Aku mengerjap lambat, membuka mata dan menemukan gelap. Bau pengap dinding kayu apak dan tajamnya bau kencing tikus memenuhi rongga hidungku. Suara jangkrik di luar sana memberitahuku bahwa kini sudah malam. Itu artinya, aku sudah pingsan berjam-jam.
Aku menyadari bahwa kini tubuhku tersekap di dalam ruangan busuk dengan tubuh yang terikat tali. Kedua tanganku ditekuk ke belakang dan tubuhku tergeletak di lantai kumal. Aku bangkit dan menatap ke sekeliling. Asing dan mencekam. “Tolong! Tolong aku!” Aku memekik dan merarau. Menghantamkan bahu ke dinding kayu agar tercipta bunyi gaduh. Namun, sekeras apa usahaku, tiada seorang pun yang menggubris teriakanku. Pasrah! Aku berhenti menghantam-hantam dinding. Badanku kembali terkulai lemah ke lantai. Kembali berbaring dengan air mata yang berderai. Rasa kalut menggelayut, berselimut rasa takut akan maut. Apakah Ardan akan mencelakaiku lagi setelah ini? Sulit bagiku mencerna kenapa Ardan sampai berbuat gila seperti ini? Menyekapku setelah menghantam tubuhku tanpa ampun. Apa maunya? Apakah semua ini adalah permainan yang sudah disusunnya sejak lama? Tapi buat apa? Uang? Entahlah. Percuma juga aku bertanya. Dinding kayu kesat basah yang mengurungku ini tidak akan mampu memberi jawabnya. Satu hal penting yang harus aku lakukan, yaitu mencari cara, bagaimana agar bisa kabur dari tempat ini dan melaporkan Ardan pada polisi. ***Terdengar suara derit pintu gudang dibuka. Siluet pria bertubuh besar tercetak di sana. Dia adalah pria brewok yang aku temui tadi. Laki-laki itu melangkah masuk kemudian mendorong sepiring nasi ke arahku dengan kaki. “Makanlah!” perintahnya dingin. “Apa mau kalian?” tanyaku spontan dengan bibir bergetar.Alih-alih menjawab, si Pria Brewok mengulang perintahnya. “Makan! Dan jangan banyak tanya!”Dia berbalik badan, langkahnya gusar meninggalkanku di gudang. Pria menakutkan itu kembali mengunci gudang kemudian terdengar langkahnya menjauh dan menghilang. Kupandangi nasi putih dingin berlauk tempe goreng dengan mata berair. Tangisku tak kunjung berhenti. Wajah Ardan melintas di ingatan. Wajah yang dulunya menurutku rupawan kini terbayang menjijikkan. Benar firasat ibu tentang laki-laki itu. Ternyata dia bukanlah pria baik-baik, melainkan seorang kriminal bejat yang melakukan tindakan kejahatan penuh perencanaan dan rapi. Mengapa aku terlalu bodoh untuk mempercayainya? Mengapa aku mudah terperdaya?“Ibu … maafkan anakmu yang bodoh ini. Ternyata Ibu benar.” Tangisku pecah lagi. Rasanya jiwaku hancur lebur. Mengapa tidak sedari awal mendengarkan apa kata Ibu. Waktu itu, Ibu berulang kali mengulang tanya padaku. “Kamu yakin sama dia, Jana? Dia ngga jelas asal-usulnya,” tanya Ibu di meja makan, sehari setelah Ardan datang melamar.“Ibu jangan takut berlebihan seperti itu. Bagiku yang penting, Ardan itu serius sama aku dan sayang sama Kirana. Memang salah jika orang hidup tanpa sanak dan keluarga? Dia juga tidak menginginkan menjadi seorang yang sebatang kara, Ibu.”“Ya, bukan itu saja, Jana. Minimal, dia datang ke kamu membawa teman. Ini engga, Apalagi ….”“Apalagi apa, Bu?”“Tatapannya itu, lho. Mencurigakan.”