Share

Bab 3

Penulis: Evie Yuzuma
last update Terakhir Diperbarui: 2023-02-21 08:53:55

“Ahm, dia bukan istri saya, Dok. Istri saya sudah meninggal, Dok.” Dia menjawab dengan senyum kecut. 

Aku menoleh terkejut, “J--jadi, Mbak Kesya sudah meninggal? Rasanya waktu terakhir ketemu masih sehat-sehat saja.” Namun, hanya mampu kuucap dalam diam. Karena setelah itu pun fokusku teralihkan untuk menjawab pertanyaan dokter yang memeriksa kakikku yang selain terkilir juga ada luka goresan.  

Pemeriksaan dokter pun usai, Mas Laksa pergi ke apotek sebentar untuk menebus obat buatku. Ada satu obat anti nyeri, salep dan sisanya aku tak paham. Katanya semua di minum sehari tiga kali. Setelah itu, mobil langsung melaju dan menuju ke rumahku yang berada tak jauh dari sini. 

Mobil terhenti di depan rumah. Rumahku tak besar, hanya ada dua kamar. Namun, semenjak aku dan Mbak Rahma besar, dulu Bapak merombak bagian teras depan dan menjadikan kamar itu untukku. Masih terdiri dari setengah dinding permanen saja, bagian atasnya dibuat dari triplek. 

“Makasih sudah nganter sampai rumah, Mas.” Aku mengulum senyum yang dipaksakan seraya hendak membuka pintu mobil dan turun. 

“Kamu tak menawari kami mampir, Ra?” Tanganku yang tengah mendorong daun pintu mobil terhenti dan menoleh pada lelaki itu. Lelaki yang sebetulnya masih asing bagiku dan hanya bertemu dua kali. Pertama pada saat pernikahannya dengan Mbak Keysa, kedua saat ulang tahun pernikahan mereka yang pertama. Sebelum Mbak Keysa diajaknya pindah ke kota. 

“Rumah saya jelek, Mas.” Aku menjawab apa adanya. Yang kudengar dari selentingan, dulu Mbak Keysa dijodohkan dengan seorang keluarga terpandang. Mamanya Mas Laksa adalah teman lama Mamanya Mbak Keysa. Hanya saja, tak terlalu paham sekaya apa keluarga mereka. Hanya saja memang ketika pernikahanpun sangat mewah dan pada saat ulang tahun pernikahannya pun sampai menyewa villa dan mengundang teman-teman dekatnya, termasuk Mbak Rahma yang mengajak aku turut serta. 

Tiba-tiba ada rasa pedih yang menelusup lagi. Andai saat itu aku tak ikut pergi ke acara ulang tahun pernikahan mereka, mungkin cerita hidupku tak seperti ini. Masih teringat jelas, awal kejadian naas kala itu.

*** 

“Mbak, kok kepalaku terasa berat banget, ya?” Aku memijat pelipis. Pisau yang sedang kupakai untuk mengiris bawang kusimpan. Aku hendak membuat sambel kecap ketika yang lain sibuk bakar ikan. 

“Kamu kecapekan kali, Ra. Ya sudah, istirahat saja di kamar.” Mbak Rahma berucap santai. 

“Kamar kita yang mana, Mbak?” Jujur, semenjak datang ke villa ini. Aku belum masuk ke kamar yang akan kami jadi tempat tidurku dengan Mbak Rahma. 

“Ya sudah, Mbak antar.” Mbak Rahma dengan sigap memapahku yang rasanya sudah setengah sadar karena kantuk yang begitu hebat. 

Akhirnya aku diantarnya ke sebuah kamar. Tak ingat jelas juga kamar sebelah mana, kantuk seberat ini baru pertama kali kurasa. Setelahnya aku terbaring di dalam kamar itu. Namun, tiba-tiba dalam setengah sadar aku merasa ada seseorang yang menindihku dan setelah aku bangun, aku sudah tak memakai apa-apa lagi dan semua pakaian sudah teronggok di lantai. Saat itulah kesucian yang kujaga untuk Mas Iwan yang akan jadi suamiku seminggu lagi terenggut paksa entah oleh siapa. 

Aku histeris ketika bangun dan membuat seluruh penghuni villa menuju kamarku. Aku yang shock tak sadar jika ternyata memang ada orang yang hendak menghancurkanku dengan menyebar video itu di sosial media. Dia mengunggah tubuh polosku yang penuh tanda merah dan menuliskan jika aku adalah korban tindakan asusila. 

