Ponselku berdering terus. Ini sudah kali ke tiga puluh. Di layar, tertera nama Ibu.
“Terima saja.” Suara lembut mengalihkan perhatianku. Aku menoleh pada sumber suara. Pandanganku tertumbuk pada senyum merekah yang membuat duniaku jungkir balik. Senyum milik Ardan, suami baruku. Senyum itu yang membuatku merasa hidup kembali setelah lama terpuruk karena kematian suami pertamaku.Setelah bersitatap dan saling melempar senyum, Ardan Kembali focus menatap jalan di depan. Dia sedang mengemudi. Aku kembali menatap ponsel yang tak henti meraung. Jemariku yang masih bercorak pacar India menggulir layar. Menerima telepon dari Ibu. Di seberang sana, terdengar suara Ibu yang risau. “Kabari Ibu jika sudah sampai?” Suara Itu lebih tegas dibandingkan tadi. Ibu sedang cemas padaku, seolah putrinya dibawa lari oleh seorang penyamun. Padahal, dia tahu aku adalah seorang wanita dewasa yang sedang pergi berbulan madu.Terus terang, aku tidak nyaman dengan prasangka buruk ibu. Lebih tepatnya, aku merasa tidak enak hati pada suamiku. “Iya, Ibu. Ibu jangan khawatir.” Kembali aku menenangkan. “Telpon Ibu jika ada apa-apa,” pesan Ibu lagi. Aku menghela napas sesaat setelah telepon kami berakhir. Kalimat penuh kekhawatiran Ibu mengusik pikiranku. Ibu selalu begini, selalu khawatir berlebihan. Sebenarnya apa yang perlu dia cemaskan? Aku hanya pergi berbulan madu dengan Ardan. Bukankah itu hal yang wajar bagi sepasang pengantin baru?Aku Anjana, dan aku menikah untuk kedua kalinya. Suami pertamaku meninggal dalam sebuah kecelakaan. Duniaku terasa runtuh ketika itu. Aku kehilangan arah, kehilangan semangat hidup dan bahkan sempat putus asa untuk membesarkan Kirana, putriku, yang masih bayi Ketika itu. Mas Firman pergi 5 tahun yang lalu, dia meninggalkan setumpuk harta warisan dan usahanya untukku. Yah, bisa dibilang, aku seorang janda kaya yang ditinggalkan dengan setumpuk harta. Tapi, aku tidak bahagia tanpa Mas Firman. Setelah setahun kematian Mas Firman, dukaku tak kunjung punah. Untuk menghalau hari yang suram, aku mengisi waktu dengan bekerja. Aku mengerahkan segala tenaga untuk usaha peninggalan almarhum suamiku itu. Di tanganku, usaha yang telah dibangun Mas Firman berkembang jauh lebih baik. Setiap hari, siang dan malam, aku membenamkan diri dalam setumpuk urusan. 5 tahun berlalu begitu saja. Ibu menjadi khawatir. Dia kasihan. Hingga tercetus ide di benaknya untuk menyuruhku menikah lagi. Setidaknya, ada laki-laki yang bisa membantu-bantu pekerjaanku, begitu pikir Ibu. Seperti doa yang dikabulkan, aku bertemu dengan Ardan. Pertemuan kami seperti kisah romansa yang klise. Kami bertemu tanpa sengaja karena bertabrakan di sebuah kafe. Kemejanya yang abu-abu muda ketumpahan Coffee latte. Aku meminta maaf dalam gugup, tapi dia membalasnya dengan senyum yang memabukkan. Senyum yang akhirnya kubawa pulang dan kujadikan khayalan menjelang tidur. Setelah kejadian itu, entah campur tangan semesta atau memang disengaja, aku dan Ardan bertemu lagi. Kami berpapasan tanpa rencana di pertemuan yang kedua, ketiga dan entah ke berapa kali. Di kali kesekian, aku memberanikan diri untuk menanyakan namanya. Kami berkenalan dan dia pun menunjukkan ketertarikannya padaku. Sampai akhirnya kami dekat dan aku