LOGINSosok di depan pintu itu berdiri tegap meski usianya sudah tak muda lagi. Wajahnya keras, dengan sorot mata tajam yang membuat nyali siapa pun menciut. Napasnya terdengar berat, dan raut mukanya menunjukkan amarah yang sulit disembunyikan.
"Ali?" suara Mak Asih bergetar, hampir tak percaya dengan penglihatannya. "Assalamu'alaikum," jawab Pak Ali pendek, tapi tak ada kelembutan di sana. Tanpa menunggu dipersilakan, ia melangkah masuk dengan langkah cepat dan pasti, membuat Mak Asih terpaksa menyingkir dari ambang pintu. Pak Ali, adik ipar almarhum suaminya, sudah lama tak pernah menginjakkan kaki di rumah ini. Terakhir kali mereka bertemu, kalau Mak Asih tak salah ingat, adalah di pemakaman Pak Suroyo — suaminya. Sejak saat itu, hubungan mereka tak pernah benar-benar baik. Mak Asih menutup pintu perlahan, hatinya mulai tak enak. "Ada apa, Ali? Kok datang malam-malam begini? Apa nggak sebaiknya besok pagi aja biar kita bisa bicara lebih tenang?" tanyanya, berusaha meredakan ketegangan yang mulai terasa. Pak Ali berbalik, menatap Mak Asih dengan wajah yang memerah karena amarah. "Aku nggak datang untuk basa-basi, Asih! Aku datang untuk menagih hutang almarhum suamimu!" Jantung Mak Asih berdegup kencang. "Hutang?" ulangnya pelan, seolah tak yakin dengan apa yang baru saja didengarnya. "Iya! Jangan pura-pura nggak tahu!" bentak Pak Ali. "Mas Suroyo berhutang besar sama aku, dan sampai dia meninggal, hutang itu belum juga dibayar! Aku sudah sabar menunggu, tapi sampai sekarang tak sepeser pun aku terima!" Mak Asih menggeleng pelan, matanya mulai berkaca-kaca. "Tapi, Ali… setahu saya, almarhum sudah melunasi hutang itu. Bukankah dulu tanah di ujung sawah sudah diserahkan ke kamu sebagai pelunasannya?" Pak Ali mendengus, ekspresi wajahnya semakin keras. "Itu bohong! Tanah itu bahkan nggak sebanding dengan jumlah hutang yang dia pinjam dariku! Kau pikir aku bisa dibohongi begitu saja?" "Tapi… tapi itu kata Pak Suroyo sendiri…" suara Mak Asih semakin lemah, hatinya berguncang hebat. "Jangan percaya begitu saja sama omongan Suroyo!" bentak Pak Ali. "Aku punya bukti kalau hutang itu belum lunas! Dan aku nggak mau tahu, Asih… kau harus bayar hutang itu, atau aku ambil tanah ini" Air mata mulai mengalir di pipi Mak Asih. Ali tanah itu satu-satunya yang tersisa buat saya… Kalau itu diambil, saya mau tinggal di mana?" "Itu bukan urusanku!" potong Pak Ali tanpa belas kasihan. "Kalau kau tak bisa bayar dengan uang, aku akan ambil tanah itu! Aku nggak mau dibohongi lebih lama lagi! Orang miskin saja pakai menyekolahkan anak sampai sarjana. Lihat jadi apa? Bahkan anakmu sendiri sekarang dimana? Tidak perduli kan dengan nasib kamu?" Mak Asih terisak pelan, tubuhnya terasa lemas. Dalam hatinya, ia tak habis pikir bagaimana seseorang yang masih keluarga sendiri bisa begitu tega. Tapi ia tahu satu hal — ia tak punya siapa-siapa lagi untuk membantunya. Dan malam itu, rumah kecil Mak Asih kembali menjadi saksi luka yang semakin dalam. "Ali, beri aku waktu. Aku akan membicarakan ini dengan anak anak. Siapa tau mereka mau membantu," Pak Ali menarik nafas panjang. "Baiklah. Aku akan memberi waktu. Tapi tidak lama lama. Ingat itu," ancam Ali lagi lalu dia pergi dan menutup pintu cukup keras. Setelah Pak Ali pulang dengan amarah yang masih terasa di udara, Mak Asih duduk terdiam di kursi kayu tua di ruang tamunya. Matanya yang sembab menatap kosong ke arah lantai tanah yang dingin. Suasana rumah itu terasa semakin sepi, semakin sunyi — seakan semua luka