Share

Simpul Tali

Pagi datang. Cahaya menguning matahari menyelinap masuk ke dalam gudang melalui celah-celah dinding kayu. Aku terjaga dan mendapati Rinda di depanku meringkuk sambil memegangi perut. 

"Rinda? Kamu sakit?" 

Rinda menoleh dengan tatapan kuyu. Gudang yang tak lagi gelap membuatku bisa mengenali wajah Rinda dengan jelas. Perempuan itu sangat cantik. Lebam di wajahnya tidak bisa menyembunyikan paras ayunya. 

"A-aku, lapar." Lirih suara Rinda terdengar. Bola matanya melirik ke arah nasi sepiring semalam yang tak sempat kusentuh. 

"Lapar? Makanlah," tawarku tulus. Jauh di dalam hati, aku teramat kasian pada Rinda. Walau kenyataannya, aku pun akan menjadi seperti Rinda sebentar lagi. 

"Itu jatahmu," cicit Rinda menolak.

"Makan saja. Aku tidak lapar." 

Setelah kuizinkan, benar saja, Rinda menyantap nasih putih yang dingin itu dengan rakus. Dia seperti tidak makan selama seminggu.

"Kapan terakhir kali kamu makan, Rin?" Suapan Rinda terhenti. Dia menatapku lagi dengan sorot mata kosong, kemudian menggeleng cepat dan melanjutkan menyantap nasi dengan tergesa-gesa.

Pintu gudang terbuka, Ardan berdiri di sana. Rinda yang tengah makan lansung berhenti. Dia beringsut ketakutan. Malahan bersembunyi di balik tubuhku.

Laki-laki bejat itu terlihat berantakan. Pakaiannya masih seperti pakaian semalam. Bagian celananya kotor dengan tanah. Tampangnya masam dan kacau, tidak seperti wajah Ardan yang biasa aku lihat. 

"Akhirnya kau mendapat teman juga, Rinda." Ardan meraih kursi kayu dan duduk bersilang kaki. "Aku peringatkan kau, Jana. Jangan percaya dengan apa yang dia katakan. Dia itu sudah gila." Ardan terkekeh mencemooh pada Rinda. Sorot matanya penuh dengan kebencian pada perempuan itu. Aku pun menoleh pada Rinda yang menundukkan kepala di belakang tubuhku, mulutnya masih mengunyah nasi. 

"Jana, bisa tidak kau tenangkan Ibumu itu? Dia menelpon terus. Aku jadi muak dengan ponselmu," kata Ardan dengan nada kesal. 

"Ibuku akan berhenti menelpon jika aku sudah pulang," balasku ketus. 

"Pulang? Istri macam apa kamu ini, Jana? Kamu tidak akan kemana-mana tanpa izin dariku, suamimu!" Senyum licik Ardan terkembang. Dia seperti sangat menikmati permainan ini. 

"Kamu terlalu berhalusinasi, Ardan! Kamu itu penipu! Pernikahan kita tidak sah dan aku bukan istrimu!" Nyaliku tak pernah surut padanya meski dalam keadaan terikat seperti ini. Aku tidak takut menantang Ardan. Walau nanti akan berujung pada penyiksaan. Iya, lambat laun, bentukku akan persis seperti Rinda. Berantakan dan babak belur.

Tawa Ardan semakin besar melihatku menumpahkan amarah. Dia bangkit kemudian mendekat. Laki-laki itu menyodorkan lagi ponsel itu padaku. Kali ini, dia yang menghubungi nomor Ibu.

"Ingat! Buat alasan agar ibumu tidak menelepon lagi. Aku butuh ponsel ini sebelum baterainya habis.” 

Nada sambung terdengar di speaker telepon. Ardan mendekatkan ponsel itu ke telingaku. Dengan hardikan kasar, dia menyuruh Rinda menjauh dari kami. 

“Kau pergi ke sudut sana. Sedikit saja kau bersuara, akan kupotong lidahmu!” ancamnya pada Rinda. Rinda makin ketakutan dan menyeret tubuhnya menjauh ke sudut yang lain.

Teleponku tersambung. Ibu menjawab panggilan dengan nada suara santai, tiada terdengar cemas sama sekali. 

