"Sheena!" Lamunan Sheena pun buyar begitu suara Vernon menggema di telinganya. "Hm?" Sheena langsung mengalihkan pandangannya dari Berlin dan Devan yang berdiri tak jauh di seberang sana.Vernon melirik ke arah tempat yang dilihat oleh Sheena, dan melihat dengan jelas sosok Devan dan Berlin. "Kau ingin menyapa mantan kekasihmu dan juga saudaramu?" cibir Vernon menggoda Sheena."Cih, saudara apanya? Aku tidak kenal!" sergah Sheena tak memiliki niat sedikit pun mengenal akrab Berlin, apalagi setelah wanita itu mendapat omelan dari sang ibu.Saat ini Vernon dan Sheena tengah berkeliling di pusat perbelanjaan untuk membeli barang-barang baru bagi Sheena. Sheena kembali meninggalkan rumah dan tak jadi mengambil barangnya di rumah sang ibu, usai ia terlibat pertengkaran kecil dengan Nyonya Firda.Dengan menggunakan uang simpanan Vernon, Vernon pun berbaik hati membelikan barang kebutuhan Sheena dan akan mengajak Sheena untuk tinggal bersama dengannya."Kita pergi saja! Melihat orang-orang
Devan dan Vernon mengamati Sheena dan Berlin dari kejauhan tanpa berani mendekat. Kedua pria itu terus melirik ke arah Berlin yang mencoba mengajak Sheena berbicara baik-baik.Kedua wanita itu duduk di meja yang terdapat di pojokan cafe, sementara Devan dan Vernon duduk di bangku yang cukup jauh dari meja Berlin. "Menurutmu apa yang akan dibahas oleh Berlin dengan Sheena?" tanya Devan pada Vernon meminta pendapat."Hm? Entahlah! Mereka anak kandung dan anak angkat dari Nyonya Firda, kan? Kedua wanita itu juga memperebutkan pria yang sama, bukan? Pasti ada banyak hal yang bisa dibahas oleh Berlin dan juga Sheena," tukas Vernon."Meskipun tidak mengenal secara langsung, tapi mungkin kalau hanya sekedar nama saja, kau pasti tahu, kan? Aku Berlin. Kau Sheena, kan?" Berlin mulai membuka perbincangan ringan dengan anak angkat dari orang tua kandungnya itu.Sheena hanya diam dan menatap sinis ke arah Berlin. Pertama kali Sheena melihat Berlin adalah saat Sheena dirawat di rumah sakit, bersam
“Ayah, ayo cepat!” Nyonya Sella menarik tangan sang suami dan hendak mengajak Tuan Wildan untuk mengunjungi keluarga Berlin, yaitu Nyonya Firda dan Tuan Mahesa. Apalagi alasan Nyonya Sella mengunjungi Nyonya Firda dan keluarga jika bukan untuk membahas tentang pernikahan Berlin serta Devan.“Kita tidak akan mengajak Devan? Ada baiknya, kita lamar dulu Berlin untuk Devan sebelum membahas tentang pernikahan seperti ini,” tukas Tuan Wildan ingin membantu sang putra melewati tahapan yang benar sebelum meresmikan hubungan dengan Berlin.Nyonya Sella tentu tidak akan melibatkan Devan. Wanita paruh baya itu tahu jika Devan hanya akan mengomel padanya jika Nyonya Sella ikut campur. Daripada mendengar penolakan Devan dan omelan putranya, lebih Nyonya Sella bertindak seorang diri dan langsung menembak orang tua Berlin.“Abaikan saja Devan! Ibu tidak ingin mendengar suara cerewet Devan,” cetus Nyonya Sella.Tuan Wildan sendiri juga hanya akan memancing keributan, jika dirinya berbicara dengan pu
"Kenapa kau terus saja melamun selama beberapa hari ini? Kau sedang tidak enak badan?" tegur Devan pada Berlin.Berlin yang tengah menatap jendela dengan tatapan kosong, segera menyadarkan diri dari lamunan dan melirik Devan yang sudah duduk di sampingnya. "Tidak. Aku tidak melamun," cetus Berlin."Kau gugup?" tanya Devan lagi.Tentu saja Berlin sangat gugup menyambut hari bahagianya yang akan datang esok hari. Ya, besok dirinya akan menikah dengan Devan. Berlin akan menjadi pengantin.Devan sudah menyiapkan sebuah pesta kecil untuk Berlin, sebelum keluarga besar mereka membuatkan pesta untuk mereka. Devan sengaja ingin membuat acara sendiri yang sesuai dengan keinginannya. Meskipun pada akhirnya nanti, Devan harus menuruti keinginan kedua orang tuanya, tapi setidaknya ia juga ingin memiliki kesempatan untuk merancang acaranya sendiri. "Aku hanya menyiapkan pesta kecil yang akan dihadiri oleh keluarga inti saja. Tidak apa-apa, kan? Setelah itu, masih akan ada acara yang dibuat oleh
