Share

SUAMIKU MANTAN GENGSTER
SUAMIKU MANTAN GENGSTER
Author: DOMINO

1. Pertengkaran

Author: DOMINO
last update Last Updated: 2025-09-30 15:55:10

Wanita itu berdiri kaku di ujung meja kusam, matanya sayu menatap pria di depannya. Lingkar hitam menggantung di bawah matanya, dan kerutan kecil di keningnya menandakan beban yang terlalu lama dipikul.

Ia mendekap erat anak balitanya yang mulai gelisah, tubuh mungil itu menggeliat dalam pelukannya.

“Sudah aku bilang… aku sudah nggak ada uang lagi, Mas. Sisa gaji kemarin pun sudah kamu ambil semua,” suaranya pelan, namun serak seperti menahan tangis.

“Aku juga bingung... cicilan-cicilan itu... aku juga yang harus mikirin.” Tangannya sibuk menepuk pelan punggung si kecil, berharap tangisan tak pecah di tengah ketegangan ini.

BRAAKK!

Suara meja digebrak memekakkan telinga. Gelas plastik di atasnya loncat dan jatuh terguling ke lantai. Amel tersentak, tubuhnya gemetar.

“ARRGGHH! Banyak alasan aja lo!” teriak pria itu, urat lehernya menegang, wajahnya merah padam, dan matanya membelalak.

“Cicilan... itu juga lo yang pinjem, kan?! Wajar dong, kalau lo yang bayar! Jangan ngeluh ke gue!”

Dia memejamkan mata sejenak, mengatur napas yang mulai tersengal. Dia menggeleng perlahan, seperti mencoba meyakinkan dirinya sendiri untuk tetap tenang.

“Hufft...” desahnya. Ia menyeka keringat di pelipis dengan punggung tangan yang mulai bergetar.

“Aku capek ngomong sama kamu... percuma. Kamu nggak pernah mau denger.”

Si kecil mulai menangis pelan. Dia mendekapnya erat, membungkuk sedikit sambil membisikkan sesuatu yang nyaris tak terdengar.

Tangannya mengelus rambut anaknya, meski dirinya sendiri hampir runtuh. Namun pria itu tak berhenti. Ia maju satu langkah, suaranya kembali meninggi.

“Lo pikir uang gue nggak ke pake buat bayar cicilan juga, hah?! Suami minta duit nggak pernah ada! Lo kerja, kan?!” Pria itu terdiam, menatapnya tajam, seolah menunggu pembelaan darinya. Tapi dia hanya menunduk.

“Apa susahnya sih nyiapin uang buat gue?” lanjut si pria itu.

Dia tetap diam, suaranya seperti hilang di tenggorokan. Ia tahu, tak ada kata yang bisa mengubah apa pun malam itu.

Tanpa menjawab, ia perlahan memutar tubuhnya. Kakinya melangkah menjauh, membawa tubuh lelahnya keluar dari ruangan yang seolah semakin pengap.

Tangan kirinya menopang anaknya yang mulai terlelap lagi dalam pelukannya. Di dalam kamar yang remang, dia duduk bersandar pada dinding yang dingin. Lantai ubin menyerap dingin tubuhnya, tapi ia tak peduli.

Matanya basah. Tetes demi tetes air mata mengalir, tanpa suara, tanpa jeda. Tangisnya akhirnya pecah. Terisak pelan, lalu dalam. Seisi kamar yang sunyi hanya dipenuhi suara isakan tertahan.

Sudah menikah beberapa tahun dengannya, tapi bukan kebahagiaan yang mengisi hari-harinya. Yang tinggal hanya luka yang tak pernah sembuh, dan luka baru yang terus ia rasakan.

Dipangkuannya, sang anak tidur nyenyak. Wajah kecil itu bersih, polos, dan damai—sebuah dunia kecil yang membuat segalanya tetap berharga.

Dia mengusap rambut halus anaknya, jari-jarinya menyapu perlahan seolah ingin menyimpan ketenangan itu lebih lama.

Air mata jatuh ke kening anaknya, tapi dia tak mengelapnya. Ia hanya menunduk, membiarkan perasaannya tumpah malam itu.

"Aku harus pergi... aku nggak bisa terus kayak gini," batinnya. Dia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya.