yang ia pendam selama ini ikut memenuhi ruangan itu. Pikirannya kalut. Hutang yang ia kira sudah lunas, kini kembali menghantui. Dan kali ini, Pak Ali datang dengan ancaman yang nyata. Jika ia tak bisa melunasi hutang itu, satu-satunya tanah peninggalan almarhum suaminya akan dirampas. Rumah yang menjadi saksi perjuangan dan air matanya bisa hilang begitu saja. Mak Asih menghapus air matanya dengan ujung kerudung. Tidak, ia tidak boleh diam saja. Ia harus melakukan sesuatu. Ada harapan di hatinya — harapan yang selalu ia jaga meski kerap mengecewakan. Anak-anaknya. Dengan langkah yang lemah, Mak Asih berjalan ke rumah Sita yang berada tepat di sebelah. Malam sudah larut, tapi cahaya lampu masih terlihat dari jendela. Mak Asih mengetuk pelan pintu kayu itu. Tak lama, Sita muncul dengan wajah terkejut melihat Mak Asih berdiri di sana. "Mak? Ada apa malam-malam begini? Masuk dulu, Mak," ajaknya lembut. Namun Mak Asih hanya menggeleng. "Nggak usah, Nak… Mak di sini aja. Mak cuma mau minta tolong." Suaranya bergetar. "Tolong teleponkan anak-anak Mak…" Sita mengerutkan kening, melihat betapa lelah dan sedihnya wajah Mak Asih. "Kenapa, Mak? Ada apa?" "Pak Ali, adik ipar Mak datang… dia menagih hutang almarhum Pak Suroyo. Katanya kalau nggak dibayar, tanah Mak mau diambil…" suara Mak Asih pecah di akhir kalimatnya. Sita tertegun. "Astaghfirullah… Kok bisa, Mak?" Mak Asih hanya menggeleng pelan. "Mak juga nggak tahu, Nak… Mak kira semua sudah beres. Tapi sekarang… Mak nggak punya siapa-siapa lagi buat minta tolong, selain anak-anak Mak sendiri." Tanpa banyak bicara, Sita mengambil ponselnya. "Mak mau telepon siapa dulu?" "Rini," jawab Mak Asih dengan suara lirih. Sita mengetik nomor Rini dan menekan tombol panggil. Beberapa kali nada sambung terdengar sebelum akhirnya telepon diangkat. "Halo?" suara Rini terdengar di seberang, tapi tak ada kehangatan di sana. "Rini… Ini Emak, Nak," suara Mak Asih bergetar. "Emak? Ada apa sih, Mak? Udah malam begini telepon-telepon," suara Rini terdengar jengkel. Mak Asih menelan ludah, mencoba menahan rasa sakit yang merayap di dadanya. "Nak… Emak mau minta tolong. Tadi Paklik Ali datang… dia menagih hutang almarhum Bapakmu. Katanya kalau nggak dibayar, tanah kita mau diambil." Sejenak, hanya keheningan yang terdengar di seberang. Kemudian, suara Rini terdengar ketus. "Itu urusan Emak lah. Ngapain juga Bapak dulu hutang-hutang? Kita jadi yang kena imbasnya!" Mak Asih terperanjat mendengar jawaban itu. "Tapi, Nak… hutang itu buat nyekolahin kalian. Buat masa depan kalian…" "Siapa juga yang nyuruh Emak nyekolahin kita sampai kuliah? Emang kita minta? Kalau sekarang jadi begini, itu tanggung jawab Emak sendiri!" Rini memotong dengan nada marah. Air mata Mak Asih mengalir. "Rini… Bukankah kalian yang dulu minta kuliah? Kalian bilang nggak mau hidup susah, pengen jadi orang sukses…" "Udahlah, Mak! Aku lagi sibuk. Jangan bikin pusing. Kalau ada uang lebih, pasti aku kirim. Tapi jangan paksa aku buat urusin masalah kayak gini!" Rini menutup telepon tanpa menunggu jawaban. Mak Asih terdiam, ponsel Sita masih ada di tangannya, tapi suara Rini tak lagi terdengar. Tangis yang sejak tadi ia tahan akhirnya pecah. "Mak… sabar ya, Mak," Sita mencoba menenangkan, tapi suaranya sendiri bergetar. Mak Asih mengangguk, meski hatinya remuk. "Coba telepon Arman, Nak. Mungkin dia bisa bantu." Sita menuruti permintaan itu, dan kali ini Arman yang dihubungi. Tak lama, telepon diangkat. "Halo?" suara Arman terdengar malas. "Arman… ini