Aku mendengar suara keributan di luar. Suara si Pria Brewok sedang menghardik dan mengumpat kepada seseorang. Disela suara gaduh, aku mendengar isak tangis perempuan yang terpekik dan mengaduh kesakitan.
Aku beringsut ke sudut ruang saat si Pria Brewok masuk ke dalam. Seorang perempuan diseret ke dalam kemudian dilempar kasar ke lantai.“Diam kau di situ dan jangan macam-macam!” Setelah mengancam, Si Pria Brewok tadi pergi. Meninggalkan kami berdua dalam gudang yang terkunci.Kuteliti paras perempuan itu dari jauh. Meski di sini remang, aku dapat melihat bentuknya yang lusuh. “Hai, hai, kamu tidak apa-apa?” sapaku berbisik. Perempuan itu celingukan mencari-cari sumber suaraku. “Ka-kamu siapa?” tanyanya lirih setelah dia menemukan keberadaanku yang duduk di antara tumpukan barang di sudut gudang. Suara perempuan itu terdengar lemah dan parau.“Aku Jana. Apa kamu terluka?”Perempuan itu mendekat ke arahku dengan beringsut. Aku mengernyit meneliti tubuhnya.“Kamu ngga bisa jalan? Apa kakimu terluka oleh pria jahat tadi?” tanyaku beruntun.“I-iya, laki-laki bejat itu mematahkan tulangku.”Astaga! dia menjawab pertanyaanku dengan tegar. Seolah telah terbiasa mendapatkan siksaan. “Siapa yang mematahkan kakimu? Apakah Ardan yang melakukannya padamu?” tanyaku lagi.“Ardan? Siapa Ardan?” Dia balas bertanya dan berhenti beringsut. Dalam remang ruang, perempuan itu meneliti wajahku dengan saksama. “Apakah kamu korban baru?” tebaknya.“Korban?”“Iya.” Perempuan itu mengambil posisi tepat satu meteran di hadapanku. Dia bersandar pasrah ke sebuah peti kayu. Wajahnya menengadah. Menatap nanar pada kasau gudang yang hitam legam di dalam remang. “Korban Ardan, maksudmu?”“Siapa Ardan?” tanyanya bingung.“Tentu saja kau tidak tahu Ardan. Dia pasti menggunakan nama lain denganmu.”“Maksudmu, Jodi?”“Iya, bisa jadi. Dia pria yang bersama pria brewok itu ‘kan?”Perempuan itu mengangguk. “Iya, namanya Jodi.” Aku dapat melihat wajah perempuan itu dalam jarak sedekat ini. Dia benar-benar berantakan dengan baju yang terkoyak-koyak. Aku juga dapat membaui aroma tubuhnya yang masam, seperti sudah tidak mandi berbulan-bulan. “Namaku Jana, kamu siapa?” “Rinda.”“Sejak kapan kamu di sini?”“Aku tidak tahu. Mungkin lebih dari sebulan.”“Apa? Sebulan?”Perempuan itu menoleh padaku. Dia mengernyitkan mata kemudian meneliti setiap inchi di wajahku.“Apa Jodi juga menikahimu kemudian menyekapmu di sini?” Pertanyaan Rinda lebih terdengar seperti pernyataan. “Iya, Rinda. Dia menipuku entah dengan tujuan apa.” Kali ini, aku tak sanggup menahan tangis. Suaraku bergetar karena tak kuat menahan getirnya kenyataan.“Kita pasti bernasib sama, diperdaya oleh laki-laki licik itu,” kata Rinda. Wajahnya terlihat pasrah. Pada jarak sedekat ini, aku bisa melihat wajahnya yang kuyu kering dan dipenuhi luka lebam. Bentuknya yang berantakan membuatku semakin ngeri. Apakah nasibku sebentar lagi akan seperti Rinda?“Iya. Jodi adalah suamiku. Dia memperdayaku dengan cinta semu.” Rinda bertutur tanpa kuminta. Aku tak mau memotong kisahnya. Aku ingin mendengar kisah Rinda secara penuh agar aku dapat memahami pola kejahatan Ardan, atau Jody dalam versi Rinda.“5 bulan yang lalu, aku berkenalan dengan Jody. Kami bertemu di dating apps. Bodoh sekali, bukan? Aku sedang putus asa ketika itu. Sudah berumur kepala 3, tapi belum juga ada jodoh yang mendekat. Aku hidup hanya berdua dengan ayahku yang sakit-sakitan. Ayahku terkena struck. Aku takut ayahku pergi dan aku akan hidup sebatang kara. Itulah mengapa aku ingin cepat-cepat memiliki pendamping. Di saat aku terpuruk dengan keadaan dan kesepian, Jody datang menawarkan cinta. Kami menjalani hubungan serius tak sampai 1 bulan. Kemudian kami menikah meski aku tak tahu asal usul Jodi. Aku dibutakan oleh cintanya. Kemudian, mendadak ayahku meninggal. Ayah meninggalkan warisan rumah untukku. Tapi sayang, semuanya disikat habis oleh Jodi.”Rinda menutup wajahnya dengan telapak tangan. Wajahnya yang tadi tegar kini berubah hancur dan rapuh.