Share

SUJUD TERAKHIR EMAK
SUJUD TERAKHIR EMAK
Penulis: Anik Safitri

1

Penulis: Anik Safitri
last update Terakhir Diperbarui: 2025-10-13 15:29:26

"Sayur bening tiga ribu lagi, Mak Asih?" tanya Bu Inem, wanita bertubuh subur yang berjualan lauk pauk itu.

Meskipun terdengar ketus, tapi Mak Asih dengan tubuh rentanya itu mengangguk dan berusaha untuk tersenyum.

"Mak Asih Mak Asih, lihat itu anak emak si Rini. Dari sosial media ya Mak. Aku lihat dia habis berlibur ke luar negeri. Masa iya justru membiarkan emaknya di kampung buka puasa dengan sayur bening terus menerus," kata Bu Inem.

Mak Asih tersenyum kaku, berusaha menahan gejolak di dadanya. Tangan tuanya mengambil bungkusan sayur bening dengan gemetar.

"Ah, Bu Inem ini ada-ada aja. Rini itu sibuk kerja, nggak sempet pulang. Lagian, Emak juga nggak apa-apa makan sayur bening. Sehat, kan?" katanya, mencoba terdengar ceria meski suara itu bergetar.

Bu Inem mendengus kecil. "Iya sehat sih, Mak. Tapi masa iya, anak yang bisa liburan ke luar negeri nggak bisa kirim lebih buat emak sendiri? Coba lihat itu si Wati, tiap bulan dapat kiriman. Nggak pernah kekurangan."

Mak Asih hanya tersenyum tipis. Hatinya ngilu, tapi ia menolak menunjukkan itu. Bukan sekali dua kali orang-orang membicarakan anak-anaknya — Rini, Arman, dan Farhan — yang sukses di perantauan tapi jarang pulang, jarang berkabar.

"Ah, Bu Inem ini senangnya gosip. Udah, makasih ya sayurnya. Assalamu'alaikum." Mak Asih buru-buru pergi, membawa plastik berisi sayur bening yang entah kenapa terasa lebih berat kali ini.

Langkahnya pelan menyusuri jalan setapak menuju rumahnya yang kecil dan sederhana. Di setiap sudut jalan, selalu ada bisik-bisik yang seakan mengikutinya.

"Anaknya kaya, emaknya makan sayur bening…"

"Liburan ke luar negeri, tapi emaknya jalan kaki ke pasar…"

Mak Asih menegakkan punggungnya, meski tubuh renta itu semakin rapuh. Ia berusaha tersenyum, seolah kata-kata itu tak menembus hatinya.

Setibanya di rumah, Mak Asih duduk di kursi kayu di teras. Ia menatap langit yang mulai berwarna jingga, mengingat wajah-wajah anaknya yang lama tak dilihat.

Sore itu, azan magrib berkumandang, menggetarkan udara yang mulai sejuk setelah seharian diterpa panas. Dari rumah kecil di sebelah, Sita baru saja menata hidangan berbuka di meja. Aroma ayam goreng dan sambal terasi memenuhi ruang makan sempit itu, mengundang rasa lapar yang sudah sejak tadi ia tahan.

Namun, saat hendak duduk, pandangannya melayang ke jendela, tepat ke rumah di sebelah — rumah Mak Asih. Rumah itu sepi, seperti biasa. Tirai jendela terbuka sedikit, dan Sita bisa melihat bayangan tubuh tua Mak Asih bergerak pelan ke dapur. Ada perasaan tak nyaman menggelitik hatinya.

“Bismillah…” gumam Sita, meletakkan sendok lalu berdiri. Ia mengambil piring, menyendok sebagian lauk dari meja — sepotong ayam goreng, tempe orek, dan sambal — kemudian melangkah keluar.

Dua ketukan pelan di pintu kayu rumah Mak Asih membuat langkah di dalam terdengar. Tak lama, pintu terbuka, menampilkan sosok Mak Asih dengan senyum ramahnya.