Seperti kemarin, aku patuh pada perintah Ardan. Aku mengobrol dengan Ibu di telepon setenang mungkin. Aku meminta Ibu untuk tidak menelepon dulu beberapa waktu dengan membuat alasan baterai ponselku tinggal sedikit dan kami berada di tempat yang sulit listrik. Ibu percaya saja dan mengulang pesannya agar aku berhati-hati. Kulihat, Ardan sangat puas melihat sandiwaraku pada Ibu.

"Sekarang, aku butuh mengakses Mobile Bankingmu. Saatnya kita berbisnis, istriku. Duit istri, duit suami juga, bukan?" 

Akhirnya, Ardan sampai pada inti tujuannya menculikku, yaitu mengeruk isi tabunganku dengan cara halus, rapi dan tidak menimbulkan kecurigaan apa pun. Dia sengaja melakukan transaksi pengiriman uang lansung dari ponselku seolah akulah yang mengirimkan uang itu secara sadar.

"Aku tidak mau!" tolakku tegas. 

"Apa, serius kamu tidak mau?" tanya Ardan mencemooh.

"Percuma kukasih tahu. Setelah kau kuras uangku, kau juga tidak akan melepaskanku." Suaraku bergetar, berhadapan dengan ketegangan ini membuat air mataku Kembali menganak sungai. 

"Kalau kamu tidak mau kasih, baiklah, tidak apa-apa. Berarti aku minta bantuan Kirana saja. Aku akan mengajaknya jalan-jalan hari ini. Aku ‘kan papanya, pihak sekolahnya tidak akan melarangku membawanya pergi kemana saja."  

Aku tahu, itu hanya ancaman. Tapi tiada jaminan kalau Ardan tidak akan nekat melakukan hal itu. Ardan yang licik menggunakan Kirana sebagai senjata. Dia tahu sekali kelemahanku. 

"Baiklah. Aku akan beri tahu, tapi ... tolong, jangan libatkan Kirana. Kau jangan sekali-kali menyentuh anakku." Aku memohon. Ardan terlihat sangat senang melihatku pasrah seperti ini.

"Nah, gitu dong, Jana sayang. Ayo sebutkan." 

Sebelum aku sempat menyebutkan pin, Ardan mengumpat. Ponselku tiba-tiba mati karena kehabisan baterai. 

"Sial!" Ardan bangkit dan bergerak gusar. Kemudian dengan wajah sangar menunjuk-nunjuk kami berdua seraya mengancam. 

"Kau jangan senang dulu, Jana. Aku akan kembali lagi ke sini setelah me-recharge ponselmu. Jika ponsel ini tidak berhasil hidup, terpaksa aku akan memakai cara lain yang lebih rumit. Awas saja kalau kau tidak mau bekerja sama. Akan kubuat kau menyesal!" 

Ardan pergi dari gudang. Aku tidak tahu dia akan pergi kemana untuk merecharge ponselku. Setahuku, pulau kecil ini tidak ada listrik. 

Kepergian Ardan membuat Rinda keluar dari persembunyiannya dari balik tumpukan barang. Dia menyeret tubuh ke arah dinding dan mengintip keluar melalui celah dinding yang berlubang. 

Aku juga melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan Rinda. Dari celah ini, kami dapat melihat keadaan di luar. Gudang yang mengurung kami tepat sekali berada di tepian danau. Ada sedikit halaman di depannya kemudian di ujung sana ada dermaga kayu kecil tempat menyandarkan kapal. 

Di dermaga, kamu melihat Ardan menaiki speedboat kecil. Dia pergi sendiri ke seberang danau. 

"Biasanya, dia akan pergi dalam waktu lama," jelas Rinda. 

"Kalau begitu, seharusnya itu menjadi kesempatan kita untuk kabur," balasku. Tapi lagi-lagi Rinda menggeleng. Dia bersikap pesimis untuk berjuang kabur dari sini. 

"Ada Jarwo. Jarwo menjagai kita. Dia di rumah belakang. Selalu patroli," terang Rinda yang sangat paham kondisi di pulau kecil ini.

"Apa Jarwo juga sedang sendiri, sekarang?” tanyaku.  Rinda mengangguk. 

Jika pria brewok itu hanya sendiri, seharusnya dengan fisikku yang belum lemah ini, aku bisa melumpuhkan Jarwo, asalkan aku memiliki benda untuk dijadikan senjata.

