Share

Ngidam Yang Menyiksa

SUCI TAK PERAWAN 7

Sejak ketahuan hamil, rasa lelah dalam diriku semakin menjadi. Bahkan mual dan tidak ingin makan juga begitu, makin menjadi-jadi. Tiap makanan yang masuk perutku akan keluar lagi tanpa menunggu lama. Entah dorongan apa yang membuatku seperti ini.

Kak Alan benar-benar kembali ke rumah ini, dia menjagaku dengan baik. Tidur di kamar yang ada di sebelah kamarku. Malam hari, sering kali dia terbangun karena aku muntah-muntah di kamar mandi. Pria itu benar-benar menggantikan peran suamiku.

"Kamu mau makan apa, katakan kakak akan cari kemanapun asal kamu mau memakannya," ucap Kak Alan sebelum berangkat kerja.

Aku hanya menggeleng kepala.

"Mama bilang, orang hamil suka ngidam. Katakan apa makanan yang begitu terbayang-bayang hingga menerbitkan air liur. Jangan seperti ini, kamu semakin kurus karena tidak ada nutrisi yang masuk ke dalam tubuhmu padahal ada dua nyawa yang harus kamu beri nutrisi."

Aku sudah mencoba makanan itu, tapi rasanya tak sama. Aku memesan secara take away dan rasanya jauh berbeda saat aku makan langsung di tempatnya. Mungkin karena itu aku tetap tidak nafsu memakannya dan muntah juga.

"Kinan, kamu harus makan atau kita balik lagi ke rumah sakit biar kamu diopname," ancam Kak Alan.

Dua hari lalu, aku sempat masuk ke rumah sakit karena pingsan. Tubuhku lemas dan kurang nutrisi akibat tidak ada makanan yang masuk ke dalam perutku. Bahkan aku harus diinfus agar mendapatkan tenaga dari sana.

"Aku juga ingin makan, tapi makanan itu yang tidak ingin masuk dan bertahan dalam perutku," jawabku dengan mata berkaca-kaca.

Kak Alan menghela nafas panjang. Tangannya mengusap kepalaku dengan sayang. "Kakak jalan kerja dulu ya. Kalau ada apa-apa kamu hubungi kakak."

"Ada Mama di rumah, Kak. Jangan khawatirkan aku," balasku.

"Ya sudah, aku berangkat kerja ya." Kak Alan berpamitan sambil mengusap kepalaku.

Lama-lama aku terbiasa dengan apa yang dilakukan itu. Setelah kudengar suara deru motor Kak Alan kian menjauh, aku menyibak selimut yang menutupi tubuh. Aku memang masih tergolek lemas di ranjang sepagian ini. Bayi ini kuat, tidak pernah aku pendarahan atau terjadi hal-hal yang tidak diinginkan terjadi pada calon bayi ini tapi aku lah yang lemah.

Tidak adanya makanan yang bisa bertahan di perutku, membuat badanku dengan cepat menyusut dan lemah. Bahkan air pun enggan masuk dan bertahan dalam perutku, oleh sebab itulah beberapa hari yang lalu aku harus menginap di rumah sakit. Hanya semalam, karena aku memaksa untuk pulang. Aku tidak akan mati kan, hanya karena kehamilan ini.

Perlahan aku menuruni anak tangga, turun ke bawah mencari Mama. Kutemukan perempuan itu ada di dapur, padahal di rumah ada pembantu rumah tangga. Jarang-jarang Mama turun langsung untuk memasak.

"Ma," panggilku.

Wanita yang sudah melahirkanku itu menoleh. "Mama masak makanan kesukaanmu, siapa tahu ini bisa kamu makan," ucap Mama.

"Terima kasih, Ma," balasku sembari duduk di kursi yang berada di samping meja pantry.

Aku memerhatikan Mama yang tampak sibuk di depan kompor.

"Ma, menurut Mama, ngidam itu fakta atau mitos?" Aku bertanya dengan tangan menompang dagu.

"Tak penting fakta atau mitos, jika bisa diwujudkan kenapa tidak. Dengan memenuhi keinginan ibu hamil, hatinya akan senang dan itu bagus untuk calon bayi juga ibunya," jawab Mama.

"Kamu mau apa? biar mama minta Papa atau Alan mencarikan." Kali ini Mama memutar tubuhnya, menatap padaku.

Aku menggeleng kepala.

"Bagiamana pun juga, bayi itu adalah darah dagingmu, calon cucu Mama. Kita berikan yang terbaik buatnya, jangan pikirkan apapun apa lagi laki-laki yang pikirannya begitu sempit itu," tutur Mama panjang lebar.

Bukan tak ingin memberinya yang terbaik, bahkan aku juga lelah dengan keadaan seperti ini. Aku juga ingin makan enak, tidur nyenyak seperti dulu meskipun sedang hamil. Tapi mau bagaimana, ini semua diluar kendaliku.

"Kinan udah coba makan makanan yang Kinan mau, tapi tetap saja mual dan muntah. Seakan rasanya berbeda jika dimakan di tempat langsung dengan dibawa ke rumah, Ma."

"Memangnya kamu mau apa, ayo kita pergi langsung ke tempatnya sekarang juga." Mama bergegas mematikan kompor dan menghampiriku.

Aku menggeleng kepala. "Enggak perlu, Ma."

"Ayolah Kinan, mama akan antar kemanapun kamu mau makan yang penting ada makanan masuk ke dalam perutmu. Lihatlah, baru dua bulan kamu hamil tapi pipimu begitu tirus seperti ini. Orang hamil perlu tenaga, semakin lama perut membesar semakin pula mudah lelah. Kalau ditambah kamu tidak makan, mau jadi apa." Mama membelai pipiku yang mungkin tak seperti dulu lagi.