“Sita… ada apa, Nak?” tanya Mak Asih lembut.

Sita tersenyum, meski hatinya terenyuh melihat wajah lelah itu. “Aku cuma mau nganter makanan, Mak. Ini ayam goreng sama tempe orek. Takut Mak Asih bosan makan sayur bening terus.”

Mak Asih terkekeh pelan, tapi Sita bisa melihat bagaimana matanya sedikit berkaca-kaca. “Wah, nggak usah repot-repot, Nak. Emak cukup sama sayur bening aja…”

“Mak, makan yang enak itu juga ibadah, lho. Lagian, Ramadan ini cuma sebulan. Buka puasanya harus disyukuri dengan makanan yang layak,” kata Sita, menyodorkan piring.

Mak Asih ragu sejenak, tapi akhirnya menerima dengan tangan gemetar. “Makasih, Nak… Allah yang bales kebaikanmu…”

Sita tersenyum. Pandangannya sempat melayang ke meja makan kecil di dalam rumah. Di sana, hanya ada mangkuk berisi sayur bening dan sepotong tahu goreng. Hatinya semakin pilu.

“Mak, kalau boleh tahu… anak-anak Mak Asih nggak nelpon atau ngirim uang, ya?” tanyanya hati-hati.

Mak Asih tersenyum samar, seperti biasa. “Mereka sibuk, Nak. Rini kerja, Arman di kota, Farhan… ya, entah di mana sekarang. Emak nggak mau nyusahin mereka. Yang penting mereka sehat.”

“Tapi, Mak… bukannya justru anak-anak harus perhatian sama orang tuanya? Kalau Mak Asih butuh sesuatu, mestinya mereka yang bantu…” suara Sita terdengar pelan tapi tegas.

Mak Asih hanya menghela napas, matanya menerawang. “Emak nggak pernah minta apa-apa, Nak. Cukup doain mereka bahagia…”

Sita terdiam, hatinya semakin teriris. Lalu, dengan lembut, ia berkata, “Kalau Mak mau, aku bisa bantu nelpon Rini atau Arman. Biar mereka tahu keadaan Mak Asih di sini…”

Sejenak, Mak Asih terlihat bimbang. Namun, akhirnya ia menggeleng pelan. “Nggak usah, Nak… Emak nggak mau mereka khawatir. Biarin aja gini. Emak masih sehat, masih bisa makan…”

“Tapi, Mak—”

“Udah, Nak. Terima kasih, ya, udah perhatian sama Emak…” potong Mak Asih dengan suara lembut namun tegas.

Sita menatap wajah tua itu dengan perasaan campur aduk. Ada kekuatan, tapi juga kesedihan yang dalam. Ia ingin berbuat lebih, tapi Mak Asih selalu menahan.

Sita duduk di tepi tempat tidurnya, ponsel di tangan gemetar. Sudah lama ia ingin melakukan ini, tapi selalu terhalang oleh keraguan. Namun melihat keadaan Mak Asih yang semakin memprihatinkan dan menjadi bahan omongan tetangga, ia tak bisa diam lagi.

Akhirnya, dengan napas berat, Sita mencari nama Rini di daftar kontak yang pernah diberikan Mak Asih dulu. Jempolnya berhenti sejenak di atas layar, lalu dengan doa lirih, ia menekan tombol panggil.

Nada sambung berbunyi cukup lama, membuat Sita hampir menyerah. Tapi kemudian, suara di seberang sana akhirnya menjawab.

“Halo?” Suara perempuan itu terdengar tegas, bahkan sedikit tajam.

“Assalamu’alaikum… Apa benar ini Mbak Rini, anaknya Mak Asih?” Sita mencoba terdengar sopan.

“Wa’alaikumussalam. Iya, saya Rini. Ini siapa?” Suaranya tetap dingin.