“Setelah semuanya dia ambil. Aku dibawa ke sini. Disekap seperti hewan,” lanjut Rinda bercerita.“Jadi benar, motifnya adalah uang?” Aku menimpali kisah Rinda yang nyaris sebelas dua belas dengan kisahku. Rinda mengangguk. “Dia datang dengan membawa tipu daya. Kemudian menyikat habis semua yang ada,” tutur Rinda lagi. “Gila! Semacam sindikat?” tebakku.Rinda mengangguk lagi. “Dan mereka bekerja tidak sendiri.”Bagai disambar petir, penuturan Rinda membuatku sadar bahwa masalah yang menjebakku kini adalah masalah yang sangat pelik.“Apa dia tidak melepaskan kita setelah menguras uang kita?” tanyaku tak percaya. Rinda menjawab dengan gelengan lemah. “Sayangnya tidak. Aku tidak mengerti akan permainannya,” jawab Rinda getir.“Ini gila! Kalau kamu udah lama di sini. Apa tidak ada keluarga jauhmu yang mencari atau menanyakan kabar?”Rinda menggeleng lagi. “Dalam pikiran keluarga, teman atau orang-orang yang mengenalku, aku adalah istri Jodi. Seorang istri wajar ikut suami. Bahkan, tanteku sering menelepon, tapi Jodi memaksaku untuk mendustai mereka dengan keadaanku.”“Mengapa kamu tidak jujur saja. Katakan yang sebenarnya agar tantemu bisa menghubungi polisi,” timpalku dengan nada yang geram.“Sayangnya tidak semudah itu, Jana. Jodi selalu memiliki ancaman yang menakutkan jika aku melakukan itu.”“Astaga. Ini rumit! Dasar criminal.”“Sangat rumit, Jana. Bahkan, salah satu dari kita telah mengakhiri hidupnya.”“Kita? Jadi, korban Jodi atau Ardan bukan kita saja? Masih ada perempuan yang lain?”“Iya, masih ada yang lain. Sebelumnya aku bersama Diana. Dia sudah lebih dulu di sini. Tapi tadi, Diana nekat menghabisi hidupnya dengan menyayat pergelangan nadinya sendiri hingga tewas.”“Apa?” Aku merinding ketakutan mendengar cerita Rinda. “Iya, Diana mati karena sudah tidak kuat tersiksa.”Tangis Rinda pecah lebih keras. Dia menunduk, membenamkan wajah di antara lutut. “Kita sudah tamat, Jana. Kita sudah tamat,” racaunya dalam putus asa. Ingin aku memeluk, namun tanganku terikat dengan tali.“Rinda, jangan putus asa. Kita pasti bisa menemukan cara keluar dari sini,” bujukku setengah yakin. Bujukan itu pun termentahkan oleh tawa getir Rinda yang pecah di antara tangisnya.“Tidak ada jalan keluar, Jana.”“Apa kamu pernah mencoba kabur dari sini?”Rinda mengangguk lemah dengan sorot mata yang frustasi. “Sudah terhitung ratusan kali, tapi tetap saja gagal!”“Kamu tahu keberadan kita di mana?”“Kita berada di pulau kecil di tengah danau. Hanya itu yang aku tahu.”Tubuhku tersandar pasrah setelah mendengar di mana lokasiku. Terasa semakin sulit untuk kabur.“Rinda, apa kamu bisa melepaskan ikatanku?”Rinda menggeleng. “Tidak, aku tidak mau. Dia akan menyiksaku jika melakukan itu.”“Buka saja, Rinda. Setelah kau buka, aku akan mencari cara untuk keluar dari sini.”Rinda menggeleng lagi. “Jangan gegabah, Jana. Mereka akan menyakitimu.”Rinda menjulurkan kakinya, memamerkan lebam dan luka patah kepadaku. “Jika kamu berusaha kabur, maka kamu harus bersiap mendapatkan luka sepertiku ini.”Melihat tulang keringnya yang patah dan beberapa lebam di sana, aku bergidik ngeri. Seketika niatku urung untuk nekat mencari jalan untuk kabur.Pagi datang. Cahaya menguning matahari menyelinap masuk ke dalam gudang melalui celah-celah dinding kayu. Aku terjaga dan mendapati Rinda di depanku meringkuk sambil memegangi perut. "Rinda? Kamu sakit?" Rinda