MasukMak Asih berdiri di ambang pintu rumah Sita, membawa rantang penuh makanan yang seharusnya dinikmati anak-anaknya. Matanya sembab, air matanya masih belum kering. Ia berusaha tersenyum, tapi bibirnya bergetar.
Sita yang membuka pintu terkejut melihat keadaan Mak Asih. "Mak? Ada apa? Kenapa bawa rantang?" Mak Asih menelan ludah, mencoba menahan sesak di dadanya. "Anak-anak… mereka nggak mau makan, Nak. Emak… Emak udah masak banyak, tapi nggak ada yang tersentuh. Jadi… Emak pikir, mungkin kamu sama ibumu mau makan ini. Mereka lebih memilih makan diluar nak. Katanya lebih enak. Lebih higienis. Mungkin mereka lupa, mereka tumbuh besar juga berkat masakan emak," ucap Mak Asih, sesekali tangan tua itu menyeka air mata yang turun tanpa di komando. Sita terdiam, hatinya mencelos. Dengan cepat ia meraih rantang itu, lalu menggenggam tangan Mak Asih. "Mak, ayo masuk dulu. Emak nggak boleh sendirian dalam keadaan kayak gini. Istirahat dulu di dalam yuk," ajak Sita lagi. Tapi Mak Asih menggeleng pelan. "Nggak usah, Nak. Emak… Emak cuma mau kasih ini. Biar nggak mubazir. Emak pulang aja…" Sebelum Sita sempat menahan, Mak Asih sudah berbalik. Bahunya berguncang, menunjukkan bahwa tangisnya tak bisa lagi ditahan. Langit malam yang gelap itu seolah menjadi saksi bagaimana hati Mak Asih yang hancur tak beraturan. Sita menatap punggung perempuan tua itu dengan hati remuk. "Mak… kenapa anak-anak Mak bisa sejahat itu. Kasihan sekali Mak. Di hari tuanyang harusnya hidup tenang justru menanggung sakit hati yang tak berkesudahan." gumamnya pelan. Dari dalam rumah, Bu Murni — ibu Sita — keluar dengan wajah penuh keprihatinan. "Kenapa, Sita? Itu rantang siapa?" "Mak Asih, Bu," jawab Sita lirih. "Anak-anaknya nggak mau makan masakan Emak… Jadi dikasih ke kita. Padahal untuk masak makanan ini pasti Mak Asih susah payah." Bu Murni terdiam, rahangnya mengeras menahan amarah. "Astaghfirullah… Anak-anak durhaka macam apa itu? Apa sudah tak punya hati?" Sita menutup pintu pelan, lalu membawa rantang itu ke meja makan. Ketika mereka membuka isinya, aroma masakan rumahan langsung tercium. Ikan goreng yang masih hangat, sayur lodeh yang menggoda, sambal terasi yang terlihat menggugah selera — semua terhidang sempurna. Tapi yang paling menyayat adalah bayangan tangan renta Mak Asih yang dengan susah payah memasaknya. Tubuhnya yang sudah tidak sekuat dulu, pasti ia paksakan hanya agar bisa melihat senyum di wajah anak anaknya saat menyantap makanannya. "Bu, kita makan aja ya? Kasihan kalau ini sampai nggak dimakan," kata Sita pelan. Bu Murni mengangguk, tapi matanya masih dipenuhi amarah. "Ibu nggak habis pikir, Sit. Ibu ini saksi, lho… Bagaimana Mak Asih dan almarhum Pak Suryono banting tulang buat nyekolahin anak-anak mereka. Bapaknya sampai sakit-sakitan gara-gara kerja nggak kenal waktu. Mak Asih itu nggak pernah mikir buat dirinya sendiri, yang dipikirin cuma masa depan anak-anaknya." Sita mengangguk, hatinya ikut panas. "Iya, Bu. Aku ingat gimana dulu mereka jual tanah sawah satu-satunya buat biaya kuliah Rini. Terus waktu Arman mau ke luar kota, Mak Asih rela jual perhiasannya. Farhan juga dibiayain sampe lulus, padahal waktu itu Pak Suryono udah nggak