"S-sofia ...," Adnan tergagap dengan apa yang dilakukannya baru saja. Ia menatap telapak tangannya yang digunakan untuk men*mp*r Sofia. Adnan tak menyangka ia menjadi sangat ringan tangan sekarang. Emosi dalam dirinya membuat ia lupa bahwa sekarang yang berdiri di depannya adalah sang istri.
Adnan buru-buru mensejajarkan tubuhnya dengan Sofia, ia berniat membersihkan luka pada bibir sang istri. Namun Sofia lebih dahulu menepis tangannya dengan lemah.Sofia tak lagi bisa menahan tangisnya, sesak kian mendera hingga ia hampir tak dapat bersuara. "Aku selalu diam saat keluargamu menghinaku, Mas. Semuanya kulakukan karena aku menghormatimu. Namun, mengapa padaku kau sama sekali tak ada rasa iba. Apa selama ini baktiku kurang untukmu. Apa selama ini pengorbananku menjadi istrimu tak pernah ternilai, Mas?""Ayah menitipkan aku padamu untuk kau lindungi. Bukan kau perlakukan seperti ini, Mas. Kamu memperlakukan aku dengan kasar, kamu tak melindungiku. Kemana Mas Adnan yang Sofia kenal dahulu, kenapa sekarang kamu berubah seperti sosok asing yang tak pernah saling mengenal. Apa sekarang aku memang benar-benar tak lagi berharga untukmu?""Kenapa tidak dari awal kamu mengatakannya, Mas? Kenapa tak dari awal kamu bilang bahwa aku membosankan. Agar aku bisa berbenah, kenapa tak jujur padaku. Apa kamu takut uangmu akan habis jika aku memakainya. Apa kamu takut aku menjadi istri yang boros akan uang.""Mengapa kamu sejahat itu padaku, Mas! Jadi selama ini pengabdianku terhadapmu kurang?""Jika kamu mengatakan bahwa aku adalah wanita keras kepala. Itu benar, karena dari awal sudah kukatakan padamu bahwa aku bukanlah wanita yang bisa selalu mengerti bagaimana cara berpikirmu, aku memang wanita yang mempunyai banyak kekurangan. Dan dari kekurangan itu, mungkin kamu mempunyai banyak alasan untuk pergi.""Namun, satu hal yang perlu kamu tahu, Mas. Aku masih bertahan denganmu selama ini, bertahan dari cacian dan hinaan keluargamu, bertahan demi luka ini hanya karena bagiku semua kurangmu terlihat istimewa di mataku.""Aku yang harusnya marah padamu, Mas. Aku yang seharusnya mengamuk, bukan kamu. Kamu tak akan mengerti bagaimana rasanya berada di posisiku yang tak pernah dianggap ada kehadirannya. Aku sudah melakukan segala cara agar aku diterima dalam keluargamu, tapi tetap saja tak bisa.""Sofia, aku minta maaf. Aku tak berniat melakukan ini, aku tak bermaksud membuat sakit. Maafkan aku, sekarang kita bersihkan lukanya." Adnan berusaha memegang lengan Sofia, matanya tertuju pada bekas merah di tangan Sofia karena pegangannya yang terlalu erat tadi."Jangan memegangku! Luka fisik ini tak sebanding sakitnya dengan luka batin yang kamu lukiskan, Mas. Di sini!" Sofia menunjuk dadanya. Ia mengusap darah segar di ujung bibirnya."Sofia, andai kamu tidak keras kepala dan menjelek-jelekkan keluargaku. Mungkin ini semua tidak akan terjadi, aku hanya manusia biasa, Sofia. Aku bisa habis kesabaran saat keluargaku tak dihargai." Adnan masih mempertahankan egonya, seolah-olah Sofia yang paling salah di sini. Ia sama sekali tak memikirkan bahwa Sofia adalah orang yang paling terluka sekarang.Bak kaca yang retak, hati Sofia sudah tak bisa pulih seperti semula. Ucapan-ucapan yang keluar dari mulut Adnan seolah-olah menikam raganya. Hinaan dan cacian yang sering terlontar membuatnya menjadi orang yang mati rasa."Tak dihargai?" Sofia terkekeh pelan, lalu berusaha untuk berdiri dengan berpegangan pada lantai."Kurang menghargai apa aku selama ini dengan keluargamu. Haruskah aku bersujud terlebih dahulu di kaki mereka satu persatu, agar kamu bisa menilai bahwa aku menghargai mereka.""Haruskah aku mengambil jantung dan hatiku untuk diserahkan pada