Share

Bab 4

“Biar Ibu saja yang buka, Ra.” Ibu bangkit dan melangkah ke arah pintu.

“Assalamu’alaikum, Bu!” Suara perempuan terdengar. Rupanya Mbak Rahma---kakak seayah tapi beda ibu yang datang.

Aku menunduk. Selalu sakit jika melihat dia. Bagaimana tidak, dialah orang yang menggantikanku menikah dengan Mas Iwan setelah aku kehilangan segalanya.

“Wa’alaikumsalam!” Kami menjawab serempak. Aku mencoba bersikap biasa ketika wajahnya menyembul. Benar saja, dia bersama lelaki yang hampir saja menjadi suamiku dulu. Mas Iwan melirik sekilas ke arahku, aku memilih menunduk.

“Sehat, Mbak?” Aku bangkit dan menyalaminya, memasang wajah tersenyum. Seperti biasa dia memelukku.

“Mbak sama Mas Iwan baik, Ra. Dedek juga baik.” Dia mengusap perutnya setelah pelukan kami terlepas. Perih rasanya, seolah dia hendak menunjukkan kebahagiaannya di depanku. Ah, itu hanya perasaanku saja. Mungkin karena luka di dalam sini masih lebar menganga.

“Semoga jadi anak soleh, Nak!” tukasku seraya mengusap perut besarnya.

Aku tahu betapa sulit perjuangannya untuk mendapatkan momongan selama dua setengah tahun ini. Meski jujur, dalam hati selalu ada desir perih. Bukan iri atas kebahagiaan dia. Namun, lagi-lagi aku hanya manusia biasa.

Mbak Rahma pun menikahi Mas Iwan karena menyelamatkan muka keluarga. Bagaimanpun undangan sudah tersebar dan persiapan nikah sudah selesai sembilan puluh persen kala itu. Dia menjadi pengantin perempuan pengganti untuk lelaki yang dulu akan menjadi suamiku.

Dia baru hendak duduk pada kursi yang kosong ketika menoleh pada Mas Laksa yang bangkit juga dan tengah bersalaman dengan Mas Iwan. Namun, entah kenapa aku melihat jika Mbak Rahma tampak kaget luar biasa ketika melihat sosok lelaki yang hampir dua setengah tahun lalu hanya bertemu dengan kami di perayaan ulang tahun pernikahannya di villa itu.

“Sehat Rahma?”

Suara Mas Laksa membuat wajah Mbak Rahma terkejut. Dia tampak kikuk, seperti gugup dan panik ketika menjabat tangan Mas Laksa yang terulur padanya.

“M--Mas L--Laksa?” Bukannya menjawab, tetapi dia malah balik bertanya.

“Iya, Rahma … saya Laksa. Masa kamu lupa sama suami teman sendiri.” Dia terkekeh.

Kulihat Mbak Rahma menelan saliva. Lantas melirik ke arahku yang bingung melihat gelagatnya.

“Sehat, Mas. Gimana kabar kalian?” tanya Mbak Rahma setelah tampak berusaha menenangkan diri.

“Kami baik, Rahma. Hanya Aidan lagi nangis terus kangen Mamanya. Jadi Saya ajak ke rumah neneknya yang di sini sekalian ziarah ke makam Keysa.” Mas Laksa menjelaskan.

“Turut sedih, Mas. Gak nyangka ya, umur Keysa tak panjang. Semoga Aidan cepat dapat ganti Mama ya, Nak, ya.” Mbak Rahma mengusap kepala Aidan yang tengah bergelendot pada Mbak Tini.

“Tanah kuburan Keysa saja masih basah, Rahma. Baru empat puluh harinya. Saya belum memikirkan penggantinya.” Mas Laksa menjawab dengan wajah tampak sedih.

“Ah, syukurlah.”

Ucapan Mbak Rahma terdengar lirih. Namun kalimat itu yang seolah dia ucapkan sendiri justru mengundang tanya dalam benakku. Kenapa harus bersyukur kalau Mas Laksa belum memikirkan untuk mencari pendamping? Apa dia pikir tadi itu, Mas Laksa mau melamarku?

