Share

3. Ketakutan

Author: DOMINO
last update Last Updated: 2025-10-03 13:50:26

Wajahnya tanpa ekspresi, matanya sayu namun kosong, seperti tak benar-benar melihat siapa pun di ruangan itu.

“Masuk,” suaranya bergema.

Dia melangkah masuk tanpa ragu, langkahnya berat namun teratur. Bau keringat bercampur besi, entah dari tubuhnya atau dari sesuatu yang pernah disentuhnya ikut menyeruak, menusuk hidung Amel.

Amel menelan ludah. Ia ingin bersuara, menanyakan apa sebenarnya yang akan dia kerjakan, tapi suaranya tertelan bulat oleh tatapannya yang sekali menoleh ke arahnya.

Tatapan itu datar, dingin, namun ada sesuatu di dalamnya—seolah Amel sedang diukur, dipertimbangkan, ditimbang untuk sesuatu yang tak ia pahami.

Pria itu duduk di kursi sambil menyilangkan tangan di dada, sudut bibirnya terangkat tipis. “Bawa dia, kasih lihat tempatnya,” katanya singkat.

Dia menunduk sedikit, lalu melangkah lebih dekat. Suara sepatunya menggema, semakin lama semakin dekat, hingga jarak antara mereka hanya tinggal sehelai napas.

Anak di pelukan Amel menggeliat sebentar, merengek lirih, lalu kembali terlelap. Dia berhenti, menunduk menatap wajah bocah itu.

Untuk pertama kalinya, matanya berkedip—satu gerakan kecil, tapi cukup untuk membuat bulu kuduk Amel meremang.

Tanpa berkata apa-apa, dia memutar tubuhnya dan memberi isyarat agar Amel mengikutinya. Lorong gelap menunggu di balik pintu. Dari sana, samar-samar terdengar bunyi—entah langkah kaki lain, atau sesuatu yang menyeret di lantai.

Amel berdiri kaku di tempat, lututnya bergetar. Nalurinya ingin berteriak, tapi suara dari dalam lorong itu justru semakin jelas.

Dia mengajak Amel menuju sebuah ruangan kecil. Ia mendorong daun pintu kayu yang berderit pelan.

“Ini kamar lo. Mending sekarang lo taro barang-barang lo disini dan lo siap-siap buat kerja,” ucapnya singkat, lalu melangkah pergi.

Amel berdiri di ambang pintu, menatap ruangan sederhana itu. Hanya ada satu ranjang berseprai kusut, kipas angin mungil yang berdebu di sudut meja, dan pintu kamar mandi dengan cat yang mulai mengelupas.

Bukan tempat yang mewah, tapi setidaknya ada atap di atas kepala. Ia mengangguk pelan, bibirnya menekan rapat seakan takut kata-kata yang keluar akan pecah bersama perasaannya.

Setelah dia menghilang di balik koridor, Amel menutup pintu dengan hati-hati, seolah takut suara keras akan mengusir ketenangan singkat yang baru saja ia dapatkan.

Di dalam kamar, napasnya keluar panjang, bahunya merosot dari tegangnya perjalanan hari ini. Ia menurunkan anaknya perlahan ke atas ranjang. Si kecil berguling sedikit, masih tertidur pulas dengan napas teratur, membuatnya tersenyum tipis.

Tangannya menyentuh dada, mencoba menenangkan degup jantung yang masih kacau. “Huft...” desahnya lirih.

Matanya mengamati sekeliling ruangan yang sempit namun aman. “Akhirnya... ada tempat juga buat berteduh.”

Ia duduk di tepi ranjang, jari-jarinya menyisir rambut anaknya dengan lembut. Sesaat, wajahnya yang letih menegang lagi.

Ada pekerjaan yang menantinya—pekerjaan yang bahkan belum ia ketahui. Tapi genggaman tangan kecil anaknya membuatnya yakin, apa pun itu, ia akan menjalaninya.

Amel menarik napas dalam, lalu merebahkan tubuhnya di sisi anaknya. Matanya menatap langit-langit yang kusam, bercak-bercak noda air yang mengingatkannya pada peristiwa kelam di rumah lamanya.