“Ibu, makanya Ibu jangan kebanyakan nonton sinetron, jadi parno sendiri 'kan?”Ibu kalah berdebat denganku. Dia diam seribu bahasa walau sering terlihat cemas. Harusnya aku sepeka ibu. Tapi sekarang apa boleh dikata. Menyesal pun tiada guna. Nasi sudah jadi bubur dan Ardan pun telah membuka topengnya sendiri dengan cara yang mengejutkan. Saat memikirkan perbincanganku dengan Ibu, pintu gudang kembali ada yang membuka. Wajah penuh tipu daya dan manipulatif itu akhirnya datang menemuiku. Dia masuk sambil melempar seringai licik. “Bajingan kamu, Ardan! Apa maumu? Mengapa kamu menyekapku di sini? Kalau kamu butuh uang? katakan saja! Kamu ngga perlu melakukan ini, bangsat!” cercaku berapi-api. Tak peduli pada konsekuensi yang akan aku terima nanti.“Diam kamu janda laknat!” hardiknya padaku. Ardan duduk bertumpu lutut tepat di hadapanku. Dia merenggut rambutku ke belakang dengan kasar. Aku mendesis menahan ngilu di tengkuk.“Sebutkan berapa yang kamu mau. Aku akan berikan. Berapa pun akan kuberikan untuk membeli harga dirimu yang bisa dibeli dengan uang itu!" ucapku terbata disela rasa sakit yang mendera. Satu tamparan mendarat di wajahku. Dia melepas renggutannya dan mendorong tubuhku hingga terpental ke arah dinding.“Biadab juga mulut perempuan ini.” Ardan mendecih kesal“Kenapa? Tersinggung? Seperti manusia yang punya perasaan saja!” sindirku sengit.“Hey, diam! Cacianmu tidak berlaku di sini. Ini hanya bisnis, Jana. Jadi ikuti saja perintahku.” “Iblis!” cercaku.Ardan tertawa lagi dan wajahnya benar-benar membentuk siluet iblis“Asalkan kau tahu. Bisnis ini tidak akan ada jika manusia sepertimu tidak hadir ke dunia. Kami mengintai orang-orang bodoh seperti kamu. Gampang dikibuli, gampang dirayu saking gatal dan jablay.”“Jadi benar yang kamu inginkan adalah uang? Jadi benar kau sudah merencanakan ini jauh-jauh hari? Mengapa aku? Kenapa?”“Tentu saja target yang kami tuju adalah perempuan sepertimu, Jana. Kau tidak pandai menjaga privasi. Semua rutinitasmu kau pertontonkan di aplikasi tiktok tolol itu. Dan terus terang, kami sangat menikmatinya. Kamu mudah terbaca. Apalagi kebiasaanmu, curhatanmu bahkan aku hapal rutinitas dan tempat nongkrongmu. Tolol sekali.”“Memang bangs4t kau, Ardan.”“Hmmm, sebagai informasi penting, namaku tentu saja bukan Ardan. Tapi jika kau ingin memanggilku dengan nama itu, silahkan, tiada yang larang, karena Ardan memang sengaja aku ciptakan untuk bisa masuk ke dalam hidupmu yang menyedihkan dan kesepian.”Ardan terkekeh lagi seolah sedang memenangkan pertempuran. Dia mendekat dan menyodorkan ponsel padaku.“Jawab telepon ini!”Mataku melirik ke arah layar, di sana tertera nama Ibu.“Jawab telepon ibumu dan katakan kalau kau sedang bersenang-senang denganku.”“Tidak akan! Aku akan menyuruh ibuku untuk melaporkanmu ke polisi.”“Oh, berarti kamu ngga sayang dong sama Kirana.”“Maksudmu?”“Kata temanku, Kirana sedang asyik di ruang tengah sambil menonton kartun kesukaannya. Apa aku suruh temanku menemaninya saja?”“Kau … kau sedang mengincar anakku? Awas saja kalau kalian sampai berani menyentuhnya.”“Aku tidak akan menyentuhnya asalkan kau mau bekerja sama dengan baik. Jadi, lakukan saja apa yang aku perintahkan! Jawab telepon Ibumu dan katakan kalau kau baik-baik saja. Jika tidak, aku tidak bisa menjamin keselamatan Ibu dan anakmu. Temanku yang sedang bersantai di depan rumahmu itu bukanlah manusia waras. Dia suka bermain-main dengan nyawa manusia.”“Aku tidak percaya dengan ancamanmu.”Ardan tertawa lagi dan kali ini lebih melengking.“Ini Kirana, bukan? Dan ini ibumu sedang memainkan ponselnya.”Ardan mempertontonkan sebuah video padaku. Di dalam video, ada Ibu dan Kirana sedang bersantai di ruang tengah. “Jawab cepat!” bentaknya mengagetkanku. Tidak ada pilihan, aku menjawab telepon Ibu seperti apa yang diperintahkan. “Hello, ibu,” jawabku setenang mungkin agar Ibu tidak mendengar suaraku yang gemetaran.