Mas Iwan duduk lesehan. Mas Laksa pun tampak memilih pindah dan dua lelaki itu mengobrol. Mbak Rahma duduk dan menyandarkan tubuhnya pada kursi.

“Kok bisa Mas Laksa ke sini, Bu?” Mbak Rahma melirik ke arah Ibu.

“Nganterin Rara.” Pertanyaan Ibu yang singkat membuat kedua bola mata Mbak Rahma membeliak. Lantas dia menoleh ke arahku.

“Kok bisa, Ra?” tanyanya.

“Ya bisa lah. Kan pakai mobil ke sininya.” Aku enggan menjelaskan. Sengaja kujawab asal.

“Maksud Mbak, kok bisa kamu di anter sama dia? Bukannya kamu lagi jalan sama Rustam?” Dia memicing menatapku.

“Aku sudah selesai sama Mas Rustam.” Aku menjawab enggan. Pedih lagi terasa kalau teringat kalimat demi kalimat yang dilontarkan ibunya Mas Rustam.

“Selesai lagi ... yang sabar, ya, Ra.”

Hanya itu kata yang Mbak Rahma lontarkan. Aku hanya tersenyum miris.

Ya, aku juga tahu, hanya sabar dan doa yang bisa kulakukan. Berdoa pada Allah agar hatiku kuat ketika menghadapi semua keinginan yang tak sesuai harapan. Berdoa agar hatiku yang remuk tetap memilih hidup ketika melihat kebahagiaan Mbak Rahma dengan lelaki yang harusnya jadi suamiku pamerkan. Berdoa agar aku bisa berdiri tegar dan membahagiakan Ibu. Berdoa agar tetap bisa waras di balik semua cemoohan yang kuterima.

Setelah beberapa lama. Mas Laksa pamit pulang. Dia mengeluarkan beberapa lembar merah dan disodorkan padaku.

“Ra, mohon diterima, ya.”

Aku melongo. Lalu kutautkan alis dan menatapnya.

“Untuk?”

Dia menggaruk tengkuk baru berbicara.

“Takutnya kaki kamu belum sembuh. Buat ke dokter lagi.” Dia memberikan menjelasan. Tangan itu masih mengambang memegang uang.

“Insya Allah … sudah sembuh, Mas. Gak usah.” Aku mendorong tangannya yang mengambang.

“Tapi aku merasa, aku harus tanggung jawab, Ra. Gimana kalau kaki kamu kenapa-kenapa?” Dia tampak cemas.

“Insya Allah. Aku akan baik-baik saja, Mas.”

Akhirnya dia pun beranjak pulang. Aku melambaikan tangan dan mematung di depan pintu menatap kepergian mereka.

“Ra, kami juga mau pulang.” Mbak Rahma sudah berdiri di belakangku.

“Mbak, aku mau bicara bentar, bisa?” tanyaku menatapnya.

“Bicara apa?” tanyanya.

Aku melihat jika di ruang tengah Mas Iwan masih ada dan tengah meneguk kopinya. Lantas kutarik tangan Mbak Rahma dan menjauh ke arah dapur.

“Mau tanya apa sih, Ra? Masa ngomongnya sampai harus di dapur?” protesnya.

“Mbak, tadi aku lihat ekspresi Mbak kaget banget ketika lihat Mas Laksa. Apa ada hal yang selama ini Mbak tahu dan Mbak sembunyikan dariku?” desakku.

Wajah Mbak Rahma tampak terkejut. Tangannya memegang ujung hidung lalu bola matanya memutar seolah tengah mencari sebuah jawaban.

“Mbak, jawab, Mbak! Apa Mbak tahu sesuatu mungkin … kejadian dua setengah tahun lalu kan terjadi di villa Mas Laksa … apa Mbak tahu sesuatu?” Aku mendesaknya. Entah kenapa tiba-tiba feelingku mengarah ke sana.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status