“Bergeraklah!”
Pria berkulit keriput dan berambut jarang itu menggeram marah pada wanita yang berbaring telanjang di bawah tubuhnya. Pinggulnya bergerak mendesak, tapi reaksi yang diterimanya tidak memuaskan.
“Bergerak bagaimana, Barnet?” Mae mencoba bergeser agar posisinya lebih nyaman, tapi bukan itu yang diinginkan suaminya.
“Setidaknya, tampaklah seperti menginginkanku! Sialan!”
Lumatan di bibir diikuti remasan kuat datang. Usaha putus asa untuk membuat Mae mendesah—atau melenguh agar terlihat menikmati kegiatan itu.
Namun, alih-alih desahan, Mae mengernyit kesakitan. Barnet bergerak lebih cepat, ingin memuaskan hasrat, diiringi sentuhan dan aneka ragam belaian, tapi Mae hanya menanggapi seadanya.
Ia membalas ciuman basah yang beraroma sherry dan keju itu, bibirnya bergerak, terlihat menikmati. Hanya terlihat saja tapi. Ciuman itu terasa tidak jauh berbeda seperti saat Mae menempelkan ikan basah di bibirnya.
Mae juga mencoba memeluk pinggang kurus dengan kedua tangan—mencoba terlihat hangat, tapi semua itu tetap tidak memuaskan.
“Kau kering!” bentak Barnet, mulai marah, dan menggerakkan tubuhnya dengan semakin brutal. Memaksakan agar Mae merasakan sesuatu, sudah putus asa melihat tanggapan dingin itu.
Mae tidak menanggapi bentakan itu—hanya bergerak sesuai ayunan tubuhnya. Mae tidak akan mengeluh, rasa sakit itu biasa, karena memang selalu seperti itu.
Amarah saat diatas ranjang bukan hal baru dalam pernikahan mereka, maupun pernikahan Mae yang sebelumnya.
“Kau seharusnya memuaskanku! Apa ini?!” Barnet semakin marah dan mempercepat gerakan pinggangnya—semakin menyakiti, tapi Mae hanya menggigit bibir, menahan keluhan.
Suara yang terdengar di kamar itu kini tinggal tarikan napas Barnet yang berusaha memuaskan diri. Terengah, dan dalam. Untuk ukuran ukuran pria berusia tujuh puluh lebih, Barnet memiliki libido yang lumayan. Paling tidak dua kali seminggu mereka melakukannya.
“Aku mencintaimu, Mae. Aku mohon.” Setelah marah, Barnet memohon. Ingin Mae menerimanya dengan rela, ingin Mae menikmatinya juga.
“Aku juga, Barnet,” bisik Mae tanpa rasa, sambil kembali memeluk pinggang Barnet. Ia memejamkan mata, berharap pedih diantara kedua pahanya akan berkurang. Permohonan Barnet tidak mengubah keadaan, Mae tidak menikmati apa pun.
“Mae… Mae…”
Barnet membisikkan nama Mae, dan terus bergerak, tapi menjadi pelan. Napasnya semakin keras, tapi gerakannya semakin pelan.
Mae membuka mata, karena pedihnya berkurang—padahal seharusnya belum. Barnet biasanya bisa bertahan paling tidak lima menit. Terasa sudah sangat lama, tapi Mae tahu belum ada tiga menit sejak dirinya berbaring di ranjang itu.
“Barnet?” Mae menepuk punggung Barnet perlahan, dan masih terdengar napas yang sulit.
“Barnet!” Mae mulai panik, saat merasakan beban tubuh Barnet menimpanya. Tangan Barnet tidak lagi menahan beban tubuhnya sendiri.
“BARNET!” Mae memekik saat tubuh Barnet terguling ke samping. Pria itu tidak lagi sadar. Ia berbaring meringkuk di antara selimut dengan wajah berwarna merah.
Mae menepuk punggungnya beberapa kali, memanggil namanya, lalu melompat untuk mengambil ponsel—memanggil ambulans. Ia tidak menemukan napas Barnet.
Kematian Barnet mungkin sudah diharapkannya, tapi bukan dengan cara mengejutkan seperti ini, dan pria itu masih sehat seharusnya.
***
“Keluarga Barnet Jones?”
Mae maju—akan menghampiri dokter yang baru saja memanggilnya itu, tapi langkahnya terhenti saat ada suara menyahut dari belakangnya.