“Jana, kenapa ngga angkat telepon Ibu dari tadi?” Suara ibu cemas di seberang telepon. “Maaf, Ibu. Sinyal di sini sangat jelek.”“Apa kalian sudah sampai?”“Sudah, buk.”“Bagus villanya?”“Iya, bagus.”“Ardan mana?”“Di-dia sedang mandi.”Aku melirik ke arah Ardan sebentar. Sepertinya dia puas dengan sandiwaraku dalam mengelabui ibu. “Jana. kamu baik-baik saja ‘kan? Kenapa suaramu terdengar bergetar?”“Aku tidak apa-apa, Bu. Mungkin karena aku baru bangun. Tadi sempat ketiduran sebentar. Kirana sedang apa, Bu?”“Sedang nonton kartun.”“Apa dia sudah makan?”“Sudah. Tadi disuapin sama Mbo Minah. Kamu?”“Eh, sudah juga.”Menjeda, senyap di antara aku dan Ibu. Aku kehabisan bahan obrolan. Apalagi, suaraku semakin gugup saat menjawab telepon Ibu. Kulihat Ardan mulai membelalakkan matanya padaku karena tingkahku mulai mencurigakan.“Ibu, sudah, yah, Nanti Jana telepon lagi.”Telepon kami terputus. Dan aku yakin nada suaraku membuat Ibu semakin cemas. “Itu baru Janaku. Terima kasih sudah bekerja sama dengan baik.”Ardan mematikan ponsel dan Ponsel itu adalah milikku.“Sekarang … tolong! Berapa jumlah yang kamu minta? Aku tidak akan memperpanjang masalah setelah ini. Aku hanya ingin pergi dari sini,” pintaku mengemis. Kubunuh egoku demi keselamatan Kirana dan Ibu. “Sayangnya, tidak seperti itu konsep permainanku, Jana,” jawab Ardan santai tanpa dosa.“Apalagi? Mengapa kau membuatnya menjadi rumit?” Aku kehabisan sabar dan Kembali diserang emosi.Namun, obrolan kami terpaksa terhenti saat pria brewok masuk ke dalam gudang. Langkahnya tergesa dan kulihat wajahnya panik. “Bos! Ada masalah sedikit. Ayo ikut aku sebentar!”“Masalah apa?”Pria Brewok mendekat ke telinga Ardan kemudian berbisik. “Apa?” Ardan terpekik.Seperti menerima kabar buruk, Ardan pun terbawa panik. Bersama dengan si Pria brewok, dia bergegas keluar gudang. Kudengar suara gembok dan rantai dikuncikan dari luar.Ya Tuhan, apa yang harus aku lakukan, sekarang? Bagaimana caranya untuk keluar dari sini?Aku mendengar suara keributan di luar. Suara si Pria Brewok sedang menghardik dan mengumpat kepada seseorang. Disela suara gaduh, aku mendengar isak tangis perempuan yang terpekik dan mengaduh kesakitan. Aku beringsut ke sudut ruang saat si Pria Brewok masuk ke dalam. Seorang perempuan diseret ke dalam kemudian dilempar kasar ke lantai.“Diam kau di situ dan jangan macam-macam!” Setelah mengancam, Si Pria Brewok tadi pergi. Meninggalkan kami berdua dalam gudang yang terkunci.Kuteliti paras perempuan itu dari jauh. Meski di sini remang, aku dapat melihat bentuknya yang lusuh. “Hai, hai, kamu tidak apa-apa?” sapaku berbisik. Perempuan itu celingukan mencari-cari sumber suaraku. “Ka-kamu siapa?” tanyanya lirih setelah dia menemukan keberadaanku yang duduk di antara tumpukan barang di sudut gudang. Suara perempuan itu terdengar lemah dan parau.“Aku Jana. Apa kamu terluka?”Perempuan itu mendekat ke arahku dengan beringsut. Aku mengernyit meneliti tubuhnya.“Kamu ngga bisa jalan? Apa