Plak!Satu tamparan mendarat keras di pipi gadis cantik berambut panjang yang berpakaian minim di sebuah kamar hotel berbintang.Gadis itu mengusap pipinya yang hampir memerah karena tamparan keras dari wanita paruh baya yang tengah dilanda kemelut amarah."Siapa gadis ini, Pa?!" sentak wanita paruh baya itu pada pria tua yang bertelanjang dada di samping sang gadis.Pria tua itu hanya menundukkan kepala, tak berani menjawab teriakan dari wanita paruh baya yang tak lain adalah istrinya."Pergi dari sini! Jika aku sampai melihatmu lagi di tempat yang sama dengan suamiku, aku tidak akan segan-segan menggilasmu dengan ban mobilku!" ancam wanita paruh baya itu.Gadis malang bersama Berliana itu hanya menurut tanpa menanggapi omelan dari wanita tua itu. Gadis yang kerap disapa dengan nama Berlin itu segera mengemasi barangnya dan keluar dari kamar hotel dengan tangan kosong."Sial! Pelangganku hilang lagi!" gerutu Berlin kesal melihat satu
Hari masih menunjukkan pukul lima pagi hari, namun Berlin sudah bersiap dengan buku-buku serta sepatu tuanya.Gadis itu mengenakan kemeja seadanya dan menggendong tas kecil berisi buku-buku yang akan dibawanya berkelana ke tempatnya menimba ilmu.Alasan utama Berlin berangkat begitu pagi ke kampus adalah demi sarapan gratis berupa satu bungkus roti serta satu kotak susu yang disediakan oleh kampusnya setiap pagi."Jangan sampai aku kehabisan roti lagi!" gumam Berlin dengan semangat membara berlari menuju kampusnya yang berjarak kurang lebih dua kilometer dari apartemen tempatnya tinggal.Berbeda dengan penampilannya yang menor dan memakai make up tebal di malam hari, busana yang dikenakan Berlin menuju kampus benar-benar berbanding terbalik dengan tampilannya saat berkencan dengan sugar daddy.Pakaian Berlin di kampus sangatlah sederhana dan jauh dari kata modis. Gadis itu hanya mengenakan kemeja, dipadukan dengan jeans k
"Berlin, kan?" tanya pria itu lagi.Berlin hanya mengangguk tanpa bersuara. Gadis itu menundukkan kepala dalam-dalam dan berusaha menyembunyikan wajahnya dari Devandra."Ayo, masuk!" ujar pria berusia dua puluh delapan tahun itu.Berlin nampak bingung bagaimana ia harus bersikap di depan Devan.Tentu gadis itu tak ingin identitasnya sebagai sugar baby diketahui oleh orang lain, terutama oleh orang yang ia temui di kampus.Devan bisa menjadi ancaman besar bagi Berlin jika pria itu sampai mengenalinya dan menyebarkan cerita yang tidak-tidak ke seluruh kampus mengenai dirinya yang menjadi sugar baby pria kaya."Ayo!" ajak Devan memberanikan diri menarik tangan halus Berlin untuk masuk ke dalam mobilnya.“Orang ini tidak akan mengenaliku, kan? Penampilanku saat ini sangat berbeda dengan tampilanku saat di kampus. Tidak mungkin dia bisa mengenaliku. Dia hanya sempat melihat wajahku sekilas sore tadi. Sehar
"Berlin!" panggil Sarah sembari berjalan menghampiri sang teman."..."Tak ada sahutan apapun dari gadis cantik yang tengah didatangi oleh Sarah itu. Berlin diam mematung dan sibuk menatap Devan yang sudah berjalan semakin jauh darinya."Berlin!" panggil Sarah lagi dengan teriakan agak kencang.Sudah hilang kesabaran karena tak kunjung mendapat jawaban, Sarah pun menjitak kepala Berlin dengan kesal hingga lamunan gadis itu pun buyar seketika."Aww!" pekik Berlin sembari memegangi kepalanya yang menjadi korban keganasan Sarah."Kau ini kenapa?" omel Berlin pada Sarah."Kau yang kenapa? Pelangganmu sudah menunggu!" omel Sarah balik sembari menarik tangan sang teman menuju tempat sugar daddy baru Berlin."Bagaimana? Lumayan, kan? Bukan pria tua dan kau bisa mendapatkan banyak uang," bisik Sarah.Mood Berlin sudah terlanjur berantakan setelah ia mendengar perkataan Devan. Rasa cemas dan gelisah yang mulai b