Share

Kita Ulangi Lagi

Pintu dibuka. Ardan masuk. Tangannya menggenggam ponsel milikku yang tercatut pada bank daya portable. 

Aku dan Rinda, pura-pura tidur. Kami duduk berjauhan, mengambil posisi di sudut gudang. Bertingkah, seperti tidak pernah terjadi apa-apa.

Aku menyembunyikan pergelangan kakiku di balik tumpukan barang. Aku tidak ingin Ardan melihat lilitan ikatanku yang tersimpul berantakan dan asal. Tadi, Rinda berhasil melilitnya dan kemudian beringsut menjauhi tubuhku.

"Sedang apa kalian?" 

Laki-laki itu bertanya, sambil meletakkan ponsel ke atas meja. Dia kembali duduk di kursi, bersilang kaki, dengan wajah yang tampak tenang. Kemeja kotornya telah berganti dengan baju kaus putih bersih yang mencetak bidang dada. Jika saja dia bukan penjahat, sebenarnya Ardan lebih pantas menjadi model fashion pria dewasa. 

"Jana, kita lanjutkan bisnis kita. Kemarilah! Duduklah di hadapanku."

Aku tidak bergerak. Alih-alih mendekatinya, aku memilih makin menyudut dan menundukkan wajah. Mengabaikan panggilan Ardan. 

"Loh, biasanya kalau aku panggil lansung mendekat. Lansung peluk-peluk sayang." 

Ardan menertawakan kebiasaan bodoh dan konyolku saat menjadi target mangsanya dulu. Melihatku tak mau beringsut, Ardan berdiri. Tak lupa meraih ponsel yang sedang direcharge di meja. Dia mendekat.

"Jadi berapa?"

Tidak lagi memakai perdebatan panjang dan juga ancaman, aku menyebutkan PIN mobile bankingku. Rekening itu adalah rekening pribadiku yang menyimpan semua uang hasil bisnis warisan suamiku. 

Ardan memasukan PIN. Akun terbuka. Isi saldo terlihat jelas. Dengan PIN itu, tentu Ardan dapat menguras isi rekening sesuka dan sebebas hati. 

"Wah ... wah ... aku tidak menyangka isinya bisa sebanyak ini, Jana. Pantas kamu bisa pamer sana-sini dengan teman-temanmu itu, yah." 

Ardan terbahak. Kepalanya geleng-geleng saking girang melihat jumlah yang tertera.

"3 Milyar lebih. Tidak sia-sia kerja kerasku menjadi kekasih dan suamimu dalam waktu 4 bulan ini. Aku patut dibayar sebanyak ini." 

Dia terkekeh lagi. Kemudian mendekatkan wajah ke wajahku. Dia mengecup keningku dan mengucapkan kata terima kasih. Tentu saja ucapan terima kasih yang sarkastik.

"Aku benar-benar beruntung bertemu denganmu, Jana. Kamu tidak seperti dia!" Telunjuk Ardan menjurus pada Rinda. Rinda menunduk. Menghindari tatapan benci dari Ardan, yang merupakan suami Rinda dengan nama Jodi. 

"Katanya kaya tapi bapaknya punya banyak hutang. Bahkan aku nyaris terjebak menjadi suaminya lebih dari 6 bulan untuk menyelesaikan masalah keluarganya. Tapi tak apa, masih ada yang bisa kunikmati. Bukan begitu, Mimi?" ucap Ardan tanpa malu pada Rinda. Mimi, mungkin itu panggilan sayangnya dulu waktu berpura-pura menjadi suami Rinda.  

Ardan memutar kepala dan kembali memandangku. 

"Tapi kamu, Jana, kamu benar-benar tambang emas yang menguntungkan." Senyum liciknya terkembang tepat di hadapanku, tanpa sadar, aku pun lepas kendali. Kuludahi wajah Ardan dan ludahku persis mengenai bola mata kanannya.

"Bangsat! Janda laknat!" 