Pagi datang. Cahaya menguning matahari menyelinap masuk ke dalam gudang melalui celah-celah dinding kayu. Aku terjaga dan mendapati Rinda di depanku meringkuk sambil memegangi perut. "Rinda? Kamu sakit?" Rinda menoleh dengan tatapan kuyu. Gudang yang tak lagi gelap membuatku bisa mengenali wajah Rinda dengan jelas. Perempuan itu sangat cantik. Lebam di wajahnya tidak bisa menyembunyikan paras ayunya. "A-aku, lapar." Lirih suara Rinda terdengar. Bola matanya melirik ke arah nasi sepiring semalam yang tak sempat kusentuh. "Lapar? Makanlah," tawarku tulus. Jauh di dalam hati, aku teramat kasian pada Rinda. Walau kenyataannya, aku pun akan menjadi seperti Rinda sebentar lagi. "Itu jatahmu," cicit Rinda menolak."Makan saja. Aku tidak lapar." Setelah kuizinkan, benar saja, Rinda menyantap nasih putih yang dingin itu dengan rakus. Dia seperti tidak makan selama seminggu."Kapan terakhir kali kamu makan, Rin?" Suapan Rinda terhenti. Dia menatapku lagi dengan sorot mata kosong, kemudian
Pintu dibuka. Ardan masuk. Tangannya menggenggam ponsel milikku yang tercatut pada bank daya portable. Aku dan Rinda, pura-pura tidur. Kami duduk berjauhan, mengambil posisi di sudut gudang. Bertingkah, seperti tidak pernah terjadi apa-apa.Aku menyembunyikan pergelangan kakiku di balik tumpukan barang. Aku tidak ingin Ardan melihat lilitan ikatanku yang tersimpul berantakan dan asal. Tadi, Rinda berhasil melilitnya dan kemudian beringsut menjauhi tubuhku."Sedang apa kalian?" Laki-laki itu bertanya, sambil meletakkan ponsel ke atas meja. Dia kembali duduk di kursi, bersilang kaki, dengan wajah yang tampak tenang. Kemeja kotornya telah berganti dengan baju kaus putih bersih yang mencetak bidang dada. Jika saja dia bukan penjahat, sebenarnya Ardan lebih pantas menjadi model fashion pria dewasa. "Jana, kita lanjutkan bisnis kita. Kemarilah! Duduklah di hadapanku."Aku tidak bergerak. Alih-alih mendekatinya, aku memilih makin menyudut dan menundukkan wajah. Mengabaikan panggilan Ardan
"Rinda, dengarkan aku. Kalau kita ngga berjuang, kita akan benar-benar berakhir di sini seperti Diana. Apa kamu ngga mau balik ke kehidupanmu yang sebenarnya?” Aku membujuk, malah kali ini lebih memaksa. Rinda tetap menggeleng. Dia menunduk lagi dengan wajah yang teramat frustasi. “Di sini atau di mana pun, hidupku akan sama saja.” Rinda gemetaran, kali ini tangisnya pecah. “Aku udah ngga punya apa-apa lagi. Aku tak punya tempat untuk pulang.”Rinda menelan ludah, wajahnya menengadah, terlihat berjuang untuk menegarkan diri. Dari gelagatnya, ada hal yang ingin ia tumpahkan padaku. Aku diam untuk menyimak. “Kamu tau mengapa tanteku ngga nelpon aku lagi?” tanya Rinda padaku. Tentu saja aku menggeleng. Rinda melanjutkan.“Karna Jodi pernah bilang sama tante kalau kami bangkrut, kami miskin dan kami punya banyak hutang. Parahnya, Jodi menelepon semua keluargaku untuk meminjam uang. Padahal itu tidak benar. Yang Jodi mau adalah keluarga men
“Siapa lagi laki-laki yang datang ke rumah Ibu. Kamu pasti tahu?” tanyaku penuh selidik. Ardan tidak menjawab. Dia duduk kembali di kursi, memainkan ponsel dan menelepon Ibu lagi. Sebelum panggilan telepon tersambung, dia memberi isyarat agar aku diam dan tidak ikut campur.“Hello, Ibu. Aku Ardan. Maaf, aku telepon pakai ponsel Jana,” kata Ardan sangat sopan pada Ibuku. Aku tidak tahu Ibu menjawab apa di sana, yang jelas, Ardan sedang berusaha menjungkirbalikkan realita.“Ada apa tadi, Buk. Kok Jana marah-marah sama aku? Ngga enak juga dilihat orang di sini. Dia ngamuk-ngamuk dan sekarang ngambek.” Ardan beracting pada Ibu. Dasar pembohong besar, manipulative, psikopat! Rutukku melihatnya memainkan drama.“Buk, aku itu punya bisnis, saingan banyak. Cara seperti ini sering terjadi, buk. Zaman sekarang ‘kan susah cari uang. Kadang, para pesaingku suka memakai cara yang licik.”Diam lagi, tak terdengar olehku apa yang dikatakan ibu.
