Share

Bab 3

“Ahm, dia bukan istri saya, Dok. Istri saya sudah meninggal, Dok.” Dia menjawab dengan senyum kecut. 

Aku menoleh terkejut, “J--jadi, Mbak Kesya sudah meninggal? Rasanya waktu terakhir ketemu masih sehat-sehat saja.” Namun, hanya mampu kuucap dalam diam. Karena setelah itu pun fokusku teralihkan untuk menjawab pertanyaan dokter yang memeriksa kakikku yang selain terkilir juga ada luka goresan.  

Pemeriksaan dokter pun usai, Mas Laksa pergi ke apotek sebentar untuk menebus obat buatku. Ada satu obat anti nyeri, salep dan sisanya aku tak paham. Katanya semua di minum sehari tiga kali. Setelah itu, mobil langsung melaju dan menuju ke rumahku yang berada tak jauh dari sini. 

Mobil terhenti di depan rumah. Rumahku tak besar, hanya ada dua kamar. Namun, semenjak aku dan Mbak Rahma besar, dulu Bapak merombak bagian teras depan dan menjadikan kamar itu untukku. Masih terdiri dari setengah dinding permanen saja, bagian atasnya dibuat dari triplek. 

“Makasih sudah nganter sampai rumah, Mas.” Aku mengulum senyum yang dipaksakan seraya hendak membuka pintu mobil dan turun. 

“Kamu tak menawari kami mampir, Ra?” Tanganku yang tengah mendorong daun pintu mobil terhenti dan menoleh pada lelaki itu. Lelaki yang sebetulnya masih asing bagiku dan hanya bertemu dua kali. Pertama pada saat pernikahannya dengan Mbak Keysa, kedua saat ulang tahun pernikahan mereka yang pertama. Sebelum Mbak Keysa diajaknya pindah ke kota. 

“Rumah saya jelek, Mas.” Aku menjawab apa adanya. Yang kudengar dari selentingan, dulu Mbak Keysa dijodohkan dengan seorang keluarga terpandang. Mamanya Mas Laksa adalah teman lama Mamanya Mbak Keysa. Hanya saja, tak terlalu paham sekaya apa keluarga mereka. Hanya saja memang ketika pernikahanpun sangat mewah dan pada saat ulang tahun pernikahannya pun sampai menyewa villa dan mengundang teman-teman dekatnya, termasuk Mbak Rahma yang mengajak aku turut serta. 

Tiba-tiba ada rasa pedih yang menelusup lagi. Andai saat itu aku tak ikut pergi ke acara ulang tahun pernikahan mereka, mungkin cerita hidupku tak seperti ini. Masih teringat jelas, awal kejadian naas kala itu.

*** 

“Mbak, kok kepalaku terasa berat banget, ya?” Aku memijat pelipis. Pisau yang sedang kupakai untuk mengiris bawang kusimpan. Aku hendak membuat sambel kecap ketika yang lain sibuk bakar ikan. 

“Kamu kecapekan kali, Ra. Ya sudah, istirahat saja di kamar.” Mbak Rahma berucap santai. 

“Kamar kita yang mana, Mbak?” Jujur, semenjak datang ke villa ini. Aku belum masuk ke kamar yang akan kami jadi tempat tidurku dengan Mbak Rahma. 

“Ya sudah, Mbak antar.” Mbak Rahma dengan sigap memapahku yang rasanya sudah setengah sadar karena kantuk yang begitu hebat. 

Akhirnya aku diantarnya ke sebuah kamar. Tak ingat jelas juga kamar sebelah mana, kantuk seberat ini baru pertama kali kurasa. Setelahnya aku terbaring di dalam kamar itu. Namun, tiba-tiba dalam setengah sadar aku merasa ada seseorang yang menindihku dan setelah aku bangun, aku sudah tak memakai apa-apa lagi dan semua pakaian sudah teronggok di lantai. Saat itulah kesucian yang kujaga untuk Mas Iwan yang akan jadi suamiku seminggu lagi terenggut paksa entah oleh siapa. 

Aku histeris ketika bangun dan membuat seluruh penghuni villa menuju kamarku. Aku yang shock tak sadar jika ternyata memang ada orang yang hendak menghancurkanku dengan menyebar video itu di sosial media. Dia mengunggah tubuh polosku yang penuh tanda merah dan menuliskan jika aku adalah korban tindakan asusila. 

“Ra, kenapa kamu ada di kamar saya?” Hanya pertanyaan Mbak Keysa--- istri Mas Laksa, yang kuingat kala itu.

Jadi, Mbak Rahma mengantarku ke kamar yang salah rupanya? Jadi, ini adalah kamarnya Mas Laksa dan Mbak Keysa?