“Ra, kenapa kamu ada di kamar saya?” Hanya pertanyaan Mbak Keysa--- istri Mas Laksa, yang kuingat kala itu.

Jadi, Mbak Rahma mengantarku ke kamar yang salah rupanya? Jadi, ini adalah kamarnya Mas Laksa dan Mbak Keysa?

Lalu, kenapa Aku berada di kamar mereka? Aku pun tak bisa menjawab pertanyaan itu dan masih tak bisa menemukan jawaban siapa yang sudah menodaiku dan menghancurkan semuanya.

*** 

“Humaira!” Kudengar suara Mas Laksa dan tangannya yang melambai ke depan wajahku. 

“Ahm, maaf, Mas. Mari kalau mau mampir.” Akhirnya aku memaksakan tersenyum dan lekas membuka pintu. 

Mas Laksa memutar tubuhnya dan turun. Dia membantuku berjalan dan memapahku. Semenjak dia memijit kakikku tadi, sudah tak sesakit semula dan bisa kupakai untuk jalan meski terpincang. 

“Assalamu’alaikum!” Aku mengucap salam. 

“Wa’alaikumsalam!” Kudengar suara Ibu yang menjawab. 

Tak berapa lama, daun pintu terbuka. Wajah Ibu muncul dan terkejut melihatku terpincang-pincang dan datang dengan seorang pria.

“Loh, tadi bukannya pergi sama Rustam, Ra? Mana dia? Kamu juga kenapa? Lalu ini siapa?” Rentetan pertanyaan terlontar pada mulut Ibu. Aku memaksakan diri untuk tersenyum. 

“Aku keserempet motor tadi di jalan, Bu. Mas Laksa yang menolongku.” Aku menjelaskan sekadarnya.

“Lalu Rustam ke mana? Bukannya dia mau kenalkan kamu ke keluarganya?” Ibu menatapku dan menghampiriku. Dia menggantikan Mas Laksa yang memapahku. 

Aku tak lekas menjawab pertanyaan Ibu, tetapi mempersilakan Mas Laksa, Mbak Tini dan Aidan masuk dulu. 

“Ra? Apa kejadiannya terulang lagi?” Ibu menatapku. Tanpa perlu kujelaskan sepertinya Ibu sudah paham dan bisa membaca apa yang terjadi dengan raut wajahku yang sendu. 

“Sudahlah, Bu. Ibu jangan pernah meminta aku untuk menerima lelaki manapun. Tak akan ada seorang keluarga pun yang mau menerima gadis bekas korban perkosaan yang pernah hampir gila.” Aku mengucap dengan suara begetar. Tanpa bisa kutahan, air mata yang tak ingin kukeluarkan lagi ini pun tumpah kembali. Ibu menarikku ke dalam dekapannya dan ikut menangis juga. 

Hanya beberapa menit aku terlarut dalam kesedihan. Teringat kini kami jadi tontonan. Aku mengurai pelukan Ibu lalu menoleh pada Mas Laksa dan Mbak Tini yang ternyata tengah memandang ke arah kami.

“Maaf, Mas. Sebentar, aku ambilkan minum.” 

Mas Laksa hanya mengangguk dengan pandangan yang tampak entah. Aku melihat sekilas rasa iba yang melintas. 

“Biar saya bantu, Mbak.” Mbak Tini yang tampaknya kasihan padaku juga, lekas bangun dari duduknya dan ikut mengantar.

“Di mana kopinya, Mbak Rara?” Mbak Tini jadinya yang sibuk membuatkan minum. Dia malah memintaku duduk saja dan mengawasi. Aku arahkan. Tak lama, dia sudah buat satu cangkir kopi dan dibawanya. Kakikku melambat ketika mendengar Ibu yang terdengar tengah bercerita.

“Sepulang dari villa waktu itu, pernikahannya batal, Nak. Orang sekampung mencemoohnya. Ayahnya meninggal karena terkena serangan jantung. Beruntung dia kuat dan tak bunuh diri. Dia depresi berat dan orang-orang mengatai Gila. Sakit sekali hati Ibu, Nak.” 

“Turut sedih mendengarnya, Bu.” 