Emak, Nak," suara Mak Asih masih tersendat oleh tangis. "Ada apa lagi sih, Mak?" keluh Arman. Mak Asih mencoba menjelaskan masalah yang sama, berharap kali ini ia mendapat jawaban yang berbeda. Tapi jawaban Arman justru lebih menyakitkan. "Udah, Mak. Jangan telepon aku kalau cuma buat ngomongin masalah kayak gini. Aku juga lagi banyak urusan di sini. Emak sendiri yang bikin masalah, Emak sendiri yang selesain!" "Arman… ini buat kalian, Nak… Buat masa depan kalian…" suara Mak Asih hampir tak terdengar. "Siapa yang suruh, Mak? Kalau sekarang jadi repot, itu salah Emak sendiri!" Arman menutup telepon dengan kasar. Mak Asih menutup wajahnya dengan kedua tangan, tangisnya pecah semakin keras. Tapi ia tak mau menyerah. Dengan sisa harapan yang ada, ia meminta Sita menghubungi anak bungsunya, Farhan. Namun harapan itu kembali pupus. "Maaf, Mak. Aku juga nggak bisa bantu. Aku baru mulai usaha, lagi butuh modal. Emak urusin aja sendiri, aku nggak mau terlibat." Dan telepon itu pun terputus.Mesin monitor perlahan kembali menunjukkan grafik yang lebih stabil setelah tindakan darurat dilakukan. Dokter memberi tanda lega, lalu meninggalkan ruangan, memberi kesempatan Rini bersama keluarganya.Arman buru-buru mendekat lagi, menggenggam tangan kakaknya. Jemarinya gemetar, matanya masih basah. “Mbak… jangan bikin aku takut begini lagi. Aku belum siap…”Rini membuka kelopak mata perlahan. Napasnya berat, tapi ada kesadaran yang kuat di dalam tatapannya. Dengan tangan lemah, ia memberi isyarat agar Arman mendekat lebih dekat.Arman menunduk, hampir menempelkan telinganya ke bibir Rini.“Man…” suara Rini parau, hampir tertelan bunyi mesin. “Dengarkan aku baik-baik. Aku nggak tahu berapa lama aku masih bisa bicara…”Air mata Arman kembali jatuh. “Mbak, jangan bicara begitu. Kamu akan sembuh. Kamu harus sembuh.”Namun Rini tersenyum samar, seolah tahu lebih banyak dari Arman. “Kalau aku pergi nanti… jaga Farhan. Dia masih muda, jangan sampai salah jalan. Jangan biarkan dia merasa s
Tangannya menepis lemah gelas yang disodorkan Sita, hingga hampir tumpah. Nafasnya tersengal, keringat dingin membasahi pelipisnya.Sita tercekat, dadanya sesak mendengar kata-kata itu. “Mbak Rini… astaga, jangan bicara begitu.” Ia berlutut di samping Rini, mencoba menahan tangannya. “Kamu jangan bilang akan mati. Kamu masih punya kesempatan… ayo makan dulu, minum dulu. Tubuhmu butuh tenaga.”Namun Rini justru menangis tersedu, kepalanya tertunduk. “Tidak, Sita… kamu tidak tahu… penyakitku ini… sudah tidak ada obatnya. Aku hanya tinggal menunggu waktu.”Sita terdiam, tubuhnya kaku. Kata-kata Rini menggema seperti pisau yang menusuk hati. Ia ingin menyangkal, ingin berteriak bahwa semua masih bisa ditolong, tapi melihat wajah pucat dan tubuh ringkih Rini, keraguannya makin besar.“Kalau pun aku mati… biarkan aku di rumah ini… biar aku pulang ke pangkuan Mak…” bisik Rini lirih, matanya terpejam, air matanya jatuh tanpa henti.Sita menutup mulutnya dengan telapak tangan, menahan isak yan
Ketukan pelan terdengar dari pintu kamar. Seorang perawat berseragam putih masuk sambil membawa papan catatan. Senyum tipis terpasang di wajahnya, meski matanya sedikit ragu melihat kondisi Rini yang masih pucat.“Selamat sore, Mbak Rini,” sapa perawat itu lembut. “Bagaimana perasaannya sekarang?”Rini hanya mampu mengangguk pelan, tenggorokannya masih tercekat.Perawat itu melirik ke tumpukan barang di sudut ruangan, lalu kembali menatap Rini. “Mbak, saya ingin memastikan. Untuk administrasi, siapa yang bertanggung jawab dengan biaya rumah sakit ini? Karena pihak kasir sudah menanyakan jaminannya.”Pertanyaan itu menancap seperti pisau di dada Rini. Dadanya sesak. Biaya rumah sakit? Ia bahkan tak tahu bagaimana membayar tagihan rumah sakit yang pasti tidak kecil.Tangan Rini gemetar. Ia menggigit bibir, mencoba menjawab. “Sa-saya… tidak punya siapa-siapa, Mbak..”Perawat itu menatapnya iba, tapi tetap profesional. “Kalau begitu, Mbak bisa menyerahkan jaminan sementara. Apapun, asal b
