"Bagaimana keadaan Bapak? Apa sudah sehat, Bu?""Alhamdulillah, sudah , Nduk.""Ardian dan keluarganya menunggu Bapak dan Ibu pulang ke rumah mereka lagi." Aku duduk bersandar. Sedangkan Bapak dan Ibu saling berpandangan. "Mereka pasti akan terus mencari kami, Nduk." Ibu terlihat cemas."Ibu tidak perlu khawatir! Di rumah ini aman, Bu. Kalau Bapak atau Ibu bosan, kalian bisa berkebun di halaman belakang. Bisa menanam apa saja yang diinginkan."Sebenarnya apa alasan mereka mengharapkan orang tuaku kembali lagi di sana? Padahal kehadiranku sebagai istri dan menantu tidak pernah dianggap. Apa karena mereka membutuhkan tenaga Bapak dan Ibu secara gratisan? "Non Rubi, ada Nyonya Intan."Mama Intan?Aku segera keluar untuk menyambut kedatangan Mama. "Mama. Kok tidak ngabari Rubi kalau mau datang?" Memeluk Mama Intan dan memberi ciuman."Tadi Mama datang ke rumah kamu dan ketemu Pak Ahmad. Katanya kamu sedang datang di rumah ini.""Iya, Ma. Dan Rubi memang sengaja datang sendiri.""Kenapa
Sampai acara selesai, sama sekali aku tidak bisa mendekati Mama Intan. Karena Ardian, Nyonya Mala serta Flo terus berada di sampingku."Bi, aku antar kamu sampai rumah, ya?""Tidak usah, Ardian. Lagipula aku ke sini diantar Pak Ahmad.""Pak Ahmad, kan, bisa pulang duluan."Ardian ... Ardian. Sepertinya kamu mulai tidak bisa jauh dariku. Begitu mempesonakah seorang Rubi untukmu?Netraku teralih pada Mama Intan yang berdiri tidak begitu jauh dari kami. Mama Intan sedikit menganggukkan kepala. Sepertinya itu sebuah kode untukku. Tapi kode apa? Apa Mama Intan memintaku untuk menerima tawaran Ardian yang ingin mengantarku pulang?"Baiklah Ardian. Tunggu sebentar!"Aku bicara pada Pak Ahmad agar beliau pulang dulu.---Sebenarnya malas sekali harus satu mobil dengan mereka. Tapi aku harus mulai nembiasakan diri untuk sering bersama suami, mertua dan juga adik ipar yang tidak punya hati."Kak Rubi. Dokter Erland tadi temannya Kakak, ya?" Flo bicara mendekat. Sepertinya Flo tertarik dengan
"Ka - kamu." "Iya, aku. Kenapa? Kamu kaget?""Kalian semua keluar! Tinggalkan kami berdua!" Ardian menyuruh satpam dan resepsionis yang dari tadi mengikutiku untuk pergi.Dengan kasar Ardian menarik lengan tanganku. "Ngapain kamu ke sini?"Kuhembuskan napas kasar persis di depan wajah Ardian. "Ngapain? Memangnya ada larangan seorang istri datang ke kantor suaminya sendiri."Tangan Ardian terlihat mengepal. Raut wajahnya begitu kesal mendengar jawaban dariku."Tutup mulut kamu!"Hebat kamu Ardian. Memperlakukan istri sendiri begitu kasar. Beda sekali dengan sikap lembut yang selalu kamu tunjukkan pada Rubi."Kenapa aku harus tutup mulut? Senang atau tidak, nyatanya aku tetap istri kamu. Camkan itu Ardian!""Bukannya kamu sudah pergi? Ngapain kembali lagi?" Ardian berjalan memutari tubuhku."Aku datang untuk minta keadilan sebagai seorang istri. Kamu, Mama, dan adikmu sudah memperlakukanku tidak adil, Ardian. Bahkan orang tuaku pun kalian jadikan pembantu. Orang-orang tidak punya hati.
Di sebuah taman, aku dan Ardian janjian untuk bertemu. Tempat yang sangat aku suka. Dengan berbagai bunga serta pepohonan yang rindang membuat hati terasa damai. Laki-laki dengan kemeja berwarna hitam terlihat berjalan ke arahku. Dia memang begitu tampan dan memesona. Tapi sayang, hatinya tak setampan wajahnya. Ardian ...."Maaf, Bi, aku sedikit terlambat," terangnya langsung duduk di sampingku."Tidak apa-apa, aku juga belum lama sampai," ucapku sembari menoleh ke arahnya."Bagaimana, Bi, apa jawabanmu?" Ardian menatap begitu serius.Aku terdiam sejenak dan memandang bunga-bunga indah yang ada di depanku."Menikah siri. Rasanya masih tidak percaya kalau kamu mengajakku menikah siri, Ardian. Kamu bilang sangat mencintaiku, tapi kenapa harus menikah siri?" Sekedar basi-basi saja."Aku sudah bilang, Bi, ada hal yang harus aku selesaikan dulu.""Memangnya hal apa, Ardian? Jujur!""Aku belum bisa menjelaskan sekarang. Tapi tiba saatnya, pasti akan kuberitahu."Curang sekali kamu, Ardian.
