BAB 4
"Kalian gak bisa ancem kita kaya gini!" sergah Viana tak terima. Tatapannya menatap marah pada Arthur dan juga Daniel.
"Kenapa engga terima? Yang kita lakuin ini untuk kebaikan kalian juga!" balas Arthur dengan tenang.
"Kebaikan kaya gimana? Kita juga punya hak untuk nolak keputusan kalian ini!" Viana tidak mengerti jalan pikiran Daniel dan juga Arthur. Keduanya tidak pernah mengerti tentang perasaan anak mereka sendiri.
Apakah semua keluarga kelas atas seperti ini? Jika, iya kenapa dirinya yang masih SMA sudah dipaksa menerima perjodohan konyol ini. Viana tidak ingin terikat dengan lelaki yang tidak dia kenali sama sekali. Terlebih ini Sagara, lelaki yang terkenal bringas ketika memimpin tawuran.
"Viana, kamu cukup diam dan nurut! Dengan begitu kamu fasilitas kamu engga akan Papa tarik!" Arthur menyuruh Viana untuk duduk kembali.
Viana duduk dengan perasaan kesal. Dia tahu seperti apa Arthur, tidak ada habisnya terus berdebat dengannya itu. Karena yang menang pada akhirnya tetaplah Arthur.
"Benar, aku tegasin sekali lagi, ya! Kita masih SMA, kita masih punya cita-cita buat masa depan, kita punya hak buat nolak keputusan kalian ini!" Sagara menarik napas panjang, lalu menghembuskan secara perlahan. "Jangan bersikap egois dan mohon jangan memaksa kita untuk nerima perjodohan ini!"
Daniel tampak tergegau dengan penuturan Sagara. Dia menatap lamat lelaki itu yang selalu bisa melawan dirinya. Tapi, kali ini Daniel tidak akan membiarkan iti terjadi. Bagaimanapun caranya perjodohan ini harus terlaksanakan malam ini juga.
"Kalian hanya menikah. Kami sebagai orang tua juga engga larang kalian buat sekolah dan ngejar impian kalian nantinya!" Daniel berujar sambil menatap Viana, mencoba membujuk lewat tatapan hangatnya.
Jika, Viana setuju Sagara akan setuju juga. Itu yang ada dalam pikiran Daniel sedari tadi.
"Tetap saja menikah di usia remaja, apalagi kita masih SMA itu gak umum banget!" balas Viana sembari memutar kedua bola matanya jengah.
Daniel dan Arthur tidak ada bedanya. Keduanya hanya memikirkan keuntungan saja, penolakan mereka tidak didengarkan dan diresapi sejak awal.
"Lagian kalian norak banget pake acara jodohin kita segala!" Sagara menggeleng miris menatap Arthur dan Daniel secara bergantian. "Di jaman modern kaya gini masih aja ada acara perjodohan kaya gini!"
"Sagara, diam!" sentak Daniel tidak bisa menahan diri.
"Cukup! Pilihannya ada di kalian sendiri. Mau nerima pertunangan ini atau nolak? Kalo nolak berarti siap kehilangan semua fasilitas yang kalian miliki!" Arthur menyeringai tipis, begitu pun dengan Daniel yang tampak puas.
Sagara dan Viana mengepalkan kedua tangannya kuat. Segala bentuk emosi ada dalam diri mereka tertahan dan siap meledak kapan saja. Tidak ada pilihan lagi selain menerima perjodohan ini. Mereka tidak ingin kehilangan fasilitas mewah yang sudah mereka rasakan sejak kecil.
"Kenapa diem? Cepat kasih jawaban kalian mau pilih yang mana!" Daniel tersenyum mengejek pada Sagara.
"Kita setuju!" Keduanya menjawab bersamaan dengan nada pelan.
Senyum puas terbit pada wajah Arthur dan Daniel. Daniel mengeluarkan sebuah kotak beludru dengan ukuran kecil, lalu membukanya sehingga menampilkan sepasang cincin dengan permata indah di tengahnya. Cincin indah dengan harga fantasis itu menyilaukan pandangan Viana.
"Baiklah, karena kalian setuju saatnya kita mulai acara pertunangan ini." Daniel menyerahkan satu cincin pada Sagara.
Menyuruh lelaki itu memasangkan pada jari Viana. Dengan gerakan kaku dan terpaksa Sagara memasangkan cincin tersebut. Setelah cincin itu masuk, Viana buru-buru menarik tangannya dan mengusapnya dengan tisu. Seolah jijik dengan sentuhan Sagara.