lansung jatuh cinta padanya tanpa pikir panjang.Sebagai seorang janda, aku tidak mengidamkan hubungan berpacaran seperti muda-muda. Aku gelisah dengan cibiran tetangga setiap Ardan datang bertandang. Bersyukurnya, laki-laki yang terpaut 6 tahun di bawahku itu mengerti akan ketidaknyamanku. Dia paham dan sangat pandai menjaga jarak. Tanpa kusangka, pada malam di hari ke 60 setelah kami berpacaran, Ardan melamarku. Terlalu cepat sebenarnya, tapi tidak ada ukuran waktu bagi niat yang suci, bukan? Harusnya Ibu Bahagia dengan rencana kami. Bukankah ibu yang mencetus ide pernikahan pertama kali? Tapi Ibu menunjukkan sikap sebaliknya. Dia sulit menerima Ardan. Alasannya, Ardan teramat misterius sebagai laki-laki. Aku akui, tak banyak yang aku ketahui soal Ardan, selain profesinya sebagai Broker Property, lajang berumur 28 tahun, dan di mana dia berdomisili. Setiap bertanya soal masa lalu, Ardan bermain kata seolah menghindari obrolan itu. Awalnya aku tidak nyaman, tapi akhirnya aku mengabaikan. Aku percaya, lambat laun Ardan akan membuka semuanya, meski perlahan dan butuh waktu.Singkat cerita, aku dan Ardan berencana melansungkan pernikahan dalam waktu dekat. Aku berusaha menenangkan Ibu, membujuknya dan meyakinkannya. Tak hanya aku, Ardan juga menunjukkan usaha untuk mengambil hati Ibu, malah dia jauh lebih bersungguh-sungguh. Dia juga tak segan-segan menunjukkan cintanya pada Kirana, putriku yang kini sudah berumur 6 tahun. Aku semakin luluh, tapi tidak dengan Ibu. Ibu tetap dengan prasangkanya yang buruk.Kerisauan Ibu semakin menjadi saat kami melansungkan akad nikah. Ardan datang sendiri tanpa keluarga dan sanak saudara. Dia mengaku sebatang kara dan memohon untuk tidak mempermasalahkan hal itu. Aku setuju, tapi tetap saja tidak terterima oleh logika ibu. “Apakah tempatnya masih jauh, Sayang?” Kupecah keheningan. Ardan membentuk garis senyum tipis, tanpa mengalihkan pandangan dari jalan. Matanya focus menatap ke depan namun jemarinya mengusap punggung tanganku. Dia membelainya lembut. Sentuhan Ardan selalu berhasil memompa hormon serotonin di nadiku sampai berdenyut tak beraturan. Jantungku bertalu cepat. Kupu-kupu beterbangan di perutku. Ya, Tuhan! Dulu saat berpacaran. Jika tak takut dosa, mungkin aku sudah menghambur ke dalam pelukannya dan melepas dahaga. Sebegitu kuat pesonanya. Ardan sangat menawan dengan bentuk fisiknya yang nyaris menyentuh sempurna. Belum pernah aku merasa bergairah terhadap laki-laki seperti ini sebelumnya, tak terkecuali pada Mas Firman, almarhum suamiku dulu. Ardan melebihi segalanya dan membuatku dimabuk cinta.Jika skor ketampanan tertinggi berada di angka 10, Ardan mendapat skor 11 setengah di mataku. Bukannya aku bersikap berlebihan dalam menilainya, semua sahabat-sahabatku juga berpendapat sama. Malahan, mereka menggelitikku dengan canda kalau aku sengaja memakai jampi-jampi untuk memenangkan hati Ardan. Tapi Ardan menepis tudingan itu di depan mereka semua. Kata Ardan, aku istimewa dan sangat berharga untuk dicinta. “Kita sudah dekat,” ucap Ardan.Ardan berbelok ke arah kanan. Mobil kami menapaki jalan tak beraspal. Hutan pohon pinus yang tadi berjejer sepanjang jalan, kini berganti dengan pandangan hamparan danau yang memantulkan