Share

2. Dia Pergi

Author: DOMINO
last update Last Updated: 2025-10-01 11:14:15

Lelaki itu mendongak. “Apa?! Lo panggil gue ‘Mas’? Emang gue keliatan kayak mas-mas?” Nada suaranya seperti bercanda, tapi sorot matanya tetap awas.

Dia tidak menjawab. Matanya kembali ke wajah anaknya, tangannya mengelus lembut pipi kecil itu. Di benaknya, keraguan berkecamuk. Apa aku harus percaya? Apa dia orang baik?

Lelaki itu seolah menangkap keraguannya. “Gimana? Mau nggak? Gue bisa ajak lo ketemu sama bos gue. Siapa tahu lo bisa dapet kerjaan.”

Dia hanya terdiam seperti batu. Tapi matanya menyiratkan sesuatu. Ragu, takut, dan lelah bercampur menjadi satu.

Sampai suara tangis lirih di pelukannya menyadarkannya. “Husstt… sayang, jangan nangis. Ini Ibu, Ibu di sini,” bisiknya sambil mengayun pelan tubuh anaknya.

Ia menoleh ke arah lelaki itu, akhirnya ia berkata dengan nada pelan namun yakin, “Oke. Aku ikut. Tapi kamu janji jangan bohongin aku.”

Lelaki itu mengangguk cepat. “Sip. Sekarang lo ikut gue, sebelum gue berubah pikiran.”

Lelaki itu berbalik, berjalan menuju motornya tanpa menawarkan bantuan kepadanya, dia mengikutinya dengan langkah berat, satu tangan menggendong anaknya, satu lagi menenteng tas lusuhnya.

“Dasar cowok nyebelin. Ngajakin, tapi nggak ada niat buat bantuin aku sama sekali,” gumamnya pelan, pada dirinya sendiri.

Beberapa menit kemudian, mereka tiba di sebuah bangunan tua. Dinding luarnya dipenuhi coretan dan karat. Tumpukan ban bekas berserakan di halaman, tong-tong besar di jadikan meja dan kursi darurat. Bau oli dan asap rokok menyengat sejak pintu gerbang terbuka.

Beberapa pria duduk santai dengan botol minuman keras di tangan. Tawa mereka keras, dan para pelayan berpakaian minim berlalu-lalang, membawa nampan-nampan penuh gelas.

Dia menahan napas. Matanya menyapu pemandangan itu dengan rasa tidak percaya. Kepulan asap membuat putrinya terbatuk kecil.

Lelaki di sampingnya menoleh. “Lo kenapa bengong? Nggak usah takut. Gue pastiin lo dapet kerjaan disini. Ayo masuk.”

Dengan enggan, dia melangkah mengikuti lelaki itu ke dalam lorong sempit. Dindingnya lembab, lampu-lampu kecil menggantung dari kabel yang melilit seadanya.

Di ujung lorong ada satu pintu besi besar, dengan tulisan menyala samar: BIG BOS. Lelaki itu mengetuk. Sekali. Dua kali. Lalu membuka pintu.

“Bos, ini gue, Joni. Gue bawa barang baru nih. Lo mau liat dulu atau suruh langsung kerja?”

Suara dari dalam terdengar berat dan dingin. “Suruh dia masuk. Gue mau test dulu. Lihat layak atau nggak.”

Barang baru? Test? Kata-kata itu menggema di kepalanya. Ia menggigil, bukan karena dingin, tapi karena firasat buruk yang menusuk tulangnya.

Joni menoleh, nadanya santai seolah tak menyadari keresahannya. “Lo denger kan? Masuk!”

Dia menatap lantai, lalu mengangguk pelan. Ia masuk, Joni menutup pintu dan meninggalkannya sendiri bersama Bosnya.

Ruangan itu gelap, hanya diterangi satu lampu sorot dari atas. Di balik meja besar duduk seorang pria bertubuh tegap, jas hitam rapi membalut tubuhnya.

Tatapannya tajam seperti pisau yang belum pernah tumpul. Dia langsung menunduk, tak sanggup membalas tatapannya.

Pria itu tidak berkata apa-apa. Ia berdiri dan perlahan berjalan mendekat. Langkahnya mantap, tak tergesa, tapi berat.