Aku menundukkan kepala, memainkan jari jemariku dengan resah. Tak semudah itu pergi ke tempat itu.

"Ayolah Kinan."

"Kinan ingin makan di restoran Kak Kai," lirihku tanpa berani menatap Mama.

Harusnya aku tak menginginkan ini, apalagi mengatakannya. Tapi entah kenapa aku benar-benar ingin ke sana. Aku ingin makan di tempat itu dan menikmati suasananya. Sudah kucoba diam-diam pesan lewat delivery order. Tapi rasanya benar-benar tak sama.

"Jangan makan steak, ibu hamil tak bagus makan daging merah yang dipanggang," ucap Mama.

"Tak apa jika dimasak dengan kematangan yang sempurna dan tidak banyak-banyak. Lagipula aku bisa makan yang lain, ada pasta, bahkan ada makanan asia, Ma. Di sana ada nasi be ..." Aku tak meneruskan ucapanku. Aku menyesal sudah mengatakan semua itu.

"Kamu beneran ingin makan di sana?"

"Gak jadi, Ma. Gak usah, itu hanya obsesi Kinan dengan mengatasnamakan ngidam." Aku beranjak dari kursi, hendak kembali ke kamar.

"Mama telpon Alan, biar dia yang menemanimu."

Aku menghentikan langkahku. "Jangan ganggu Kak Alan yang sedang bekerja, Ma."

"Alan gak akan dipecat hanya karena pulang saat bekerja. Dia udah pindah ke kantor Papa."

Aku menatap Mama tak percaya, sejak dulu Kak Alan tak pernah mau bekerja di tempat yang sama dengan Papa. Dia bilang ingin mandiri, kenapa sekarang tau-tau sudah pindah ke sana, sejak kapan.

"Dia mau bekerja di sana biar kalau terjadi apa-apa atau kamu butuh apa-apa bisa cepat-cepat pulang," terang Mama seakan tahu apa yang aku pikirkan.

"Gak usah, Ma. Kak Alan baru jalan." Aku masih berusaha mencegah Mama.

"Justru itu, biar gak usah kerja sekalian. Sana ganti baju, dandan yang cantik. Nanti kalau Alan pulang kalian bisa langsung jalan," perintah Mama. Wanita itu langsung berlalu mencari ponselnya.

***

"Lagi?" tanya Kak Alan dengan dahi berkerut.

Dua menu sudah masuk dalam perutku, tapi aku masih menginginkan yang lain. Kami tak langsung memesan banyak menu karena khawatir aku tidak akan memakannya. Bahkan tadi aku sempat menjeda dulu saat menyuap pertama kali, khawatir mual tapi ternyata aku bisa makan banyak hari ini. Entah apa yang terjadi dengan perutku ini.

"Anggap saja aku balas dendam karena tidak makan-makan selama beberapa minggu ini," jawabku sekenanya.

Kak Alan memanggil pelayan yang sejak tadi melayani kami. Restoran ini buka jam sepuluh siang, sekarang baru jam sebelas, belum banyak pengunjung, dan aku tidak akan khawatir bertemu dengan Kak Kai karena biasanya jika baru buka dia akan sangat sibuk di dapur mengecek segalanya. Beruntungnya lagi, pelayan itu tidak mengenaliku karena masih baru.

Kali ini seporsi pasta sudah ada di hadapkanku. "Kakak gak mau makan?" tanyaku.

Pria itu menggeleng. "Aku sudah kenyang melihatmu makan," sahutnya sambil terkekeh.

Kak Alan tidak mempermasalahkan ataupun meledekku karena makan banyak di sini, di tempat pria yang sudah menenam benih dal rahimku berada. Entahlah dalam hatinya.

Aku fokus makan hingga suara yang menyapa membuat fokus makanku buyar seketika.

"Kamu di sini, Cean. Syukurlah aku ingin bicara denganmu. Aku bahkan tidak bisa masuk ke dalam rumahmu sama sekali sekarang."

Pria itu, Kak Kai ada di hadapanku. Bukan hal yang mengejutkan atau aneh, ini tempatnya berada.

"Kamu mau bicara dengannya?" tanya Kak Alan.

Aku menggeleng kepala.

"Makannya udah?" Lagi, Kak Alan bertanya.

Aku mengangguk.

"Ayo pulang," ajak Kak Alan.

Dia langsung meletakkan sejumlah uang yang aku yakin sudah cukup untuk membayar semua yang sudah aku makan. Di menu memang sudah tertera harganya juga.

"Cean aku ingin bicara, dengarkan aku dulu," pinta Kak Kai sambil meraih pergelangan tanganku yang susah beranjak dari tempat duduk.

"Apa dulu kau mendengarkan saat dia ingin bicara!" Kak Alan berseru sambil menghempaskan tangan Kak Kai dari tanganku.

"Aku suaminya," teriak Kak Kai tak mau kalah, seakan tidak peduli dengan keadaan sekitarnya.

"Kamu sudah tak lagi dianggap suaminya saat kau keluar dari rumah orang tuanya," desis Kak Alan dengan rahang mengeras.

Kakak angkatku itu langsung membopong tubuhku keluar dari restoran karena mendadak kakiku terasa lemas dan kepalaku pusing hingga tak bisa berpijak dengan benar.

"Cean ...." Masih kudengar suara pria yang sudah menyakitiku itu memanggil namaku.

🍁 🍁 🍁

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Sofi Sofiah
kak bisa beli novel cetak nya gk
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status