Namun kali ini berbeda—di sini, ia tak mendengar teriakan atau bentakan. Yang ada hanya suara kipas angin berdecit pelan, mengisi ruang hening dengan irama samar.

Kelopak matanya terasa berat, namun pikirannya tak berhenti berputar. Aku harus kerja hari ini, pekerjaan apa yang dimaksud dia? Apakah aku sanggup? Pertanyaan-pertanyaan itu menekan, tetapi genggaman mungil putrinya membuat ia berani untuk melangkah.

Dia mulai bersiap untuk memulai pekerjaannya malam ini, terdengar suara langkah-langkah berat di koridor.

Ia segera bangkit, menatap anaknya yang masih pulas, lalu bergegas mencuci wajah di kamar mandi kecil.

Ketika keluar, Pria itu sudah berdiri di depan pintu. Tatapannya datar, seolah tak memberi ruang banyak untuknya bertanya.

“Lo udah siap kerja. Ayo ikut gue,” ucapnya singkat.

Dia mengangguk, cepat-cepat mengenakan sandal lusuh yang ia temukan di sudut ranjang. Ia menutup pintu kamar pelan agar tidak membangunkan anaknya.

Di luar, koridor sempit itu membawa mereka ke sebuah halaman belakang yang lebih luas dari yang ia kira. Beberapa orang sudah berkumpul, sebagian besar lelaki berwajah keras dengan tatapan penuh curiga.

Suara obrolan mereka mendadak terhenti begitu dia muncul bersama pria itu. Seseorang menyeringai sinis.

“Ini orang baru yang lo bawa, Jon?"

Amel merasakan jantungnya berdegup lebih kencang. Pandangan tajam mereka menusuk seperti ingin menyingkirkan dirinya.

Joni menoleh sekilas padanya, lalu menjawab dengan nada tegas, “mulai hari ini, dia kerja di sini. Lo semua gak usah banyak bacot.” Namun jelas, tak semua orang menyukai keputusan itu.

Amel berdiri canggung di halaman belakang itu, menelan ludah ketika seorang perempuan berambut pirang kemerahan—jelas bukan asli, melainkan cat yang memudar—melangkah mendekat.

Perempuan itu bernama Rani, salah satu karyawan di tempat itu. Tatapannya tajam, bibirnya tersenyum tipis namun menusuk.

“Siapa nama lo?" tanyanya ketus.

"A-Amel," jawabnya masih terlihat gugup.

"Oke, Amel... kalau mau tinggal di sini, lo harus kerja. Simple kan?” katanya sambil menyerahkan sebuah kantong plastik kepadanya.

Amel menerima kantong itu dengan bingung. Saat dibuka, ia menahan napas—di dalamnya ada sepotong pakaian tipis, rok hitam ketat, dan atasan yang lebih terbuka dari yang biasa ia kenakan.

“Ini... buat saya?” suara Amel lirih, matanya bergetar.

Rani mengangkat alis. “Ya buat siapa lagi? Lo kerja di bar depan, jadi waitress. Kerjaan lo gampang: anterin pesenan, senyum sama tamu, bikin mereka betah. Paham!”

Amel menggenggam erat plastik itu, tubuhnya kaku. Pikirannya kacau—ia tak pernah membayangkan harus memakai pakaian semacam itu, apalagi bekerja di tempat asing yang penuh tatapan mengintimidasi.

“Kenapa harus... pakaian kayak gini?” tanya Amel, suara nyaris bergetar.

Rani terkekeh sinis. “Karena itu yang bisa bikin tamu balik lagi, sayang. Kalau lo gak suka, pintu keluar ada di sana.” Ia menunjuk pagar besi di ujung gang. “Tapi inget, setelah itu... lo nggak punya tempat lain buat berteduh.”

Kata-kata itu menusuk lebih dalam dari pisau. Amel menunduk, meremas plastik berisi pakaian. Ia ingin menolak, ingin berteriak. Tapi bayangan anaknya yang sedang tidur sendirian di kamar membuatnya terdiam.

Ini semua untuk kamu, Nak... Ibu sanggup. Dengan langkah gontai, ia masuk ke ruang ganti sempit yang disediakan.

Saat menatap bayangannya di cermin retak, Amel hampir tak mengenali dirinya sendiri. Rasa malu dan tak nyaman bercampur, membuat matanya panas.

