Share

6

Penulis: Anik Safitri
last update Terakhir Diperbarui: 2025-10-29 18:38:46

Mak Asih berdiri di ambang pintu rumah Sita, membawa rantang penuh makanan yang seharusnya dinikmati anak-anaknya. Matanya sembab, air matanya masih belum kering. Ia berusaha tersenyum, tapi bibirnya bergetar.

Sita yang membuka pintu terkejut melihat keadaan Mak Asih. "Mak? Ada apa? Kenapa bawa rantang?"

Mak Asih menelan ludah, mencoba menahan sesak di dadanya. "Anak-anak… mereka nggak mau makan, Nak. Emak… Emak udah masak banyak, tapi nggak ada yang tersentuh. Jadi… Emak pikir, mungkin kamu sama ibumu mau makan ini. Mereka lebih memilih makan diluar nak. Katanya lebih enak. Lebih higienis. Mungkin mereka lupa, mereka tumbuh besar juga berkat masakan emak," ucap Mak Asih, sesekali tangan tua itu menyeka air mata yang turun tanpa di komando.

Sita terdiam, hatinya mencelos. Dengan cepat ia meraih rantang itu, lalu menggenggam tangan Mak Asih. "Mak, ayo masuk dulu. Emak nggak boleh sendirian dalam keadaan kayak gini. Istirahat dulu di dalam yuk," ajak Sita lagi.

Tapi Mak Asih menggeleng pelan. "Nggak usah, Nak. Emak… Emak cuma mau kasih ini. Biar nggak mubazir. Emak pulang aja…"

Sebelum Sita sempat menahan, Mak Asih sudah berbalik. Bahunya berguncang, menunjukkan bahwa tangisnya tak bisa lagi ditahan. Langit malam yang gelap itu seolah menjadi saksi bagaimana hati Mak Asih yang hancur tak beraturan.

Sita menatap punggung perempuan tua itu dengan hati remuk. "Mak… kenapa anak-anak Mak bisa sejahat itu. Kasihan sekali Mak. Di hari tuanyang harusnya hidup tenang justru menanggung sakit hati yang tak berkesudahan." gumamnya pelan.

Dari dalam rumah, Bu Murni — ibu Sita — keluar dengan wajah penuh keprihatinan. "Kenapa, Sita? Itu rantang siapa?"

"Mak Asih, Bu," jawab Sita lirih. "Anak-anaknya nggak mau makan masakan Emak… Jadi dikasih ke kita. Padahal untuk masak makanan ini pasti Mak Asih susah payah."

Bu Murni terdiam, rahangnya mengeras menahan amarah. "Astaghfirullah… Anak-anak durhaka macam apa itu? Apa sudah tak punya hati?"

Sita menutup pintu pelan, lalu membawa rantang itu ke meja makan. Ketika mereka membuka isinya, aroma masakan rumahan langsung tercium. Ikan goreng yang masih hangat, sayur lodeh yang menggoda, sambal terasi yang terlihat menggugah selera — semua terhidang sempurna. Tapi yang paling menyayat adalah bayangan tangan renta Mak Asih yang dengan susah payah memasaknya. Tubuhnya yang sudah tidak sekuat dulu, pasti ia paksakan hanya agar bisa melihat senyum di wajah anak anaknya saat menyantap makanannya.

"Bu, kita makan aja ya? Kasihan kalau ini sampai nggak dimakan," kata Sita pelan.

Bu Murni mengangguk, tapi matanya masih dipenuhi amarah. "Ibu nggak habis pikir, Sit. Ibu ini saksi, lho… Bagaimana Mak Asih dan almarhum Pak Suryono banting tulang buat nyekolahin anak-anak mereka. Bapaknya sampai sakit-sakitan gara-gara kerja nggak kenal waktu. Mak Asih itu nggak pernah mikir buat dirinya sendiri, yang dipikirin cuma masa depan anak-anaknya."