Tapi pikirannya terus berputar, "Aku harus pergi dari rumah ini, rumah yang seperti neraka. Aku harus tinggalkan dia. Aku capek di tekan terus olehnya, aku juga berhak bahagia."

Dia menatap anaknya lagi, rasa sayang dan cinta yang mendalam terpancar dari matanya. Dengan pelan, dia membungkuk, mencium kening anaknya.

"Ibu akan melakukan apa saja untuk kamu, nak. Ibu akan memberikanmu kehidupan yang lebih baik," bisiknya, suaranya hampir tak terdengar.

Dia terus menangis, tapi ada tekad yang kuat di dalam hatinya, tekad untuk mengubah hidupnya dan anaknya menjadi lebih baik.

Dia duduk diam, dia menikmati kehangatan anaknya yang sedang tidur di pangkuannya. Setelah beberapa saat, dia perlahan-lahan berdiri, membawa anaknya ke tempat tidur dan membaringkannya dengan hati-hati.

Kemudian dia berfikir sejenak lalu berdiri dan berjalan ke arah lemari. Dia membuka laci dan mengeluarkan sebuah tas yang tidak terlalu besar, kemudian dia mulai memasukkan beberapa pakaian dan barang-barang penting lainnya.

Dia tidak tahu berapa lama dia akan pergi, tapi dia harus meninggalkan rumahnya hari ini juga. Dengan tas yang sudah penuh, dia menutup lemari dan menatap sekeliling kamar.

"Begitu banyak kenangan di rumah ini, tapi aku harus pergi dari sini," ucapnya lirih.

Dia menarik napas dalam-dalam, mengambil tasnya lalu menggendong anaknya yang masih tertidur dan membuka pintu kamar itu perlahan.

Sesekali dia menatap anaknya dan berkata, "Ibu akan memberikanmu kehidupan yang lebih baik," bisiknya lagi, kali ini dengan suara yang lebih kuat.

Dengan tekad yang baru, dia membuka pintu kamar dan melangkah keluar. Untung saja sang suami sedang tidak ada di rumah dan entah dia pergi kemana.

Moment ini yang membuatnya dapat bergerak cepat dan meninggalkan rumah tanpa hambatan.

Dia berjalan cepat sambil menggendong putrinya yang masih terlelap. Bayangan tubuh mereka terpantul samar di trotoar basah sisa hujan.

Langkahnya terhenti di bibir zebra cross. Ia menoleh ke kanan dan kiri, memastikan jalanan sepi. Tapi belum sempat melangkah...

Chiitt!!

Bunyi ban yang menggesek aspal menghentak udara. Dia terlonjak. Kakinya mundur spontan, dan pelukannya pada sang anak semakin erat.

Sebuah motor sport hitam berhenti hanya beberapa jengkal dari ujung sepatunya. Lampu depannya menyala garang, menyilaukan wajahnya yang pucat.

“Sialan!” Suara keras itu keluar dari pengendara motor yang kini melepas helmnya.

Rambutnya sedikit berantakan, matanya tajam menatapnya dari atas ke bawah. Jaket kulit yang melekat di tubuhnya memantulkan sedikit cahaya dari lampu jalan.

Napasnya masih berat, tapi sorot matanya tak sekadar marah—ada rasa ingin tahu di sana. Dia mengusap dadanya. Jantungnya seperti hendak meledak.

Tatapannya menyapu wajah lelaki itu, lalu turun ke jaketnya yang penuh emblem, celana jeans sobek, dan sepatu bot yang terlihat sedikit kotor.

Tubuhnya tegang, nalurinya ingin segera pergi. Namun sebelum sempat melangkah, lelaki itu sudah mendekat.

“Tunggu! Mau ke mana lo?” Suaranya tajam, tapi tak sekeras sebelumnya.

Dia mundur setapak, memeluk anaknya semakin erat. Suaranya bergetar, “Sa–saya mau pe... pergi.”

Lelaki itu mengangkat kedua tangan sedikit, mencoba terlihat tidak mengancam. “Tenang, gue nggak akan macem-macem.” Tatapannya menurun pada anak yang tertidur di pelukannya.

Ada perubahan halus di wajahnya—ketegangan tadi mencair, digantikan rasa penasaran.

Dia masih tertunduk, suaranya pelan tapi tegas. “Terus kamu mau apa? Saya nggak mau diganggu. Mending kamu pergi.”