kerja. Aku inget banget…" Bu Murni menghela napas panjang. "Dan sekarang, setelah mereka jadi orang, apa balasannya? Malah ngebentak ibunya sendiri, nggak mau bantu urusan rumah yang jelas-jelas buat warisan mereka juga. Mereka lupa kalau semua yang mereka punya sekarang itu hasil dari jerih payah orang tua mereka!" Air mata menggenang di mata Sita. "Bu, aku nggak ngerti… Kok bisa mereka setega itu? Aku lihat Mak Asih tadi kayak orang yang udah kehabisan harapan…" Bu Murni mengusap wajahnya, berusaha menenangkan diri. "Kita nggak bisa tinggal diam, Sit. Kita harus bantu Mak Asih. Kalau anak-anaknya sendiri nggak peduli, setidaknya kita yang jadi tetangga harus berdiri di sampingnya." Sita mengangguk mantap. "Iya, Bu. Aku juga nggak bisa lihat Mak Asih diperlakukan kayak gini terus." Sore itu, mereka makan dengan perasaan bercampur aduk. Setiap suapan terasa pahit, mengingat betapa masakan penuh cinta itu ditolak oleh anak-anak yang seharusnya paling menghargainya. Dan di rumahnya yang sepi, Mak Asih duduk di pojokan kamar, memeluk lutut sambil terisak. Rumah yang dulu penuh canda tawa kini hanya menyisakan kesunyian dan luka. * Pagi itu, rumah Mak Asih terasa lebih ramai dari biasanya. Beberapa perangkat desa dan tokoh masyarakat sudah berkumpul di ruang tamu. Wajah mereka tegang, tapi mereka tetap menjaga ketenangan. Suasana ini terasa semakin berat dengan ketidakpastian yang menggantung di udara. Mak Asih duduk di sudut ruangan, tangannya mengusap-usap ujung selendang dengan gelisah. Sementara itu, ketiga anaknya — Rini, Arman, dan Farhan — duduk dengan ekspresi datar, seolah pertemuan ini hanya formalitas belaka. Pak Lurah membuka pembicaraan dengan suara tenang tapi tegas. "Baik, sebelum Pak Ali datang, kami ingin mendengar keputusan kalian. Apakah kalian sudah memikirkan cara untuk melunasi hutang ini? Atau… ada jalan lain yang ingin diambil?" Rini, anak sulung Mak Asih, dengan cepat menjawab, "Kami sudah bicara. Dan kami nggak sanggup, Pak." Ruangan langsung hening. Jawaban itu seperti palu godam yang jatuh tanpa aba-aba. Beberapa perangkat desa saling pandang, terkejut, meski mereka berusaha tetap menjaga ekspresi netral. Pak Lurah mengangguk pelan, seakan mencoba mencerna jawaban tersebut. "Jadi… kalian benar-benar tidak bisa membantu?" Arman menghela napas. "Kami juga punya tanggungan masing-masing, Pak. Kalau harus menanggung hutang sebesar itu, kami juga bisa kesulitan. Jadi… kalau jalan satu-satunya adalah menyerahkan rumah ini kepada Pak Ali, ya… kami ikhlas." Kata-kata Arman terdengar begitu ringan, seakan rumah itu bukan bagian dari hidup mereka. Padahal rumah ini adalah tempat mereka tumbuh, tempat kenangan masa kecil tertanam dalam. Tapi tak satu pun dari mereka menunjukkan sedikit pun rasa berat hati. Mak Asih menunduk, menahan air mata yang hampir jatuh. Hatinya terasa remuk mendengar keputusan anak-anaknya sendiri. Rumah itu bukan sekadar bangunan, tapi saksi bisu perjuangan dan cinta. Tapi anak-anaknya… mereka tak sedikit pun peduli. Pak Lurah menghela napas panjang. "Kalau memang itu keputusan kalian, baiklah. Tapi… ada satu hal yang perlu dibahas." Semua mata tertuju pada Pak Lurah. "Kalau rumah ini