“Kami! Kami keluarganya!”
Mae tidak perlu berpaling, ia tahu siapa yang menyahut. Kedua anak Barnet. Mereka tidak melirik ke arah Mae, dan Mae tidak memanggil juga, tapi mengikuti dalam diam.
“Anda siapa?” tanya dokter itu.
“Anaknya! Aku putri Barnet Jones!”
Wanita paling depan memekik keras, sambil maju. Rambutnya keriting dan pirang gelap, berusia sekitar empat puluh—jauh lebih tua dari Mae yang baru menginjak dua puluh empat bulan lalu.
“Saya dokter yang menangani pasien, dan dengan sangat menyesal, saya harus menginformasikan kalau Mr. Jones dinyatakan meninggal dunia.”
Dokter itu menyampaikan dengan lembut dan wajah penuh duka cita. Bukan sesuatu yang mengejutkan untuk Mae. Ia semakin yakin Barnet tidak akan melihat hari esok saat mendampinginya dalam ambulans tadi.
Tapi mengejutkan bagi kedua anaknya tentu. Suara mereka berdua seolah mati mendadak—bahkan tidak terdengar napas—sebelum akhirnya pecah oleh tangis.
Beberapa detik jeda sebelum jeritan pedih itu sepertinya tidak berarti, tapi membuat Mae mendengus. Hidungnya mengendus aroma tajam sandiwara, dan dimainkan dengan indah.
“Evelyn, tenang dulu.” Pria yang ada di samping wanita yang meratap itu, ikut berjongkok untuk membantu kakaknya. Terlihat menenangkan, sempurna sekali.
“Daddy!” Evelyn menjerit dalam tangisannya. Meyakinkan semua orang akan duka yang diderita—kecuali Mae. Ia tahu Evelyn tidak sungguh-sungguh berduka.
“Tapi kenapa? Daddy seharusnya baik-baik saja. Dia masih berjalan normal tadi pagi!” Evelyn merintih di hadapan dokter itu sekarang.
“Kami memiliki dugaan kalau kematiannya disebabkan serangan jantung. Saya belum membaca dengan lengkap catatan medis Mr. Jones, tapi mengingat usia, ini yang paling mungkin. Apalagi kegiatan yang dilakukan beliau sebelumnya cukup memacu jantung.” Dokter itu kembali menjelaskan.
“Kegiatan apa? Apa maksudmu?” Evelyn tidak paham, sementara Mae langsung merasa kalau badai akan datang.
Dokter itu tampak canggung. Tidak mengira Evelyn belum tahu. Ia tidak mungkin menghindar tapi.
“Mmm… Mr. Jones dibawa ke sini dalam keadaan telanjang. Jadi… itu…”
Leher Evelyn bergerak dengan sangat cepat, berpaling memandang Mae. Akhirnya mengakui keberadaanya, tapi bukan hal yang bagus.
“DASAR JALANG BRENGSEK! KAU MEMBUNUHNYA!” pekik Evelyn, sambil melompat menerjang Mae.
