Langit malam Swinden menggantung kelam di balik jendela apartemen lantai sembilan itu. Jam digital di atas nakas berkedip pelan menunjukkan pukul 02.31. Sagara masih terjaga, matanya menatap kosong ke langit-langit kamarnya yang remang.Kepalanya penuh. Terlalu penuh, sampai napas pun terasa berat.Dia duduk di tepian ranjang, rambutnya berantakan, kaos hitamnya kusut, dan kedua siku bertumpu pada lutut. Tangannya mengusap wajah pelan."Kenapa sih ... malah kepikiran terus?"Gumaman itu lepas, nyaris tak bersuara. Tapi dadanya makin sesak. Bukan karena beban hidup, bukan karena masalah geng, bukan karena ujian sekolah. Tapi karena satu nama yaitu Viana Rajendra.Cewek keras kepala, jutek, galak, yang dulu selalu berhasil membuat darahnya naik cuma karena tatapan matanya. Tapi sekarang, cewek itu yang paling sering muncul di kepalanya.Mulai dari tatapan mata Viana yang menyimpan trauma, sampai cara gadis itu menahan tangis di kafe tadi. Semuanya membekas dalam ingatannya tak bisa hila
"Lo gila, ya. Siapa yang bisa lupa kisah sama lo? Lo itu bekas luka yang susah ilang, Satya!"Rachell tertawa mendengar suara Satya terdengar ringan—seolah candaan, tapi matanya terlalu serius. Tatapan yang menyimpan harap, namun menyamarkannya dengan senyum sok santai.Satya menyandarkan punggung ke sandaran bangku, tangannya tetap menggenggam tangan Rachell tanpa paksa, tapi juga tak ingin dilepaskan. "Tapi gue lebih milih jadi luka daripada jadi orang asing buat lo."Kalimat itu membuat Rachell terdiam. Dia menoleh perlahan, menatap wajah laki-laki yang pernah mengacaukan hidupnya— tapi juga pernah membuat dia tertawa tanpa alasan."Gue nggak pernah bisa nganggep lo orang asing," ucapnya pelan. "Gue cuma ... ngerasa butuh jarak. Tapi sekarang, mungkin gue bisa deket lagi, asal lo nggak berubah jadi versi Satya yang dulu.""Gue janji," ucap Satya mantap, nada suaranya serius. "Versi gue yang sekarang cuma pengen jadi laki-laki yang bisa lo banggakan, walaupun cuma sebagai temen."Ra
"Lo yakin mau ke sini?"Suara Satya terdengar ragu saat mereka berdua melangkah keluar dari kafe. Malam mulai turun sempurna, lampu jalan menyala satu per satu, menerangi trotoar yang basah karena gerimis kecil yang turun beberapa jam lalu.Rachell menoleh sekilas, menarik resleting jaketnya. "Alun-alun nggak pernah salah, Satya. Lagian, gue belum pengen pulang."Satya mengangguk pelan, mengikuti langkah Rachell menuju arah taman kota Swinden. Di sana, lampu hias berbentuk lentera menggantung di sepanjang jalan, warna-warni seperti suasana pasar malam kecil yang tak pernah tidur. Mereka berjalan beriringan dalam diam, hanya suara langkah dan napas mereka yang terdengar.Setelah beberapa menit, mereka berhenti di bangku kayu yang menghadap air mancur kecil di tengah alun-alun. Airnya memantulkan cahaya lampu, membuat suasana terasa lebih hangat dari seharusnya.Satya duduk lebih dulu. Rachell menyusul setelah menghela napas pelan."Lo masih inget nggak," kata Satya akhirnya, "dulu kita
Viana menjatuhkan tubuhnya ke sofa begitu pintu apartemen tertutup rapat. Helmnya tergeletak di meja kecil depan TV, jaketnya masih setengah terbuka, dan wajahnya tampak lelah—bukan karena ujian, tapi karena perasaan sesak yang masih menggantung sejak dari kafe tadi.Sagara meletakkan kunci motor dan dompet ke atas laci, lalu berjalan pelan ke arah Viana. "Mau teh hangat?"Viana mengangguk pelan. "Pakai madu, ya. Tenggorokanku rasanya aneh."Tanpa banyak tanya, Sagara melangkah ke dapur mungil mereka. Gemericik air dari dispenser dan denting sendok kecil membaur dengan keheningan yang nyaman. Saat dia kembali membawa dua mug teh, Viana masih dalam posisi yang sama—terduduk sambil memeluk bantal sofa, tatapannya kosong ke arah jendela."Nana," panggil Sagara pelan sambil menyerahkan satu mug.Viana menerimanya, mengucap pelan, "Makasih." Dia meniup permukaan minuman hangat itu, sebelum menyeruputnya sedikit."Kamu mau cerita?" tanya Sagara akhirnya, duduk di sampingnya.Viana menggelen
"Besok ujian Kimia, kan? Lo yakin udah siap, Dan?"Seyra meletakkan gelas ice matcha-nya sambil memelototi Danish, yang sedang asik menggambar sesuatu di tisu kafe alih-alih belajar."Gue siap secara mental. Soal otak, gue pasrah." Danish menjawab santai, membuat tawa kecil meledak dari Satya dan Kenzo.Caffe Viennoir, kafe kecil berarsitektur semi-industrial yang terletak hanya dua blok dari SMA Galaksi, kini menjadi tempat tongkrongan dadakan geng mereka sepulang ujian. Meja panjang di pojok dekat jendela mereka kuasai sepenuhnya— ada tumpukan buku, gelas kopi, dan sisa snack yang belum habis.Langit Swinden mulai meredup, pertanda sore beranjak senja. Sisa lelah dari ujian hari ini mulai terkikis oleh candaan dan obrolan santai."Tapi serius deh, ujian Kimia itu racun banget. Rumusnya kayak mantra sihir," kata Rachell, menopang dagu dengan tangan."Mantra sihir tuh yang bikin gue males belajar, Chel. Lo tau sendiri tiap belajar Kimia, kepala gue isinya cuma nama lo." Kenzo menyerin
"Kenapa lo tiba-tiba rajin banget, Gar? Biasanya bolos terus."Suara Kenzo terdengar dari ujung meja belajar, menggema di ruang kelas kosong yang mereka sulap jadi ruang belajar dadakan setelah jam pelajaran usai.Sagara mengangkat kepala dari buku Fisika yang terbuka di depannya. Matanya menyipit ke arah sahabatnya itu, lalu mendengus pelan.“Gue lagi tobat. Mau jadi anak berprestasi,” balasnya, pura-pura serius.SMA Galaksi adalah sekolah swasta elit yang dikenal karena dua hal: fasilitas lengkap dan murid-muridnya yang beragam. Ada yang serius belajar demi masuk PTN favorit, tapi ada juga yang sekadar numpang gaya. Sagara dan geng motornya? Sudah terkenal sebagai troublemaker— raja bolos, langganan ruang BK, dan sering bikin guru frustrasi.Namun sejak dua minggu terakhir, sejak kejadian di rumah sakit dan malam penuh kenangan di pasar malam, ada yang berubah. Sagara jadi lebih sering aktif mengikuti pelajaran di kelas. Asannya karena mendekati ujian, jadi ingin belajar agar mendap