"Kenapa kau terus saja melamun selama beberapa hari ini? Kau sedang tidak enak badan?" tegur Devan pada Berlin.Berlin yang tengah menatap jendela dengan tatapan kosong, segera menyadarkan diri dari lamunan dan melirik Devan yang sudah duduk di sampingnya. "Tidak. Aku tidak melamun," cetus Berlin."Kau gugup?" tanya Devan lagi.Tentu saja Berlin sangat gugup menyambut hari bahagianya yang akan datang esok hari. Ya, besok dirinya akan menikah dengan Devan. Berlin akan menjadi pengantin.Devan sudah menyiapkan sebuah pesta kecil untuk Berlin, sebelum keluarga besar mereka membuatkan pesta untuk mereka. Devan sengaja ingin membuat acara sendiri yang sesuai dengan keinginannya. Meskipun pada akhirnya nanti, Devan harus menuruti keinginan kedua orang tuanya, tapi setidaknya ia juga ingin memiliki kesempatan untuk merancang acaranya sendiri. "Aku hanya menyiapkan pesta kecil yang akan dihadiri oleh keluarga inti saja. Tidak apa-apa, kan? Setelah itu, masih akan ada acara yang dibuat oleh
Plak!Satu tamparan mendarat keras di pipi gadis cantik berambut panjang yang berpakaian minim di sebuah kamar hotel berbintang.Gadis itu mengusap pipinya yang hampir memerah karena tamparan keras dari wanita paruh baya yang tengah dilanda kemelut amarah."Siapa gadis ini, Pa?!" sentak wanita paruh baya itu pada pria tua yang bertelanjang dada di samping sang gadis.Pria tua itu hanya menundukkan kepala, tak berani menjawab teriakan dari wanita paruh baya yang tak lain adalah istrinya."Pergi dari sini! Jika aku sampai melihatmu lagi di tempat yang sama dengan suamiku, aku tidak akan segan-segan menggilasmu dengan ban mobilku!" ancam wanita paruh baya itu.Gadis malang bersama Berliana itu hanya menurut tanpa menanggapi omelan dari wanita tua itu. Gadis yang kerap disapa dengan nama Berlin itu segera mengemasi barangnya dan keluar dari kamar hotel dengan tangan kosong."Sial! Pelangganku hilang lagi!" gerutu Berlin kesal melihat satu
Hari masih menunjukkan pukul lima pagi hari, namun Berlin sudah bersiap dengan buku-buku serta sepatu tuanya.Gadis itu mengenakan kemeja seadanya dan menggendong tas kecil berisi buku-buku yang akan dibawanya berkelana ke tempatnya menimba ilmu.Alasan utama Berlin berangkat begitu pagi ke kampus adalah demi sarapan gratis berupa satu bungkus roti serta satu kotak susu yang disediakan oleh kampusnya setiap pagi."Jangan sampai aku kehabisan roti lagi!" gumam Berlin dengan semangat membara berlari menuju kampusnya yang berjarak kurang lebih dua kilometer dari apartemen tempatnya tinggal.Berbeda dengan penampilannya yang menor dan memakai make up tebal di malam hari, busana yang dikenakan Berlin menuju kampus benar-benar berbanding terbalik dengan tampilannya saat berkencan dengan sugar daddy.Pakaian Berlin di kampus sangatlah sederhana dan jauh dari kata modis. Gadis itu hanya mengenakan kemeja, dipadukan dengan jeans k
"Berlin, kan?" tanya pria itu lagi.Berlin hanya mengangguk tanpa bersuara. Gadis itu menundukkan kepala dalam-dalam dan berusaha menyembunyikan wajahnya dari Devandra."Ayo, masuk!" ujar pria berusia dua puluh delapan tahun itu.Berlin nampak bingung bagaimana ia harus bersikap di depan Devan.Tentu gadis itu tak ingin identitasnya sebagai sugar baby diketahui oleh orang lain, terutama oleh orang yang ia temui di kampus.Devan bisa menjadi ancaman besar bagi Berlin jika pria itu sampai mengenalinya dan menyebarkan cerita yang tidak-tidak ke seluruh kampus mengenai dirinya yang menjadi sugar baby pria kaya."Ayo!" ajak Devan memberanikan diri menarik tangan halus Berlin untuk masuk ke dalam mobilnya.“Orang ini tidak akan mengenaliku, kan? Penampilanku saat ini sangat berbeda dengan tampilanku saat di kampus. Tidak mungkin dia bisa mengenaliku. Dia hanya sempat melihat wajahku sekilas sore tadi. Sehar