“Saya Sita, tetangga Mak Asih. Maaf kalau saya mengganggu, Mbak. Saya cuma mau cerita soal keadaan Mak Asih di sini…”

“Kenapa dengan Emak?” nada suaranya berubah sedikit waspada.

Sita menarik napas dalam. “Mbak, saya nggak bermaksud ikut campur. Tapi… Mak Asih di sini sering jadi bahan omongan tetangga. Mereka bilang, anak-anaknya sukses, tapi beliau hampir tiap hari buka puasa cuma pakai sayur bening. Saya kasihan, Mbak. Apa Mbak bisa kirim uang buat Mak Asih, biar beliau bisa makan lebih layak?”

Ada jeda di seberang sana. Lalu, suara Rini kembali terdengar — kali ini lebih keras.

“Bisa saya bicara sama Emak sekarang juga!”

Sita terdiam sejenak, lalu bangkit dan melangkah ke rumah sebelah. Di ruang tamu kecil itu, Mak Asih sedang duduk dengan mukena yang masih terlipat di pangkuannya, sepertinya baru selesai salat. Wajahnya yang letih langsung berubah cerah begitu Sita menyebut nama Rini.

“Rini…?” Mata Mak Asih berbinar, seolah beban bertahun-tahun terangkat.

Dengan tangan gemetar, ia menerima ponsel dari Sita. “Assalamu’alaikum… Rini? Nak, apa kabar? Sehat, ya? Emak kangen…” Suaranya bergetar, penuh haru.

Namun kebahagiaan itu tak berlangsung lama.

“Mak!” Suara Rini terdengar keras, bahkan Sita yang duduk agak jauh pun bisa mendengarnya. “Kenapa sih, Mak, harus cerita ke orang-orang soal keadaan Mak?! Kenapa harus bikin malu aku?!”

Wajah Mak Asih seketika pucat. Senyum di bibirnya lenyap. “Ma-maksud Emak… Emak nggak cerita apa-apa, Nak…”

“Jangan bohong, Mak! Sampai tetangga aja tahu kalau Mak makan sayur bening terus! Emang aku nggak kirim uang?! Aku ini kerja di perantauan Mak! Susah! Kalau ada lebih, ya aku pasti kirim! Tapi nggak usah sampai bikin orang-orang ngomongin aku kayak aku anak durhaka! Lagian anak emak bukan cuma aku!"

Klik. Sambungan telefon ditutup.

"Rini marah ya Mak?" tanya Sita dengan hati hati.

Mak Asih masih memaksakan senyum

"Ah tidak. Mungkin Rini sedang lelah."

*

Malam itu, angin berhembus pelan, membawa aroma tanah basah setelah gerimis sore tadi. Di rumah kecil Mak Asih, hanya ada suara detak jam dinding dan nyanyian jangkrik di luar jendela.

Mak Asih duduk di atas sajadah, bibirnya masih bergerak pelan mengulang doa-doa yang hampir setiap malam ia panjatkan. Namun malam ini, doanya terasa lebih berat, lebih panjang — mungkin karena ada rindu yang tak kunjung terjawab dan luka yang baru saja digoreskan oleh suara yang paling ia nantikan.

Tiba-tiba, suara ketukan pelan terdengar dari pintu depan.

Mak Asih mengangkat wajah, jantungnya berdegup lebih cepat. Siapa yang datang malam-malam begini? Sita sudah pulang, dan tetangga jarang sekali bertamu di waktu seperti ini.

Ketukan itu terdengar lagi, kali ini sedikit lebih keras. Dengan napas yang tak teratur, Mak Asih berdiri dan melangkah pelan ke pintu. Tangannya bergetar saat menyentuh gagang pintu, entah kenapa ada perasaan aneh yang menggelayut di dadanya.

Perlahan, pintu kayu itu terbuka…

Dan Mak Asih tertegun.

