Share

7

Author: Anik Safitri
last update Last Updated: 2025-10-29 18:39:08

Pak Lurah menatap tajam ke arah ketiga anak Mak Asih. Suasana di ruang tamu itu semakin mencekam, hanya suara napas tertahan yang terdengar. Para perangkat desa pun ikut diam, menunggu jawaban yang tak kunjung keluar.

"Jadi… kalian benar-benar tidak memikirkan nasib ibu kalian setelah ini?" suara Pak Lurah mulai bergetar, menahan amarah. "Rumah ini satu-satunya tempat tinggal Mak Asih. Kalau diserahkan ke Pak Ali, di mana beliau akan tinggal? Siapa yang akan merawatnya?"

Rini menghela napas panjang, wajahnya terlihat tidak sabar. "Pak, kami juga punya kehidupan masing-masing. Saya punya keluarga, punya anak-anak yang harus diurus. Kalau disuruh merawat Ibu, saya… saya nggak sanggup."

"Alasan!" suara Pak Lurah tiba-tiba meninggi, membuat semua orang terkejut. "Jangan lupa, Rini… kalau bukan karena Mak Asih, kamu nggak akan bisa jadi seperti sekarang! Beliau yang banting tulang menyekolahkan kalian, menjual harta benda satu-satunya buat kuliah kalian. Masa sekarang, saat beliau butuh, kalian malah nggak mau peduli?"

Rini terdiam, tapi wajahnya tetap keras.

"Arman! Kamu juga!" Pak Lurah beralih pada anak kedua Mak Asih. "Kamu ingat nggak, waktu kamu mau kerja di luar kota, siapa yang rela jual perhiasannya buat ongkos kamu? Siapa yang ngirim uang tiap bulan supaya kamu bisa bertahan di sana?"

Arman menunduk, tapi tetap tak berkata apa-apa.

"Farhan," suara Pak Lurah semakin pelan, tapi sarat emosi. "Kamu yang paling bungsu. Waktu kamu kuliah, bapakmu sudah nggak kerja. Tapi Mak Asih tetap berjuang supaya kamu bisa lulus. Sekarang, setelah kamu berhasil, masa kamu tega membiarkan ibu kamu terlantar?"

Farhan menelan ludah, tangannya mengepal di atas lutut. "Saya… saya juga punya tanggungan, Pak. Saya belum bisa…"

"Belum bisa atau nggak mau?" potong Bu Murni tiba-tiba. Matanya berkilat marah. "Saya ini saksi hidup perjuangan Mak Asih dan almarhum Pak Suryono. Kalian lupa, ya, bagaimana mereka dulu sampai jual sawah buat biaya kuliah Rini? Kalian lupa, siapa yang rela nggak makan enak supaya kalian bisa hidup layak? Sekarang, kalian cuma bisa saling lempar tanggung jawab?"

Ruangan itu semakin panas.

"Begini saja!" suara Pak Lurah kembali menggelegar. "Saya nggak mau tahu. Salah satu dari kalian harus merawat Mak Asih. Kalian mau rumah ini diserahkan ke Pak Ali, silakan. Tapi urusan ibu kalian harus kalian pikirkan juga. Kalau nggak ada yang mau, saya sendiri yang akan turun tangan!"

Ketiga anak Mak Asih terdiam, saling pandang dengan bingung.

"Rini," Pak Lurah menatap anak sulung itu dengan tajam. "Kamu yang paling tua. Seharusnya kamu yang paling mengerti tanggung jawab. Jadi bagaimana?"

Rini terdiam cukup lama. Napasnya terdengar berat, dan wajahnya menunjukkan ketidakrelaan yang jelas. Namun, di bawah tatapan tajam Pak Lurah dan seluruh perangkat desa, akhirnya ia membuka suara.

"Baiklah," ucapnya pelan, hampir seperti bisikan. "Saya… saya bersedia membawa Ibu tinggal di rumah saya."

Meski kata-kata itu terucap, tak ada kehangatan di dalamnya. Wajah Rini masih menyimpan kekesalan, dan nada suaranya penuh keterpaksaan.