cahaya seperti kristal.Mobil kami terparkir di depan gedung usang. Kata Ardan, Gedung itu tempat tinggal pengurus Villa. “Villanya di mana?” tanyaku memutar pandang. Sekelilingku hanya hutan dan danau yang menghampar. “Di sana, kita akan menyeberang,” ucap Ardan. “Kau tunggu di mobil,” ucapnya lagi. Seorang pria berperawakan besar berkaos hitam berdiri di depan mobil kami. Mukanya brewokan. Wajahnya datar menyambut Ardan dan kemudian ia melempar senyum padaku. Senyum yang lebih mirip seperti seringaian. Aku mendadak tidak nyaman.Setelah berbincang, Ardan kembali ke mobil dan mengajakku keluar. Aku membuka pintu dan berjalan menuju bagasi belakang untuk mengambil barang. Ardan mencegahku.“Tak perlu,” katanya dingin. Nada suaranya berubah dalam dan tajam. Aku belum pernah mendengar Ardan berbicara dengan nada seperti itu padaku sebelumnya. “Kenapa?” tanyaku heran.“Tidak apa. Ikut aku.” Langkahku kecil-kecil dan ragu. Ardan mengajakku ke ujung dermaga. Wajahnya serius. Senyum memabukkan itu sirna seketika entah oleh apa. Setiba di ujung dermaga, aku menatap lamat ke tengah danau. Ada sebuah pulau kecil di sana. Namun aku tidak menemukan Villa yang seperti dikatakan Ardan.Aku meragu, perasaanku mendadak tidak enak. Firasatku memburuk. Mungkin ini yang dirasakan oleh Ibu. Tempat yang dijanjikan Ardan tidak seperti dalam bayanganku. Tidak ada Villa hutan pinus seperti kabin-kabin di eropa. Tidak ada fasilitas wisata seperti gambar yang pernah ia tunjukkan padaku sebelumnya. Tempat ini berbeda. Terlalu terpencil, sunyi, dan suram.“Ardan, apa sebaiknya ….” Kalimatku tidak sampai tuntas. Sebuah pukulan mendarat di tengkukku dengan keras. Tulang punggungku rasanya kebas. Sebelum benar-benar tumbang, aku dapat melihat wajah Ardan dalam pandangan membias. Dia bersama pria brewokan berdiri bersisian menggenggam kayu besar di tangan. Tubuhku ambruk ke dermaga, kemudian duniaku menghitam legam. Aku hilang kesadaran.Aku mengerjap lambat, membuka mata dan menemukan gelap. Bau pengap dinding kayu apak dan tajamnya bau kencing tikus memenuhi rongga hidungku. Suara jangkrik di luar sana memberitahuku bahwa kini sudah malam. Itu artinya, aku sudah pingsan berjam-jam. Aku menyadari bahwa kini tubuhku tersekap di dalam ruangan busuk dengan tubuh yang terikat tali. Kedua tanganku ditekuk ke belakang dan tubuhku tergeletak di lantai kumal. Aku bangkit dan menatap ke sekeliling. Asing dan mencekam. “Tolong! Tolong aku!” Aku memekik dan merarau. Menghantamkan bahu ke dinding kayu agar tercipta bunyi gaduh. Namun, sekeras apa usahaku, tiada seorang pun yang menggubris teriakanku. Pasrah! Aku berhenti menghantam-hantam dinding. Badanku kembali terkulai lemah ke lantai. Kembali berbaring dengan air mata yang berderai. Rasa kalut menggelayut, berselimut rasa takut akan maut. Apakah Ardan akan mencelakaiku lagi setelah ini? Sulit bagiku mencerna kenapa Ardan sampai berbuat gila seperti ini? Menyekapku setel
