LOGINAmel berjalan cepat sambil menggendong putrinya yang masih terlelap. Bayangan tubuh mereka terpantul samar di trotoar basah sisa hujan. Langkahnya terhenti di bibir zebra cross. Ia menoleh ke kanan dan kiri, memastikan jalanan sepi.
Tapi belum sempat melangkah... CIIITTT!! Bunyi ban yang menggesek aspal menghentak udara. Amel terlonjak. Kakinya mundur spontan, dan pelukannya pada sang anak semakin erat. Sebuah motor sport hitam berhenti hanya beberapa jengkal dari ujung sepatunya. Lampu depannya menyala garang, menyilaukan wajah Amel yang pucat. “Sialan!” Suara keras itu keluar dari pengendara motor yang kini melepas helmnya. Rambutnya sedikit berantakan, matanya tajam menilai Amel dari atas ke bawah. Jaket kulit yang melekat di tubuhnya memantulkan sedikit cahaya dari lampu jalan. Napasnya masih berat, tapi sorot matanya tak sekadar marah—ada rasa ingin tahu di sana. Amel mengusap dadanya. Jantungnya seperti hendak meledak. Tatapannya menyapu wajah lelaki itu, lalu turun ke jaketnya yang penuh emblem, celana jeans sobek, dan sepatu bot berdebu. Tubuhnya tegang, nalurinya menyuruh kabur. Namun sebelum sempat melangkah, lelaki itu sudah mendekat. Cepat. “Tunggu! Mau ke mana lo?” Suaranya tajam, tapi tak sekeras sebelumnya. Amel mundur setapak, memeluk anaknya makin erat. Suaranya bergetar, “Sa—saya mau pe... pergi.” Lelaki itu mengangkat kedua tangan sedikit, mencoba terlihat tidak mengancam. “Tenang, gue nggak akan macem-macem.” Tatapannya menurun pada anak yang tertidur di pelukan Amel. Ada perubahan halus di wajahnya—ketegangan tadi mencair, digantikan rasa penasaran. Amel masih tertunduk, suaranya pelan tapi tegas. “Terus kamu mau apa? Saya nggak mau diganggu. Mending kamu pergi.” Lelaki itu menatapnya lekat. Bibirnya perlahan membentuk senyum—entah mengejek, entah tulus, tak bisa ditebak. Justru senyum itu membuat Amel makin waspada. “Lo mau ke mana? Mau gue anter nggak? Ini udah malem, loh. Anak lo udah tidur. Jangan egois.” Suaranya kini lebih tenang, seakan mencoba meredam jarak di antara mereka. Amel menunduk, lalu menatap anaknya yang tetap pulas di pelukannya. Kata-kata lelaki itu menggantung di kepalanya. Benar juga... tapi siapa dia? Bisa dipercaya nggak? “Maaf, Mas… nggak usah. Saya bisa sendiri,” ucapnya akhirnya. Lelaki itu mendongak. “Apa?! Lo panggil gue ‘Mas’? Emang gue keliatan kayak mas-mas?” Nada suaranya dibuat bercanda, tapi sorot matanya tetap awas. Amel tidak menjawab. Matanya kembali ke wajah anaknya, tangannya mengelus lembut pipi kecil itu. Di benaknya, keraguan berkecamuk. Apa aku harus percaya? Apa dia orang baik? Lelaki itu seolah menangkap kegamangan Amel. “Gimana? Mau nggak? Gue bisa ajak lo ketemu bos gue. Siapa tahu lo bisa dapet kerjaan.” Amel diam. Seperti batu. Tapi matanya menyiratkan badai. Ragu, takut, dan lelah bercampur jadi satu. Sampai suara tangis lirih dari pelukannya menyadarkannya. “Husstt… sayang, jangan nangis. Ini mama, Mama di sini,” bisiknya sambil mengayun pelan tubuh anaknya. Ia menoleh ke lelaki itu, akhirnya berkata dengan nada pelan namun mantap, “Oke. Aku ikut. Tapi kamu janji jangan bohongin aku.” Lelaki itu mengangguk cepat. “Sip. Sekarang ikut gue, sebelum gue berubah pikiran.” Ia berbalik, berjalan menuju motornya tanpa menawarkan bantuan. Amel mengekor dengan langkah berat, satu tangan menggendong, satu lagi menenteng tas lusuhnya. “Dasar nyebelin. Ngajakin, tapi nggak ada niat bantuin sama sekali,” gumamnya pelan, lebih ke dirinya sendiri. Beberapa menit kemudian, mereka tiba di sebuah bangunan tua. Dinding luarnya dipenuhi coretan dan karat. Tumpukan ban bekas berserakan di halaman, tong-tong besar dijadikan meja dan kursi darurat. Bau oli dan asap rokok menyengat sejak pintu gerbang terbuka. Beberapa pria duduk santai dengan botol minuman keras di tangan. Tawa mereka keras, dan para pelayan