Dua hari yang lalu Haira dan Ibu Mia kedatangan tamu perempuan cantik dan wangi ketika Aziz sedang bekerja. Katanya mengaku sebagai istri bosnya Aziz. Wanita yang sama pernah menjenguk Ibu Mia di rumah sakit dan memperkenalkan diri dengan nama Anita. Haira sempat curiga, kalau memang istri bos kenapa tidak datang dengan suaminya. Serta ada urgensi apa sampai harus ikut campur menjenguk mertua Haira. Lama-lama semua puzzle itu terasa cocok di kepalanya. Mulai dari pesan mesra di ponsel Aziz sampai sikap suaminya yang agak kasar. Haira menghela napas panjang, dadanya mulai terasa berat. “Haira, kamu melamunkan apa?” tanya Ibu Mia yang ikut duduk di ruang tamu. Menantunya baru saja menidurkan Yoga. “Nggak mikir apa-apa, Buk. Oh iya, besok kita harus kontrol sekali lagi ya, biar jawdal operasi Ibu nggak mundur-mundur lagi.” Haira menyayangi Ibu Mia dengan tulus. Sebab mama kandungnya yang sudah tiada. “Ibu ngerepotin kalian aja sepertinya. Ibu ingin pulang ke rumah.” Wanita paruh bay
Malam hari tiba, Aziz sudah pulang dari tadi dengan senyum terkembang. Tapi keberadaan kepala keluarga itu semakin terasa tidak nyata. Apalah lagi dengan ibunya sendiri, hanya sekadar melihat dan menyapa saja selesai. Tidak ada wujud bakti sebagai anak. Ia merasa sudah cukup dengan memfasilitasi BPJS untuk operasi tiga minggu lagi. Haira baru saja selesai menidurkan Yoga di kamarnya. Wanita bermata sendu itu menyisir rambut yang sepanjang pinggang. Haira berkaca dan merasa wajahnya tidaklah jelek-jelek amat. Tidak pula ada flek hitam, jerawat apalagi bopeng, tapi kenapa Aziz seperti enggan padanya. “Kenapa, ya? Bau badan juga aku nggak, udah pakai deodorant sama parfum.” Haira memang tak secantik Anita, tapi ia telaten menjaga diri agar terlihat menyenangkan di mata suaminya. Ibu satu anak itu menoleh ke belakang, sudah terdengar suara dengkur halus dari Aziz. Ia mendekat dan memeriksa di mana ponsel suaminya. Haira raba bawah bantal, tapi Aziz menggeliat dan ia pun menjauh seben
Haira memuntahkan isi perutnya yang masih hanya air putih saja. Kepala wanita itu terasa pusing dan berputar-putar. Ia berjalan perlahan sembari memegang dinding lalu memilih duduk di kursi dan meminum teh hangat yang ada di meja. “Yoga, sini makannya sama eyang saja, ya.” Ibu Mia berinisiatif untuk mengajak cucunya. Selain itu Haira masih tidak enak badan. “Aku kenapa, ya, tadi baik-baik aja.” Tubuh wanita bermata sendu itu serasa lemas dari ujung rambut sampai kaki. Ia bahkan mulai memijat sendiri kepalanya yang masih berdenyut. Padahal setiap pagi walau belum sarapan ia selalu kuat mengurus semuanya. Kini ia berjalan ke kamar untuk beristirahat, tapi apa daya aroma parfum Aziz tertinggal dan membuat kepalanya semakin pusing. Haira pun menuju ke kamar Yoga. Di sana ia berbaring beberapa saat. Tak lama kemudian Yoga datang mencari mamanya. Anak itu tak bisa lama-lama jauh darinya. Ibu Mia pun menyusul sekalian ada yang ingin diberitahu. “Restu kirim buat tambahan Ibu, siapa tahu
Haira membuka pintu kamar Aziz yang sedang mempersiapkan diri untuk pergi ke kerja. Sebelum wanita yang baru saja memuntahkan isi perutnya itu bicara, suaminya sudah lebih dulu mengatakan akan pulang terlambat. “Ada urusan kerjaan di luar kota mungkin pulang tengah malam. Nggak usah nungguin, kunci aja pintu dari luar,” ucap Aziz yang tak perasa dengan mata Haira yang memerah. “Kok, akhir-akhir ini sering keluar kota, Mas? Bukannya Mas kerjanya di bagian kantor, ya? Apa udah pindah bagian?” “Iya, udah sejak sebulan yang lalu. Naik pangkat.” “Berarti gaji naik juga donk.” “Urusan gaji ngapain kamu mau tahu, yang penting kebutuhan, kan, nggak pernah kekurangan.” Lelaki plin plan itu tak suka istrinya ikut campur terlalu dalam. “Ya udah, iya, maaf, oh, iya, Haira mau kasih tahu sesuatu sama Mas. Penting!” Wanita bermata sendu itu melihat dua tangan di dada. “Nanti aja, Mas mau pergi cepat. Sarapan di luar, mau tukar suasana baru.” Aziz menyisir rambutnya sampai rapi. Ia gunakan pa