Pukulan bertubi-tubi aku terima. Ardan murka sejadi-jadinya. Tonjokan di hidung, berganti tamparan di bibir sampai tendangan keras kuterima di kepala. 

Ardan mengumpat-umpat. Aku tak dapat mendengar cercaannya. Telingaku teramat mendenging. Pengar melanda. Aku hanya bisa tersandar lemah di sudut dengan napas satu-satu. 

Puas dengan kebuasannya, Ardan pergi. Langkahnya kasar keluar gudang dan kembali membanting pintu.

"Jana ... Jana." 

Rinda mendekat ke arahku setelah gudang dikunci. Tangannnya mengusap pundakku. Aku menoleh pada Rinda dengan pandangan mata memburam. 

"Jana, kamu ngga apa-apa?" 

Rinda bertanya dengan panik. Kulihat dia menyobek ujung gaun dan mengelap hidungku. Dalam pengar begini, aku tak tahu seberapa babak belur wajahku setelah dihajar Ardan. Kulihat ke dada, kemeja putihku bersimbah darah. Kata Rinda, itu darah yang keluar dari hidungku.

Rinda mengoceh banyak. Aku tidak dapat mendengarnya dengan jelas. Pening di kepala berhasil membuatku tertidur. Entah tidur, entah pingsan, aku sudah tak dapat membedakannya. 

***

Siang berganti sore. Angin danau masuk ke gudang, menerpa wajahku yang tadi sempat ketiduran. Aku terjaga. Bergerak sedikit, lansung meringis kesakitan. Sekujur badanku rasanya ngilu. 

Ada Rinda di sampingku, sepertinya dia tidak pernah beranjak dari situ. Setia menungguiku.

"Kamu jangan melawannya, Jana. Dia iblis!" 

Rinda menasehatiku begitu aku mulai bangkit dari keterpurukan di sudut dinding. 

"Makanlah!" kata Rinda. Sepiring nasi putih dengan lauk tempe goreng seperti semalam ditawarkan padaku. "Tadi Jarwo yang antar. Tumben dia baik,” lanjut Rinda. 

Rinda menyuap jatah makannya dengan lahap. Berbeda denganku yang tak kunjung berselera makan dari semalam. Terbiasa disekap, mungkin membuat Rinda perlahan telah berdamai dengan keadaan. 

"Makan, biar kamu kuat. Jarang-jarang mereka kasih makan. Jangan disia-siakan," bujuk Rinda melihatku yang belum menyentuh nasi.  Aku masih menggeleng.

"Minum, mau?" tawarnya tak putus asa.

Aku menelan ludah. Air putih di dalam gelas plastik yang digenggam Rinda menggugah seleraku. Aku mengangguk, Rinda menbantuku minum.

"Pelan-pelan Jana."

Sensasi dingin serasa menjalar di seluruh nadi kala air segelas itu masuk ke tubuhku. Semenjak tersekap dan menemui kenyataan pahit semalam, tubuhku seperti mati rasa, tidak bereaksi pada kebutuhannya termasuk merasakan haus. Beruntung, ada Rinda di sini. Setidaknya, aku tidak sendirian walau sebenarnya hidup kami sama-sama di ujung tanduk.

Rinda menyelesaikan makannya. Nasi jatahku disisihkan ke dinding. Aku masih menolak makan, meski Rinda membujuk beberapa kali.

Kini, dia duduk di sebelahku sambil bersandar. Sesekali dia mengusap tulang keringnya yang lebam. 

"Jana, apa pekerjaanmu?" tanya Rinda tiba-tiba.

Aku menoleh pada Rinda. Dia pasti penasaran karena tadi Ardan menyebutkan saldoku.

"A-ku, menjalankan bisnis." Setelah menjawab, aku meringis. Pukulan Ardan menyisakan sobekan di sudut bibir.

"Di bidang apa?" tanya Rinda lagi. 

"Garmen, almarhum suamiku dulu membuka pabrik garmen. Aku meneruskannya sampai sekarang." 

"Pantas saja. Kamu ternyata kaya, Jana," ucap Rinda. 

Aku hanya tersenyum getir.