Pandangan matanya turun, tertuju pada anak kecil di pelukan wanita itu. Ia berhenti hanya satu langkah di hadapan mereka.

Wanita itu menahan napas. Jantungnya berdetak keras, seakan ingin keluar dari dadanya. Dia berdiri kaku di sudut ruangan, tubuhnya setengah membelakangi pintu.

Bayangan pria itu makin besar di lantai ketika langkah beratnya mendekat. Pelukannya menguat pada tubuh mungil di dadanya.

Jari-jarinya gemetar, memegang bahu kecil anaknya seakan bisa melindungi dari segala mara bahaya.

"Mau apa kamu! Jangan macam-macam." Suara itu nyaris berbisik, pecah di ujung.

Pria itu tak menjawab. Sepatu kulitnya berdecit di lantai semen lembap. Matanya tak pernah lepas dari mereka—tatapan tajam, dingin, seperti sedang mengukur sesuatu yang jauh lebih dalam dari penampilan luar.

Lalu, ia sedikit membungkuk perlahan di depan anaknya. Jari-jari besar dan kasar itu terulur, menyentuh pipi bocah yang sedang tertidur pulas.

Sentuhannya lembut, berbanding terbalik dengan wujudnya yang mengintimidasi. Bocah itu masih saja tertidur pulas, seakan tidak merasa terusik dengan sentuhannya.

Dia nyaris melangkah mundur, tapi kakinya terasa tertancap di lantai. Keringat dingin menetes di pelipisnya.

Tanpa mengalihkan pandangan, pria itu berkata—suara beratnya mengisi ruangan kecil itu.

"Siapa namamu?" tanyanya datar.

Dia terdiam sejenak, lalu menjawab "A-Amel," jawabnya sedikit gugup.

“Kamu yakin mau kerja di tempat ini?” Suaranya terdengar hangat, namun ada sesuatu yang menggantung di ujung kalimatnya—seperti kabut tipis yang tak terlihat tapi terasa dinginnya.

Amel refleks meremas kain gendongan miliknya, seolah bisa meredam detak jantung yang kini berdebar lebih kencang.

“Memangnya… pekerjaan apa yang akan saya lakukan di sini?” tanyanya.

Ia berusaha terdengar tegar, meskipun telapak tangannya mulai berkeringat. Lampu di langit-langit ruangan itu berkedip sekali, cukup untuk membuat bayangan di sudut-sudut tampak bergerak.

Alih-alih menjawab, pria itu hanya terkekeh. Gelaknya pendek, namun cukup untuk membuat bulu kuduknya berdiri.

Ia menyilangkan tangan di depan dadanya, tatapannya menusuk seolah tahu jawaban atas semua pertanyaan Amel.

“Kamu nggak lihat mereka semua, waktu kamu masuk ke sini?” ujarnya, alisnya terangkat sedikit, memberi tekanan pada ucapannya. Matanya melirik ke arah lorong gelap di belakang Amel.

Amel menoleh perlahan. Ingatannya menangkap bayangan wajah-wajah yang masuk bersamanya tadi—wajah kosong tanpa gairah, langkah kaku, dan mata yang seolah menolak bertemu siapa pun. Ia menelan ludah, lalu mengangguk pelan.

Tanpa menunggu, pria itu menekan tombol di gagang telepon hitam tua di mejanya.

“Baik. Kamu bisa mulai kerja sekarang. Anakmu bisa dititip ke karyawan lain.” Nada bicaranya berubah jadi datar,

“Jon, ke ruangan gue sekarang, cepat!” katanya singkat. Gagang telepon ditaruhnya kembali.

Setelah menutup telepon, pria itu menjatuhkan tubuhnya ke kursi, bersandar sambil menatap langit-langit. Tangannya mengetuk meja pelan, ritmenya datar, seperti detik jam yang tak pernah berhenti.

Amel menunduk. Jemarinya meremas tas kecil di pangkuan hingga kainnya berkerut. Tatapannya jatuh pada ujung sepatu yang berdebu, kabur oleh genangan keringat di pelipis yang menetes ke pipi.

Kata-kata barusan masih menggantung di telinganya, samar bercampur dengan suara dengung lampu yang berulang padam-nyala.

