SUCI TAK PERAWAN 6
"Seperti istri Bapak hamil. Tapi untuk memastikan, silahkan pergi ke dokter kandungan," ucap dokter wanita dengan rambut sepanjang bahu itu sambil tersenyum.Dokter itu berkata pada Kak Alan karena dia pikir pria itu suamiku. Harusnya berita ini membuatku bahagia, wanita mana yang tak bahagia saat dikatakan dirinya hamil. Tapi tidak denganku saat ini, hatiku begitu hampa. Badanku semakin terasa ringan, tidak bertenaga, seakan tak perpijak di bumi.Aku berjalan dengan gontai menuju ke tempat mobil diparkirkan begitu urusan dengan dokter selesai. Tak peduli dengan Kak Alan yang masih mengantri di depan kasir untuk membayar dan menebus resep vitamin yang tadi diberikan oleh dokter.Siapa yang akan mengakui anak ini, bahkan sampai sekarang aku tidak pernah melihat batang hidung pria yang membuatku harus mengandung benihnya. Mungkin sekarang dia memang tidak peduli padaku sama sekali karena menganggapku hina."Jangan sedih, Kinan. Ibu hamil harus bahagia," ucap Kak Alan yang sudah berdiri di sampingku yang bersandar pada mobil sambil menahan air mata."Aku ini ibu hamil yang bagaimana, bahkan aku tidak memiliki suami," jawabku dengan tergugu."Ayo kita pulang, kita bicarakan ini di rumah."Aku tak menolak saat Kak Alan mengajak masuk ke mobil dan kembali membawaku pulang. Sepanjang jalan, otakku terasa buntu. Sembilan bulan aku harus mengandung, lalu menjaga dan membesarkannya. Segala hal yang tergambar di kepalaku tentang usaha yang mungkin saja membuatku bahagia musnah sudah.Bayi dalam perut ini tidak bersalah, dia dibuat dengan penuh cinta. Ya, aku dan Kak Kai saling mencintai waktu itu. Tapi akankah aku bisa menjalani kehamilan ini sendiri."Kapan Kakak nikah?" tanyaku memecah kesunyian.Dia sudah cukup usia, tak perlu terus menjagaku seperti ini. Apa lagi sampai mengorbankan masa depannya. Ditambah lagi sekarang aku hamil tanpa suami, pasti dia akan berusaha menjagaku lagi."Sama siapa?" tanya Kak Alan balik bertanya."Mbak Vina, siapa lagi," balasku."Memang Kakak punya wanita lain, hanya dia seorang yang kulihat dekat denganmu," sambungku."Kami tidak sedekat itu, Kinan.""Bohong!""Benar."Hening, tidak ada lagi obrolan di antara kami. Aku tengelam dalam pikiranku sendiri hingga tanpa terasa sudah sampai di rumah. Aku tidak berniat untuk mengecek kebenaran janin yang ada dalam perutku. Meskipun tadi Kak Alan sempat memaksa tapi aku tidak mau."Dapat tempatnya, Alan?" Tanya Mama yang sedang duduk bersantai di ruang tamu bersama Papa.Tadi sebelum pergi, aku memang memberi tahu Mama kami hendak kemana."Nggak jadi, Ma. Kinan sakit," jawab Kak Alan."Sakit, sakit apa?" tanya Mama. Wanita yang sudah melahirkanku itu langsung berdiri dan menghampiriku.Bukannya menjawab pertanyaan Mama, tangisku pecah seketika. Aku tidak menginginkan kehamilan ini."Kinan, apa yang sakit. Mana, kenapa malah dibawa pulang bukan ke dokter. Bagaimana sih kamu ini, Alan," cecar Mama."Kinan hamil, Ma. Dokter umum bilang dia hamil, tapi suruh dipastikan ke dokter kandungan," tutur Kak Alan."Ya Tuhan ... Kinan," ucap Mama sambil memeluk erat tubuhku.Mama lantas membawaku duduk di sofa sambil menenangkanku yang masih terisak-isak."Bagaimana ini, Pa. Apa kita kasih tahu Kairo saja," ucap Mama, meminta pendapat Papa."Tidak perlu!" Seru papa."Aku tidak butuh pria itu untuk menjadi ayah cucuku. Iya kalau dia mengakuinya, kalau menolaknya kita akan sakit hati dua kali. Aku bisa membesarkan cucuku sendiri," sambungnya. Papa benar-benar memegang ucapannya, tak akan lagi membiarkan Kak Kai masuk ke rumah ini dan memilikiku."Bahkan Papa sedang mencari pengacara untuk mengurus perceraian kalian.""Tapi bagaimana dengan Kinan, Pa. Bagiamana dia bisa hamil tanpa