Sagara yang melihat itu begitu kesal. Baru saja dia membuka mulut untuk memaki Viana. Arthur menyuruh Viana memasangkan cincin pada Sagara. Viana tampak ogah-ogahan bahkan Viana mendorong cincin itu dengan kasar saat memasangkan pada jari Sagara.
"Wah, kalian sudah resmi tunangan, ya! Selamat saya senang sekali melihatnya!" Daniel menatap Arthur dengan senyum puas. Rencana mereka berhasil.
Berbeda dengan Arthur dan Daniel yang bahagia dengan pertunangan Sagara dan Viana. Sedangkan Viana dan Sagara sibuk melempar tatapan penuh permusuhan.
"Mimpi apa gue semalem bisa-bisanya tunangan sama modelan preman pasar kaya dia," gerutu Viana menatap Sagara dengan sinis.
"Gue denger, ya! Lo pikir gue mau-mau aja gitu tunangan sama cewek sakit jiwa kaya lo?" balas Sagara tak kalah pedas.
"Enak aja mulut lo ngatain gue sakit jiwa!" Viana berdiri dengan wajah tak terima.
Arthur menggeleng dengan wajah mengeras. Viana tidak bisa menjaga sikapnya di depan Daniel, gadis itu susah diatur dan selalu mempermalukan Arthur dengan kelakuan buruknya.
"Viana, duduk!" Dengan kesal Viana duduk kembali dengan wajah tertekuk kesal.
"Maaf untuk sikap Viana, dia engga bisa jaga emosinya," kata Arthur tak enak pada Daniel.
"Engga papa namanya juga remaja sikapnya juga masih labil," balas Daniel penuh pengertian.
"Kalian sudah resmi tunangan, kan? Dua minggu lagi pernikahan kalian akan diadakan!" ujar Arthur mengejutkan keduanya.
Bagai petir di siang bolong, Viana dan Sagara begitu terkejut dengan penuturan Daniel.
"Apa? Menikah?" teriak Viana tanpa sadar.
Langit mulai berubah warna ketika mobil Sagara berhenti di tepi pantai yang sepi. Ombak bergulung tenang, menyapu pasir seperti napas panjang yang dilepaskan bumi. Matahari belum benar-benar tenggelam, menyisakan semburat oranye di ufuk barat. Viana turun perlahan dari mobil, mengangkat sedikit kebaya putihnya agar tak terkena pasir. High heels-nya ia lepas, diganti dengan langkah ragu-ragu yang menciptakan jejak di pasir basah. “Aku enggak nyangka kamu beneran bawa aku ke sini,” katanya lirih, menoleh ke belakang saat Sagara ikut menyusul dengan tangan dimasukkan ke saku celananya. Cowok itu hanya mengangkat bahu, senyum kecil di ujung bibirnya. Jas abu-abu yang ia kenakan masih rapi, meski dasinya sudah longgar. “Katanya kamu pengen sesuatu yang nggak rame. Cuma berdua,” jawab Sagara, lalu menoleh ke laut. “Ya ini, pantai paling ujung di Swinden. Sepi, tenang, enggak ada orang.” "Dulu kita pernah ke sini, sepulang sekolah. Ya, cuma buat hibur kamu yang lagi sedih setelah tau per
Viana mengangkat wajahnya pada cahaya matahari siang yang begitu terik. Angin membawa sisa harum bunga dari bangku kosong tadi, mengaduk-aduk dadanya—tapi kini tak lagi perih. Lebih ke hangat. Seperti pelukan seseorang yang lama ditunggu, lalu akhirnya datang, bukan untuk menenangkan, tapi untuk menyertai.“Viana, Sayang!” panggil sebuah suara dari kejauhan.Arthur.Pria itu melambai ke arahnya, berdiri tak jauh dari Alesha yang sedang mengelus perutnya yang membuncit. Senyum Alesha terlihat lembut, wajahnya bersinar karena cahaya matahari.Dengan langkah perlahan, Viana mendekat ke arah ayah dan ibu tirinya. Satu tahun lalu, bahkan satu bulan lalu, rasanya tak mungkin ia akan berdiri di sini, dengan hati yang ringan. Tapi waktu dan luka membentuk ruang baru di dalam dirinya—ruang yang tak diisi oleh dendam, tapi oleh pengertian.“Ayo, kita foto, Sayang!” ajak Arthur pelan.Viana mengangguk. “Ayo, Pa.”Alesha berjalan lebih dekat, tampak canggung. Ia menatap Viana sejenak, lalu berkat