Satu langkah ... dua langkah ... kuhitung, sekitar 5 langkah lagi, aku akan semakin dekat dengan linggis itu. Namun, harapanku pupus. Tak ada cara untuk lepas dari bekapan Jarwo. Lengan kekarnya melingkar kuat di leherku. Linggis yang tersandar di pohon terlewati begitu saja. Akhirnya, Jarwo membawaku masuk ke dalam rumah. Menyeretku ke sebuah ruang. Pendaran lampu minyak remang-remang menyambutku di sana. Mataku terfokus pada lampu yang diletakkan di meja tengah.Jarwo menutup pintu kamar. Memutar pasak dari kayu balok kecil untuk mengunci pintu. "Kalau kau patuh dan tidak melawan, aku akan bermain lembut. Temani aku sebentar," ucap Jarwo dengan suara pelan dan terdengar menjijikan. Wajah Jarwo makin beringas, matanya bulat sempurna menatap tubuhku yang menegang di tengah ruang. Sorot matanya terlihat lapar dan penuh pikiran kotor. "Lepaskan dulu ikatanku. Setelah itu, aku akan memberikan apa yang kau mau." Entah kekuatan dari mana,
Langkahku besar-besar meninggalkan area pekuburan. Menyeret Rinda yang ada dalam papahan tangan. Dia kepayahan mengiringi langkahku. Tapi tak berani memintaku untuk berjalan sedikit pelan.Akhirnya kami tiba di sisi pulau lain setelah melewati perdu-perdu hutan. Ada tepian berpasir, riak danau nan lembut menyambut kaki kami. "Kita kemana lagi?" tanya Rinda dengan napasnya yang satu-satu. Aku tak punya jawaban untuk pertanyaan itu. Mataku mengendar ke sekeliling. Gelap! Hanya ada tumbuhan bakau berlumpur mengelilingi kami. "Kita coba ke sana," tunjukku ke sisi kiri. Sebuah batu besar menjorok ke danau. Batu-batu lain juga bersusun di sekitarnya. Tinggi batu itu menjulang, jika naik ke atas sana, tentu aku bisa memantau keadaan sekitar lebih jelas."Kamu tunggu di sini, yah." Kupapah tubuh Rinda dan mendudukkannya di sebuah batu. Aku memanjat batu besar. Setiba di puncak, aku melihat ke sepanjang tepian danau. Ja
“Jana … Jana! Jangan Tidur. Bertahanlah.” Samar kudengar suara Rinda memanggil. Ingin menggubris tapi energiku benar-benar habis. 3 hari tak pernah makan ditambah tidur berselimut hawa dingin, membuat tubuhku layu tanpa asupan energi. “Aku tidak tidur.” Suaraku lirih menanggapi Rinda. “Apa yang bisa aku lakukan padamu, Jana?” Kurasakan Rinda menggengam lenganku. Mengguncangnya, berharap aku kembali menegakkan kepala yang kini sedang tersandar lemah ke ban pelampung. Beberapa kali memanggil, Rinda pasrah. Membiarkanku terkulai seperti itu. Senyap di antara kami. Aku masih diam untuk menjemput energi. Memanfaatkan waktu beristirahat semaksimal mungkin sebelum bergerak untuk melanjutkan perjuangan. Rinda terdiam dengan gelisah, dia tidak beristirahat. Matanya awas menatap ke sekeliling. Sampai akhirnya, samar kami mendengar suara deru mesin speedboat. “Apakah itu Jodi? Astaga, dia datang.” Rinda membangunkanku. Aku yang tadi s