suami." Mama masih berusaha membujuk Papa."Kamu masih perlu pria itu menjadi suamimu?" Papa bertanya padaku. "Kamu yakin dia akan menerimamu dan tidak akan mengungkit-ungkit tentang noda darah lagi."Aku hanya bisa diam, tengelam dalam kesedihanku sendiri. Seperti halnya Papa, aku tidak yakin pria itu akan mengakui anak ini."Aku yang akan menjadi ayah untuk anak itu, Ma, Pa. Seperti halnya aku mendampingi Kinan di pelaminan, aku yang akan mendampingi Kinan saat hamil. Anak itu akan memanggilku Papa."Aku langsung mengangkat pandangan, menatap ke arah Kak Alan yang barusan berbicara. Tak terkecuali Mama dan Papa."Mungkin aku tidak pantas menjadi suami Kinan, tapi jika anaknya lahir biasa aku akui sebagai anak dan Kinan tak perlu menjadi ibunya. Akan aku bawa Kinan pergi dari kota ini selama hamil, aku akan menjaganya seperti dulu. Lalu kami akan pulang setelah Kinan melahirkan. Atau bagaimana caranya agar Kinan ...."Kak Alan berkata dengan kebingungan, dia terlihat frustrasi."Orang-orang yang datang ke acara resepsi tahunya juga Kinan menikah dengan Alan, jadi biarkan saja seperti itu," ujar Papa."Pa, kasian Kak Alan.""Dia yang mau," jawab Papa."Kak Alan mau melakukan apa yang Papa minta karena ingin balas budi, Pa. Papa tidak bisa berbuat sesuka hati seperti itu demi aku.""Ini bukan balas budi, Kinan. Kakak benar-benar ingin menjagamu karena sayang padamu. Menyayangimu seperti layaknya saudara." Nadanya melemah di ujung kalimatnya."Alan lebih baik daripada Kairo. Lebih baik kamu menerima semua ini, Kinan," bujuk Mama.Aku tahu Kak Alan baik, tapi bukan berarti aku memanfaatkan kebaikannya seperti ini. Dia punya kehidupan dan keinginan sendiri.***"Istirahatlah, besok sepulang kerja kakak antar ke dokter. Kamu harus periksa agar tahu perkembangan calon bayi itu," ucap Kak Alan sambil menyelimuti tubuhku.Setelah perdebatan panjang, akhirnya aku menerima keputusan mereka. Kak Alan akan pindah ke rumah ini seperti dulu lagi."Besok kakak pindah lagi ke sini, jangan mengkhawatirkan apapun. Jangan lupa banyak makan karena ada dua nyawa yang harus diberi nutrisi.""Sana pulang, ini sudah malam." Aku mengusir Kak Alan.Waktu memang sudah beranjak malam, tadi setelah berdebat kami masih sempat menghabiskan waktu bersama seperti keluarga. Lalu makan malam bersama seperti dulu saat Kak Alan masih bersama kami. Papa dan Mama juga menyayangi Kak Alan seperti putranya. Kami tumbuh bersama sebagai adik dan kakak, lalu sekarang bagaimana jadinya kalau dia jadi suami pura-pura."Hari ini kau usir aku, besok aku balik ke sini," sahutnya sambil tertawa.Sejak tadi dia terus tertawa dan berusaha menghiburku, mungkin dia agar aku bisa merasakan kegembiraan dan tidak menderita dalam masa kehamilan."Selamat malam, mimpi yang indah," ucapnya sambil mengecup keningku.Aku yang tidak menduganya reflek membulatkan mata tanpa bisa berkata-kata, selama kami bersama dia tak pernah melakukan ini padaku."Maaf kelepasan, aku terlalu mendalami karakter." Kak Alan tertawa lebar.Pria itu lantas bangkit dari posisinya yang duduk di sisi ranjang. Lalu berlalu menuju pintu keluar sambil mengacak rambutnya.🍁 🍁 🍁SUCI TAK PERAWAN 7Sejak ketahuan hamil, rasa lelah dalam diriku semakin menjadi. Bahkan mual dan tidak ingin makan juga begitu, makin menjadi-jadi. Tiap makanan yang masuk perutku akan keluar lagi tanpa menunggu lama. Entah dorongan apa yang membuatku seperti ini.Kak Alan benar-benar kembali ke rumah ini, dia menjagaku dengan baik. Tidur di kamar yang ada di sebelah kamarku. Malam hari, sering kali dia terbangun karena aku muntah-muntah di kamar mandi. Pria itu benar-benar menggantikan peran suamiku. "Kamu mau makan apa, katakan kakak akan cari kemanapun asal kamu mau memakannya," ucap Kak Alan sebelum berangkat kerja. Aku hanya menggeleng kepala."Mama bilang, orang hamil suka ngidam. Katakan apa makanan yang begitu terbayang-bayang hingga menerbitkan air liur. Jangan seperti ini, kamu semakin kurus karena tidak ada nutrisi yang masuk ke dalam tubuhmu padahal ada dua nyawa yang harus kamu beri nutrisi." Aku sudah mencoba makanan itu, tapi rasanya tak sama. Aku memesan secara tak