Sita mengangguk, hatinya ikut panas. "Iya, Bu. Aku ingat gimana dulu mereka jual tanah sawah satu-satunya buat biaya kuliah Rini. Terus waktu Arman mau ke luar kota, Mak Asih rela jual perhiasannya. Farhan juga dibiayain sampe lulus, padahal waktu itu Pak Suryono udah nggak kerja. Aku inget banget…"

Bu Murni menghela napas panjang. "Dan sekarang, setelah mereka jadi orang, apa balasannya? Malah ngebentak ibunya sendiri, nggak mau bantu urusan rumah yang jelas-jelas buat warisan mereka juga. Mereka lupa kalau semua yang mereka punya sekarang itu hasil dari jerih payah orang tua mereka!"

Air mata menggenang di mata Sita. "Bu, aku nggak ngerti… Kok bisa mereka setega itu? Aku lihat Mak Asih tadi kayak orang yang udah kehabisan harapan…"

Bu Murni mengusap wajahnya, berusaha menenangkan diri. "Kita nggak bisa tinggal diam, Sit. Kita harus bantu Mak Asih. Kalau anak-anaknya sendiri nggak peduli, setidaknya kita yang jadi tetangga harus berdiri di sampingnya."

Sita mengangguk mantap. "Iya, Bu. Aku juga nggak bisa lihat Mak Asih diperlakukan kayak gini terus."

Sore itu, mereka makan dengan perasaan bercampur aduk. Setiap suapan terasa pahit, mengingat betapa masakan penuh cinta itu ditolak oleh anak-anak yang seharusnya paling menghargainya.

Dan di rumahnya yang sepi, Mak Asih duduk di pojokan kamar, memeluk lutut sambil terisak. Rumah yang dulu penuh canda tawa kini hanya menyisakan kesunyian dan luka.

*

Pagi itu, rumah Mak Asih terasa lebih ramai dari biasanya. Beberapa perangkat desa dan tokoh masyarakat sudah berkumpul di ruang tamu. Wajah mereka tegang, tapi mereka tetap menjaga ketenangan. Suasana ini terasa semakin berat dengan ketidakpastian yang menggantung di udara.

Mak Asih duduk di sudut ruangan, tangannya mengusap-usap ujung selendang dengan gelisah. Sementara itu, ketiga anaknya — Rini, Arman, dan Farhan — duduk dengan ekspresi datar, seolah pertemuan ini hanya formalitas belaka.

Pak Lurah membuka pembicaraan dengan suara tenang tapi tegas. "Baik, sebelum Pak Ali datang, kami ingin mendengar keputusan kalian. Apakah kalian sudah memikirkan cara untuk melunasi hutang ini? Atau… ada jalan lain yang ingin diambil?"

Rini, anak sulung Mak Asih, dengan cepat menjawab, "Kami sudah bicara. Dan kami nggak sanggup, Pak."

Ruangan langsung hening. Jawaban itu seperti palu godam yang jatuh tanpa aba-aba. Beberapa perangkat desa saling pandang, terkejut, meski mereka berusaha tetap menjaga ekspresi netral.

Pak Lurah mengangguk pelan, seakan mencoba mencerna jawaban tersebut. "Jadi… kalian benar-benar tidak bisa membantu?"

Arman menghela napas. "Kami juga punya tanggungan masing-masing, Pak. Kalau harus menanggung hutang sebesar itu, kami juga bisa kesulitan. Jadi… kalau jalan satu-satunya adalah menyerahkan rumah ini kepada Pak Ali, ya… kami ikhlas."

Kata-kata Arman terdengar begitu ringan, seakan rumah itu bukan bagian dari hidup mereka. Padahal rumah ini adalah tempat mereka tumbuh, tempat kenangan masa kecil tertanam dalam. Tapi tak satu pun dari mereka menunjukkan sedikit pun rasa berat hati.

Mak Asih menunduk, menahan air mata yang hampir jatuh. Hatinya terasa remuk mendengar keputusan anak-anaknya sendiri. Rumah itu bukan sekadar bangunan, tapi saksi bisu perjuangan dan cinta. Tapi anak-anaknya… mereka tak sedikit pun peduli.

Pak Lurah menghela napas panjang. "Kalau memang itu keputusan kalian, baiklah. Tapi… ada satu hal yang perlu dibahas."

Semua mata tertuju pada Pak Lurah.