Ia ingin bertanya, tapi lidahnya kelu. Hanya dada yang naik turun cepat, seolah paru-parunya sedang berpacu dengan waktu yang tidak ia pahami.

Tok... Tok!!

Ketukan di pintu memecah sunyi. Hanya sekali, berat, tapi cukup membuat Amel refleks mendekap anaknya lebih erat.

Pintu bergeser, engselnya berdecit kasar. Seorang laki-laki bertubuh besar muncul di ambang pintu, bahunya hampir memenuhi lebar kusen.

Wajahnya tanpa ekspresi, matanya sayu namun kosong, seperti tak benar-benar melihat siapa pun di ruangan itu.

“Masuk,” suaranya bergema.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • SUAMIKU MANTAN GENGSTER   78. Sangat berbahaya.

    Tiga hari berlalu pertemuan dengan Tuan Ronald berjalan mulus... senyum bahagia, jabatan tangan dan janji kerja sama, namun di baliknya, pikiran Felix terus berputar pada satu hal... Alex dan wanita yang bersama anaknya. Pagi ini, langit mendung. Awan kelabu menggantung berat seolah ikut mengawasi langkahnya. Felix berdiri di depan cermin besar di ruang kerjanya. Setelan hitamnya rapi tanpa cela, dasi terikat sempurna. Namun sesuatu di balik tatapannya berbeda... lebih tegas dan berbahayq. “Mobil sudah siap, Tuan,” lapor anak buahnya dari ambang pintu. Felix mengangguk sekali. “Kita berangkat sekarang.” Perjalanan menuju mansion terasa panjang. Jalanan kota melintas di balik kaca bangunan, pepohonan, dan orang-orang yang tak tahu badai apa yang sedang bergerak diam-diam. Felix tidak berkata sepatah pun. Di kursi depan, sopir bisa melihat dari kaca spion bagaimana tatapan majikannya tetap lurus ke depan, rahangnya mengeras. Tangan Felix menggenggam tongkat kayu berukir di pangku

  • SUAMIKU MANTAN GENGSTER   77. Rasa bersalah Beni

    Malam sudah berlalu ketika dua mobil hitam memasuki area gudang besar yang dijaga ketat di pinggir kota. Bukan lagi bangunan reyot tanpa arah, ini markas inti Martin. Pagar besi setinggi tiga meter mengelilinginya, kamera pengawas memantau setiap sudut, dan orang-orang bersenjata mondar-mandir seperti bayangan.Mobil berhenti, pintu terbuka. Martin turun lebih dulu. Jaket hitamnya basah oleh hujan, namun langkahnya tetap tenang. Di belakangnya, Beni ikut turun. Wajahnya gelap, bukan hanya karena kelelahan, tapi juga karena sesuatu yang berat di dadanya.“Masuk,” ucap Martin singkat.Di dalam, markas itu tidak main-main. Ruang kendali penuh layar monitor menampilkan sudut-sudut kota, jalur pelabuhan, dan yang paling menonjol, tampilan citra satelit area mansion Alex. Semua orang berdiri memberi hormat saat Martin lewat.Ia duduk di kursi utama, memijat pelipis sebentar, lalu menatap layar besar di depannya.“Alex memang tidak pernah main-main,” gumamnya. “Dia selalu menyiapkan pengaman

  • SUAMIKU MANTAN GENGSTER   76. Ada cinta dalam bahaya

    Malam terasa mencekam. Hujan menutup jalan pulang dengan tirai tipis, dan kota seolah mengecil di balik kaca mobil yang buram.Amel duduk diam di kursi penumpang, jaket hitam yang terlalu besar memeluk bahunya. Kali ini bukan hanya luka dan kejadian di bangunan tua tadi yang membebani pikirannya, tapi wajah kecil yang menunggunya. Lily, putri kecilnya.Ia menatap ponsel yang mati. Baterai habis. Tidak ada kabar, tidak ada pesan. “Semoga Lily aman di mansion,” batinnya berulang-ulang.Alex melirik sekilas. “Lily aman, dia dijaga. Joni yang ngatur semua pengamanan.”Seolah mendengar namanya disebut, tak lama kemudian mobil lain berhenti di belakang mereka. Joni turun, jaketnya basah, rambutnya tertempel air hujan, tapi matanya masih awas, seperti biasa.“Bos,” katanya pendek. Lalu ia menoleh ke Amel. Suaranya melunak. “Mel, tenang aja Lily aman. Gue udah taro orang-orang terbaik di sana. Mereka selalu standby.”Bahunya sedikit turun lega. Tapi hati seorang ibu tak pernah benar-benar ten

  • SUAMIKU MANTAN GENGSTER   75. Suara tembakan itu.