diserahkan kepada Pak Ali, bagaimana dengan Mak Asih?" lanjutnya pelan. "Rumah ini satu-satunya tempat tinggal beliau. Setelah rumah ini berpindah tangan, di mana beliau akan tinggal? Siapa yang akan merawat beliau?" Pertanyaan itu membuat ketiga anak Mak Asih terdiam. Mereka saling pandang, seolah mengharapkan jawaban dari satu sama lain. Tapi tak satu pun dari mereka yang membuka suara.Mesin monitor perlahan kembali menunjukkan grafik yang lebih stabil setelah tindakan darurat dilakukan. Dokter memberi tanda lega, lalu meninggalkan ruangan, memberi kesempatan Rini bersama keluarganya.Arman buru-buru mendekat lagi, menggenggam tangan kakaknya. Jemarinya gemetar, matanya masih basah. “Mbak… jangan bikin aku takut begini lagi. Aku belum siap…”Rini membuka kelopak mata perlahan. Napasnya berat, tapi ada kesadaran yang kuat di dalam tatapannya. Dengan tangan lemah, ia memberi isyarat agar Arman mendekat lebih dekat.Arman menunduk, hampir menempelkan telinganya ke bibir Rini.“Man…” suara Rini parau, hampir tertelan bunyi mesin. “Dengarkan aku baik-baik. Aku nggak tahu berapa lama aku masih bisa bicara…”Air mata Arman kembali jatuh. “Mbak, jangan bicara begitu. Kamu akan sembuh. Kamu harus sembuh.”Namun Rini tersenyum samar, seolah tahu lebih banyak dari Arman. “Kalau aku pergi nanti… jaga Farhan. Dia masih muda, jangan sampai salah jalan. Jangan biarkan dia merasa s
Tangannya menepis lemah gelas yang disodorkan Sita, hingga hampir tumpah. Nafasnya tersengal, keringat dingin membasahi pelipisnya.Sita tercekat, dadanya sesak mendengar kata-kata itu. “Mbak Rini… astaga, jangan bicara begitu.” Ia berlutut di samping Rini, mencoba menahan tangannya. “Kamu jangan bilang akan mati. Kamu masih punya kesempatan… ayo makan dulu, minum dulu. Tubuhmu butuh tenaga.”Namun Rini justru menangis tersedu, kepalanya tertunduk. “Tidak, Sita… kamu tidak tahu… penyakitku ini… sudah tidak ada obatnya. Aku hanya tinggal menunggu waktu.”Sita terdiam, tubuhnya kaku. Kata-kata Rini menggema seperti pisau yang menusuk hati. Ia ingin menyangkal, ingin berteriak bahwa semua masih bisa ditolong, tapi melihat wajah pucat dan tubuh ringkih Rini, keraguannya makin besar.“Kalau pun aku mati… biarkan aku di rumah ini… biar aku pulang ke pangkuan Mak…” bisik Rini lirih, matanya terpejam, air matanya jatuh tanpa henti.Sita menutup mulutnya dengan telapak tangan, menahan isak yan
Ketukan pelan terdengar dari pintu kamar. Seorang perawat berseragam putih masuk sambil membawa papan catatan. Senyum tipis terpasang di wajahnya, meski matanya sedikit ragu melihat kondisi Rini yang masih pucat.“Selamat sore, Mbak Rini,” sapa perawat itu lembut. “Bagaimana perasaannya sekarang?”Rini hanya mampu mengangguk pelan, tenggorokannya masih tercekat.Perawat itu melirik ke tumpukan barang di sudut ruangan, lalu kembali menatap Rini. “Mbak, saya ingin memastikan. Untuk administrasi, siapa yang bertanggung jawab dengan biaya rumah sakit ini? Karena pihak kasir sudah menanyakan jaminannya.”Pertanyaan itu menancap seperti pisau di dada Rini. Dadanya sesak. Biaya rumah sakit? Ia bahkan tak tahu bagaimana membayar tagihan rumah sakit yang pasti tidak kecil.Tangan Rini gemetar. Ia menggigit bibir, mencoba menjawab. “Sa-saya… tidak punya siapa-siapa, Mbak..”Perawat itu menatapnya iba, tapi tetap profesional. “Kalau begitu, Mbak bisa menyerahkan jaminan sementara. Apapun, asal b