Lelaki itu menatapnya lekat. Bibirnya perlahan membentuk senyum... entah mengejek, entah tulus, tak bisa ditebak. Justru senyum itu membuatnya makin waspada.

“Lo mau ke mana? Mau gue anter nggak? Ini udah malem, loh. Anak lo udah tidur. Jangan egois.” Suaranya kini lebih tenang, seakan mencoba meredam jarak di antara mereka.

Dia menunduk, lalu menatap anaknya yang tetap pulas di pelukannya. Kata-kata lelaki itu menggantung di kepalanya. Benar juga... tapi siapa dia? Bisa di percaya nggak?

“Maaf, Mas… nggak usah. Saya bisa sendiri,” ucapnya.

Lelaki itu mendongak.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • SUAMIKU MANTAN GENGSTER   80. Membuat Alex kesal

    Debora baru saja menutup kalimatnya ketika suara langkah tegap terdengar dari arah koridor. Langkah yang terlalu familiar... berat, mantap, dan selalu membuat orang-orang di mansion refleks menegakkan punggung. Debora langsung menoleh. Alex sudah berdiri di sana, masih dengan setelan rapi, wajahnya teduh namun dingin seperti biasa. Tatapannya sempat jatuh pada bunga-bunga lili itu… hanya beberapa detik. Tapi cukup membuat Debora sadar bahwa ia sudah bicara terlalu jauh. Wajah Debora berubah canggung. “Permisi, Nona Amel. Saya ke dapur dulu,” ucapnya cepat, menunduk hormat pada Alex sebelum bergegas pergi, nyaris tanpa menunggu jawaban. Amel masih memegang satu batang lili putih di tangannya. Sekilas, ia dan Alex saling berpandangan. Ada sesuatu di mata Alex, seperti dinding tinggi yang kembali ditegakkan. Amel mencoba tersenyum, suaranya pelan, “Alex… aku mau tanya sedikit tentang bunga...” Namun Alex memotong dengan nada tenang tapi tegas, seolah sengaja mengalihkan arah pembi

  • SUAMIKU MANTAN GENGSTER   79. Dibalik dinginnya Alex

    Beberapa hari setelah kejadian di mansion, semuanya tampak kembali normal, seperti kolam yang tenang setelah batu dijatuhkan. Namun, jika diperhatikan lebih dekat, ada riak-riak kecil yang tak pernah benar-benar hilang.Pagi itu, sinar matahari menembus jendela besar ruang tamu, memantul lembut di vas-vas kristal yang berjajar rapi. Amel berdiri di tengah ruangan dengan sebuket bunga segar di tangannya. Tangannya cekatan, tapi langkahnya pelan... seolah setiap gerakan harus dilakukan dengan penuh hati-hati, karena ini bukan sekadar mengganti bunga.Bunga-bunga itu harus diganti tiga hari sekali. Itu sudah menjadi kebiasaan lama di rumah ini. Alex menginginkannya begitu... tak boleh terlambat dan tak boleh sembarangan.Amel menghela napas pelan. Di setiap sudut ruang tamu, di atas meja kecil di lorong, bahkan di dekat tangga spiral yang menuju lantai atas, selalu ada rangkaian bunga lili putih. Wangi khasnya lembut, bersih, dan kontras sekali dengan bayangan kelam yang selalu mengiku

  • SUAMIKU MANTAN GENGSTER   78. Sangat berbahaya.

    Tiga hari berlalu pertemuan dengan Tuan Ronald berjalan mulus... senyum bahagia, jabatan tangan dan janji kerja sama, namun di baliknya, pikiran Felix terus berputar pada satu hal... Alex dan wanita yang bersama anaknya. Pagi ini, langit mendung. Awan kelabu menggantung berat seolah ikut mengawasi langkahnya. Felix berdiri di depan cermin besar di ruang kerjanya. Setelan hitamnya rapi tanpa cela, dasi terikat sempurna. Namun sesuatu di balik tatapannya berbeda... lebih tegas dan berbahayq. “Mobil sudah siap, Tuan,” lapor anak buahnya dari ambang pintu. Felix mengangguk sekali. “Kita berangkat sekarang.” Perjalanan menuju mansion terasa panjang. Jalanan kota melintas di balik kaca bangunan, pepohonan, dan orang-orang yang tak tahu badai apa yang sedang bergerak diam-diam. Felix tidak berkata sepatah pun. Di kursi depan, sopir bisa melihat dari kaca spion bagaimana tatapan majikannya tetap lurus ke depan, rahangnya mengeras. Tangan Felix menggenggam tongkat kayu berukir di pangku