“Yang Ibu sedihkan lagi. Setelah hampir dua setengah tahun berlalu, bahkan orang-orang sepertinya selalu merendahkan dia. Beberapa pemuda yang mencoba melamarnya selalu berakhir dengan terhalangnya restu dan tak jarang yang bahkan malah menghinanya.” 

Kedatanganku dan Mbak Tini membuat Ibu menghentikkan cerita dan mengulas kembali senyumannya. Dia selalu begitu. Ingin terlihat tegar di depanku. Namun, aku pun tahu hatinya terluka, sama sepertiku. 

Mbak Tini menyimpan gelas di depan Mas Laksa. Lalu dia kembali duduk. Aku juga lekas menjatuhkan bokongku pada kursi kayu yang ada di sana. Namun baru saja aku duduk suara ketukan pada daun pintu terdengar. 

“Biar Ibu saja yang buka, Ra.” Ibu bangkit dan melangkah ke arah pintu.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • SUDAH TAK PERAWAN   Bab 54 - End

    Bab 54 Sembilan bulan kemudian. Sosok ringkih bertubuh kurus itu menatap dengan air mata mengembun. Dia tak berani menghampiri kerumunan yang ada di sebuah rumah yang baru saja selesai di renovasi. Duduk di tepi jalan dengan wajah tertutup sebagian kerudungnya. Dia pun berpura-pura memunguti botol-botol minuman bekas agar tak dicurigai. Segerombolan para Ibu melewatinya sambil membawa tentengan dengan wajah sumringah. Mereka sibuk mengobrol sambil tertawa-tawa. “Gak nyangka, ya? Nasib Si Rara mujur banget. Dulu kita kira paling kalaupun ada yang mau, duda tua yang istrinya udah metong. Eh, malah dapet duda kaya yang tajir melintir dan tampannya gak ketulungan.” “Iya, bener. Bikin iri aja, ya. Ini bingkisannya juga pasti mahal ini harganya … udah kaya, suami ganteng, anak cantik, duit banyak, beuhh … mau dong diperkosa.” “Hush!” Lalu mereka bergelak tertawa. Perempuan yang tengah menyimak obrolan itu menghela napas panjang. Ada senyuman terukir tipis. Lalu dia pun beranjak meni

  • SUDAH TAK PERAWAN   Bab 53

    “Iya, Om … semoga Viola segera bisa mendapatkan kebahagiaan.” Laksa menjawab datar. “Hanya saja, kebahagiaan dia itu, kamu, Laksa … tolonglah datang … Om mohon … anggap saja ini permintaan Om yang terakhir. Datanglah ke sini dan kuatkan dia … dia butuh kehadiran kamu, Laksa … dia butuh kamu.” Laksa menghela napas kasar. Ada rasa kemanusiaan yang tersentil, tetapi ada sebuah perasaan yang kini harus aku kedepankan juga yaitu perasaan istrinya, Humaira. “Maaf, Om. Saya tidak bisa. Ada perasaan istri saya yang harus dijaga.” Sambungan telepon diputus sepihak oleh Om Wisnu, tanpa ada kata-kata apapun lagi. Laksa tak ambil pusing. Dia langsung beralih pada setumpuk pekerjaan dan mengabaikan hal-hal yang menurutnya tak penting. Termasuk urusan Viola. *** Di tempat yang berbeda. Ibu menatap Mbak Rahma. Tubuhnya yang kurus kering tampak memprihatinkan. Kondisinya mentalnya perlahan membaik karena bantuan dari Rara yang mengkover biaya berobat pada psikolog. Ha

  • SUDAH TAK PERAWAN   Bab 52

    Kukecup keningnya lama. Perempuan yang namanya kini mulai memenuhi relung hati itu kubaringkan di atas tempat tidur. Wajahnya tampak sekali begitu menggemaskan dan bikin kangen.“Jangan banyak gerak, ya, Sayang. Kalau butuh apa-apa bisa minta tolong sama Mas.” Bukannya menjawab, sepasang bola bening itu hanya menatapnya dengan berkedip-kedip saja. Ada senyuman terkulum pada bibir merahnya yang tampak ranum. Kalau sudah begini, rasanya dunia ingin kuperintahkan saja untuk berhenti berputar. Perlahan aku menunduk, memangkas jarak untuk menyentuh bibir ranumnya. Dia tak menolak, sepasang mata itu berubah menjadi teduh. Amarah dan rasa bencinya sepertinya sudah berlari dan kini bahkan tangannya perlahan mengalung pada leherku.Krieeet!Suara daun pintu membuat aktivitasku berhenti begitu saja. Bersamaan dengan itu suara yang sangat kuhapal terdengar.“Laksa … bisa Mama bicara.” “Ahm, iy--Iya, Ma.” Sedikit gugup. Wajah Rara tampak merona, mungkin ada rasa malu ketika ketahuan sedang ber