Namun ketika ia teringat wajah kecil anaknya, ia mulai tersenyum dan perlahan ia mengusap air matanya.

“Aku harus kuat...” bisiknya pada diri sendiri, lalu membuka pintu ruang ganti.

Begitu Amel melangkah keluar dengan pakaian itu, suara siulan dan tawa menggema dari para lelaki yang menunggu. Jantungnya berdegup kencang, tetapi ia menunduk, menahan diri agar tak runtuh.

Rani menepuk bahunya keras. “Bagus. Sekarang lo ikut gue, kerjaan pertama lo di mulai malam ini.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • SUAMIKU MANTAN GENGSTER   83. Permainan panas.

    Suasana bar malam itu padat dan bising. Lampu-lampu neon memantul di permukaan gelas, sementara dentuman musik menekan setiap percakapan menjadi bisikan. Joni duduk sendirian di meja bar, jemarinya mengetuk pelan dinding gelas yang tinggal setengah. Pandangannya kosong, seolah hanya mengikuti arus orang yang lalu-lalang tanpa benar-benar melihat.Aroma parfum manis tiba-tiba menguar di sampingnya. Tumit tinggi berderak pelan di lantai kayu sebelum Jenny muncul dan mengambil tempat di kursi sebelah. Gaun ketatnya memantulkan kilau lampu bar, membuat beberapa mata lain ikut melirik.Joni menoleh sekilas. Alisnya terangkat, bukan karena kagum, melainkan heran. Jenny jarang sekali mendekat, apalagi duduk sedekat ini. Biasanya, perempuan itu selalu menemukan alasan untuk menjauh saat Joni baru membuka mulut.Jenny menyandarkan siku di meja, tubuhnya agak dimiringkan ke arah Joni. Senyum kecil terbit di sudut bibirnya, manis tapi sulit ditebak maksudnya.“Hai, Jon,” katanya ringan, suarany

  • SUAMIKU MANTAN GENGSTER   82. Sesuatu yang sulit di mengerti

    Amel baru saja melepas celemek ketika keluar dari dapur. Aroma kaldu dan roti panggang masih menempel di tangannya. Ia sempat tersenyum melihat para pelayan saling bercanda, namun senyum itu perlahan pudar saat matanya menangkap pemandangan di ruang tengah. Lily duduk diam di sofa besar, memeluk boneka kecilnya. Matanya tidak berbinar seperti biasanya. Seolah ada kabut tipis yang menutupi sinar itu. Amel mendekati Maria. “Maria, ada apa dengan Lily?” tanyanya pelan, khawatir merambat ke suaranya. Maria menunduk sopan. “Sepertinya… Nona kecil sedang merindukan ayahnya.” Jawaban itu membuat dada Amel terasa sesak. Ia tidak berkata apa-apa, hanya mengangguk. Kakinya melangkah pelan mendekati Lily, seolah takut memecahkan sesuatu yang rapuh. Ia duduk di sisi anak itu, lalu jemarinya menyelip ke rambut halus Lily, mengusap perlahan. “Sayang…” bisiknya. Lily menoleh. Ada air yang belum jatuh di matanya. “Aku… rindu Ayah,” katanya dengan suara lebih kecil dari napas. Amel me

  • SUAMIKU MANTAN GENGSTER   81. Merasa Bersalah

    Lily duduk di tepi kolam, kakinya menggantung tepat di atas permukaan air yang beriak pelan. Ikan-ikan berwarna keemasan berenang santai, sesekali muncul ke atas seperti menyapa. Di sampingnya, Maria duduk tenang, tangan terlipat rapi di pangkuan, matanya mengikuti setiap gerakan kecil Lily. “Anak cantik, apa yang sedang kau pikirkan? Mengapa wajahmu terlihat sedih?” tanyanya lembut, hampir seperti bisikan yang takut mengganggu ketenangan kolam. Lily menoleh. Mata bulatnya yang biasanya cerah kini tampak redup, seperti langit yang dipenuhi awan. “Aku sedih,” ucapnya pelan. “Aku tidak bisa bertemu Ayahku. Padahal aku rindu dengan ayahku.” Maria terdiam. Jemarinya mengepal kecil di atas roknya sebelum akhirnya ia bertanya, suaranya hati-hati, “Apa ayahmu sebaik Tuan Alex?” Lily menggeleng pelan. Rambut halusnya ikut bergoyang mengikuti gerakan itu. “Lantas… mengapa kau merindukannya?” Gadis kecil itu menarik napas, menatap ke permukaan air yang memantulkan langit kelabu. “Aku

