LOGIN
Amel berhenti sejenak. Pertanyaan itu menusuk di hatinya. Ia ingin menjawab dengan sesuatu yang meyakinkan.Sesuatu yang bisa membuat Lily merasa nyaman berada di tempat yang ia tinggali sekarang.“Iya, sayang. Untuk sementara…” ucapnya sambil mengusap lembut rambut putrinya itu. Senyum tipis itu muncul, bukan karena yakin, tapi karena ia tidak ingin membuat Lily bertanya-tanya.Mereka tiba di depan sebuah pintu putih dengan cat yang mulai mengelupas di beberapa sisinya. Amel menarik napas sebelum memutar knopnya.Kamar itu kecil—hanya ada satu ranjang single dan lemari besi tua. Sebuah jendela kecil di sudut ruangan menunjukkan langit sore yang pekat. Udara di dalamnya dingin, seolah ruangan itu lupa kalau ada yang tinggal.Lily langsung memanjat ke atas ranjang dan duduk bersila, memeluk bonekanya seperti perisai. “Bu, Lily lapar…” katanya, ragu.Amel terdiam. Perutnya sendiri sudah kosong sejak siang. Ia membuka tas kecilnya—hanya menemukan roti yang sudah agak lembek dan sebotol a
Amel menghela napas pelan, lengan kirinya sudah mulai pegal. Botol-botol kosong berdenting kecil di atas nampan setiap kali ia merapikan posisi gelas yang miring. Sisa alkohol menetes, membuatnya buru-buru mengelap meja yang lengket dengan kain lap yang sudah agak basah. “Sabar, Mel,” gumamnya pada diri sendiri. Ia hanya ingin cepat menyelesaikan semua ini dan kembali ke kamarnya. Saat semua tertata rapi, ia berdiri sambil menyeimbangkan nampan yang penuh di tangannya. Ia berbalik, namun... bayangan gelap sudah berdiri di belakangnya. PRANKK! Botol dan gelas saling menghantam lantai. Pecahannya berhamburan. Amel terlonjak mundur, dadanya berdebar tak karuan. “Ma-maaf, Bos,” ucapnya terbata. Ia langsung jongkok dan berusaha meraih pecahan gelas itu dengan tangan gemetar. Alex ikut berlutut di hadapannya tanpa sepatah kata. Wajahnya dekat sekali. Terlalu dekat. Amel buru-buru meraih pecahan terbesar dan... “akh!” Ia mengerjap, darah langsung merembes dari telapak tangannya. Seb
Amel melangkah pelan meninggalkan lorong itu, seolah setiap ubin lantai yang ia injak bisa meledak kapan saja. Nafasnya masih belum teratur, dada naik-turun cepat. Sesekali ia menoleh ke belakang, memastikan Alex benar-benar sudah pergi. Tapi rasa was-was itu tak juga hilang—bayangan pria itu seakan masih menempel di dinding, mengawasi dari balik gelap. Saat tiba di kamar kecil yang diberikan Joni, Amel mendorong pintu kayu berderit itu dengan hati-hati. Begitu pintu menutup, ia bersandar lemah, menekan dada dengan telapak tangan, berusaha menenangkan diri. Lampu redup di langit-langit bergoyang pelan, menciptakan bayangan yang bergerak-gerak di dinding. Ia meraih segelas air di meja kecil, meneguknya terburu-buru, tapi rasa hausnya tak kunjung hilang. Pikiran Amel penuh oleh satu nama—Alex. Sosok itu menakutkan sekaligus… entah bagaimana, menyelamatkan. “Kenapa dia ngeliatin aku begitu?” gumamnya lirih, nyaris tak percaya pada dirinya sendiri. Di luar kamar, langkah orang
Amel mencoba menenangkan dirinya, meski keringat dingin masih menetes di pelipis. Ia menunduk, berusaha menyembunyikan wajahnya. Di dalam hati, ada rasa syukur karena Alex menyelamatkannya dari situasi yang lebih buruk, tapi juga muncul ketakutan baru: pria itu jelas punya kuasa besar, dan setiap ucapannya adalah hukum di tempat ini. Musik kembali diputar, meski volumenya diturunkan. Namun, suasana tetap kaku. Para tamu tak lagi sebebas tadi, seolah kehadiran Alex menjadi garis batas yang tak terlihat. Dari kejauhan, Amel merasakan tatapan. Sesekali, Alex mengangkat matanya dari gelasnya dan melirik ke arahnya. Tatapan itu bukan lagi marah, tapi lebih seperti... menilai. Meneliti. Seakan ia mencoba memahami siapa sebenarnya perempuan yang baru muncul di bar miliknya. Joni mendekat ke arah Amel, wajahnya masih tegang. “Lo jangan bikin masalah, Mel,” bisiknya cepat. “Bos Alex udah kasih kesempatan. Kalau lo salah langkah, bukan cuma lo... gue juga yang kena.” Amel hanya mengangg
Amel mengikutinya dengan langkah kaku. Suara sandal tipisnya menyeret lantai semen, membuat setiap detik terasa panjang. Rani berjalan di depannya, pinggulnya bergoyang santai seolah sudah terbiasa dengan sorot mata para lelaki di sekitar. “Tempat apa ini?” gumam Amel sambil mempehatikan setiap detail bangunan. Mereka memasuki sebuah bangunan lain di sisi halaman—lebih besar, dengan pintu kayu berat yang terbuka lebar. Begitu melangkah masuk, Amel langsung disambut aroma menyengat: campuran asap rokok, alkohol, dan parfum murahan. Di dalam, meja-meja bulat sudah tertata rapi. Beberapa lelaki duduk sambil tertawa keras, gelas mereka berisi cairan kuning yang Amel tahu bukan sekadar teh. Musik keras dari pengeras suara membuat dadanya semakin berdebar. “Ini bar tempat lo kerja,” kata Rani, menoleh sekilas dengan senyum samar. “Malam ini lo cuma belajar. Gue gak suka orang bego, jadi dengerin baik-baik.” Amel mengangguk cepat, menunduk. Rani menunjuk ke meja di pojok. “Itu t
Joni mengajak Amel menuju sebuah ruangan kecil. Ia mendorong daun pintu kayu yang berderit pelan. “Ini kamar lo. Mending sekarang lo istirahat. Besok pagi lo siap-siap buat kerja,” ucapnya singkat, lalu melangkah pergi. Amel berdiri di ambang pintu, menatap ruangan sederhana itu. Hanya ada satu ranjang berseprai kusut, kipas angin mungil yang berdebu di sudut meja, dan pintu kamar mandi dengan cat yang mulai mengelupas. Bukan tempat yang mewah, tapi setidaknya ada atap di atas kepala. Ia mengangguk pelan, bibirnya menekan rapat seakan takut kata-kata yang keluar akan pecah bersama perasaannya. Setelah Joni menghilang di balik koridor, Amel menutup pintu dengan hati-hati, seolah takut suara keras akan mengusir ketenangan singkat yang baru saja ia dapatkan. Di dalam kamar, napasnya keluar panjang, bahunya merosot dari tegangnya perjalanan hari ini. Ia menurunkan anaknya perlahan ke atas ranjang. Si kecil berguling sedikit, masih tertidur pulas dengan napas teratur, membuat