Mae jatuh terjengkang. Tidak mungkin sanggup menahan beban tubuh Evelyn yang lebih tambun darinya, dan terkejut juga. Tidak menduga kalau Evelyn akan brutal menyerang di hadapan umum.Namun, seandainya tahu serangan itu datang, Mae pun tidak akan melawan atau menghindar. Penyerangan itu adalah resiko dari pilihannya begitu memutuskan untuk menjadi istri Barnet. Serangan dan cacian adalah hal normal, dan akan diterima—asalkan tidak keterlaluan.“Kau pelacur murahan! Seharusnya kau saja yang mati!”Evelyn mungkin berpura-pura sedih, tapi hinaan dan amarahnya untuk Mae adalah emosi asli yang dilampiaskan dengan sekuat tenaga.Evelyn menjambak rambut panjang berwarna brunette milik Mae, juga berusaha menamparnya. Mae menahan tangan Evelyn agar rambutnya tidak tercabut, dan hanya sempat melakukan itu karena dengan cepat Evelyn ditarik mundur oleh perawat dan dokter yang tadi. Wajah mereka tampak shock menyaksikan kebrutalan itu. Sekali lagi, hanya Mae yang tenang. Dengan bantuan perawat l
“Tidak mau,” tolak Mae. Tidak kalah tegas. Rasa terkejutnya bertahan sedetik dan langsung menguasai diri.“Eh?” Ashton tercengang. Penolakan itu terlalu mutlak. Mae bahkan tidak tampak berpikir.“Mungkin info yang kau terima tidak lengkap. Aku tidak menikah—maupun menerima sugar daddy yang muda. Kau masih akan hidup lama,” jelas Mae, gamblang.Pria itu tidak amat muda. Mungkin lebih tua sepuluh tahun dari Mae, sekitar tiga puluh sekian, tapi tetap tidak memenuhi standar. Tidak ada keriput dan tampan saja sudah tidak masuk hitungan.“Itu…” Ash tidak bisa berkata-kata, dan Mae juga tidak ingin mendengar apapun. Ia maju mendekati jalan. Ada bus yang mendekat.“Tunggu!” Ash menyambar lengan Mae yang hampir menjejak ke dalam bus.“Kau jangan sembarangan…”“Aku… aku sakit. Aku hampir mati,” kata Ashton. Mae mundur, dan pintu bus itu langsung menutup. Sopirnya tidak menganggap Mae ingin naik lagi, dan langsung melaju pergi.“Kau tidak terlihat akan mati.” Mae mengamati. Tubuh pria tampan it
“Sebaliknya.” Ash membalik lembar yang berikut, dan menunjuk laporan rekening—sesuai permintaan Mae. Ia menyertakan laporan rekening asli miliknya, juga salinan surat-surat berharga. Surat kepemilikan saham, aset—rumah, tanah, mobil, barang seni, dan lainnya. Namun, Mae tidak peduli detail aneka, matanya langsung bergulir ke bawah. Bagian jumlah total. “Satu juta pound?” Mata Mae membelalak. Jumlah itu fantastis. TIdak bulat apalagi. Masih ada sekian ratus ribu dibelakangnya. Mae ingat betul kekayaan keluarga kerajaan Inggris---dilini paling rendah, berkisar satu juta pound. Orang biasa yang bisa menyamai harta kekayaan anggota keluarga bangsawan adalah kaya. Kekayaan yang akan diterima Mae dari Barnet saja kurang lebih 'hanya' empat ratus ribu pound. “Itu uang yang bisa aku pakai. Asetnya belum termasuk total. Tidak sempat.” Ash menjelaskan lebih jauh, khawatir jumlah yang terlihat kurang. Waktu yang diberikan Mae terlalu singkat, ia belum sempat menilai berapa harga terakhir se
Itu adalah wujud ancaman Dexter kemarin. Seringai bibirnya semakin lebar saat melihat Mae memandangnya. Merasa menang tentu. Kalau mereka tidak menandatanganinya, maka surat itu tidak bisa disahkan dan Mae tidak akan mendapatkan bagiannya. “Mmm… Anda punya kewajiban untuk menandatangani.” Pengacara itu mengingatkan kalau proses hukum itu resmi, mereka tidak boleh menolak hanya karena tidak setuju dengan jumlahnya. Mae bisa menuntut dan menang. “Aku tidak akan tanda tangan sebelum kasus ini selesai. Aku sudah membuat laporan resmi pada polisi, dan mereka akan memulai penyelidikan,” sahut Dexter. Hakim bisa memaksa mereka menandatangani pengesahan, tapi alasan proses kasus sangat bisa menunda pengesahan itu. “Apa kalian gila? Aku tidak melakukan apapun pada Barnet!” bentak Mae, mulai marah setelah sadar kalau masih lama uangnya akan cair. “Itu katamu! Kau pikir kami akan percaya?! Semua orang tahu kau hanya jalang mata duitan yang akan melakukan apapun untuk uang! Aku tidak akan dia