  • SUAMIKU MANTAN GENGSTER   80. Membuat Alex kesal

    Debora baru saja menutup kalimatnya ketika suara langkah tegap terdengar dari arah koridor. Langkah yang terlalu familiar... berat, mantap, dan selalu membuat orang-orang di mansion refleks menegakkan punggung. Debora langsung menoleh. Alex sudah berdiri di sana, masih dengan setelan rapi, wajahnya teduh namun dingin seperti biasa. Tatapannya sempat jatuh pada bunga-bunga lili itu… hanya beberapa detik. Tapi cukup membuat Debora sadar bahwa ia sudah bicara terlalu jauh. Wajah Debora berubah canggung. “Permisi, Nona Amel. Saya ke dapur dulu,” ucapnya cepat, menunduk hormat pada Alex sebelum bergegas pergi, nyaris tanpa menunggu jawaban. Amel masih memegang satu batang lili putih di tangannya. Sekilas, ia dan Alex saling berpandangan. Ada sesuatu di mata Alex, seperti dinding tinggi yang kembali ditegakkan. Amel mencoba tersenyum, suaranya pelan, “Alex… aku mau tanya sedikit tentang bunga...” Namun Alex memotong dengan nada tenang tapi tegas, seolah sengaja mengalihkan arah pembi

  • SUAMIKU MANTAN GENGSTER   79. Dibalik dinginnya Alex

    Beberapa hari setelah kejadian di mansion, semuanya tampak kembali normal, seperti kolam yang tenang setelah batu dijatuhkan. Namun, jika diperhatikan lebih dekat, ada riak-riak kecil yang tak pernah benar-benar hilang.Pagi itu, sinar matahari menembus jendela besar ruang tamu, memantul lembut di vas-vas kristal yang berjajar rapi. Amel berdiri di tengah ruangan dengan sebuket bunga segar di tangannya. Tangannya cekatan, tapi langkahnya pelan... seolah setiap gerakan harus dilakukan dengan penuh hati-hati, karena ini bukan sekadar mengganti bunga.Bunga-bunga itu harus diganti tiga hari sekali. Itu sudah menjadi kebiasaan lama di rumah ini. Alex menginginkannya begitu... tak boleh terlambat dan tak boleh sembarangan.Amel menghela napas pelan. Di setiap sudut ruang tamu, di atas meja kecil di lorong, bahkan di dekat tangga spiral yang menuju lantai atas, selalu ada rangkaian bunga lili putih. Wangi khasnya lembut, bersih, dan kontras sekali dengan bayangan kelam yang selalu mengiku

  • SUAMIKU MANTAN GENGSTER   78. Sangat berbahaya.

    Tiga hari berlalu pertemuan dengan Tuan Ronald berjalan mulus... senyum bahagia, jabatan tangan dan janji kerja sama, namun di baliknya, pikiran Felix terus berputar pada satu hal... Alex dan wanita yang bersama anaknya. Pagi ini, langit mendung. Awan kelabu menggantung berat seolah ikut mengawasi langkahnya. Felix berdiri di depan cermin besar di ruang kerjanya. Setelan hitamnya rapi tanpa cela, dasi terikat sempurna. Namun sesuatu di balik tatapannya berbeda... lebih tegas dan berbahayq. “Mobil sudah siap, Tuan,” lapor anak buahnya dari ambang pintu. Felix mengangguk sekali. “Kita berangkat sekarang.” Perjalanan menuju mansion terasa panjang. Jalanan kota melintas di balik kaca bangunan, pepohonan, dan orang-orang yang tak tahu badai apa yang sedang bergerak diam-diam. Felix tidak berkata sepatah pun. Di kursi depan, sopir bisa melihat dari kaca spion bagaimana tatapan majikannya tetap lurus ke depan, rahangnya mengeras. Tangan Felix menggenggam tongkat kayu berukir di pangku

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status