  • SUAMIKU MANTAN GENGSTER   77. Rasa bersalah Beni

    Malam sudah berlalu ketika dua mobil hitam memasuki area gudang besar yang dijaga ketat di pinggir kota. Bukan lagi bangunan reyot tanpa arah, ini markas inti Martin. Pagar besi setinggi tiga meter mengelilinginya, kamera pengawas memantau setiap sudut, dan orang-orang bersenjata mondar-mandir seperti bayangan.Mobil berhenti, pintu terbuka. Martin turun lebih dulu. Jaket hitamnya basah oleh hujan, namun langkahnya tetap tenang. Di belakangnya, Beni ikut turun. Wajahnya gelap, bukan hanya karena kelelahan, tapi juga karena sesuatu yang berat di dadanya.“Masuk,” ucap Martin singkat.Di dalam, markas itu tidak main-main. Ruang kendali penuh layar monitor menampilkan sudut-sudut kota, jalur pelabuhan, dan yang paling menonjol, tampilan citra satelit area mansion Alex. Semua orang berdiri memberi hormat saat Martin lewat.Ia duduk di kursi utama, memijat pelipis sebentar, lalu menatap layar besar di depannya.“Alex memang tidak pernah main-main,” gumamnya. “Dia selalu menyiapkan pengaman

  • SUAMIKU MANTAN GENGSTER   76. Ada cinta dalam bahaya

    Malam terasa mencekam. Hujan menutup jalan pulang dengan tirai tipis, dan kota seolah mengecil di balik kaca mobil yang buram.Amel duduk diam di kursi penumpang, jaket hitam yang terlalu besar memeluk bahunya. Kali ini bukan hanya luka dan kejadian di bangunan tua tadi yang membebani pikirannya, tapi wajah kecil yang menunggunya. Lily, putri kecilnya.Ia menatap ponsel yang mati. Baterai habis. Tidak ada kabar, tidak ada pesan. “Semoga Lily aman di mansion,” batinnya berulang-ulang.Alex melirik sekilas. “Lily aman, dia dijaga. Joni yang ngatur semua pengamanan.”Seolah mendengar namanya disebut, tak lama kemudian mobil lain berhenti di belakang mereka. Joni turun, jaketnya basah, rambutnya tertempel air hujan, tapi matanya masih awas, seperti biasa.“Bos,” katanya pendek. Lalu ia menoleh ke Amel. Suaranya melunak. “Mel, tenang aja Lily aman. Gue udah taro orang-orang terbaik di sana. Mereka selalu standby.”Bahunya sedikit turun lega. Tapi hati seorang ibu tak pernah benar-benar ten

  • SUAMIKU MANTAN GENGSTER   75. Suara tembakan itu.

    Gelap menelan segalanya. Dor! Dor! Dor!Suara tembakan itu memantul di dinding-dinding besi, menggema, lalu mati begitu cepat seolah tak pernah ada. Hanya bau mesiu tipis yang tertinggal, bercampur lembap dan karat.“Alex!” suara Amel pecah, kali ini tak lagi ditahannya. Tak ada jawaban. Hanya derit pelan mekanisme yang kembali bergerak.Lampu darurat menyala redup... merah. Ruangan tempat Amel duduk kini terbuka sebagian, lantai berhenti bergerak, menyisakan celah menganga beberapa meter di depannya. Jarak yang cukup dekat untuk melihat, tapi terlalu jauh untuk disentuh.Di seberang celah itu, sosok muncul dari bayangan.Alex.Bahunya berdarah. Peluru menggores, tak mematikan, tapi cukup untuk melambatkannya. Tatapannya tetap tajam, terkunci pada Amel seolah dunia di sekeliling mereka tak ada.“Jangan bergerak,” katanya cepat, suaranya rendah namun tegas.Amel mengangguk kecil, air mata menggenang tanpa jatuh. Di atas mereka, suara tepuk tangan terdengar, pelan dan berirama.Martin

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status