Share

3. Ketakutan

Author: DOMINO
last update Last Updated: 2025-10-03 13:50:26

Amel berdiri kaku di sudut ruangan, tubuhnya setengah membelakangi pintu. Bayangan pria itu makin besar di lantai ketika langkah beratnya bergema mendekat.

Pelukannya menguat pada tubuh mungil di dadanya. Jari-jarinya gemetar, memegang bahu kecil anaknya seakan bisa melindungi dari segala mara bahaya.

"Mau apa kamu! Jangan macam-macam." Suara itu nyaris berbisik, pecah di ujung.

Laki-laki itu tak menjawab. Sepatu kulitnya berdecit di lantai semen lembap. Matanya tak pernah lepas dari mereka—tatapan tajam, dingin, seperti sedang mengukur sesuatu yang jauh lebih dalam dari penampilan luar.

Lalu, ia sedikit membungkuk perlahan di depan anak Amel. Jari-jari besar dan kasar itu terulur, menyentuh pipi bocah yang sedang tertidur pulas. Sentuhannya lembut, berbanding terbalik dengan wujudnya yang mengintimidasi. Bocah itu masih saja tertidur pulas, seakan tidak merasa terusik dengan sentuhannya.

Amel nyaris melangkah mundur, tapi kakinya terasa tertancap di lantai. Keringat dingin menetes di pelipisnya.

Tanpa mengalihkan pandangan, pria itu berkata—suara beratnya mengisi ruangan kecil itu seperti kabut tebal.

“Kamu yakin mau kerja di tempat ini?”

Suara bariton itu terdengar hangat, namun ada sesuatu yang menggantung di ujung kalimatnya—seperti kabut tipis yang tak terlihat tapi terasa dinginnya. Amel refleks memeluk tas kecil di dadanya, seolah bisa meredam detak jantung yang kini berdebar lebih kencang.

“Memangnya… pekerjaan apa yang akan saya lakukan di sini?” tanyanya. Ia berusaha terdengar tegar, meskipun telapak tangannya mulai berkeringat. Lampu di langit-langit ruangan itu berkedip sekali, cukup untuk membuat bayangan di sudut-sudut tampak bergerak.

Alih-alih menjawab, laki-laki itu hanya terkekeh. Gelaknya pendek, namun cukup untuk membuat bulu kuduk Amel berdiri. Ia menyilangkan tangan di depan dada, tatapannya menusuk seolah tahu jawaban atas semua pertanyaan Amel.

“Kamu nggak lihat mereka waktu masuk ke sini?” ujarnya, alisnya terangkat sedikit, memberi tekanan pada ucapannya. Matanya melirik ke arah lorong gelap di belakang Amel.

Amel menoleh perlahan. Ingatannya menangkap bayangan wajah-wajah yang masuk bersamanya tadi—wajah kosong tanpa gairah, langkah kaku, dan mata yang seolah menolak bertemu siapa pun. Ia menelan ludah, lalu mengangguk pelan.

Tanpa menunggu, laki-laki itu menekan tombol di gagang telepon hitam tua di mejanya.

“Baik. Kamu mulai kerja sekarang. Anakmu bisa dititip ke karyawan lain.”

Nada bicaranya berubah jadi datar, seperti membaca skrip yang sudah ribuan kali ia ucapkan.

“Jon, ke ruanganku, cepat,” katanya singkat. Gagang telepon ditaruh dengan bunyi klik yang terlalu nyaring untuk ruangan sekecil itu.

Setelah menutup telepon dengan bunyi klik yang terasa memotong udara, laki-laki itu menjatuhkan tubuhnya ke kursi berderit, bersandar seakan ruangan ini sepenuhnya miliknya.

Tangannya mengetuk meja pelan, ritmenya datar, seperti detik jam yang tak pernah berhenti.

Amel menunduk. Jemarinya meremas tas kecil di pangkuan hingga kainnya berkerut. Tatapannya jatuh pada ujung sepatu yang berdebu, kabur oleh genangan keringat di pelipis yang menetes ke pipi.

Kata-kata barusan masih menggantung di telinganya, samar bercampur dengan suara dengung lampu yang berulang padam-nyala.

Ia ingin bertanya, tapi lidahnya kelu. Hanya dada yang naik turun cepat, seolah paru-parunya sedang berpacu dengan waktu yang tidak ia pahami.

Ketukan di pintu memecah sunyi. Hanya sekali, berat, tapi cukup membuat Amel refleks mendekap anaknya lebih erat.

Pintu bergeser, engselnya berdecit kasar. Seorang laki-laki bertubuh besar muncul di ambang, bahunya hampir memenuhi lebar kusen.

Wajahnya tanpa ekspresi, matanya sayu namun kosong, seperti tak benar-benar melihat siapa pun di ruangan itu.