"Bertemu Ardan di mana? Media sosial juga kah?" 

Aku menggeleng dan menatap Rinda yang kini lebih mirip pewawancara TV.  

"Aku bertemu dengannya seperti pertemuan dan perkenalan biasa. Tapi, ternyata itu hanya settingan. Dia sudah menargetku jauh-jauh hari." 

Rinda mengernyit memandangku. "Oh, ya? Bagaimana bisa?" 

Aku mendesah, kemudian tertunduk. Lagi dan lagi, air mataku luruh menyesali diri. 

Dulu, sewaktu aku rapuh saat ditinggal Mas Firman, aku menjadikan media sosial sebagai tempat pelarian untuk melepas penat hati. Aku curhat segala hal dan kemudian menjadi seperti diary. Berawal dari F******k, kemudian beralih ke tiktok. Di tiktok, aku merasa nyaman karena akunku sepi tanpa follower. Aku bebas berbicara apa saja di sana dengan rekaman video. Rasanya, saat membuat konten itu, perasaanku plong dan ringan. Akhirnya menjadi candu tersendiri. Lama-kelamaan, videoku banyak yang menonton. Mereka, para followers berkomentar pada postinganku dan seringnya ikutan curhat atas nasib masing-masing. Kata mereka, apa yang aku rasakan sangat related dengan kehidupan kebanyakan perempuan yang menjalani status sebagai single parent.

Lama kelamaan, akunku menjadi forum diskusi, tak jarang terjadi tanya jawab antara aku dengan pengikut. Mendadak aku seperti motivator. Tapi seorang motivator yang rapuh yang sok berusaha memotivasi mereka-mereka yang juga berjiwa rapuh. Sebenarnya, tidak ada yang salah dengan apa yang aku lakukan. Hanya saja, akan selalu ada predator online yang memanfaatkan perempuan-perempuan rapuh seperti kami. 

Hal paling buruk dari kebiasaanku di media social. Aku sering terledor dan kebablasan. Privasi diumbar. Aku merangkum semua perjalananku mulai dari masa-masa aku terpuruk, sampai aku bangkit hingga memosting video keseharian. 

Tiadaku sangka, segala aktifitas yang aku posting di sana membentuk sebuah pola. Di sanalah Ardan membacaku dan mulai melakukan aksi pendekatan bermodalkan tampangnya yang rupawan. Berhasil, aku pun terjebak dan berakhir di tempat ini. 

"Apa yang akan dilakukan Ardan dengan uangku?" tanyaku pada Rinda setelah puas bercerita. "Dia pasti akan mengurasnya sampai tak bersisa." Aku menjawab sendiri pertanyaanku dengan senyum getir. 

"Dia cerdik dan bermain rapi. Dan ingat, dia tidak sendiri, Jana. Mereka mengurasnya dengan sangat rapi tanpa membuat transaksi yang mencurigakan," terang Rinda. 

"Seperti itukah yang terjadi padamu dulu?" 

"Iya, dia mengurasnya dengan perlahan." 

"Berapa kerugianmu?"

"Satu rumah peninggalan ayah yang aku jual atas bujuk rayu Jodi. Dia membawa semua hasil penjualan. Membayar hutang ayah dan membawaku ke sini. Dia menguras semuanya dengan secara perlahan-lahan," tutur Rinda. Dia menunduk, tercenung akan nasib. Membicarakan hal ini berdua rasanya seperti menguliti luka masing-masing.

Puas mengobrol, samar, terdengar mesin speedboat menjauh dari dermaga. Aku mengintip keluar. Ternyata Ardan kembali pergi. 

"Rinda, dia pergi. Jarwo kembali sendiri. Kita lanjutkan rencana tadi." 

Aku menyodorkan lenganku yang terikat pada Rinda, berharap Rinda mau membukanya. Tapi kali ini, dia beringsut mundur. Menggeleng tegas pada ide gilaku.

"Tidak ...  jangan sekarang. Jangan nekat, Jana!" Rinda memohon dengan suara bergetar.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status