Aku mendengar suara keributan di luar. Suara si Pria Brewok sedang menghardik dan mengumpat kepada seseorang. Disela suara gaduh, aku mendengar isak tangis perempuan yang terpekik dan mengaduh kesakitan. Aku beringsut ke sudut ruang saat si Pria Brewok masuk ke dalam. Seorang perempuan diseret ke dalam kemudian dilempar kasar ke lantai.“Diam kau di situ dan jangan macam-macam!” Setelah mengancam, Si Pria Brewok tadi pergi. Meninggalkan kami berdua dalam gudang yang terkunci.Kuteliti paras perempuan itu dari jauh. Meski di sini remang, aku dapat melihat bentuknya yang lusuh. “Hai, hai, kamu tidak apa-apa?” sapaku berbisik. Perempuan itu celingukan mencari-cari sumber suaraku. “Ka-kamu siapa?” tanyanya lirih setelah dia menemukan keberadaanku yang duduk di antara tumpukan barang di sudut gudang. Suara perempuan itu terdengar lemah dan parau.“Aku Jana. Apa kamu terluka?”Perempuan itu mendekat ke arahku dengan beringsut. Aku mengernyit meneliti tubuhnya.“Kamu ngga bisa jalan? Apa
Pagi datang. Cahaya menguning matahari menyelinap masuk ke dalam gudang melalui celah-celah dinding kayu. Aku terjaga dan mendapati Rinda di depanku meringkuk sambil memegangi perut. "Rinda? Kamu sakit?" Rinda menoleh dengan tatapan kuyu. Gudang yang tak lagi gelap membuatku bisa mengenali wajah Rinda dengan jelas. Perempuan itu sangat cantik. Lebam di wajahnya tidak bisa menyembunyikan paras ayunya. "A-aku, lapar." Lirih suara Rinda terdengar. Bola matanya melirik ke arah nasi sepiring semalam yang tak sempat kusentuh. "Lapar? Makanlah," tawarku tulus. Jauh di dalam hati, aku teramat kasian pada Rinda. Walau kenyataannya, aku pun akan menjadi seperti Rinda sebentar lagi. "Itu jatahmu," cicit Rinda menolak."Makan saja. Aku tidak lapar." Setelah kuizinkan, benar saja, Rinda menyantap nasih putih yang dingin itu dengan rakus. Dia seperti tidak makan selama seminggu."Kapan terakhir kali kamu makan, Rin?" Suapan Rinda terhenti. Dia menatapku lagi dengan sorot mata kosong, kemudian
Pintu dibuka. Ardan masuk. Tangannya menggenggam ponsel milikku yang tercatut pada bank daya portable. Aku dan Rinda, pura-pura tidur. Kami duduk berjauhan, mengambil posisi di sudut gudang. Bertingkah, seperti tidak pernah terjadi apa-apa.Aku menyembunyikan pergelangan kakiku di balik tumpukan barang. Aku tidak ingin Ardan melihat lilitan ikatanku yang tersimpul berantakan dan asal. Tadi, Rinda berhasil melilitnya dan kemudian beringsut menjauhi tubuhku."Sedang apa kalian?" Laki-laki itu bertanya, sambil meletakkan ponsel ke atas meja. Dia kembali duduk di kursi, bersilang kaki, dengan wajah yang tampak tenang. Kemeja kotornya telah berganti dengan baju kaus putih bersih yang mencetak bidang dada. Jika saja dia bukan penjahat, sebenarnya Ardan lebih pantas menjadi model fashion pria dewasa. "Jana, kita lanjutkan bisnis kita. Kemarilah! Duduklah di hadapanku."Aku tidak bergerak. Alih-alih mendekatinya, aku memilih makin menyudut dan menundukkan wajah. Mengabaikan panggilan Ardan
"Rinda, dengarkan aku. Kalau kita ngga berjuang, kita akan benar-benar berakhir di sini seperti Diana. Apa kamu ngga mau balik ke kehidupanmu yang sebenarnya?” Aku membujuk, malah kali ini lebih memaksa. Rinda tetap menggeleng. Dia menunduk lagi dengan wajah yang teramat frustasi. “Di sini atau di mana pun, hidupku akan sama saja.” Rinda gemetaran, kali ini tangisnya pecah. “Aku udah ngga punya apa-apa lagi. Aku tak punya tempat untuk pulang.”Rinda menelan ludah, wajahnya menengadah, terlihat berjuang untuk menegarkan diri. Dari gelagatnya, ada hal yang ingin ia tumpahkan padaku. Aku diam untuk menyimak. “Kamu tau mengapa tanteku ngga nelpon aku lagi?” tanya Rinda padaku. Tentu saja aku menggeleng. Rinda melanjutkan.“Karna Jodi pernah bilang sama tante kalau kami bangkrut, kami miskin dan kami punya banyak hutang. Parahnya, Jodi menelepon semua keluargaku untuk meminjam uang. Padahal itu tidak benar. Yang Jodi mau adalah keluarga men