Rini masih duduk terpuruk di lantai, tangannya gemetar memegang pipi yang memerah. Air matanya sudah mengering, berganti dengan tatapan kosong yang dingin. Ancaman Bu Desy tadi seakan menggema terus di telinganya. Namun, pelan-pelan ia mengibaskan kepala, berusaha menyingkirkan bayangan menakutkan itu.“Penyakit kelamin? Hah… belum tentu juga menular kepadaku,” gumamnya pelan, mencoba menenangkan diri sendiri. Ia menegakkan badan, meski lututnya masih lemas. “Aku sehat-sehat saja… aku baik-baik saja.”Bibirnya melengkung getir, seolah menertawakan nasibnya sendiri. “Kalau pun benar, itu urusan nanti. Yang penting sekarang… aku harus keluar dari tempat ini.”Matanya menatap sekitar, lorong kontrakan yang kini sepi. Ia sadar, tak ada seorang pun yang mau membelanya. Bahkan pemilik kos sekalipun. Rini meremas gaunnya, lalu berdiri dengan langkah gontai menuju kamar. Sesampainya di dalam, ia menghempaskan diri di kasur, menarik napas panjang yang bergetar.Tangannya meraih ponsel di meja
Mata Rini langsung melebar, darahnya seakan membeku. “I… istri sah?” suaranya tercekat, wajahnya pucat pasi.Desy mengangguk mantap, lalu melambaikan tangan. Dari balik pagar, muncul dua lelaki berperawakan besar, bertato di lengan, wajah keras khas preman pasar. Mereka berdiri di sisi kanan dan kiri Desy, bersedekap dengan tatapan tajam, membuat suasana makin mencekam.Rini spontan mundur setapak, tubuhnya gemetar meski bibirnya berusaha tetap tegar. “Sa… saya tidak tahu maksud Ibu apa. Mungkin Ibu salah orang.”Tatapan Desy langsung berubah tajam, suaranya meninggi penuh wibawa. “Jangan pura-pura bodoh, Rini! Saya sudah tahu semuanya. Saya tahu kamu main belakang dengan suami saya. Pertanyaannya sekarang…” ia mencondongkan tubuh, sorot matanya menusuk tajam, “…sejak kapan kamu jadi simpanan Herman?”Rini tersentak, nyalinya menciut melihat sorot mata penuh amarah itu. Keringat dingin mengalir di pelipisnya. Ia memaksa tersenyum kaku, melirik sekilas ke arah dua preman yang berdiri b
Pak Narto menoleh cepat, keningnya berkerut melihat adiknya berdiri di ambang pintu dengan wajah kok tiba-tiba datang malam-malam begini?” suaranya berat, penuh tanda tanya.Paklik Anto melangkah masuk tanpa basa-basi, matanya langsung menajam ke arah Arman. “Saya tadi dengar dari tetangga, katanya Arman ini sering main ke rumah Sita. Dan sekarang… ternyata niatnya memang sudah sejauh ini?”Suasana ruang tamu seketika mencekam. Arman menunduk dalam, tubuhnya terasa kaku. Farhan menoleh panik, hendak bicara, tapi lidahnya kelu.Arman menelan ludah, jantungnya berdegup kencang. Suasana ruang tamu begitu sunyi, hanya terdengar detak jarum jam dinding yang seakan mempertegas rasa tegang. Ia memberanikan diri mengangkat wajah, meski pandangan masih setengah ragu.“Paklik…” suaranya pelan tapi jelas, “apa Paklik marah kalau saya benar-benar serius dengan Sita? Bukankah…Mas Agung juga punya alasan untuk tidak memilih Sita? Saya hanya…” ia terhenti, menarik napas dalam, lalu melanjutkan denga







