Share

30

Penulis: Anik Safitri
last update Terakhir Diperbarui: 2025-11-15 14:15:22

Pintu kayu besar itu tertutup rapat, meninggalkan bunyi dentuman yang menusuk telinga. Rini terdiam di teras, wajahnya pucat pasi, bibirnya bergetar menahan tangis. Arman mengepalkan tangan, napasnya memburu, sementara Farhan hanya bisa menunduk dalam-dalam.

“Sudahlah, Mbak…” suara Arman serak, getir. “Jelas kita memang nggak dianggap lagi. Pulang saja.”

Rini mengusap air matanya, lalu mengangguk lemah. Mereka bertiga berbalik, melangkah gontai ke jalan kampung yang gelap. Langkah mereka terasa semakin berat, seolah setiap detik adalah penegasan betapa mereka benar-benar terbuang.

Namun, sebelum benar-benar meninggalkan halaman rumah itu, dari arah samping terdengar suara lembut memanggil.

“Man… Rini… Han…”

Mereka menoleh. Tampak seorang lelaki berperawakan tegap tapi ramah berdiri di bawah lampu teras samping. Itulah Agung, anak sulung Paklik Yanto. Wajahnya teduh, berbeda jauh dari adiknya tadi.

“Mas Agung…” suara Rini lirih, matanya langsung berkaca-kaca.

Agung mendekat, menatap me
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terbaru

  • SUJUD TERAKHIR EMAK    54

    Mesin monitor perlahan kembali menunjukkan grafik yang lebih stabil setelah tindakan darurat dilakukan. Dokter memberi tanda lega, lalu meninggalkan ruangan, memberi kesempatan Rini bersama keluarganya.Arman buru-buru mendekat lagi, menggenggam tangan kakaknya. Jemarinya gemetar, matanya masih basah. “Mbak… jangan bikin aku takut begini lagi. Aku belum siap…”Rini membuka kelopak mata perlahan. Napasnya berat, tapi ada kesadaran yang kuat di dalam tatapannya. Dengan tangan lemah, ia memberi isyarat agar Arman mendekat lebih dekat.Arman menunduk, hampir menempelkan telinganya ke bibir Rini.“Man…” suara Rini parau, hampir tertelan bunyi mesin. “Dengarkan aku baik-baik. Aku nggak tahu berapa lama aku masih bisa bicara…”Air mata Arman kembali jatuh. “Mbak, jangan bicara begitu. Kamu akan sembuh. Kamu harus sembuh.”Namun Rini tersenyum samar, seolah tahu lebih banyak dari Arman. “Kalau aku pergi nanti… jaga Farhan. Dia masih muda, jangan sampai salah jalan. Jangan biarkan dia merasa s

  • SUJUD TERAKHIR EMAK    53

    Tangannya menepis lemah gelas yang disodorkan Sita, hingga hampir tumpah. Nafasnya tersengal, keringat dingin membasahi pelipisnya.Sita tercekat, dadanya sesak mendengar kata-kata itu. “Mbak Rini… astaga, jangan bicara begitu.” Ia berlutut di samping Rini, mencoba menahan tangannya. “Kamu jangan bilang akan mati. Kamu masih punya kesempatan… ayo makan dulu, minum dulu. Tubuhmu butuh tenaga.”Namun Rini justru menangis tersedu, kepalanya tertunduk. “Tidak, Sita… kamu tidak tahu… penyakitku ini… sudah tidak ada obatnya. Aku hanya tinggal menunggu waktu.”Sita terdiam, tubuhnya kaku. Kata-kata Rini menggema seperti pisau yang menusuk hati. Ia ingin menyangkal, ingin berteriak bahwa semua masih bisa ditolong, tapi melihat wajah pucat dan tubuh ringkih Rini, keraguannya makin besar.“Kalau pun aku mati… biarkan aku di rumah ini… biar aku pulang ke pangkuan Mak…” bisik Rini lirih, matanya terpejam, air matanya jatuh tanpa henti.Sita menutup mulutnya dengan telapak tangan, menahan isak yan