Sosok di depan pintu membuat tubuhnya mendadak lemas. Kakinya hampir tak sanggup menopang berat badannya yang ringkih.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • SUJUD TERAKHIR EMAK    7

    Pak Lurah menatap tajam ke arah ketiga anak Mak Asih. Suasana di ruang tamu itu semakin mencekam, hanya suara napas tertahan yang terdengar. Para perangkat desa pun ikut diam, menunggu jawaban yang tak kunjung keluar."Jadi… kalian benar-benar tidak memikirkan nasib ibu kalian setelah ini?" suara Pak Lurah mulai bergetar, menahan amarah. "Rumah ini satu-satunya tempat tinggal Mak Asih. Kalau diserahkan ke Pak Ali, di mana beliau akan tinggal? Siapa yang akan merawatnya?"Rini menghela napas panjang, wajahnya terlihat tidak sabar. "Pak, kami juga punya kehidupan masing-masing. Saya punya keluarga, punya anak-anak yang harus diurus. Kalau disuruh merawat Ibu, saya… saya nggak sanggup.""Alasan!" suara Pak Lurah tiba-tiba meninggi, membuat semua orang terkejut. "Jangan lupa, Rini… kalau bukan karena Mak Asih, kamu nggak akan bisa jadi seperti sekarang! Beliau yang banting tulang menyekolahkan kalian, menjual harta benda satu-satunya buat kuliah kalian. Masa sekarang, saat beliau butuh, k

  • SUJUD TERAKHIR EMAK    6

    Mak Asih berdiri di ambang pintu rumah Sita, membawa rantang penuh makanan yang seharusnya dinikmati anak-anaknya. Matanya sembab, air matanya masih belum kering. Ia berusaha tersenyum, tapi bibirnya bergetar.Sita yang membuka pintu terkejut melihat keadaan Mak Asih. "Mak? Ada apa? Kenapa bawa rantang?"Mak Asih menelan ludah, mencoba menahan sesak di dadanya. "Anak-anak… mereka nggak mau makan, Nak. Emak… Emak udah masak banyak, tapi nggak ada yang tersentuh. Jadi… Emak pikir, mungkin kamu sama ibumu mau makan ini. Mereka lebih memilih makan diluar nak. Katanya lebih enak. Lebih higienis. Mungkin mereka lupa, mereka tumbuh besar juga berkat masakan emak," ucap Mak Asih, sesekali tangan tua itu menyeka air mata yang turun tanpa di komando.Sita terdiam, hatinya mencelos. Dengan cepat ia meraih rantang itu, lalu menggenggam tangan Mak Asih. "Mak, ayo masuk dulu. Emak nggak boleh sendirian dalam keadaan kayak gini. Istirahat dulu di dalam yuk," ajak Sita lagi.Tapi Mak Asih menggeleng

  • SUJUD TERAKHIR EMAK    5

    Mobil hitam yang dikendarai Arman melaju pelan di jalan kampung yang sempit. Suasana dalam mobil itu sunyi, hanya suara deru mesin yang terdengar. Rini sibuk dengan ponselnya, sementara Farhan duduk di kursi belakang dengan pandangan kosong menatap keluar jendela.Baru saja mereka berbelok ke jalan utama, mobil itu tiba-tiba berhenti mendadak. Arman menginjak rem dengan keras, nyaris membuat Rini dan Farhan terhempas ke depan."Apaan sih, Man?!" protes Rini kesal.Tapi Arman tak menjawab. Matanya terpaku ke depan. Di tengah jalan berdiri beberapa orang, wajah mereka serius. Di antara mereka, tampak Pak RT, Pak RW, dan Pak Hadi — tokoh masyarakat yang tadi membantu mediasi di rumah Mak Asih.Arman menghela napas panjang. "Aduh… apalagi, sih?" gumamnya, jelas tak sabar.Pak RT melangkah mendekat, memberi isyarat agar Arman menurunkan kaca jendela. Dengan enggan, Arman mematuhinya."Maaf, Man, Rin, Farhan… Kami nggak bisa biarkan kalian pergi sebelum masalah ini benar-benar selesai," kat

