Tanpa pikir panjang All langsung memacu mobilnya ke kantor polisi, di kantor Polisi aku dan All langsung disambut polisi berpakaian preman yang bertemu di jalan waktu pulang dari rumah Aris. Aku dan All langsung dipersilahkan duduk diruang khusus."Apakah Tuan dan Nyonya ingin bertemu Aris?" tanya salah satu dari anggota kepolisian."Memang gak papa Pak, jika Saya bertemu? Apa Aris sudah mengaku kalau dia yang melakukan perampokan di rumah saya Jakarta?" "Yang penting Nyonya tidak emosi saat bertemu pelaku?" Aku diam menatap All yang duduk di dekatku. "Akan aku usahakan tidak emosi." Janjiku dengan berdiri, secepatnya aku mengajak All bertemu Aris.Aku melangkah mengikuti langkah kaki petugas kepolisian menggiringku masuk Tampak Aris berdiri dengan egrang masih menyangga di tangannya. Ia menunduk tanpa memandangku yang sudah berdiri di depan jeruji besi."Nyonya, maafkan saya." lirihnya dengan suara sayu. All semakin mendekat kearah jeruji menatap Aris yang nampak berdiri kaku de
Di kampung agak jauh dari keramaian. Itulah rumah Aris yang kata Mbok Ginah. Aris masih menumpang di rumah mertuanya.Tok, tok, tok, "permisi ...!" seruku memanggil dengan mengetuk pintu.Hanya hitungan menit seorang wanita muda menggendong anak kecil membuka pintu. Dia menatapku, sepertinya ia tak mengenaliku. Padahal aku pernah datang ke sini bersama Mama satu kali. Entah soal penting apa Mama sama Aris waktu itu. Aku pun seandainya bertemu dengan istri Aris di luar juga gak bakal ingat wajahnya."Maaf, Mbak mencari siapa?" tanya wanita itu dengan mengamati saya dan All secara bergantian."Ooh, saya teman Mas Aris. Bisakah saya bertemu Mas Aris?" tanyaku.Sengaja aku mengatakan seperti itu. Takut jika aku langsung mengatakan aku bosnya Aris putri bu Citra tentu wanita muda ini pasti mengatakan Aris tak ada. "Ooh ya, ada Mbak. Ia lagi sakit, silahkan masuk. Perkenalkan saya Lastri istri Mas Aris.Aku tersenyum menyambut uluran tangan Lastri untuk berkenalan. Sengaja aku tidak meny
Aku memutuskan membiarkan ponselku berdering, dan tak mengangkat telpon dari Alliandro. Hati ini masih terasa sakit. Mengingat peristiwa yang baru saja terjadi. Sudah buru- buru datang ke rumah sakit. Namun dari rumah sakit mendengar perkataan All yang menyakitkan.Ponsel itu mati dengan sendirinya. Sebenarnya aku tak tega juga dan ingin mengangkat telpon dari Alliandro, mengingat dia begitu baik, memberi support saat aku kehilangan Jenar, Mama, saat aku punya masalah dengan Bram. Hingga sampai di terluka.Cemburu, kesal, benci, malu. Itu yang bergelut dalam hatiku. "Salahkah jika aku cemburu pada All? Ya kamu salah. all bukan pacarmu ia tak pernah mengungkapkan cinta padamu. Ia menganggapmu teman!" batinku berperang sendiri. Aku hempaskan kepalaku ke sandaran jog mobil dengan kasar. Kuambil nafas dalam dalam untuk meringankan beban yang ada di otakku. "Ya, mungkin aku salah. Aku terlalu berharap." ***Malam itu, sekitar pukul sembilan, aku bersama Felix dan Ardan sudah sampai ke
Ucapan petugas kepolisian mengingatkan aku pada Bibi Mar yang mengatakan mengenal suara orang yang menganiaya Bibi Mar. Dia adalah Aris mantan sopir Mama."Untuk kasus penembakan putra Tuan Michel apa pelakunya sudah tertangkap?" Petugas polisi mengambil surat kabar di laci mejanya. "Tolong Nyonya baca, disitu tertulis berita tentang kasus penembakan itu." Tanpa pikir panjang aku langsung membuka Harian Kota. Padahal di rumahku juga berlangganan. Tapi begitu sibuknya aku dalam urusan perusahaan dan sejumlah masalah yang belum terselesaikan sampai tak sempat membacanya."Burhan ...! Dia pelakunya?" Mataku memandang tajam kalimat yang mengatakan bahwa Burhan pelaku dalam penembakan putra mahkota dari keluarga Michel grup.Beribu-ribu kalimat Burhan aku sebut. Sepertinya aku tak percaya dengan semua ini. Burhan padahal menjadi intelku untuk menyelidiki kebobrokan perusahaan yang dipegang Bram. Aku menggelengkan kepalaku sendiri. Aku tetap tak percaya Burhan melakukan itu. Pasti ini re
"Bibi Mar ...!" Teriakku lagi, saat melihat kaki dan tangannya Bibi Mar terikat. Serta bibir dan matanya di tutup lakban."Kurang ajar siapa yang melakukan semua ini." teriakku.Felix melepas ikatan tali serta lakban yang menutupi bibir dan mata Bibi Mar. Bibi Mar tampak lemas. Ia belum bisa di ajak bicara, matanya masih terpejam. Felix yang dibantu Aldi mengangkat tubuh Bibi Mar ke kamarnya. Aku segera menghubungi dokter pribadiku untuk memeriksa kesehatan Bibi Mar. Serta menghubungi pihak berwajib untuk menyelidiki siapa dibalik dalang semua ini. Yang belum aku temukan Udin sama Pak Nyamin tukang kebun. Aku segera masuk ke kamar Bibi dengan membawa kotak obat untuk memberi pertolongan pertama. Bibi Mar aku baluri dengan minyak kayu putih dan sedikit aku urut pada jari kakinya. Semua itu aku pelajari lewat membaca buku tentang pijat refleksi. Alhamdulilah Bibi Mar siuman dengan membuka matanya menatapku yang duduk di sisi tempat tidur Bibi Mar."Mbak Kinan ...?!" Bibi Mar mengangk
Clara tak menjawab pertanyaan teman-temannya. Aku tak memperdulikan tentang Clara. Aku melangkah masuk ke ruang iccu. Namun belum sampai kakiku menginjak ruang iccu. Clara menarik bajuku. "Kamu miskin, tak boleh masuk!" Aku mengangkat ke dua bahuku sambil tersenyum. Dan mengibaskan tangan Clara hingga terlepas dari pakaianku. Tanpa mengucap sepatah katapun, ku langkahkan kakiku masuk ke ruang iccu. "Hai, kamu tuli ya! Awas jika terjadi sesuatu pada Tuan Alliandro, aku tak segan-segan membunuhmu," teriak Clara. Aku tetap tak menghiraukan ucapan Clara, aku juga tak takut ancaman Clara. Yang aku takutkan keadaan Alliandro. Aku masuk untuk memakai pakaian yang sudah disediakan dari pihak rumah sakit agar steril. Perlahan aku berjalan mendekati Alliandro. Tampak Alliandro baik-baik saja. Malah tersenyum melihat kedatanganku, heranku kenapa Clara tadi keluar tampak menangis. "Kau baik-baik saja All?" tanyaku penasaran. Alliandro menatapku. "Seperti apa yang kau lihat.