  • SUJUD TERAKHIR EMAK    52

    Ketukan pelan terdengar dari pintu kamar. Seorang perawat berseragam putih masuk sambil membawa papan catatan. Senyum tipis terpasang di wajahnya, meski matanya sedikit ragu melihat kondisi Rini yang masih pucat.“Selamat sore, Mbak Rini,” sapa perawat itu lembut. “Bagaimana perasaannya sekarang?”Rini hanya mampu mengangguk pelan, tenggorokannya masih tercekat.Perawat itu melirik ke tumpukan barang di sudut ruangan, lalu kembali menatap Rini. “Mbak, saya ingin memastikan. Untuk administrasi, siapa yang bertanggung jawab dengan biaya rumah sakit ini? Karena pihak kasir sudah menanyakan jaminannya.”Pertanyaan itu menancap seperti pisau di dada Rini. Dadanya sesak. Biaya rumah sakit? Ia bahkan tak tahu bagaimana membayar tagihan rumah sakit yang pasti tidak kecil.Tangan Rini gemetar. Ia menggigit bibir, mencoba menjawab. “Sa-saya… tidak punya siapa-siapa, Mbak..”Perawat itu menatapnya iba, tapi tetap profesional. “Kalau begitu, Mbak bisa menyerahkan jaminan sementara. Apapun, asal b

  • SUJUD TERAKHIR EMAK    51

    Rini masih duduk terpuruk di lantai, tangannya gemetar memegang pipi yang memerah. Air matanya sudah mengering, berganti dengan tatapan kosong yang dingin. Ancaman Bu Desy tadi seakan menggema terus di telinganya. Namun, pelan-pelan ia mengibaskan kepala, berusaha menyingkirkan bayangan menakutkan itu.“Penyakit kelamin? Hah… belum tentu juga menular kepadaku,” gumamnya pelan, mencoba menenangkan diri sendiri. Ia menegakkan badan, meski lututnya masih lemas. “Aku sehat-sehat saja… aku baik-baik saja.”Bibirnya melengkung getir, seolah menertawakan nasibnya sendiri. “Kalau pun benar, itu urusan nanti. Yang penting sekarang… aku harus keluar dari tempat ini.”Matanya menatap sekitar, lorong kontrakan yang kini sepi. Ia sadar, tak ada seorang pun yang mau membelanya. Bahkan pemilik kos sekalipun. Rini meremas gaunnya, lalu berdiri dengan langkah gontai menuju kamar. Sesampainya di dalam, ia menghempaskan diri di kasur, menarik napas panjang yang bergetar.Tangannya meraih ponsel di meja

  • SUJUD TERAKHIR EMAK    50

    Mata Rini langsung melebar, darahnya seakan membeku. “I… istri sah?” suaranya tercekat, wajahnya pucat pasi.Desy mengangguk mantap, lalu melambaikan tangan. Dari balik pagar, muncul dua lelaki berperawakan besar, bertato di lengan, wajah keras khas preman pasar. Mereka berdiri di sisi kanan dan kiri Desy, bersedekap dengan tatapan tajam, membuat suasana makin mencekam.Rini spontan mundur setapak, tubuhnya gemetar meski bibirnya berusaha tetap tegar. “Sa… saya tidak tahu maksud Ibu apa. Mungkin Ibu salah orang.”Tatapan Desy langsung berubah tajam, suaranya meninggi penuh wibawa. “Jangan pura-pura bodoh, Rini! Saya sudah tahu semuanya. Saya tahu kamu main belakang dengan suami saya. Pertanyaannya sekarang…” ia mencondongkan tubuh, sorot matanya menusuk tajam, “…sejak kapan kamu jadi simpanan Herman?”Rini tersentak, nyalinya menciut melihat sorot mata penuh amarah itu. Keringat dingin mengalir di pelipisnya. Ia memaksa tersenyum kaku, melirik sekilas ke arah dua preman yang berdiri b

  • SUJUD TERAKHIR EMAK    49

    Pak Narto menoleh cepat, keningnya berkerut melihat adiknya berdiri di ambang pintu dengan wajah kok tiba-tiba datang malam-malam begini?” suaranya berat, penuh tanda tanya.Paklik Anto melangkah masuk tanpa basa-basi, matanya langsung menajam ke arah Arman. “Saya tadi dengar dari tetangga, katanya Arman ini sering main ke rumah Sita. Dan sekarang… ternyata niatnya memang sudah sejauh ini?”Suasana ruang tamu seketika mencekam. Arman menunduk dalam, tubuhnya terasa kaku. Farhan menoleh panik, hendak bicara, tapi lidahnya kelu.Arman menelan ludah, jantungnya berdegup kencang. Suasana ruang tamu begitu sunyi, hanya terdengar detak jarum jam dinding yang seakan mempertegas rasa tegang. Ia memberanikan diri mengangkat wajah, meski pandangan masih setengah ragu.“Paklik…” suaranya pelan tapi jelas, “apa Paklik marah kalau saya benar-benar serius dengan Sita? Bukankah…Mas Agung juga punya alasan untuk tidak memilih Sita? Saya hanya…” ia terhenti, menarik napas dalam, lalu melanjutkan denga

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status