Perusahaan milik Ardian jatuh ke tangan Sundari alias Rubi."Meskipun kita akan menikah siri dulu, tapi akan kubuat momen tersebut begitu indah, Bi."Terserah kamu saja Ardian. Silahkan bermimpi dengan keinginanmu tersebut! Karena kamu tidak akan pernah menikah dengan Rubi.Aku tersenyum manis persis di depan wajah Ardian. "Diminum dulu, Ardian. Ini teh spesial untukmu." Ardian segera mengambil cangkir yang ada ditanganku. Dia langsung meneguknya. Nikmat, kan, Ardian? Teh yang sudah dicampur dengan obat tidur. Tidak berapa lama, Ardian terlihat beberapa kali menguap. Netranya sudah terlihat semakin menyipit karena rasa kantuk. Obrolannya sudah sedikit tidak nyambung. Segera ku ambil surat pernyataan penyerahan perusahaan."Oh iya, Ardian. Aku sampai lupa kalau ada berkas kerja sama perusahaan kita yang harus ditanda tangani." Ardian mengambil surat tersebut dari tanganku. Dia terlihat mengamati dengan netra yang sudah sedikit terpejam. "Okey aku tanda tangani sekarang. Kenapa aku
Sundari datang ke kantor Ardian memberi sebuah kejutan "Kamu. Ngapain lagi datang ke sini? Lancang. Beraninya duduk di kursi kerjaku." Dengan kasar Ardian langsung menarik tanganku dari kursi yang ku duduki.Inilah alasanku ingin memberimu pelajaran, Ardian. Karena kamu selalu bersikap kasar denganku—istrimu sendiri."Sabar suamiku!" Dengan membenarkan kerah bajunya.Ardian terlihat begitu marah dengan apa yang kulakukan. Seketika tanganku dikibaskan begitu kencang."Aku pikir, setelah kepergianku dari rumah, kamu akan menyadari kesalahanmu yang sudah memperlakukanku sangat tidak baik. Ternyata masih sama saja.""Oh ... kamu merasa diperlakukan tidak baik? Okey. Kebetulan kamu sudah ada di sini. Aku akan segera menceraikanmu, Sundari." Ardian terlihat begitu serius. Bibirnya tersenyum dengan sedikit menungging.Aku sudah tidak kaget, Ardian. Karena hal ini sudah kamu utarakan dengan Rubi. Meskipun tidak secara langsung, tapi aku paham kalau yang kamu maksud ingin menyelesaikan sesuat
Untuk pertama kalinya Nyonya Mala bertemu lagi dengan Sundari."Bu Rubi?" sapa Devi sekretaris pribadi Ardian. "Bu Rubi mau bertemu dengan Pak Ardian, ya? Ta - tapi Pak Ardiannya." Devi tidak meneruskan ucapannya.Aku hanya tersenyum. "Saya tidak ingin bertemu dengan Pak Ardian. Tapi mulai saat ini saya yang akan mengurus perusahaan ini. Dan kamu akan menjadi sekretaris saya."Raut wajah Devi begitu bingung. Pasti semua karyawan di sini juga akan kebingungan dengan situasi saat ini. Tapi nanti, mereka juga akan paham."Sekarang kamu siapkan apa yang mesti disiapkan untuk hari ini! Saya akan meneruskan pekerjaan Pak Ardian yang tertunda. Oh ya, satu lagi. Panggil saya Sundari!""Sun - Sundari, Bu? Bukannya nama itu nama istrinya Pak Ardian yang sekarang telah menjadi pemilik perusahaan ini?" "Iya. Dan itu saya."Sekarang Devi hanya berdiri mematung. Dan memandangku tanpa berkedip."Memangnya yang kamu lihat saat ini beda sekali, ya, dengan Sundari? Tapi Rubi adalah Sundari. Dan kamu,
"Dijual? Memangnya kenapa?" Ingin memastikan pada orang kepercayaanku yang selama ini kuminta untuk memantau Ardian dan keluarganya."Untuk membayar hutang Nyonya Mala."Sudah hampir tujuh bulan ini aku mengambil alih perusahaan milik Ardian. Dan selama itu pula, yang aku tahu Ardian tidak berusaha mencari pekerjaan atau membuka usaha dengan sisa harta mereka yang sebenarnya masih sangat banyak. Entah apa yang ada dalam pikiran mereka."Hutang?""Iya, Bu Sundari. Nyonya Mala serta Flo begitu mudah menghamburkan uang selama Pak Ardian tidak bekerja. Mereka tetap berfoya-foya. Nyonya Mala ikut banyak arisan yang setorannya tidak sedikit. Dia juga menggelapkan uang investasi teman-temannya. Makanya rumah tersebut dijual untuk membayar semuanya. Karena kalau tidak, Nyonya Mala akan dijebloskan dalam penjara." Bukannya sadar sudah tidak punya perusahaan, masih saja mereka menghamburkan uang. "Dan adiknya ....""Adiknya kenapa?" tanyaku memotong."Adiknya Pak Ardian hamil."Hamil? Kenapa