"Berlin!" panggil Sarah sembari berjalan menghampiri sang teman."..."Tak ada sahutan apapun dari gadis cantik yang tengah didatangi oleh Sarah itu. Berlin diam mematung dan sibuk menatap Devan yang sudah berjalan semakin jauh darinya."Berlin!" panggil Sarah lagi dengan teriakan agak kencang.Sudah hilang kesabaran karena tak kunjung mendapat jawaban, Sarah pun menjitak kepala Berlin dengan kesal hingga lamunan gadis itu pun buyar seketika."Aww!" pekik Berlin sembari memegangi kepalanya yang menjadi korban keganasan Sarah."Kau ini kenapa?" omel Berlin pada Sarah."Kau yang kenapa? Pelangganmu sudah menunggu!" omel Sarah balik sembari menarik tangan sang teman menuju tempat sugar daddy baru Berlin."Bagaimana? Lumayan, kan? Bukan pria tua dan kau bisa mendapatkan banyak uang," bisik Sarah.Mood Berlin sudah terlanjur berantakan setelah ia mendengar perkataan Devan. Rasa cemas dan gelisah yang mulai b
Berlin duduk termenung di pelataran rumah sakit di malam yang dingin. Waktu baru menunjukkan pukul tiga dini hari. Namun gadis itu tak dapat mengistirahatkan tubuh penatnya setelah beraktivitas seharian penuh.Bola matanya terus tertuju pada lembar kertas yang ada di genggaman tangannya. Dilihatnya angka-angka yang tertera pada kertas itu dengan seksama."Satu miliar? Dari mana aku bisa mendapatkan uang sebanyak itu? Kenapa bunganya bisa mengembang sampai sebanyak ini?" oceh Berlin mengomel seorang diri bersama kertas-kertas bertuliskan nominal uang yang belum pernah dilihatnya."Haruskah aku pergi ke dukun? Ikut pesugihan? Jaga lilin?" gerutu Berlin.Gadis itu menendangi kerikil yang berserakan di kakinya dengan kesal. Berlin mulai dibuat pusing dengan hutang yang seharusnya bukan menjadi tanggungjawabnya. Namun jika ia tidak melakukan sesuatu, Bu Wanda dan adik-adik asuhnya terpaksa harus meninggalkan panti karena penyitaan dari pihak pemberi pinjaman.
Berlin duduk termenung di toilet umum sembari menatap kartu nama Devan dengan gelisah. Gadis itu masih dilanda kegalauan untuk memutuskan akan menghubungi Devan atau tidak."Apa tidak aneh jika aku tiba-tiba menghubunginya?" gumam Berlin bimbang.Gadis itu melirik ke arah arloji kecil yang melingkar di pergelangan tangannya. Waktu sudah menunjukkan pukul tiga sore hari. Berlin harus segera mendapatkan uang untuk biaya rumah sakit serta mengurus panti asuhan yang akan segera digusur.Gadis itu tak lagi memiliki banyak pilihan selain merampok pria kaya dengan cara halus."Coba saja dulu! Ayolah, Berlin! Tidak ada waktu lagi! Kalau ini tidak berhasil, aku akan menjual ginjal saja!" gumam Berlin menggebu-gebu.Berlin mulai sibuk memainkan ponselnya dan bersiap untuk menghubungi Devan. Dengan jantung berdegup kencang, gadis itu memberanikan diri menghubungi pria asing yang memberikan kartu nama padanya secara cuma-cuma."Halo?"&ldq
Tepat pukul lima sore, Berlin sudah berdiri di depan hotel yang akan menjadi tempat untuk kencan pertamanya bersama Devan.Gadis itu terus celingukan kesana-kemari dengan gelisah dan berusaha mencari sosok Devan yang tak kunjung muncul untuk menjemput dirinya."Pria itu tidak akan menipuku, kan? Hanya dia satu-satunya harapanku sekarang," gumam Berlin makin bertambah gelisah menanti kedatangan Devan.Sudah satu jam lamanya Berlin menunggu, namun pria yang dinanti-nantinya tak juga muncul menyapa dirinya."Riasanku sudah hampir luntur!" gerutu Berlin jengkel.Sementara di tempat lain, Devan terlihat duduk dengan santai sembari menyeruput secangkir kopi yang ada di tangannya. Manik mata pria itu tampak fokus menatap monitor yang menyuguhkan wajah Berlin sebagai bintang di la