Lalu, kenapa Aku berada di kamar mereka? Aku pun tak bisa menjawab pertanyaan itu dan masih tak bisa menemukan jawaban siapa yang sudah menodaiku dan menghancurkan semuanya.

*** 

“Humaira!” Kudengar suara Mas Laksa dan tangannya yang melambai ke depan wajahku. 

“Ahm, maaf, Mas. Mari kalau mau mampir.” Akhirnya aku memaksakan tersenyum dan lekas membuka pintu. 

Mas Laksa memutar tubuhnya dan turun. Dia membantuku berjalan dan memapahku. Semenjak dia memijit kakikku tadi, sudah tak sesakit semula dan bisa kupakai untuk jalan meski terpincang. 

“Assalamu’alaikum!” Aku mengucap salam. 

“Wa’alaikumsalam!” Kudengar suara Ibu yang menjawab. 

Tak berapa lama, daun pintu terbuka. Wajah Ibu muncul dan terkejut melihatku terpincang-pincang dan datang dengan seorang pria.

“Loh, tadi bukannya pergi sama Rustam, Ra? Mana dia? Kamu juga kenapa? Lalu ini siapa?” Rentetan pertanyaan terlontar pada mulut Ibu. Aku memaksakan diri untuk tersenyum. 

“Aku keserempet motor tadi di jalan, Bu. Mas Laksa yang menolongku.” Aku menjelaskan sekadarnya.

“Lalu Rustam ke mana? Bukannya dia mau kenalkan kamu ke keluarganya?” Ibu menatapku dan menghampiriku. Dia menggantikan Mas Laksa yang memapahku. 

Aku tak lekas menjawab pertanyaan Ibu, tetapi mempersilakan Mas Laksa, Mbak Tini dan Aidan masuk dulu. 

“Ra? Apa kejadiannya terulang lagi?” Ibu menatapku. Tanpa perlu kujelaskan sepertinya Ibu sudah paham dan bisa membaca apa yang terjadi dengan raut wajahku yang sendu. 

“Sudahlah, Bu. Ibu jangan pernah meminta aku untuk menerima lelaki manapun. Tak akan ada seorang keluarga pun yang mau menerima gadis bekas korban perkosaan yang pernah hampir gila.” Aku mengucap dengan suara begetar. Tanpa bisa kutahan, air mata yang tak ingin kukeluarkan lagi ini pun tumpah kembali. Ibu menarikku ke dalam dekapannya dan ikut menangis juga. 

Hanya beberapa menit aku terlarut dalam kesedihan. Teringat kini kami jadi tontonan. Aku mengurai pelukan Ibu lalu menoleh pada Mas Laksa dan Mbak Tini yang ternyata tengah memandang ke arah kami.

“Maaf, Mas. Sebentar, aku ambilkan minum.” 

Mas Laksa hanya mengangguk dengan pandangan yang tampak entah. Aku melihat sekilas rasa iba yang melintas. 

“Biar saya bantu, Mbak.” Mbak Tini yang tampaknya kasihan padaku juga, lekas bangun dari duduknya dan ikut mengantar.

“Di mana kopinya, Mbak Rara?” Mbak Tini jadinya yang sibuk membuatkan minum. Dia malah memintaku duduk saja dan mengawasi. Aku arahkan. Tak lama, dia sudah buat satu cangkir kopi dan dibawanya. Kakikku melambat ketika mendengar Ibu yang terdengar tengah bercerita.

“Sepulang dari villa waktu itu, pernikahannya batal, Nak. Orang sekampung mencemoohnya. Ayahnya meninggal karena terkena serangan jantung. Beruntung dia kuat dan tak bunuh diri. Dia depresi berat dan orang-orang mengatai Gila. Sakit sekali hati Ibu, Nak.” 

“Turut sedih mendengarnya, Bu.” 

“Yang Ibu sedihkan lagi. Setelah hampir dua setengah tahun berlalu, bahkan orang-orang sepertinya selalu merendahkan dia. Beberapa pemuda yang mencoba melamarnya selalu berakhir dengan terhalangnya restu dan tak jarang yang bahkan malah menghinanya.” 

Kedatanganku dan Mbak Tini membuat Ibu menghentikkan cerita dan mengulas kembali senyumannya. Dia selalu begitu. Ingin terlihat tegar di depanku. Namun, aku pun tahu hatinya terluka, sama sepertiku. 

Mbak Tini menyimpan gelas di depan Mas Laksa. Lalu dia kembali duduk. Aku juga lekas menjatuhkan bokongku pada kursi kayu yang ada di sana. Namun baru saja aku duduk suara ketukan pada daun pintu terdengar. 

“Biar Ibu saja yang buka, Ra.” Ibu bangkit dan melangkah ke arah pintu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status