"Kalau rumah ini diserahkan kepada Pak Ali, bagaimana dengan Mak Asih?" lanjutnya pelan. "Rumah ini satu-satunya tempat tinggal beliau. Setelah rumah ini berpindah tangan, di mana beliau akan tinggal? Siapa yang akan merawat beliau?"

Pertanyaan itu membuat ketiga anak Mak Asih terdiam. Mereka saling pandang, seolah mengharapkan jawaban dari satu sama lain. Tapi tak satu pun dari mereka yang membuka suara.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • SUJUD TERAKHIR EMAK    7

    Pak Lurah menatap tajam ke arah ketiga anak Mak Asih. Suasana di ruang tamu itu semakin mencekam, hanya suara napas tertahan yang terdengar. Para perangkat desa pun ikut diam, menunggu jawaban yang tak kunjung keluar."Jadi… kalian benar-benar tidak memikirkan nasib ibu kalian setelah ini?" suara Pak Lurah mulai bergetar, menahan amarah. "Rumah ini satu-satunya tempat tinggal Mak Asih. Kalau diserahkan ke Pak Ali, di mana beliau akan tinggal? Siapa yang akan merawatnya?"Rini menghela napas panjang, wajahnya terlihat tidak sabar. "Pak, kami juga punya kehidupan masing-masing. Saya punya keluarga, punya anak-anak yang harus diurus. Kalau disuruh merawat Ibu, saya… saya nggak sanggup.""Alasan!" suara Pak Lurah tiba-tiba meninggi, membuat semua orang terkejut. "Jangan lupa, Rini… kalau bukan karena Mak Asih, kamu nggak akan bisa jadi seperti sekarang! Beliau yang banting tulang menyekolahkan kalian, menjual harta benda satu-satunya buat kuliah kalian. Masa sekarang, saat beliau butuh, k

  • SUJUD TERAKHIR EMAK    6

    Mak Asih berdiri di ambang pintu rumah Sita, membawa rantang penuh makanan yang seharusnya dinikmati anak-anaknya. Matanya sembab, air matanya masih belum kering. Ia berusaha tersenyum, tapi bibirnya bergetar.Sita yang membuka pintu terkejut melihat keadaan Mak Asih. "Mak? Ada apa? Kenapa bawa rantang?"Mak Asih menelan ludah, mencoba menahan sesak di dadanya. "Anak-anak… mereka nggak mau makan, Nak. Emak… Emak udah masak banyak, tapi nggak ada yang tersentuh. Jadi… Emak pikir, mungkin kamu sama ibumu mau makan ini. Mereka lebih memilih makan diluar nak. Katanya lebih enak. Lebih higienis. Mungkin mereka lupa, mereka tumbuh besar juga berkat masakan emak," ucap Mak Asih, sesekali tangan tua itu menyeka air mata yang turun tanpa di komando.Sita terdiam, hatinya mencelos. Dengan cepat ia meraih rantang itu, lalu menggenggam tangan Mak Asih. "Mak, ayo masuk dulu. Emak nggak boleh sendirian dalam keadaan kayak gini. Istirahat dulu di dalam yuk," ajak Sita lagi.Tapi Mak Asih menggeleng

  • SUJUD TERAKHIR EMAK    5

    Mobil hitam yang dikendarai Arman melaju pelan di jalan kampung yang sempit. Suasana dalam mobil itu sunyi, hanya suara deru mesin yang terdengar. Rini sibuk dengan ponselnya, sementara Farhan duduk di kursi belakang dengan pandangan kosong menatap keluar jendela.Baru saja mereka berbelok ke jalan utama, mobil itu tiba-tiba berhenti mendadak. Arman menginjak rem dengan keras, nyaris membuat Rini dan Farhan terhempas ke depan."Apaan sih, Man?!" protes Rini kesal.Tapi Arman tak menjawab. Matanya terpaku ke depan. Di tengah jalan berdiri beberapa orang, wajah mereka serius. Di antara mereka, tampak Pak RT, Pak RW, dan Pak Hadi — tokoh masyarakat yang tadi membantu mediasi di rumah Mak Asih.Arman menghela napas panjang. "Aduh… apalagi, sih?" gumamnya, jelas tak sabar.Pak RT melangkah mendekat, memberi isyarat agar Arman menurunkan kaca jendela. Dengan enggan, Arman mematuhinya."Maaf, Man, Rin, Farhan… Kami nggak bisa biarkan kalian pergi sebelum masalah ini benar-benar selesai," kat