Mak Asih menatap putrinya dengan mata berkaca-kaca, tapi senyum itu tidak juga muncul di bibirnya. Ia tahu, keinginan itu bukan datang dari hati. Itu hanya karena tekanan keadaan.

"Rini," suara Pak Lurah melunak, meski tetap tegas. "Saya harap keputusanmu ini bukan sekadar formalitas. Ibu adalah tanggung jawab anak-anaknya. Dan bagaimana pun, beliau sudah mengorbankan segalanya untuk kalian. Setidaknya, perlakukan beliau dengan hormat dan kasih sayang."

Rini hanya mengangguk pelan, tanpa berkata apa-apa lagi.

Sementara itu, Mak Asih tetap duduk diam di sudut ruangan, hatinya campur aduk. Ada sedikit kelegaan karena setidaknya ia tidak akan kehilangan tempat tinggal. Tapi di sisi lain, ia juga merasakan luka yang lebih dalam—karena tahu ia hanya menjadi beban di mata anak-anaknya sendiri.

Suasana di ruang tamu semakin tegang ketika suara motor berhenti di depan rumah Mak Asih. Semua kepala menoleh ke arah pintu, dan tak lama kemudian, sosok yang mereka tunggu akhirnya muncul. Pak Ali masuk dengan langkah mantap, wajahnya menyunggingkan senyum puas yang sulit disembunyikan.

“Assalamualaikum,” sapanya, meski nadanya terdengar dingin.

“Waalaikumsalam,” jawab Pak Lurah pelan, tapi tatapannya tetap tajam menilai laki-laki yang baru datang itu.

Pak Ali langsung duduk di kursi tanpa menunggu dipersilakan. Matanya berkilat penuh kemenangan saat menatap ketiga anak Mak Asih. “Jadi, bagaimana? Apa kalian sudah memutuskan?"

Rini mengangguk pelan, suaranya terdengar kaku saat menjawab. “Iya, Pak Ali. Kami… kami setuju menyerahkan rumah ini.”

Seulas senyum lebar muncul di wajah Pak Ali, seakan kalimat itu adalah musik indah di telinganya. “Bagus. Saya memang tahu kalian anak-anak yang tahu diri. Ini keputusan yang tepat.”

Mak Asih menunduk, bahunya bergetar menahan tangis yang hampir pecah. Rumah yang ia bangun bersama almarhum suaminya, rumah yang penuh kenangan, akan berpindah tangan dalam sekejap.

Pak Ali melirik ke arah Pak Lurah dan perangkat desa yang duduk dengan wajah serius. “Kalau begitu, supaya semuanya jelas, saya minta rumah ini dikosongkan hari ini juga. Saya ingin segera mengurus surat-surat dan mulai merenovasi. Lagipula, saya sudah menunggu cukup lama.”

Ruangan itu langsung hening. Permintaan Pak Ali terasa seperti petir yang menyambar di siang bolong.

Mak Asih duduk di lantai kamarnya yang sederhana, menghadap lemari kayu tua yang sudah mulai rapuh di beberapa bagian. Tangannya yang gemetar pelan-pelan mengambil pakaian-pakaian yang tergantung di dalamnya, memasukkannya satu per satu ke dalam tas lusuh yang sudah bertahun-tahun menemani. Sesekali ia mengusap air mata yang terus mengalir tanpa bisa ditahan.

Bu Murni, yang sejak tadi ikut membantu, duduk di sebelahnya dengan ekspresi prihatin. Melihat betapa sedikit dan sederhananya pakaian Mak Asih, hatinya makin teriris. "Mak, ini bajunya kok pada udah jelek begini? Yang ini juga udah lusuh banget…" katanya sambil mengangkat satu baju daster yang warnanya sudah pudar.

Mak Asih tersenyum kecil, meski matanya masih basah. "Nggak apa-apa, Murni. Emak udah biasa pakai ini…"

"Tapi kan sekarang Emak mau ikut Rini. Pasti di sana Emak juga harus tampil rapi. Baju-baju ini sebaiknya ditinggal aja, Mak. Aku yakin nanti Rini sama anak-anak yang lain pasti beliin Emak baju yang lebih layak," ucap Bu Murni dengan nada optimis.