  • SUJUD TERAKHIR EMAK    4

    Dua hari kemudian, suara deru mobil berhenti di depan rumah Mak Asih. Beberapa tetangga yang duduk di teras rumah mereka segera menoleh, penasaran. Mobil hitam mengkilap itu bukan pemandangan yang biasa di kampung kecil ini.Pintu mobil terbuka, dan seorang pria turun dengan wajah masam. Menyusul di belakangnya, seorang perempuan dengan kacamata hitam dan langkah cepat, diikuti seorang lagi pria dengan ekspresi tak kalah kesal.Mak Asih yang tengah duduk di teras segera berdiri. Jantungnya berdegup kencang, antara lega dan cemas. Anak-anaknya pulang. Akhirnya mereka pulang."Anak-anakku…" suaranya nyaris bergetar saat mereka mendekat. Tapi sambutan yang ia harapkan tak kunjung datang."Emak bikin apa lagi, sih?" suara perempuan itu, Rini, terdengar tajam. Ia melepas kacamatanya, menatap ibunya dengan pandangan yang penuh kejengkelan. "Kita ini lagi sibuk, tahu nggak? Kenapa harus dipanggil segala?""Rini, jangan gitu sama Emak," potong Sita yang sedari tadi berdiri di dekat pintu. Ia

  • SUJUD TERAKHIR EMAK    3

    Mak Asih terdiam, ponsel masih tergenggam erat di tangannya yang bergetar. Hatinya terasa hancur berkeping-keping. Anak-anak yang selama ini ia besarkan dengan penuh cinta, yang ia perjuangkan pendidikannya sampai sarjana dengan segala pengorbanan, kini justru menutup pintu rapat-rapat saat ia membutuhkan mereka.Sita menatap Mak Asih dengan mata berkaca-kaca. Ia mencoba menguatkan perempuan tua itu dengan menggenggam tangannya pelan. "Sabar ya, Mak… Mungkin mereka lagi banyak pikiran. Nanti kalau suasana udah lebih tenang, coba hubungi lagi."Mak Asih menggeleng lemah. "Nggak, Nak… Mereka udah bilang semuanya. Mereka nggak mau tau… Mereka nggak peduli sama Emak."Suara Mak Asih terdengar begitu lirih, penuh luka. Ia menghela napas panjang, mencoba menahan air matanya yang terus mengalir. "Dulu… mereka yang minta kuliah. Mereka yang bilang pengen jadi orang sukses, pengen angkat derajat keluarga. Emak cuma nurut, Nak. Emak cuma pengen mereka bahagia, nggak kekurangan, nggak hidup susa

  • SUJUD TERAKHIR EMAK    2

    Sosok di depan pintu itu berdiri tegap meski usianya sudah tak muda lagi. Wajahnya keras, dengan sorot mata tajam yang membuat nyali siapa pun menciut. Napasnya terdengar berat, dan raut mukanya menunjukkan amarah yang sulit disembunyikan."Ali?" suara Mak Asih bergetar, hampir tak percaya dengan penglihatannya."Assalamu'alaikum," jawab Pak Ali pendek, tapi tak ada kelembutan di sana. Tanpa menunggu dipersilakan, ia melangkah masuk dengan langkah cepat dan pasti, membuat Mak Asih terpaksa menyingkir dari ambang pintu.Pak Ali, adik ipar almarhum suaminya, sudah lama tak pernah menginjakkan kaki di rumah ini. Terakhir kali mereka bertemu, kalau Mak Asih tak salah ingat, adalah di pemakaman Pak Suroyo — suaminya. Sejak saat itu, hubungan mereka tak pernah benar-benar baik.Mak Asih menutup pintu perlahan, hatinya mulai tak enak. "Ada apa, Ali? Kok datang malam-malam begini? Apa nggak sebaiknya besok pagi aja biar kita bisa bicara lebih tenang?" tanyanya, berusaha meredakan ketegangan y

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status