menoleh dengan tatapan kuyu. Gudang yang tak lagi gelap membuatku bisa mengenali wajah Rinda dengan jelas. Perempuan itu sangat cantik. Lebam di wajahnya tidak bisa menyembunyikan paras ayunya. "A-aku, lapar." Lirih suara Rinda terdengar. Bola matanya melirik ke arah nasi sepiring semalam yang tak sempat kusentuh. "Lapar? Makanlah," tawarku tulus. Jauh di dalam hati, aku teramat kasian pada Rinda. Walau kenyataannya, aku pun akan menjadi seperti Rinda sebentar lagi. "Itu jatahmu," cicit Rinda menolak."Makan saja. Aku tidak lapar." Setelah kuizinkan, benar saja, Rinda menyantap nasih putih yang dingin itu dengan rakus. Dia seperti tidak makan selama seminggu."Kapan terakhir kali kamu makan, Rin?" Suapan Rinda terhenti. Dia menatapku lagi dengan sorot mata kosong, kemudian
Pintu dibuka. Ardan masuk. Tangannya menggenggam ponsel milikku yang tercatut pada bank daya portable. Aku dan Rinda, pura-pura tidur. Kami duduk berjauhan, mengambil posisi di sudut gudang. Bertingkah, seperti tidak pernah terjadi apa-apa.Aku menyembunyikan pergelangan kakiku di balik tumpukan barang. Aku tidak ingin Ardan melihat lilitan ikatanku yang tersimpul berantakan dan asal. Tadi, Rinda berhasil melilitnya dan kemudian beringsut menjauhi tubuhku."Sedang apa kalian?" Laki-laki itu bertanya, sambil meletakkan ponsel ke atas meja. Dia kembali duduk di kursi, bersilang kaki, dengan wajah yang tampak tenang. Kemeja kotornya telah berganti dengan baju kaus putih bersih yang mencetak bidang dada. Jika saja dia bukan penjahat, sebenarnya Ardan lebih pantas menjadi model fashion pria dewasa. "Jana, kita lanjutkan bisnis kita. Kemarilah! Duduklah di hadapanku."Aku tidak bergerak. Alih-alih mendekatinya, aku memilih makin menyudut dan menundukkan wajah. Mengabaikan panggilan Ardan
"Rinda, dengarkan aku. Kalau kita ngga berjuang, kita akan benar-benar berakhir di sini seperti Diana. Apa kamu ngga mau balik ke kehidupanmu yang sebenarnya?” Aku membujuk, malah kali ini lebih memaksa. Rinda tetap menggeleng. Dia menunduk lagi dengan wajah yang teramat frustasi. “Di sini atau di mana pun, hidupku akan sama saja.” Rinda gemetaran, kali ini tangisnya pecah. “Aku udah ngga punya apa-apa lagi. Aku tak punya tempat untuk pulang.”Rinda menelan ludah, wajahnya menengadah, terlihat berjuang untuk menegarkan diri. Dari gelagatnya, ada hal yang ingin ia tumpahkan padaku. Aku diam untuk menyimak. “Kamu tau mengapa tanteku ngga nelpon aku lagi?” tanya Rinda padaku. Tentu saja aku menggeleng. Rinda melanjutkan.“Karna Jodi pernah bilang sama tante kalau kami bangkrut, kami miskin dan kami punya banyak hutang. Parahnya, Jodi menelepon semua keluargaku untuk meminjam uang. Padahal itu tidak benar. Yang Jodi mau adalah keluarga men
“Siapa lagi laki-laki yang datang ke rumah Ibu. Kamu pasti tahu?” tanyaku penuh selidik. Ardan tidak menjawab. Dia duduk kembali di kursi, memainkan ponsel dan menelepon Ibu lagi. Sebelum panggilan telepon tersambung, dia memberi isyarat agar aku diam dan tidak ikut campur.“Hello, Ibu. Aku Ardan. Maaf, aku telepon pakai ponsel Jana,” kata Ardan sangat sopan pada Ibuku. Aku tidak tahu Ibu menjawab apa di sana, yang jelas, Ardan sedang berusaha menjungkirbalikkan realita.“Ada apa tadi, Buk. Kok Jana marah-marah sama aku? Ngga enak juga dilihat orang di sini. Dia ngamuk-ngamuk dan sekarang ngambek.” Ardan beracting pada Ibu. Dasar pembohong besar, manipulative, psikopat! Rutukku melihatnya memainkan drama.“Buk, aku itu punya bisnis, saingan banyak. Cara seperti ini sering terjadi, buk. Zaman sekarang ‘kan susah cari uang. Kadang, para pesaingku suka memakai cara yang licik.”Diam lagi, tak terdengar olehku apa yang dikatakan ibu.