    Gelap menelan segalanya. Dor! Dor! Dor!Suara tembakan itu memantul di dinding-dinding besi, menggema, lalu mati begitu cepat seolah tak pernah ada. Hanya bau mesiu tipis yang tertinggal, bercampur lembap dan karat.“Alex!” suara Amel pecah, kali ini tak lagi ditahannya. Tak ada jawaban. Hanya derit pelan mekanisme yang kembali bergerak.Lampu darurat menyala redup... merah. Ruangan tempat Amel duduk kini terbuka sebagian, lantai berhenti bergerak, menyisakan celah menganga beberapa meter di depannya. Jarak yang cukup dekat untuk melihat, tapi terlalu jauh untuk disentuh.Di seberang celah itu, sosok muncul dari bayangan.Alex.Bahunya berdarah. Peluru menggores, tak mematikan, tapi cukup untuk melambatkannya. Tatapannya tetap tajam, terkunci pada Amel seolah dunia di sekeliling mereka tak ada.“Jangan bergerak,” katanya cepat, suaranya rendah namun tegas.Amel mengangguk kecil, air mata menggenang tanpa jatuh. Di atas mereka, suara tepuk tangan terdengar, pelan dan berirama.Martin

  • SUAMIKU MANTAN GENGSTER   74. Alex terjebak

    Mobil itu berbelok tajam, menyusuri jalan sempit yang basah. Lampu-lampu kota tertinggal, digantikan deretan gudang tua dan bangunan kosong. Hujan kian rapat, menelan suara mesin. Amel memejamkan mata sejenak, lalu membukanya lagi. Ia menahan gemetar, mencoba membaca arah dari setiap belokan. Kanan, kiri, lurus terlalu lama. Bukan jalan yang ia kenal. Tangannya yang terikat bergerak sedikit, cukup untuk merasakan denyut nadi sendiri. “Tenang aja,” suara dari kursi depan kembali terdengar. “Bos cuma pingin ketemu lo ko.” Amel tak menjawab. Ia tahu, setiap kata bisa jadi kesalahan. *** Di mansion, Alex berdiri di tengah ruang kontrol. Layar-layar menampilkan koridor kosong, gerbang tertutup, hujan yang jatuh tanpa saksi. Semua sistem aktif, normal, dan itu yang paling mengganggu. “Trace sinyal di radius tiga kilometer,” perintahnya. “Cari anomali. Mobil mati lampu, pola tak biasa.” Joni menekan panel. “Udah, Bos. Tapi… mereka bersih, tanpa jejak.” Alex mengepalkan tan

  • SUAMIKU MANTAN GENGSTER   73. Kehilangan Jejak

    Alex muncul di teras. Jaketnya setengah terbuka, bahu tegap. Di sisinya, anak kecil itu Lily... berlari kecil, tertawa menabrak udara. Alex menurunkan langkah, ia menoleh ke belakang sekali. Dua kali. Lalu... pandangan itu jatuh ke Amel. Amel berdiri di ambang pintu kaca. Rambutnya tergerai, wajahnya pucat di bawah lampu hangat. Ia mengangkat tangan kecil, isyarat sederhana dan Alex mengangguk. Hanya itu. Tapi bagi lensa di kejauhan, itu cukup. *** Di markas Black Dragon, Martin memandangi layar monitor yang menampilkan feed jarak jauh. Ia tak berkedip. Beni berdiri di belakangnya, tangan di saku, rahang mengeras. “Dia sudah menemukan dunianya” gumam Martin. “Anak itu… dan Amel.” “Kalau kita sentuh salah satunya...” Beni memulai. “Alex akan murka dan marah.” Martin menyelesaikan, tenang. “Dan dia tidak akan tinggal diam.” Martin menggeser kursi, berdiri. “Aktifkan fase dua.” Di layar lain, peta kota menyala. Titik-titik bergerak pelan... bukan mendekat ke mansion, mela

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status