  • SUDAH TAK PERAWAN   Bab 51

    POV 3“Andai iya, apa betul Mas bisa melakukannya?” Rara bertanya tanpa menatap wajahnya. Mas Laksa menggenggam jemari itu kian erat. Sebelum menjawab, dia tampak memejamkan mata. Namun tak lama, sebuah anggukan menjadi jawaban. “Maaf, Mas. Aku hanya ingin dengar itu. Andai pun kamu masih belum siap. Aku tak apa.” Rara berucap lirih. “Aku sudah memutuskan semuanya, Sayang.” Senyum pada bibirnya tersungging dan kehangatan tatap yang merebak membuat hati Rara yang awalnya takut, kacau dan galau perlahan menghangat. “Mas, Sayang kamu, Ra.” Mas Laksa pun mengucapkan dengan tatap penuh ketulusan. Belum sempat Rara menjawab, pintu ruangan didorong dari luar. Seorang perawat masuk membuat kamu menoleh ke arahnya. “Selamat siang, mohon izin periksa dulu, ya.” Mas Laksa mengangguk, lalu beranjak menjauh dan membiarkan perawat it memeriksa Rara. Setelahnya dia kembali meninggalkan ruangan.Hanya habis satu botol infusan hingga akhirnya Mas Laksa memboyong Rara pulang. Waktu sudah pukul

  • SUDAH TAK PERAWAN   Bab 50

    Suara obrolan, bau yang tak asing dan genggaman hangat yang kurasakan pada akhirnya membuat kegelapan ini perlahan sirna. Aku membuka mata perlahan. Kepala masih terasa sangat berat. “Alhamdulilah … akhirnya sadar ….” Suara itu, aku sudah tahu pemiliknya. Hanya saja memang pandanganku masih kabur dan perlahan menyesuaikan hingga senyuman hangat dan tatapan teduh itu berjarak begitu dekat. Dia menatapku dengan lekat. “Nanti Bapak bantukan suapi pasiennya, ya, Pak! Kami tinggal dulu.” Suara seorang perempuan mengalihkan tatapanku. Tampak seorang perempuan dengan pakaian suster berdiri sambil memegang botol minyak kayu putih di tangannya. “Baik, Sus. Terima kasih.” Suster itu pun pergi, meninggalkanku dengan dia hanya berdua di ruangan ini. Dia mengambil gelas berisi air hangat lalu membantuku minum. Setelahnya tangannya beralih pada tray makanan. “Makan dulu ya, Sayang ….” Mas Laksa mengambil tray makanan. Baunya tercium seperti amis ikan dan seketika membuat perutku memberontak.

  • SUDAH TAK PERAWAN   Bab 49

    BAB 49 - Pov LaksaJika aku membawa mobil dalam keadaan paling cepat, maka itulah sekarang. Memikirkan Humaira yang tak kunjung ditemukan membuatku seperti kesetenanan. Bahkan sejak tadi tuas gas kuinjak begitu dalam. Beberapa kali hampir mengenai pengemudi yang kadang menyebrang mendadak. Kontrol emosiku benar-benar sudah tidak berada pada takarannya. Dikarenakan berkendara dengan kecepatan tinggi, pada akhirnya aku sudah memasuki lagi, tempat di mana keberadaan Humaira dicurigai. Hanya saja, mobilku kali ini sedikit tersendat oleh kondisi pasar yang mulai ramai. Decitan rem yang nyaring menjadi pilihan ketika hampir saja mobilku menabarak penyebrang jalananan. Aku terkesiap dan mengumpulkan rasa syukur ketika melihat dia tak kenapa-kenapa. Rasa kantuk dan lelah memang mulai terasa setelah semalaman melakukan pencarian yang melelahkan. Aku tengah menetralkan rasa terkejut ketika mata ini tiba-tiba menangkap sosok yang tengah mematung di tepi jalan. Kedua netra beningnya tengah men

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status