berpakaian minim berlalu-lalang, membawa nampan-nampan penuh gelas. Amel menahan napas. Matanya menyapu pemandangan itu dengan rasa tidak percaya. Kepulan asap membuat putrinya terbatuk kecil. Lelaki di sampingnya menoleh. “Lo kenapa bengong? Nggak usah takut. Gue pastiin lo dapet kerja. Ayo masuk.” Dengan enggan, Amel melangkah mengikuti lelaki itu ke dalam lorong sempit. Dindingnya lembab, lampu-lampu kecil menggantung dari kabel yang melilit seadanya. Di ujung lorong ada satu pintu besi besar, dengan tulisan menyala samar: BIG BOS. Lelaki itu mengetuk. Sekali. Dua kali. Lalu membuka pintu. “Bos, ini gue, Joni. Gue bawa barang baru nih. Lo mau liat dulu atau langsung kerja?” Suara dari dalam terdengar berat dan dingin. “Suruh dia masuk. Gue mau test dulu. Lihat layak atau nggak.” Barang baru? Test? Kata-kata itu bergema di kepala Amel. Ia menggigil, bukan karena dingin, tapi karena firasat buruk yang menusuk tulang. Joni menoleh, nadanya santai seolah tak menyadari keresahan Amel. “Lo denger kan? Masuk.” Amel menatap lantai, lalu mengangguk pelan. Ia masuk. Joni menutup pintu, meninggalkannya sendiri bersama ‘bos’. Ruangan itu gelap, hanya diterangi satu lampu sorot dari atas. Di balik meja besar duduk seorang pria bertubuh tegap, jas hitam rapi membalut tubuhnya. Tatapannya tajam seperti pisau yang belum pernah tumpul. Amel langsung menunduk, tak sanggup membalas tatapannya. Pria itu tidak berkata apa-apa. Ia berdiri dan perlahan berjalan mendekat. Langkahnya mantap, tak tergesa, tapi berat. Pandangan matanya turun, tertuju pada anak kecil di pelukan Amel. Ia berhenti hanya satu langkah di hadapan mereka. Amel menahan napas. Jantungnya berdetak keras, seakan ingin keluar dari dadanya.Amel berhenti sejenak. Pertanyaan itu menusuk di hatinya. Ia ingin menjawab dengan sesuatu yang meyakinkan.Sesuatu yang bisa membuat Lily merasa nyaman berada di tempat yang ia tinggali sekarang.“Iya, sayang. Untuk sementara…” ucapnya sambil mengusap lembut rambut putrinya itu. Senyum tipis itu muncul, bukan karena yakin, tapi karena ia tidak ingin membuat Lily bertanya-tanya.Mereka tiba di depan sebuah pintu putih dengan cat yang mulai mengelupas di beberapa sisinya. Amel menarik napas sebelum memutar knopnya.Kamar itu kecil—hanya ada satu ranjang single dan lemari besi tua. Sebuah jendela kecil di sudut ruangan menunjukkan langit sore yang pekat. Udara di dalamnya dingin, seolah ruangan itu lupa kalau ada yang tinggal.Lily langsung memanjat ke atas ranjang dan duduk bersila, memeluk bonekanya seperti perisai. “Bu, Lily lapar…” katanya, ragu.Amel terdiam. Perutnya sendiri sudah kosong sejak siang. Ia membuka tas kecilnya—hanya menemukan roti yang sudah agak lembek dan sebotol a
Amel menghela napas pelan, lengan kirinya sudah mulai pegal. Botol-botol kosong berdenting kecil di atas nampan setiap kali ia merapikan posisi gelas yang miring. Sisa alkohol menetes, membuatnya buru-buru mengelap meja yang lengket dengan kain lap yang sudah agak basah. “Sabar, Mel,” gumamnya pada diri sendiri. Ia hanya ingin cepat menyelesaikan semua ini dan kembali ke kamarnya. Saat semua tertata rapi, ia berdiri sambil menyeimbangkan nampan yang penuh di tangannya. Ia berbalik, namun... bayangan gelap sudah berdiri di belakangnya. PRANKK! Botol dan gelas saling menghantam lantai. Pecahannya berhamburan. Amel terlonjak mundur, dadanya berdebar tak karuan. “Ma-maaf, Bos,” ucapnya terbata. Ia langsung jongkok dan berusaha meraih pecahan gelas itu dengan tangan gemetar. Alex ikut berlutut di hadapannya tanpa sepatah kata. Wajahnya dekat sekali. Terlalu dekat. Amel buru-buru meraih pecahan terbesar dan... “akh!” Ia mengerjap, darah langsung merembes dari telapak tangannya. Seb