“Itu Jarwo,” tunjuk Rinda pada pria yang berjalan-jalan di luar gudang. Posisinya tidak jauh dari dinding kami mengintip. Tangan laki-laki itu memegang linggis. Tubuh pria itu berlumuran tanah dan kotor. Rinda yang melihatnya, lansung menangis entah kenapa.

"Rin, kenapa?" tanyaku berbisik. 

"Diana. Jarwo pasti baru saja selesai mengubur Diana," ucap Rinda lirih. Matanya nanar melihat Jarwo di luar sana mondar-mandir dengan linggisnya. 

Diana, malang sekali dia. Entah apa kisah Diana hingga dia sampai terjebak di sini dan nekad mengakhiri hidupnya sendiri? Apa hanya kematian yang menjadi satu-satunya jalan keluar dari penyekapan ini? Mengerikan sekali. Aku tidak akan membiarkan hidupku seperti Diana. Aku harus berjuang.

"Rin, bagaimana kalau kamu buka ikatan taliku." Tiba-tiba saja, sebuah ide gila melintas di benakku.

"Jangan, Jana. Aku takut." 

"Rin, lihat ruangan ini. Aku yakin mereka menyimpan perkakas di sini. Kita bisa menggunakannya untuk kabur,” bujukku bersemangat pada Rinda.

"Tapi kita terkunci dari luar, Jana. Tetap saja kita ngga bisa keluar. Kalau aku ketahuan membuka ikatanmu, habislah aku." Rinda benar-benar ketakutan. Dia tidak bernyali sama sekali untuk mengikuti ide gilaku.

"Rin, lihat dinding gudang ini. Sangat rapuh. Sebenarnya kita mudah membukanya. Tapi dengan keadaan terikat begini, aku ngga bisa apa-apa." 

"Tapi, Jana ….”

"Katamu, Ardan perginya lama. Dan coba kamu lihat Jarwo di sana. Dia seperti kelelahan. Dia pasti tertidur pulas sebentar lagi. Ini bisa menjadi kesempatan kita." Aku terus membujuk. Berulang-ulang aku meyakinkan, akhirnya Rinda mengangguk. Dia setuju untuk melepaskan simpul tali ikatan yang menjerat tangan dan kakiku. 

Rasanya sangat ngilu saat ikatan itu dilepas. Telapak tanganku bengkak dan mati rasa. Bahkan lenganku lemah untukku digerakkan. Dengan sedikit paksaan, aku bangkit dan mulai mengisai seisi gudang. Mencari sesuatu yang bisa dijadikan sebagai senjata untuk melumpuhkan Jarwo.

Namun, samar terdengar dari kejauhan. Suara deru mesin speedboat mendekat ke sini. Rinda panik. Dia mengintip ke celah dinding untuk melihat siapa yang datang. 

"Jana, Jodi kembali," lapor Rinda ketakutan.

"Mengapa dia sudah kembali saja?" Aku pun diserang panik. Gawat jika Ardan melihatku dalam keadaan bebas seperti ini. Rinda bisa dihajar dan aku pun juga akan mendapat siksaan. Aku gelagapan. Cepat-cepat, aku memungut tali dan meminta Rinda untuk mengikat tangan dan kakiku kembali. 

"Cepat ikat lagi, Rin. Dia datang." Dari celah dinding, aku dapat melihat Ardan berjalan menuju ke tempat kami.

Tangan Rinda gemetaran menyimpulkan tali. Panik yang mendera membuat ikatan itu berantakan dan jauh dari kata rapi. 

"Cepat, ikat kakiku!" bisikku pada Rinda setelah berhasil mengikat tangan. Tapi, saking ketakutan dan tergesa-gesa, Rinda pun diserang panik yang luar biasa. Tubuhnya bergeming, tangannya kaku dan tidak mampu bergerak lagi. Perempuan itu menegang dengan tubuh yang gemetaran.

"Rinda, ayo Rinda! Jangan diam saja, cepat Ikat!" Jantungku bertalu, sementara di luar, langkah Ardan terdengar makin mendekat. Namun Rinda masih saja diam dalam kebekuannya. Dia belum juga berhasil menguasai diri untuk menyimpulkan ikatan tali di pergelangan kakiku. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status