mereka dan mengorbankan nyawa agar aku bisa diterima di keluargamu. Aku tak mengerti, menghargai dalam kamusmu itu seperti apa?"Sofia mengusap air matanya dengan kasar, ia menatap Adnan dengan amarah sampai wajahnya memerah."Sofia, jangan membuatku kalap! Permintaanku hanya satu, ikut aku ke rumah Ibu sekarang dan meminta maaflah pada mereka!""Sofia, ibumu sudah tak ada. Sudah seharusnya kamu menghargai ibuku sebagai orang tuamu. Ibu sudah tua, wajar jika dia berbuat kesalahan, kita sebagai orang yang lebih muda harus mengerti padanya!""Wajar! Kamu bilang wajar! Ibu memang sudah tua, tapi dia tidak pikun. Astaghfirullah! Mengapa aku baru sadar sekarang, bahwa aku terjebak dalam kehidupan yang toxic.""Ibu bisa membedakan mana yang benar dan yang salah, Ibu masih bisa membedakan mana uang yang berwarna merah dan abu-abu. Lalu, saat dia melakukan kesalahan kamu bilang wajar! Ajaran darimana itu, Mas! Mata hatimu tertutup dengan kata baktimu!""SOFIA!"Tangan Adnan melayang di udara sebelum akhirnya dia tersadar dan enggan melakukannya lagi."Kupastikan setelah ini, kita tak terlibat dalam suatu hubungan lagi, Mas! Terima kasih atas luka dan pengalaman yang kamu berikan padaku. Sampai kapan pun akan kujadikan pelajaran semua ini! Hubungan kita berakhir sampai di sini saja!" ucap Sofia dengan menatap Adnan tajam. Tak ada lagi tatapan penuh cinta yang tersimpan.Awalnya Sofia dan Hafiz berencana berangkat malam itu juga, tapi karena ada satu dua hal akhirnya mereka tak jadi berangkat pada malam hari.Di sinilah Sofia berada, dia duduk di samping brankar milik Lisa. Sofia diberi kabar bahwa keadaan Lisa saat ini sangat memprihatinkan. Dari tadi air matanya tak kunjung reda, bagai hujan yang terus menerus turun membasahi bumi."Lili, Mbak Sofia sudah datang. Kenapa tak bangun, katanya kamu mau bertemu dengan Mbak. Lili maafkan, Mbak, maafkan atas ucapan Mbak yang membuat kehidupanmu menjadi seperti ini," ucap Sofia terdengar lirih. Hanya ada ia dan juga Lisa di dalam kamar rumah sakit ini."Mbak nggak nyangka kamu harus menderita penyakit yang jahat ini. Kenapa nggak pernah bilang sama Mbak, Lili. Andai saja kamu bilang dari awal, mungkin penyakitmu tak akan separah ini, Dek," ujar Sofia sambil menggenggam tangan Lisa dengan penuh harapan agar Lisa kembali bangun."Mbak sudah memaafkanmu, Dek, Mbak ikhlas dan ridha, lagipula selama menjadi adik
"M-mas Adnan," ucap Lisa tergagap saat melihat Adnan yang datang dengan raut wajah tak dapat diartikan."Kamu bohong kan, Dek?" tanyanya sambil memegang bahu Lisa. Lisa hanya diam dengan air mata yang terus mengalir membasahi pipinya."Kenapa, Dek? Kenapa hal seberat ini kamu sembunyikan dari Mas, kamu sudah tak menganggap Mas lagi, Dek?""Maafkan Lisa, Mas, Lisa ...." Tenggorokan Lisa rasanya tercekat, dia bahkan tak mampu melanjutkan ucapannya.***Hampir sebulan sudah lamanya Lisa di rawat di rumah sakit. Setelah pernyataan-pernyataan yang dilontarkan Lisa hari itu juga Adnan merasa dunianya benar-benar hancur. Cobaan bertubi-tubi menghampirinya. Bahkan sekarang, adik kecil kesayangannya pun harus terbaring menahan sakit."Kamu yang kuat ya, Dek, Mas akan usahakan apapun agar kamu bisa kembali seperti semula." Adnan memegang tangan sang Adik, besar harapannya agar Lisa bisa kembali normal seperti sedia kala."Jangan berjuang terlalu keras, Mas. Dokter sudah memvonis bahwa hidupku t