SUCI TAK PERAWAN 8Bagaikan sebuah keberuntungan, wanita yang tak lagi bisa kulihat meskipun hanya bayangannya itu datang ke restoranku. Dia datang bersama dengan Kalandra. Sejak mendapatkan penjelasan dari Nicholas, tentu saja ada rasa bersalah dalam hatiku. Saat kukatakan mungkin saja Cean sudah berhubungan dengan kakaknya itu, dengan keras Nicholas memukul kepalaku dengan buku menu. Lalu dia mengatakan segala hal yang dia tahu. Kenapa tidak dari dulu."Makanya belajar yang lain juga, jangan cuma belajar membuat menu baru dan buku resep. Kamu ini smart gak sih, info kayak gitu bisa di dapat di internet, gak harus aku yang kasih tahu." Panjang lebar Nicholas mengomeliku waktu itu. Papanya yang masih berstatus sebagai mertuaku itu benar-benar melaksanakan ancamannya. Dia tidak membiarkanku masuk ke rumah itu. Satpam rumahnya tidak membiarkan aku masuk ke dalam rumah mereka lagi, dan Cean juga tidak pernah terlihat keluar rumah sama sekali. Apa dia bersedih, dan mengurung diri di rum
SUCI TAK PERAWAN 9"Berhentilah membuat dia menderita!" Kakak angkat Cean menghempaskan tubuhku setelah menyeret paksa menjauhi Cean. "Beri aku waktu untuk berbicara dengannya," pintaku pada pria itu."Apa dia terlihat ingin berbicara denganmu?"Aku terdiam, Cean terluka dan sedih, bisa saja dia ingin bicara dan dekat denganku tapi dia menahannya. Satu tahun bukanlah waktu yang sebentar hingga dia bisa melupakan kebersamaan kami begitu saja. Apa lagi dia sedang mengandung benihku, tak mungkin dia bisa melupakanku begitu saja. "Pergilah dari sini seperti kau pergi malam itu," sindir Kalan. Aku menghela nafas berat. Tidak ada orang di dekat Cean yang menginginkan keberadaanku dan memberiku kesempatan. "Antar Cean ke restoran setiap hari," pintaku sebelum pergi. "Untuk apa?""Dia tidak bisa makan dengan baik kan, hanya di tempat itu dia bisa makan. Aku yakin dia menahannya selama ini. Kalau kamu sayang dia, peduli padanya, kamu harus melakukan itu untuknya."Lelaki itu hanya diam, m
SUCI TAK PERAWAN 10Setiap kali menyiapkan makanan untuk Cean, aku melakukannya dengan penuh cinta. Berharap cinta itu sampai kembali ke hatinya. Sejak kejadian itu, aku tak tahu lagi bagaimana perasaan wanita itu padaku. Apa dia membenciku, atau masih tersisa sedikit cinta untukku. Aku memang keterlaluan, kalap mencari noda setelah selesai bercinta, menuduhnya tanpa mau mendengarkan penjelasannya, lalu meninggalkannya begitu saja. Terhitung selama dua bulan ini, tiga hari sekali dia akan datang ke sini. Sekali datang pesan makanan banyak, kemudian tak datang lagi dua hari. Apa dia menyetok makanan di perutnya, kenapa tidak datang saja setiap hari. Tentu saja membuatku jauh lebih senang jika dia datang setiap hari."Hari ini Cean belum datang?" tanyaku pada seorang pelayan. Para pelayan di sini, mereka sudah paham jika aku memanggilnya dengan panggilan itu. Jadi mereka tahu meskipun mereka memanggilnya dengan panggilan Kinan. "Belum, Chef."Aku menghela nafas panjang, ini sudah s