Satu langkah ... dua langkah ... kuhitung, sekitar 5 langkah lagi, aku akan semakin dekat dengan linggis itu. Namun, harapanku pupus. Tak ada cara untuk lepas dari bekapan Jarwo. Lengan kekarnya melingkar kuat di leherku. Linggis yang tersandar di pohon terlewati begitu saja. Akhirnya, Jarwo membawaku masuk ke dalam rumah. Menyeretku ke sebuah ruang. Pendaran lampu minyak remang-remang menyambutku di sana. Mataku terfokus pada lampu yang diletakkan di meja tengah.Jarwo menutup pintu kamar. Memutar pasak dari kayu balok kecil untuk mengunci pintu. "Kalau kau patuh dan tidak melawan, aku akan bermain lembut. Temani aku sebentar," ucap Jarwo dengan suara pelan dan terdengar menjijikan. Wajah Jarwo makin beringas, matanya bulat sempurna menatap tubuhku yang menegang di tengah ruang. Sorot matanya terlihat lapar dan penuh pikiran kotor. "Lepaskan dulu ikatanku. Setelah itu, aku akan memberikan apa yang kau mau." Entah kekuatan dari mana,
Langkahku besar-besar meninggalkan area pekuburan. Menyeret Rinda yang ada dalam papahan tangan. Dia kepayahan mengiringi langkahku. Tapi tak berani memintaku untuk berjalan sedikit pelan.Akhirnya kami tiba di sisi pulau lain setelah melewati perdu-perdu hutan. Ada tepian berpasir, riak danau nan lembut menyambut kaki kami. "Kita kemana lagi?" tanya Rinda dengan napasnya yang satu-satu. Aku tak punya jawaban untuk pertanyaan itu. Mataku mengendar ke sekeliling. Gelap! Hanya ada tumbuhan bakau berlumpur mengelilingi kami. "Kita coba ke sana," tunjukku ke sisi kiri. Sebuah batu besar menjorok ke danau. Batu-batu lain juga bersusun di sekitarnya. Tinggi batu itu menjulang, jika naik ke atas sana, tentu aku bisa memantau keadaan sekitar lebih jelas."Kamu tunggu di sini, yah." Kupapah tubuh Rinda dan mendudukkannya di sebuah batu. Aku memanjat batu besar. Setiba di puncak, aku melihat ke sepanjang tepian danau. Ja
“Jana … Jana! Jangan Tidur. Bertahanlah.” Samar kudengar suara Rinda memanggil. Ingin menggubris tapi energiku benar-benar habis. 3 hari tak pernah makan ditambah tidur berselimut hawa dingin, membuat tubuhku layu tanpa asupan energi. “Aku tidak tidur.” Suaraku lirih menanggapi Rinda. “Apa yang bisa aku lakukan padamu, Jana?” Kurasakan Rinda menggengam lenganku. Mengguncangnya, berharap aku kembali menegakkan kepala yang kini sedang tersandar lemah ke ban pelampung. Beberapa kali memanggil, Rinda pasrah. Membiarkanku terkulai seperti itu. Senyap di antara kami. Aku masih diam untuk menjemput energi. Memanfaatkan waktu beristirahat semaksimal mungkin sebelum bergerak untuk melanjutkan perjuangan. Rinda terdiam dengan gelisah, dia tidak beristirahat. Matanya awas menatap ke sekeliling. Sampai akhirnya, samar kami mendengar suara deru mesin speedboat. “Apakah itu Jodi? Astaga, dia datang.” Rinda membangunkanku. Aku yang tadi s
“Masuk!” Laki-laki bernama Anton menyuruhku dan Rinda masuk ke dalam gudang. Perlakukannya teramat canggung dan sama sekali tidak seram seperti anak buah Ardan yang lainnya. Malahan, dia terlihat sangat gugup. Mungkin dia adalah pemain baru yang baru saja direkrut.Sementara, pria lain yang bertampang mirip Ardan sedang sibuk menelpon di halaman depan gudang. Dia gusar. Dari obrolannya terdengar, dia sedang membicarakan tentang kami yang kabur dan Jarwo yang mati. Di dalam gudang, ada darah tergenang. Itu darah milik Jarwo. Tubuhnya tak lagi ada di sana. Mungkin sudah dipindahkan. Tanpa diikat, Anton menutup pintu gudang dan meninggalkan kami begitu saja. Dia memanggil pria yang sedang menelepon dengan sapaan Bang Ryan. Iya, nama laki-laki itu adalah Ryan. Aku dan Rinda memilih menyudut di sudut ruang. Kami berpelukan untuk menghalau dingin yang menghujam. Baju kami basah. Malah, gaun kuning gading yang dikenakan Rinda sudah terkoyak di bagian