“Masuk,” suaranya bergema rendah.

Jon melangkah masuk tanpa ragu, langkahnya berat namun teratur. Bau keringat bercampur besi—entah dari tubuhnya atau dari sesuatu yang pernah disentuhnya—ikut menyeruak, menusuk hidung Amel.

Amel menelan ludah. Ia ingin bersuara, menanyakan apa sebenarnya yang menantinya, tapi suaranya tertelan bulat oleh tatapan Jon yang sekali menoleh ke arahnya.

Tatapan itu datar, dingin, namun ada sesuatu di dalamnya—seolah Amel sedang diukur, dipertimbangkan, ditimbang untuk sesuatu yang tak ia pahami.

Laki-laki itu duduk di kursi sambil menyilangkan tangan di dada, sudut bibirnya terangkat tipis.

“Bawa dia lihat tempatnya,” katanya singkat.

Jon menunduk sedikit, lalu melangkah lebih dekat. Suara sepatunya menggema, semakin lama semakin dekat, hingga jarak antara mereka hanya tinggal sehelai napas.

Anak di pelukan Amel menggeliat sebentar, merengek lirih, lalu kembali terlelap. Jon berhenti, menunduk menatap wajah bocah itu. Untuk pertama kalinya, matanya berkedip—satu gerakan kecil, tapi cukup untuk membuat bulu kuduk Amel meremang.

Tanpa berkata apa-apa, Jon memutar tubuhnya dan memberi isyarat agar Amel mengikutinya.

Lorong gelap menunggu di balik pintu. Dari sana, samar-samar terdengar bunyi—entah langkah kaki lain, atau sesuatu yang menyeret di lantai.

Amel berdiri kaku di tempat, lututnya bergetar. Nalurinya berteriak untuk mundur, tapi suara dari dalam lorong itu justru semakin jelas.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • SUAMIKU MANTAN GENGSTER   9. Bagaimana ini

    Amel berhenti sejenak. Pertanyaan itu menusuk di hatinya. Ia ingin menjawab dengan sesuatu yang meyakinkan.Sesuatu yang bisa membuat Lily merasa nyaman berada di tempat yang ia tinggali sekarang.“Iya, sayang. Untuk sementara…” ucapnya sambil mengusap lembut rambut putrinya itu. Senyum tipis itu muncul, bukan karena yakin, tapi karena ia tidak ingin membuat Lily bertanya-tanya.Mereka tiba di depan sebuah pintu putih dengan cat yang mulai mengelupas di beberapa sisinya. Amel menarik napas sebelum memutar knopnya.Kamar itu kecil—hanya ada satu ranjang single dan lemari besi tua. Sebuah jendela kecil di sudut ruangan menunjukkan langit sore yang pekat. Udara di dalamnya dingin, seolah ruangan itu lupa kalau ada yang tinggal.Lily langsung memanjat ke atas ranjang dan duduk bersila, memeluk bonekanya seperti perisai. “Bu, Lily lapar…” katanya, ragu.Amel terdiam. Perutnya sendiri sudah kosong sejak siang. Ia membuka tas kecilnya—hanya menemukan roti yang sudah agak lembek dan sebotol a

  • SUAMIKU MANTAN GENGSTER   8. Perasaan Apa Ini

    Amel menghela napas pelan, lengan kirinya sudah mulai pegal. Botol-botol kosong berdenting kecil di atas nampan setiap kali ia merapikan posisi gelas yang miring. Sisa alkohol menetes, membuatnya buru-buru mengelap meja yang lengket dengan kain lap yang sudah agak basah. “Sabar, Mel,” gumamnya pada diri sendiri. Ia hanya ingin cepat menyelesaikan semua ini dan kembali ke kamarnya. Saat semua tertata rapi, ia berdiri sambil menyeimbangkan nampan yang penuh di tangannya. Ia berbalik, namun... bayangan gelap sudah berdiri di belakangnya. PRANKK! Botol dan gelas saling menghantam lantai. Pecahannya berhamburan. Amel terlonjak mundur, dadanya berdebar tak karuan. “Ma-maaf, Bos,” ucapnya terbata. Ia langsung jongkok dan berusaha meraih pecahan gelas itu dengan tangan gemetar. Alex ikut berlutut di hadapannya tanpa sepatah kata. Wajahnya dekat sekali. Terlalu dekat. Amel buru-buru meraih pecahan terbesar dan... “akh!” Ia mengerjap, darah langsung merembes dari telapak tangannya. Seb