Rini masih duduk terpuruk di lantai, tangannya gemetar memegang pipi yang memerah. Air matanya sudah mengering, berganti dengan tatapan kosong yang dingin. Ancaman Bu Desy tadi seakan menggema terus di telinganya. Namun, pelan-pelan ia mengibaskan kepala, berusaha menyingkirkan bayangan menakutkan itu.“Penyakit kelamin? Hah… belum tentu juga menular kepadaku,” gumamnya pelan, mencoba menenangkan diri sendiri. Ia menegakkan badan, meski lututnya masih lemas. “Aku sehat-sehat saja… aku baik-baik saja.”Bibirnya melengkung getir, seolah menertawakan nasibnya sendiri. “Kalau pun benar, itu urusan nanti. Yang penting sekarang… aku harus keluar dari tempat ini.”Matanya menatap sekitar, lorong kontrakan yang kini sepi. Ia sadar, tak ada seorang pun yang mau membelanya. Bahkan pemilik kos sekalipun. Rini meremas gaunnya, lalu berdiri dengan langkah gontai menuju kamar. Sesampainya di dalam, ia menghempaskan diri di kasur, menarik napas panjang yang bergetar.Tangannya meraih ponsel di meja
Mata Rini langsung melebar, darahnya seakan membeku. “I… istri sah?” suaranya tercekat, wajahnya pucat pasi.Desy mengangguk mantap, lalu melambaikan tangan. Dari balik pagar, muncul dua lelaki berperawakan besar, bertato di lengan, wajah keras khas preman pasar. Mereka berdiri di sisi kanan dan kiri Desy, bersedekap dengan tatapan tajam, membuat suasana makin mencekam.Rini spontan mundur setapak, tubuhnya gemetar meski bibirnya berusaha tetap tegar. “Sa… saya tidak tahu maksud Ibu apa. Mungkin Ibu salah orang.”Tatapan Desy langsung berubah tajam, suaranya meninggi penuh wibawa. “Jangan pura-pura bodoh, Rini! Saya sudah tahu semuanya. Saya tahu kamu main belakang dengan suami saya. Pertanyaannya sekarang…” ia mencondongkan tubuh, sorot matanya menusuk tajam, “…sejak kapan kamu jadi simpanan Herman?”Rini tersentak, nyalinya menciut melihat sorot mata penuh amarah itu. Keringat dingin mengalir di pelipisnya. Ia memaksa tersenyum kaku, melirik sekilas ke arah dua preman yang berdiri b
Pak Narto menoleh cepat, keningnya berkerut melihat adiknya berdiri di ambang pintu dengan wajah kok tiba-tiba datang malam-malam begini?” suaranya berat, penuh tanda tanya.Paklik Anto melangkah masuk tanpa basa-basi, matanya langsung menajam ke arah Arman. “Saya tadi dengar dari tetangga, katanya Arman ini sering main ke rumah Sita. Dan sekarang… ternyata niatnya memang sudah sejauh ini?”Suasana ruang tamu seketika mencekam. Arman menunduk dalam, tubuhnya terasa kaku. Farhan menoleh panik, hendak bicara, tapi lidahnya kelu.Arman menelan ludah, jantungnya berdegup kencang. Suasana ruang tamu begitu sunyi, hanya terdengar detak jarum jam dinding yang seakan mempertegas rasa tegang. Ia memberanikan diri mengangkat wajah, meski pandangan masih setengah ragu.“Paklik…” suaranya pelan tapi jelas, “apa Paklik marah kalau saya benar-benar serius dengan Sita? Bukankah…Mas Agung juga punya alasan untuk tidak memilih Sita? Saya hanya…” ia terhenti, menarik napas dalam, lalu melanjutkan denga