Mak Asih terdiam sejenak. Hatinya hangat mendengar kata-kata Bu Murni, meski ia sendiri tak yakin dengan harapan itu. Tapi sebelum ia sempat menjawab, tiba-tiba suara Rini terdengar dari pintu kamar.

"Bu Murni, Ibu nggak usah berharap terlalu tinggi. Saya nggak janji bisa beliin baju baru buat Emak," kata Rini dengan nada ketus. "Saya juga punya kebutuhan sendiri. Udah baik saya mau bawa Emak ke rumah saya."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • SUJUD TERAKHIR EMAK    54

    Mesin monitor perlahan kembali menunjukkan grafik yang lebih stabil setelah tindakan darurat dilakukan. Dokter memberi tanda lega, lalu meninggalkan ruangan, memberi kesempatan Rini bersama keluarganya.Arman buru-buru mendekat lagi, menggenggam tangan kakaknya. Jemarinya gemetar, matanya masih basah. “Mbak… jangan bikin aku takut begini lagi. Aku belum siap…”Rini membuka kelopak mata perlahan. Napasnya berat, tapi ada kesadaran yang kuat di dalam tatapannya. Dengan tangan lemah, ia memberi isyarat agar Arman mendekat lebih dekat.Arman menunduk, hampir menempelkan telinganya ke bibir Rini.“Man…” suara Rini parau, hampir tertelan bunyi mesin. “Dengarkan aku baik-baik. Aku nggak tahu berapa lama aku masih bisa bicara…”Air mata Arman kembali jatuh. “Mbak, jangan bicara begitu. Kamu akan sembuh. Kamu harus sembuh.”Namun Rini tersenyum samar, seolah tahu lebih banyak dari Arman. “Kalau aku pergi nanti… jaga Farhan. Dia masih muda, jangan sampai salah jalan. Jangan biarkan dia merasa s

  • SUJUD TERAKHIR EMAK    53

    Tangannya menepis lemah gelas yang disodorkan Sita, hingga hampir tumpah. Nafasnya tersengal, keringat dingin membasahi pelipisnya.Sita tercekat, dadanya sesak mendengar kata-kata itu. “Mbak Rini… astaga, jangan bicara begitu.” Ia berlutut di samping Rini, mencoba menahan tangannya. “Kamu jangan bilang akan mati. Kamu masih punya kesempatan… ayo makan dulu, minum dulu. Tubuhmu butuh tenaga.”Namun Rini justru menangis tersedu, kepalanya tertunduk. “Tidak, Sita… kamu tidak tahu… penyakitku ini… sudah tidak ada obatnya. Aku hanya tinggal menunggu waktu.”Sita terdiam, tubuhnya kaku. Kata-kata Rini menggema seperti pisau yang menusuk hati. Ia ingin menyangkal, ingin berteriak bahwa semua masih bisa ditolong, tapi melihat wajah pucat dan tubuh ringkih Rini, keraguannya makin besar.“Kalau pun aku mati… biarkan aku di rumah ini… biar aku pulang ke pangkuan Mak…” bisik Rini lirih, matanya terpejam, air matanya jatuh tanpa henti.Sita menutup mulutnya dengan telapak tangan, menahan isak yan

  • SUJUD TERAKHIR EMAK    52

    Ketukan pelan terdengar dari pintu kamar. Seorang perawat berseragam putih masuk sambil membawa papan catatan. Senyum tipis terpasang di wajahnya, meski matanya sedikit ragu melihat kondisi Rini yang masih pucat.“Selamat sore, Mbak Rini,” sapa perawat itu lembut. “Bagaimana perasaannya sekarang?”Rini hanya mampu mengangguk pelan, tenggorokannya masih tercekat.Perawat itu melirik ke tumpukan barang di sudut ruangan, lalu kembali menatap Rini. “Mbak, saya ingin memastikan. Untuk administrasi, siapa yang bertanggung jawab dengan biaya rumah sakit ini? Karena pihak kasir sudah menanyakan jaminannya.”Pertanyaan itu menancap seperti pisau di dada Rini. Dadanya sesak. Biaya rumah sakit? Ia bahkan tak tahu bagaimana membayar tagihan rumah sakit yang pasti tidak kecil.Tangan Rini gemetar. Ia menggigit bibir, mencoba menjawab. “Sa-saya… tidak punya siapa-siapa, Mbak..”Perawat itu menatapnya iba, tapi tetap profesional. “Kalau begitu, Mbak bisa menyerahkan jaminan sementara. Apapun, asal b