  • SUJUD TERAKHIR EMAK    4

    Dua hari kemudian, suara deru mobil berhenti di depan rumah Mak Asih. Beberapa tetangga yang duduk di teras rumah mereka segera menoleh, penasaran. Mobil hitam mengkilap itu bukan pemandangan yang biasa di kampung kecil ini.Pintu mobil terbuka, dan seorang pria turun dengan wajah masam. Menyusul di belakangnya, seorang perempuan dengan kacamata hitam dan langkah cepat, diikuti seorang lagi pria dengan ekspresi tak kalah kesal.Mak Asih yang tengah duduk di teras segera berdiri. Jantungnya berdegup kencang, antara lega dan cemas. Anak-anaknya pulang. Akhirnya mereka pulang."Anak-anakku…" suaranya nyaris bergetar saat mereka mendekat. Tapi sambutan yang ia harapkan tak kunjung datang."Emak bikin apa lagi, sih?" suara perempuan itu, Rini, terdengar tajam. Ia melepas kacamatanya, menatap ibunya dengan pandangan yang penuh kejengkelan. "Kita ini lagi sibuk, tahu nggak? Kenapa harus dipanggil segala?""Rini, jangan gitu sama Emak," potong Sita yang sedari tadi berdiri di dekat pintu. Ia

  • SUJUD TERAKHIR EMAK    3

    Mak Asih terdiam, ponsel masih tergenggam erat di tangannya yang bergetar. Hatinya terasa hancur berkeping-keping. Anak-anak yang selama ini ia besarkan dengan penuh cinta, yang ia perjuangkan pendidikannya sampai sarjana dengan segala pengorbanan, kini justru menutup pintu rapat-rapat saat ia membutuhkan mereka.Sita menatap Mak Asih dengan mata berkaca-kaca. Ia mencoba menguatkan perempuan tua itu dengan menggenggam tangannya pelan. "Sabar ya, Mak… Mungkin mereka lagi banyak pikiran. Nanti kalau suasana udah lebih tenang, coba hubungi lagi."Mak Asih menggeleng lemah. "Nggak, Nak… Mereka udah bilang semuanya. Mereka nggak mau tau… Mereka nggak peduli sama Emak."Suara Mak Asih terdengar begitu lirih, penuh luka. Ia menghela napas panjang, mencoba menahan air matanya yang terus mengalir. "Dulu… mereka yang minta kuliah. Mereka yang bilang pengen jadi orang sukses, pengen angkat derajat keluarga. Emak cuma nurut, Nak. Emak cuma pengen mereka bahagia, nggak kekurangan, nggak hidup susa

  • SUJUD TERAKHIR EMAK    2

    Sosok di depan pintu itu berdiri tegap meski usianya sudah tak muda lagi. Wajahnya keras, dengan sorot mata tajam yang membuat nyali siapa pun menciut. Napasnya terdengar berat, dan raut mukanya menunjukkan amarah yang sulit disembunyikan."Ali?" suara Mak Asih bergetar, hampir tak percaya dengan penglihatannya."Assalamu'alaikum," jawab Pak Ali pendek, tapi tak ada kelembutan di sana. Tanpa menunggu dipersilakan, ia melangkah masuk dengan langkah cepat dan pasti, membuat Mak Asih terpaksa menyingkir dari ambang pintu.Pak Ali, adik ipar almarhum suaminya, sudah lama tak pernah menginjakkan kaki di rumah ini. Terakhir kali mereka bertemu, kalau Mak Asih tak salah ingat, adalah di pemakaman Pak Suroyo — suaminya. Sejak saat itu, hubungan mereka tak pernah benar-benar baik.Mak Asih menutup pintu perlahan, hatinya mulai tak enak. "Ada apa, Ali? Kok datang malam-malam begini? Apa nggak sebaiknya besok pagi aja biar kita bisa bicara lebih tenang?" tanyanya, berusaha meredakan ketegangan y

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status