Usai upacara, langit berubah keemasan. Mentari menggantung lebih rendah, menyelimuti halaman SMA Galaksi dalam cahaya hangat yang temaram.Orang-orang mulai menyebar. Ada yang sibuk berfoto, ada yang tertawa—bahkan menangis bahagia. Balon-balon putih dan emas dilepas ke langit, perlahan menjauh dari jangkauan. Tapi di satu sudut, waktu seakan berhenti.Viana berdiri di bawah pohon trembesi, mendongak menatap balon-balon yang menjauh. Di tangannya tergenggam erat selembar surat kelulusan, tapi hatinya terasa berat. Ada sesuatu yang belum selesai.Sagara berjalan menghampiri, diam-diam berdiri di sisinya. Tak ada kata. Hanya tatapan panjang ke langit, ke arah balon yang makin tinggi—satu di antaranya tersangkut di dahan pohon. Menggantung. Tak ikut terbang.“Kayak Satya ya,” gumam Viana, lirih.Sagara mengangguk pelan. “Dia nggak pernah benar-benar pergi.”Viana menunduk. “Aku masih ingat suara teriakannya waktu hari itu pas dia nyuruh aku pergi. Masih terngiang. Kadang muncul waktu aku
Hari berganti hari, Minggu berganti Minggu, begitupun bulan berganti bulan. Tak terasa waktu berjalan begitu cepat, hari kelulusan telah tiba.Langit pagi membentang biru lembut di atas gedung megah SMA Galaksi, sekolah swasta elite yang hari ini penuh dengan wajah-wajah berseri dan mata-mata yang sembab karena haru. Deretan mobil mewah terparkir rapi di pelataran, menandai kedatangan para orang tua yang bangga dan siap menyaksikan momen penting anak-anak mereka.Di antara kerumunan yang berdiri di bawah naungan pohon trembesi tua, Viana berdiri dengan anggun mengenakan kebaya putih gading yang membalut tubuhnya dengan pas, memperlihatkan siluet sederhana tapi elegan. Rambutnya disanggul rapi, dihiasi jepit mutiara kecil yang berkilau saat cahaya matahari menyapunya. Wajahnya yang biasanya kuat kini tampak tenang, dengan senyum kecil yang menggantung di sudut bibir.Sagara berdiri tak jauh darinya, mengenakan jas hitam yang dipadukan dengan dasi warna burgundy. Tatapannya sesekali mel
Mobil melaju perlahan meninggalkan rumah itu. Di kaca belakang, cahaya lampu rumah masih terlihat, begitu pula dua bayangan orang dewasa yang berdiri terpaku di depan garasi, diterpa angin malam yang dingin dan bisu."Papa nolak buat ceraikan Tante Alesha." Viana tertawa pelan, penuh luka. "Nggak ada cara lain selain nerima keberadaan Tante Alesha dalam hidup aku."Viana menoleh pada Sagara yang mulai menjalankan mobilnya keluar dari pekarangan rumah. Saat ini tujuan mereka apartemen. Apartemen yang kata Sagara, menjadi tempat tinggal mereka setelah menikah. "Aku senang kamu dengerin nasihat aku buat maafin mereka. Mereka orang tua kamu sekarang, meskipun kamu masih nggak bisa nganggep Tante Alesha sebagai Mama kamu. Tapi ingat kasih sayang yang selalu Tante Alesha curahkan ke kamu, Viana!" Sagara menggenggam tangan Viana dengan lembut, dan hangat. Tangan yang sudah lama tidak dia genggam, bahkan terasa sangat jauh dari jangkauannya. Viana tersenyum lebar. "Makasih ya, Sagara. Kam
"Viana!"Suara itu memecah keheningan malam yang bergantung di antara lampu-lampu taman rumah besar bergaya Eropa. Viana baru saja membuka pintu mobil ketika suara Arthur menggema, membuat langkahnya terhenti. Tangannya masih menggenggam handle pintu, tapi tubuhnya membeku di tempat. Matanya memejam sesaat, mencoba menahan semua rasa yang mengendap sejak tadi.Arthur mendekat. Kemeja putihnya tampak kusut, dasi tergantung longgar di leher. Wajahnya lelah, tapi matanya penuh ketegangan. Di belakangnya, Alesha berdiri beberapa langkah, memeluk tas kerja ke dadanya, sementara Sagara berdiri di sisi mobil, menyandarkan punggung ke pintu dengan lengan terlipat."Viana, dengar dulu Papa minta maaf."Suara Arthur serak. Bukan karena dingin, tapi karena sesuatu yang sudah lama menyesak. Matanya memohon. Bukan seperti tatapan seorang ayah yang memarahi anaknya. Tapi seperti seseorang yang akhirnya menyadari betapa besar kesalahan yang telah ia lakukan, dan seberapa besar luka yang telah dibiar