SUCI TAK PERAWAN 11Cean langsung membuka appronnya dan menyisakan dress terusan yang tampak longgar hingga perutnya tak lagi kelihatan menonjol. Seakan tak ingin aku melihat perutnya yang mulai membuncit. Wanita itu menghela nafas panjang."Sejak saat kamu meninggalkanku malam itu, sejak saat itu juga kamu tak berhak atas diriku lagi, Kak. Saat kau tak menggubris perkataan Papa malam itu, kuanggap engkau sudah mengembalikanku kepadanya.""Cean," lirihku. "Tolong maafkan aku.""Aku sudah memakanmu, Kak. Kalau belum kumaafkan, kupastikan kamu tidak ada di tempat ini sekarang.""Maka kembalilah padaku," pintaku dengan memelas. "Kembali dan memaafkan adalah dua hal yang berbeda." Aku mendesah, frustasi dengan setiap kata yang keluar dari mulutnya. "Tolonglah, Cean. Demi anak itu, apa kau akan biarkan dia lahir tanpa ayah?"Wanita akan selalu mengalah demi anaknya, itu yang sering aku dengar. "Kenapa wanita harus selalu berkorban. Menekan rasa sakitnya demi ini dan itu. Anak yang ada
SUCI TAK PERAWAN 12Aku berdebat dengan Kalan tentang siapa yang harus menemui dokter kandungan yang memeriksa Cean barusan. Tentu saja aku ingin melakukannya, dia istriku dan aku berhak tau apa yang terjadi pada dirinya juga anak dalam kandungannya. "Kenapa kalian berdua masuk semua, siapa suaminya?" tanya dokter wanita yang memakai kerudung berwarna peach itu. Kami tidak membawa Cean ke rumah sakit tempat dimana dia biasa check up. Karena khawatir, Kalan membawa ke klinik terdekat dari outlet milik Cean. "Saya suaminya, Dok," jawabku. "Silahkan Bapak keluar," perintah dokter itu pada Kalan. "Dia memang suaminya, Dok. Tapi saya kakaknya, wanita tadi tinggal bersama kami. Jadi lebih baik saya yang tahu keadaanya daripada pria ini," ucap Kalan. Dokter itu memandang kami bergantian. Lebih fokus padaku yang masih terlihat berantakan setelah dihajar habis-habisan oleh Kalan. "Karena masalah pribadi, akhirnya terjadi seperti itu, Dokter. Tapi sebagian suami saya berhak tahu keadaan
SUCI TAK PERAWAN 13Aku pulang dari kantor mertuaku dengan perasaan menggebu. Siapa yang terima saja istri yang sedang mengandung anaknya akan dinikahkan dengan orang lain. Bagiamana nasib anakku, bagaimana bisa aku terima dia memanggil papa pada pria lain. Meskipun Kalan sudah berkorban banyak hal, tapi aku tidak rela mengorbankan anak dan istriku untuknya. Siapa dia, dia bisa menikah dengan wanita lain. Bukan menikah dengan adik angkatnya sendiri. Kalau dia mencintai Cean sejak dulu, kenapa dia membiarkan kedua orangtuanya menjodohkan Cean padaku.Aku langsung pulang ke rumah, meskipun sudah hampir empat bulan juga aku menetap di restoran, tapi kali ini aku butuh Papa. Tidak peduli apa kata papa, tapi aku adalah anaknya. Sejauh apapun aku kabur, padanya jugalah aku akan kembali minta tolong."Papa harus membantuku untuk bisa bersatu kembali dengan Cean, Pa. Dia hamil, Cean hamil anakku," pintaku pada Papa sesaat setelah kami selesai makan malam. Sejak kedatanganku, aku sudah kena
SUCI TAK PERAWAN 14 Hari ini Mama yang mengantarkanku pergi ke dokter kandungan. Sekalian Mama melakukan check up kesehatan, satu tahun sekali Mama melakukannya. Setelah Mama menemaniku ke dokter kandungan, sekarang giliran Mama yang melakukan check up. Aku tidak menemaninya karena Mama tidak mengijinkan, wanita yang sudah melahirkanku itu menyuruhku menunggu di kantin atau di taman rumah sakit. Katanya biar aku tidak bosan. Padahal tidak masalah juga aku menunggunya di ruang tunggu. Langkah kakiku terhenti saat melihat Mbak Vina melintas di depanku. Setahuku dia dulu bekerja di apotek, apa sekarang pindah ke rumah sakit ini. "Mbak Vina ...." panggilku.Wanita yang aku panggil itu menoleh, lalu tersenyum padaku dengan ramah. Aku berjalan mendekat padanya. "Kinan apa kabar? Siapa yang sakit?" Tanya Mbak Vina setelah kami tak berjarak. "Baik, Mbak. Mbak Vina apa kabar?""Baik, juga. Siapa yang sakit?" Wanita itu kembali bertanya."Nggak ada yang sakit, saya menemani mama check up