosong. Di belakangnya, suara langkah
"Lo ngancam kita?" Denzel tertawa remeh menatap Satya yang berdiri menjulang di depannya. Dia melirik kedua sahabatnya, memberi kode yang diangguki langsung oleh mereka. Ketiganya mendekat pada Satya. Mengepung sosok lelaki yang kini mengepalkan kedua tangannya penuh emosi. Satya menatap satu per satu wajah mereka. Dia tahu, kalah jumlah. Tapi dia juga tahu, menyerah bukan pilihan. Satu orang melompat lebih dulu—si gagang besi. Satya bergeser ke kanan, menghindar. Besi itu menghantam dinding dengan suara dentuman keras. Debu beterbangan di sekitarnya. Satya tak tinggal diam, dia membalas serangan sang lawan dengan menendang perutnya cukup kuat. Cowok itu mundur, terbatuk. Sambil memegangi perutnya yang terasa nyeri. Sedangkan kan Danzel dan satu cowok lainnya bergerak mendekat bersamaan. Satu tangan mencengkeram seragam Satya, menariknya ke belakang. Yang lain mengayunkan pisau—berusaha menusuk dari samping. Satya berbalik cepat. Sikutnya menghantam rahang si penarik se
“Bu, teman kami masih di bawah! Dia ke toilet!” Rachell berseru sambil menunjuk ke arah lorong.Guru itu menggeleng cepat. “Enggak bisa, ini darurat. Sekolah diserang. Kami akan cari sisanya, sekarang kalian harus ikut!”“Bentar, Kak Viana masih di sana!” Alin nyaris menangis.“Satya sedang menyisir area itu. Kami sudah kirim beberapa OSIS ke arah belakang gedung. Cepat ke rooftop. Itu tempat paling aman sekarang!”Ledakan kecil terdengar dari arah lapangan parkir. Disusul suara kaca pecah. Alarm mobil meraung tak karuan.Seyra mencengkeram pergelangan tangan Alin dan Rachell. "Gue nggak suka ini. Kita ikut dulu. Viana pasti ditemuin Satya."Rachell menoleh sekali lagi ke arah lorong toilet yang sepi. Tidak ada siapa-siapa di sana. Hanya suara langkah kaki, teriakan, dan kegaduhan yang semakin dekat dari segala penjuru.Mereka bertiga dibawa naik ke lantai tiga. Koridor itu sesak oleh murid dan guru. Semua menuju tempat yang sama yaitu rooftop.Di belakang, suara motor semakin dekat.
“Yay! Akhirnya ujian selesai!”Alin berseru sambil menggoyang-goyangkan kedua tangannya ke atas. Mata gadis kelas sepuluh itu berbinar penuh lega.Rachell tertawa kecil, menyandarkan tubuh di bangku taman kecil dekat kantin SMA Galaksi. “Rasanya kayak lepas dari jerat.”“Setidaknya seminggu ke depan bisa tidur tenang tanpa mimpi buruk soal ujian,” sahut Seyra, membenarkan ikat rambutnya yang sedikit berantakan.Viana duduk di sisi bangku, hoodie putihnya masih melekat erat di tubuh. Ia menyandarkan kepala ke sandaran bangku, wajahnya terlihat tenang untuk pertama kalinya dalam beberapa hari. “Syukur banget kita bisa ngelewatin ini semua bareng.”Alin mengangguk cepat. “Makasih, Kak Viana, Kak Rachell, dan Kak Seyra. Udah nemenin aku selama minggu-minggu ini.”Viana tersenyum kecil. “Lo juga hebat, Lin. Bisa tahanin semuanya.”Obrolan mereka ringan. Tak ada beban. Tak ada tekanan. Hanya sisa-sisa lelah dari ujian yang perlahan menguap jadi rasa lega.“Gue ke toilet dulu ya,” ujar Viana
Lampu gantung di ruang tengah hanya menyala setengah redup. Di luar jendela, angin malam Swinden berembus pelan, membawa suara jalanan yang makin sepi. Viana duduk di pojokan sofa, berselimut hoodie abu yang terlalu besar, kedua lutut ditarik ke dada. Matanya menatap layar ponsel yang menyala di panggilan masuk kelima.Papa (5 panggilan tak terjawab)Tampilan itu berkedip sekali lagi. Lalu mati.Viana menghela napas dalam-dalam. Tubuhnya bergetar kecil, bukan karena dingin, tapi karena emosi yang tak kunjung reda sejak siang. Dia menggigit bibir bawahnya—keras, hampir berdarah. Tapi rasa sesaknya tetap di dada, bukan di bibir.“Aku benci banget ... tapi kenapa susah banget buat nge-blok nomornya?” gumamnya lirih, lebih ke diri sendiri.Sagara yang sejak tadi duduk bersila di lantai, bersandar pada tepi sofa, hanya menoleh pelan. Dia melihat Viana, melihat jari-jarinya yang menggenggam ponsel terlalu erat, dan rahangnya yang mengeras.Panggilan masuk lagi. Papa.Tanpa bicara, Sagara me