  • SUAMIKU MANTAN GENGSTER   7. Perasaan yang tak jelas

    Amel melangkah pelan meninggalkan lorong itu, seolah setiap ubin lantai yang ia injak bisa meledak kapan saja. Nafasnya masih belum teratur, dada naik-turun cepat. Sesekali ia menoleh ke belakang, memastikan Alex benar-benar sudah pergi. Tapi rasa was-was itu tak juga hilang—bayangan pria itu seakan masih menempel di dinding, mengawasi dari balik gelap. Saat tiba di kamar kecil yang diberikan Joni, Amel mendorong pintu kayu berderit itu dengan hati-hati. Begitu pintu menutup, ia bersandar lemah, menekan dada dengan telapak tangan, berusaha menenangkan diri. Lampu redup di langit-langit bergoyang pelan, menciptakan bayangan yang bergerak-gerak di dinding. Ia meraih segelas air di meja kecil, meneguknya terburu-buru, tapi rasa hausnya tak kunjung hilang. Pikiran Amel penuh oleh satu nama—Alex. Sosok itu menakutkan sekaligus… entah bagaimana, menyelamatkan. “Kenapa dia ngeliatin aku begitu?” gumamnya lirih, nyaris tak percaya pada dirinya sendiri. Di luar kamar, langkah orang

  • SUAMIKU MANTAN GENGSTER   6 . Semakin Cemas

    Amel mencoba menenangkan dirinya, meski keringat dingin masih menetes di pelipis. Ia menunduk, berusaha menyembunyikan wajahnya. Di dalam hati, ada rasa syukur karena Alex menyelamatkannya dari situasi yang lebih buruk, tapi juga muncul ketakutan baru: pria itu jelas punya kuasa besar, dan setiap ucapannya adalah hukum di tempat ini. Musik kembali diputar, meski volumenya diturunkan. Namun, suasana tetap kaku. Para tamu tak lagi sebebas tadi, seolah kehadiran Alex menjadi garis batas yang tak terlihat. Dari kejauhan, Amel merasakan tatapan. Sesekali, Alex mengangkat matanya dari gelasnya dan melirik ke arahnya. Tatapan itu bukan lagi marah, tapi lebih seperti... menilai. Meneliti. Seakan ia mencoba memahami siapa sebenarnya perempuan yang baru muncul di bar miliknya. Joni mendekat ke arah Amel, wajahnya masih tegang. “Lo jangan bikin masalah, Mel,” bisiknya cepat. “Bos Alex udah kasih kesempatan. Kalau lo salah langkah, bukan cuma lo... gue juga yang kena.” Amel hanya mengangg

  • SUAMIKU MANTAN GENGSTER   5. Aku Harus Apa

    Amel mengikutinya dengan langkah kaku. Suara sandal tipisnya menyeret lantai semen, membuat setiap detik terasa panjang. Rani berjalan di depannya, pinggulnya bergoyang santai seolah sudah terbiasa dengan sorot mata para lelaki di sekitar. “Tempat apa ini?” gumam Amel sambil mempehatikan setiap detail bangunan. Mereka memasuki sebuah bangunan lain di sisi halaman—lebih besar, dengan pintu kayu berat yang terbuka lebar. Begitu melangkah masuk, Amel langsung disambut aroma menyengat: campuran asap rokok, alkohol, dan parfum murahan. Di dalam, meja-meja bulat sudah tertata rapi. Beberapa lelaki duduk sambil tertawa keras, gelas mereka berisi cairan kuning yang Amel tahu bukan sekadar teh. Musik keras dari pengeras suara membuat dadanya semakin berdebar. “Ini bar tempat lo kerja,” kata Rani, menoleh sekilas dengan senyum samar. “Malam ini lo cuma belajar. Gue gak suka orang bego, jadi dengerin baik-baik.” Amel mengangguk cepat, menunduk. Rani menunjuk ke meja di pojok. “Itu t

  • SUAMIKU MANTAN GENGSTER   4. Masih Bingung

    Joni mengajak Amel menuju sebuah ruangan kecil. Ia mendorong daun pintu kayu yang berderit pelan. “Ini kamar lo. Mending sekarang lo istirahat. Besok pagi lo siap-siap buat kerja,” ucapnya singkat, lalu melangkah pergi. Amel berdiri di ambang pintu, menatap ruangan sederhana itu. Hanya ada satu ranjang berseprai kusut, kipas angin mungil yang berdebu di sudut meja, dan pintu kamar mandi dengan cat yang mulai mengelupas. Bukan tempat yang mewah, tapi setidaknya ada atap di atas kepala. Ia mengangguk pelan, bibirnya menekan rapat seakan takut kata-kata yang keluar akan pecah bersama perasaannya. Setelah Joni menghilang di balik koridor, Amel menutup pintu dengan hati-hati, seolah takut suara keras akan mengusir ketenangan singkat yang baru saja ia dapatkan. Di dalam kamar, napasnya keluar panjang, bahunya merosot dari tegangnya perjalanan hari ini. Ia menurunkan anaknya perlahan ke atas ranjang. Si kecil berguling sedikit, masih tertidur pulas dengan napas teratur, membuat

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status