Amel melangkah pelan meninggalkan lorong itu, seolah setiap ubin lantai yang ia injak bisa meledak kapan saja. Nafasnya masih belum teratur, dada naik-turun cepat. Sesekali ia menoleh ke belakang, memastikan Alex benar-benar sudah pergi. Tapi rasa was-was itu tak juga hilang—bayangan pria itu seakan masih menempel di dinding, mengawasi dari balik gelap. Saat tiba di kamar kecil yang diberikan Joni, Amel mendorong pintu kayu berderit itu dengan hati-hati. Begitu pintu menutup, ia bersandar lemah, menekan dada dengan telapak tangan, berusaha menenangkan diri. Lampu redup di langit-langit bergoyang pelan, menciptakan bayangan yang bergerak-gerak di dinding. Ia meraih segelas air di meja kecil, meneguknya terburu-buru, tapi rasa hausnya tak kunjung hilang. Pikiran Amel penuh oleh satu nama—Alex. Sosok itu menakutkan sekaligus… entah bagaimana, menyelamatkan. “Kenapa dia ngeliatin aku begitu?” gumamnya lirih, nyaris tak percaya pada dirinya sendiri. Di luar kamar, langkah orang
Amel mencoba menenangkan dirinya, meski keringat dingin masih menetes di pelipis. Ia menunduk, berusaha menyembunyikan wajahnya. Di dalam hati, ada rasa syukur karena Alex menyelamatkannya dari situasi yang lebih buruk, tapi juga muncul ketakutan baru: pria itu jelas punya kuasa besar, dan setiap ucapannya adalah hukum di tempat ini. Musik kembali diputar, meski volumenya diturunkan. Namun, suasana tetap kaku. Para tamu tak lagi sebebas tadi, seolah kehadiran Alex menjadi garis batas yang tak terlihat. Dari kejauhan, Amel merasakan tatapan. Sesekali, Alex mengangkat matanya dari gelasnya dan melirik ke arahnya. Tatapan itu bukan lagi marah, tapi lebih seperti... menilai. Meneliti. Seakan ia mencoba memahami siapa sebenarnya perempuan yang baru muncul di bar miliknya. Joni mendekat ke arah Amel, wajahnya masih tegang. “Lo jangan bikin masalah, Mel,” bisiknya cepat. “Bos Alex udah kasih kesempatan. Kalau lo salah langkah, bukan cuma lo... gue juga yang kena.” Amel hanya mengangg
Amel mengikutinya dengan langkah kaku. Suara sandal tipisnya menyeret lantai semen, membuat setiap detik terasa panjang. Rani berjalan di depannya, pinggulnya bergoyang santai seolah sudah terbiasa dengan sorot mata para lelaki di sekitar. “Tempat apa ini?” gumam Amel sambil mempehatikan setiap detail bangunan. Mereka memasuki sebuah bangunan lain di sisi halaman—lebih besar, dengan pintu kayu berat yang terbuka lebar. Begitu melangkah masuk, Amel langsung disambut aroma menyengat: campuran asap rokok, alkohol, dan parfum murahan. Di dalam, meja-meja bulat sudah tertata rapi. Beberapa lelaki duduk sambil tertawa keras, gelas mereka berisi cairan kuning yang Amel tahu bukan sekadar teh. Musik keras dari pengeras suara membuat dadanya semakin berdebar. “Ini bar tempat lo kerja,” kata Rani, menoleh sekilas dengan senyum samar. “Malam ini lo cuma belajar. Gue gak suka orang bego, jadi dengerin baik-baik.” Amel mengangguk cepat, menunduk. Rani menunjuk ke meja di pojok. “Itu t
Joni mengajak Amel menuju sebuah ruangan kecil. Ia mendorong daun pintu kayu yang berderit pelan. “Ini kamar lo. Mending sekarang lo istirahat. Besok pagi lo siap-siap buat kerja,” ucapnya singkat, lalu melangkah pergi. Amel berdiri di ambang pintu, menatap ruangan sederhana itu. Hanya ada satu ranjang berseprai kusut, kipas angin mungil yang berdebu di sudut meja, dan pintu kamar mandi dengan cat yang mulai mengelupas. Bukan tempat yang mewah, tapi setidaknya ada atap di atas kepala. Ia mengangguk pelan, bibirnya menekan rapat seakan takut kata-kata yang keluar akan pecah bersama perasaannya. Setelah Joni menghilang di balik koridor, Amel menutup pintu dengan hati-hati, seolah takut suara keras akan mengusir ketenangan singkat yang baru saja ia dapatkan. Di dalam kamar, napasnya keluar panjang, bahunya merosot dari tegangnya perjalanan hari ini. Ia menurunkan anaknya perlahan ke atas ranjang. Si kecil berguling sedikit, masih tertidur pulas dengan napas teratur, membuat