  • SUJUD TERAKHIR EMAK    51

    Rini masih duduk terpuruk di lantai, tangannya gemetar memegang pipi yang memerah. Air matanya sudah mengering, berganti dengan tatapan kosong yang dingin. Ancaman Bu Desy tadi seakan menggema terus di telinganya. Namun, pelan-pelan ia mengibaskan kepala, berusaha menyingkirkan bayangan menakutkan itu.“Penyakit kelamin? Hah… belum tentu juga menular kepadaku,” gumamnya pelan, mencoba menenangkan diri sendiri. Ia menegakkan badan, meski lututnya masih lemas. “Aku sehat-sehat saja… aku baik-baik saja.”Bibirnya melengkung getir, seolah menertawakan nasibnya sendiri. “Kalau pun benar, itu urusan nanti. Yang penting sekarang… aku harus keluar dari tempat ini.”Matanya menatap sekitar, lorong kontrakan yang kini sepi. Ia sadar, tak ada seorang pun yang mau membelanya. Bahkan pemilik kos sekalipun. Rini meremas gaunnya, lalu berdiri dengan langkah gontai menuju kamar. Sesampainya di dalam, ia menghempaskan diri di kasur, menarik napas panjang yang bergetar.Tangannya meraih ponsel di meja

  • SUJUD TERAKHIR EMAK    50

    Mata Rini langsung melebar, darahnya seakan membeku. “I… istri sah?” suaranya tercekat, wajahnya pucat pasi.Desy mengangguk mantap, lalu melambaikan tangan. Dari balik pagar, muncul dua lelaki berperawakan besar, bertato di lengan, wajah keras khas preman pasar. Mereka berdiri di sisi kanan dan kiri Desy, bersedekap dengan tatapan tajam, membuat suasana makin mencekam.Rini spontan mundur setapak, tubuhnya gemetar meski bibirnya berusaha tetap tegar. “Sa… saya tidak tahu maksud Ibu apa. Mungkin Ibu salah orang.”Tatapan Desy langsung berubah tajam, suaranya meninggi penuh wibawa. “Jangan pura-pura bodoh, Rini! Saya sudah tahu semuanya. Saya tahu kamu main belakang dengan suami saya. Pertanyaannya sekarang…” ia mencondongkan tubuh, sorot matanya menusuk tajam, “…sejak kapan kamu jadi simpanan Herman?”Rini tersentak, nyalinya menciut melihat sorot mata penuh amarah itu. Keringat dingin mengalir di pelipisnya. Ia memaksa tersenyum kaku, melirik sekilas ke arah dua preman yang berdiri b

  • SUJUD TERAKHIR EMAK    49

    Pak Narto menoleh cepat, keningnya berkerut melihat adiknya berdiri di ambang pintu dengan wajah kok tiba-tiba datang malam-malam begini?” suaranya berat, penuh tanda tanya.Paklik Anto melangkah masuk tanpa basa-basi, matanya langsung menajam ke arah Arman. “Saya tadi dengar dari tetangga, katanya Arman ini sering main ke rumah Sita. Dan sekarang… ternyata niatnya memang sudah sejauh ini?”Suasana ruang tamu seketika mencekam. Arman menunduk dalam, tubuhnya terasa kaku. Farhan menoleh panik, hendak bicara, tapi lidahnya kelu.Arman menelan ludah, jantungnya berdegup kencang. Suasana ruang tamu begitu sunyi, hanya terdengar detak jarum jam dinding yang seakan mempertegas rasa tegang. Ia memberanikan diri mengangkat wajah, meski pandangan masih setengah ragu.“Paklik…” suaranya pelan tapi jelas, “apa Paklik marah kalau saya benar-benar serius dengan Sita? Bukankah…Mas Agung juga punya alasan untuk tidak memilih Sita? Saya hanya…” ia terhenti, menarik napas dalam, lalu melanjutkan denga

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status