"M-mas Adnan," ucap Lisa tergagap saat melihat Adnan yang datang dengan raut wajah tak dapat diartikan."Kamu bohong kan, Dek?" tanyanya sambil memegang bahu Lisa. Lisa hanya diam dengan air mata yang terus mengalir membasahi pipinya."Kenapa, Dek? Kenapa hal seberat ini kamu sembunyikan dari Mas, kamu sudah tak menganggap Mas lagi, Dek?""Maafkan Lisa, Mas, Lisa ...." Tenggorokan Lisa rasanya tercekat, dia bahkan tak mampu melanjutkan ucapannya.***Hampir sebulan sudah lamanya Lisa di rawat di rumah sakit. Setelah pernyataan-pernyataan yang dilontarkan Lisa hari itu juga Adnan merasa dunianya benar-benar hancur. Cobaan bertubi-tubi menghampirinya. Bahkan sekarang, adik kecil kesayangannya pun harus terbaring menahan sakit."Kamu yang kuat ya, Dek, Mas akan usahakan apapun agar kamu bisa kembali seperti semula." Adnan memegang tangan sang Adik, besar harapannya agar Lisa bisa kembali normal seperti sedia kala."Jangan berjuang terlalu keras, Mas. Dokter sudah memvonis bahwa hidupku t
Sudah hampir dua minggu Hafiz sudah tak lagi menganggu Sofia. Selama itu juga Sofia merasa ada yang hilang. Bahkan, Hafiz bertamu ke rumah Sofia jika Sofia sudah tak ada di rumah."Assalamualaikum.""Wa'alakumsalam warahmatullah," sahut Habibi dan Hafiz serentak. Hafiz yang melihat Sofia pulang, bangkit dari duduknya."Ayah, Hafiz pulang dulu, ya. Nanti Hafiz akan sering-sering mampir lagi ke rumah Ayah," ucap Hafiz tanpa menoleh pada Sofia.Hafiz melalui Sofia sambil menganggukkan kepalanya."Hafiz," panggil Sofia yang melihat ada banyak perubahan pada diri Hafiz."Ya, Sofia, ada apa?" tanya Hafiz sekenanya."Apa aku ada berbuat salah?" tanya Sofia. Entah mengapa dia tiba-tiba mengeluarkan kalimat seperti itu. Melihat sikap Hafiz beberapa Minggu ini membuat Sofia merasa hampa. Seperti ada yang tak beres."Tidak ada. Memangnya kenapa?" Hafiz kembali bertanya pada Sofia."Aku merasa kamu berubah," ucap Sofia menatap Hafiz dengan penuh arti."Aku tidak berubah, Sofia," ucap Hafiz sambil
Hari sudah mulai larut suasana duka menyelimuti keberadaan keluarga Adnan, saat ini Romlah sedang berbaring di ranjang. Karena beberapa kali ia pingsan saat melihat sang putri memasuki liang lahat, bahkan mungkin ia juga lelah karena sempat berdebat dengan putri bungsunya. Bukan berdebat lebih tepatnya, dia marah.Saat ini Adnan duduk termenung di sofa, sambil menatap kosong langit-langit rumahnya. Perasaannya berkecamuk, bercampur aduk menjadi satu. Hingga tak dapat dijelaskan dengan kata-kata lagi. Adnan mengingat kejadian yang membuatnya hampir lepas kendali. Ia merasa sangat bersalah pada adik kecil kesayangannya.Namun di sisi lain, dia senang karena ada seseorang yang membela adik kecilnya saat dalam keadaan yang benar-benar terpuruk."Untuk apa kamu kemari, hah?!" Romlah begitu murka saat melihat Lisa datang saat Rani mulai dimandikan."Anak durhaka kamu, untuk apa lagi kamu kembali. Aku lebih baik kehilanganmu daripada harus kehilangan putri tersayangku.""Ibu." Adnan menatap
"Adnan, ada apa dengan mbakmu?" tanya Romlah yang masih tidak mengerti. "Apa kamu sudah menemukan mbakmu, di mana dia? Ibu akan memarahi dia karena sudah mengambil sertifikat rumah dan juga menggadaikannya." Romlah dengan geram berkata seperti itu."Ibu, Mbak Rani sudah tidak ada." Adnan memegang telapak tangan ibunya. Romlah mengernyitkan keningnya."Tidak ada bagaimana, Adnan? Kamu lagi ngelantur, ya. Kamu kangen ya sama mbakmu?" tanya Romlah sambil meletakkan telapak tangannya di kening milik Adnan."Adnan tidak sakit, Bu, yang menelepon Adnan tadi adalah anggota kepolisian yang mengatakan bahwa mayat milik Mbak Rani ditemukan di hotel ***," ucap Adna yang membuat Romlah shock dan langsung terduduk di lantai.Romlah menatap Adnan mencari kebohongan pada putraya. "Tidak mungkin, Adnan, pasti mereka salah memberikan informasi pada kita," ucap Romlah yang masih enggan untuk percaya, padahal di hati kecilnya dia sangat takut jika itu benar-benar terjadi pada putri kesayangannya."Mak