“Siapa lagi laki-laki yang datang ke rumah Ibu. Kamu pasti tahu?” tanyaku penuh selidik. Ardan tidak menjawab. Dia duduk kembali di kursi, memainkan ponsel dan menelepon Ibu lagi. Sebelum panggilan telepon tersambung, dia memberi isyarat agar aku diam dan tidak ikut campur.“Hello, Ibu. Aku Ardan. Maaf, aku telepon pakai ponsel Jana,” kata Ardan sangat sopan pada Ibuku. Aku tidak tahu Ibu menjawab apa di sana, yang jelas, Ardan sedang berusaha menjungkirbalikkan realita.“Ada apa tadi, Buk. Kok Jana marah-marah sama aku? Ngga enak juga dilihat orang di sini. Dia ngamuk-ngamuk dan sekarang ngambek.” Ardan beracting pada Ibu. Dasar pembohong besar, manipulative, psikopat! Rutukku melihatnya memainkan drama.“Buk, aku itu punya bisnis, saingan banyak. Cara seperti ini sering terjadi, buk. Zaman sekarang ‘kan susah cari uang. Kadang, para pesaingku suka memakai cara yang licik.”Diam lagi, tak terdengar olehku apa yang dikatakan ibu.
Satu langkah ... dua langkah ... kuhitung, sekitar 5 langkah lagi, aku akan semakin dekat dengan linggis itu. Namun, harapanku pupus. Tak ada cara untuk lepas dari bekapan Jarwo. Lengan kekarnya melingkar kuat di leherku. Linggis yang tersandar di pohon terlewati begitu saja. Akhirnya, Jarwo membawaku masuk ke dalam rumah. Menyeretku ke sebuah ruang. Pendaran lampu minyak remang-remang menyambutku di sana. Mataku terfokus pada lampu yang diletakkan di meja tengah.Jarwo menutup pintu kamar. Memutar pasak dari kayu balok kecil untuk mengunci pintu. "Kalau kau patuh dan tidak melawan, aku akan bermain lembut. Temani aku sebentar," ucap Jarwo dengan suara pelan dan terdengar menjijikan. Wajah Jarwo makin beringas, matanya bulat sempurna menatap tubuhku yang menegang di tengah ruang. Sorot matanya terlihat lapar dan penuh pikiran kotor. "Lepaskan dulu ikatanku. Setelah itu, aku akan memberikan apa yang kau mau." Entah kekuatan dari mana,
Langkahku besar-besar meninggalkan area pekuburan. Menyeret Rinda yang ada dalam papahan tangan. Dia kepayahan mengiringi langkahku. Tapi tak berani memintaku untuk berjalan sedikit pelan.Akhirnya kami tiba di sisi pulau lain setelah melewati perdu-perdu hutan. Ada tepian berpasir, riak danau nan lembut menyambut kaki kami. "Kita kemana lagi?" tanya Rinda dengan napasnya yang satu-satu. Aku tak punya jawaban untuk pertanyaan itu. Mataku mengendar ke sekeliling. Gelap! Hanya ada tumbuhan bakau berlumpur mengelilingi kami. "Kita coba ke sana," tunjukku ke sisi kiri. Sebuah batu besar menjorok ke danau. Batu-batu lain juga bersusun di sekitarnya. Tinggi batu itu menjulang, jika naik ke atas sana, tentu aku bisa memantau keadaan sekitar lebih jelas."Kamu tunggu di sini, yah." Kupapah tubuh Rinda dan mendudukkannya di sebuah batu. Aku memanjat batu besar. Setiba di puncak, aku melihat ke sepanjang tepian danau. Ja