“Kenapa rambut…” Ash tentu melihat rambut brunette Mae yang berantakan. “Mereka…” Mae menunjuk ke belakangnya. Melihat kedatangan orang lain, Evelyn tidak lagi mengejar, berhenti dan menatap Ash yang asing. “Kau siapa?” tanya Evelyn sambil mengernyit heran. Mae menggeleng, menyuruh Ash tidak menjelaskan apapun. Tapi memang Ash tidak punya kesempatan menjawab, karena Dexter yang menyusul dari ruang tengah muncul sambil berseru marah saat melihat Ash. “Kau! Kau yang kemarin…. Sialan!” Dexter menunjuk sambil maju, tapi belum sampai melewati Evelyn, ada tubuh melesat menerjang. Dexter tiba-tiba terbanting ke lantai, dengan tangan Ash mencengkram lehernya. “Aku sudah mengatakan padamu untuk berhati-hati dan tidak menyentuhnya.” Ash berbisik, amat lirih, dekat dengan telinga Dexter. Tidak ada yang mendengar selain Dexter. Tangan Dexter menggapai, dan mencoba mencakar agar terlepas dari cekikan itu, dibantu oleh Evelyn yang menjerit dan menarik punggung jaket Ash. Tapi cekikan itu ti
“Aku punya uang. Aku menunjukkan rekening asli padamu kemarin.” Ash sampai merasa aneh saat mengucapkannya. Ini pertama kali ia harus meyakinkan seseorang kalau ia punya harta. “Lalu kenapa kau tinggal di tempat yang lapuk seperti ini?” Mae menunjuk sambil mengernyit sebal. “Mmm… Aku biasanya tinggal di asrama—sebelum ini. Aku harus mencari rumah dengan segera agar kita bisa…” “Kau punya uang banyak dan hanya ini yang bisa kau temukan? Kau pasti sangat payah saat mencari,” sergah Mae. Memang waktunya hanya seminggu, tapi uang bisa menyelesaikan pembelian rumah dalam waktu beberapa hari saja. “Itu…”“Kau sebentar lagi akan mati bukan? Kau butuh tempat yang indah dan nyaman seharusnya. Pilih dengan lebih baik.” Mae kembali memotong dengan decakan, sambil menatap sekitar. “Nikmati waktu terakhir yang kau punya dengan maksimal. Untuk apa kau tinggal di tempat kumuh seperti ini? Kau ingin mati ditempat yang beraroma seperti orang mati padahal belum ada yang mati di sini?” Mae mengernyi
Tidak mungkin Ash bisa menolak saat ada tubuh hangat yang menempel padanya. Tubuh yang dengan sengaja bergerak perlahan untuk memancing hasrat, mendesak lembut, menarik nafsu yang tadi terbenam jauh dalam benak Ash. Ini tidak termasuk dalam rencananya. Ash hanya ingin menunjukkan kamar untuk Mae, bukan mencumbu maupun menyentuh. Rencana yang hanya tinggal rencana, karena rencana Mae yang lebih berhasil. Mae menyeringai saat Ash menyusupkan wajah ke lehernya, mencari kehangatan dan aroma untuk memuaskan keinginannya. Memang seharusnya seperti ini, Mae hanya perlu memamerkan tubuhnya dan pria akan tergila-gila. Mae mendesah pada saat yang tepat, bersuara serak dan lembut. Membuatnya menjadi pelengkap godaan manja. Untuk memastikan Ash benar-benar tenggelam dalam nafsu tanpa bisa kembali. Mae kembali tersenyum saat kedua tangan Ash mulai naik dan mengelus, mencari kepuasan juga seperti bibirnya, mencari tempat hangat dan empuk untuk disentuh. Membelai lembut pinggang Mae, lalu perut d
Mae tidak merasa melakukan kesalahan sampai membuat Ash menyadari kepura-puraannya. Dan akting yang dilakukannya tadi seharusnya sempurna. Mae melenguh saat dibutuhkan, dan mendesah ketika waktunya tepat. Ia seharusnya sudah terlihat ingin. Butuh waktu sampai hampir setahun bagi Barnes untuk menyadari sandiwara itu, dan itu pun karena Mae melakukan kesalahan. Ia melenguh—berpura-pura menikmati—saat belum terjadi apapun. Mae sudah separuh mengantuk saat Barnes membuka pakaiannya, dan merasa Barnes sudah melakukannya, tapi ternyata belum. Setelah itu Barnes berusaha keras untuk memuaskan Mae, yang mana mustahil—karena Mae tidak pernah menginginkannya. Tapi itu butuh waktu lama, Ash menyadari bahkan sebelum mereka melakukan apapun. “Kau tahu dari mana aku tidak menginginkannya?” Mae ingin tahu dimana kesalahan yang membuat sandiwara itu terbongkar. Ash mengerutkan kening. “Apa ini penting? Aku seharusnya bertanya kenapa kau melakukan ini saat tidak menginginkannya.” Ash menunjuk tubuh