Aziz memang mengambil uang hasil menjual perhiasan Haira. Untuk apa? Untuk membahagiakan Anita. Walau pacarnya itu orang kaya raya tapi tetap saja ia lelaki yang ingin tampil sebagai penyedia segalanya. Pada pagi hari, lelaki dengan postur tubuh tinggi tapi tak tegap itu menyempatkan diri untuk menghubungi Anita. Mereka memang tak bisa bertemu karena kesibukan masing-masing. Namun, sepasang kekasih itu meluangkan waktu di sore hari untuk berkencan. “Mas mau kasih sesuatu sama kamu, ya memang murah, tapi ini tulus dari hati Mas,” ucap Aziz sambil tersenyum manis. Senyum yang tak pernah ia lemparkan pada Haira walau sudah lima tahun menikah. Panggilan ditutup, keduanya fokus pada urusan masing-masing. Sesekali Aziz melihat ponsel siapa tahu Anita mengirim pesan padanya. Namun, yang ada hanya pesan dari istri yang menyebalkan. Ia berbohong soal uang yang akan digunakan untuk memperbaiki mobil. Padahal sudah ia benarkan dengan merogoh kantong sendiri. Siang hari ketika jam istirahat,
“Mas Aziz, iya, itu kan mantanku dulu.” Anita—gadis berusia 32 tahun menyeruput es cream rasa vanila cokelat dengan cepat.Kedatangan Anita ke kota kenangan ada sebab, selain karena pekerjaan, juga karena rindu dengan lelaki yang pernah memacarinya selama lima tahun. Anita berdiri dan membawa cup es cremnya, kemudian berpura-pura menabrak bahu Aziz hingga lelaki itu yang meminta maaf lebih duluan.“Anita,” gumam Aziz perlahan dengan mata berbinar.Lama tak jumpa, Anita makin cantik saja dengan bibir pink yang selalu berhasil membuat jantung Aziz berdebar. Gelora yang masih sama seperti dahulu. “Mas Aziz, aduh maaf banget, ya, nggak sengaja. Aku buru-buru. Eh, kamu ke sini sama istri kamu, kan? Ya, udah aku duluan, takut salah paham.” Manis mulut Anita berkilah.“Tunggu, Nit, nomor kamu tukar, ya?” Aziz memegang pergelangan tangan mantannya.“Iya, sih, kan permintaan mama kamu dulu, Mas, biar aku nggak ketahuan ngilang ke mana.”“Hah, mama aku, masak?”“Iya, tanya aja sama dia. Ya udah
“Udah izin sama istri ke sini, belom, Mas? Nita nggak mau loh, ada salah paham di antara kita.” Wanita penggoda itu duduk dengan menaikkan sebelah pahanya. Tersingkap sudah kulit putih halus yang ditutupi rok di atas lutut.“Nggak perlu izin, dia itu istri, bukan atasan, Mas.” Aziz merasa berkuasa.“Oh, gitu, ya, ya, tapi dia istri kamu, loh, Mas, apa nggak ada rasa berdosa?”“Justru Mas merasa berdosa karena nggak jadi menikahi kamu. Sekarang Mas tanya, kamu udah nikah belum?”“Belum.”“Kita nikah, yuk, Nita, masih ada kesempatan bagi kita untuk mewujudkan mimpi kita yang tertunda.”“Aku jadi yang kedua? Nikah sirri, diem-dieman, rahasiaan kalau ketemu. Terus belum kena gampar mama kamu, diviralin istri pertama kamu. Itu yang kamu mau? Terus habis itu pasti kamu janji akan berusaha adil antara aku dan siapa nama istri kamu itu?” Nita mendongakkan dagunya dengan angkuh.“Haira,” jawab Aziz tertunduk malu. “Iya, tapi Mas yakin itu hanya sementara aja, Nita, Haira itu perempuan baik dan
“Ibu, Buk, pakai acara jatuh segala. Haduuh, Haira mana lagi, lelet banget jadi perempuan.” Dengan sekuat tenaga Aziz memapah ibunya yang jatuh ke atas kasur. Ia tak melakukan apa-apa, hanya diam saja, bak orang tak punya pikiran. Kemudian pintu rumah mereka terbuka. Wanita yang ia tunggu datang dengan kepayahan membawa belanjaan di tangan kiri belum lagi Yoga di tangan kanan. Ditambah perut yang berbunyi keroncongan. “Kamu ke mana aja? Ibu pingsan tahu, nggak?” tanya Aziz dengan nada tidak suka. “Hah, kenapa, kok, bisa pingsan, Mas?” Haira menjatuhkan belanjaannya asal saja. Lalu wanita berjilbab lebar itu masuk ke kamar dan melihat keadaan mertua yang ia sayangi. “Mas, telpon ambulance biar dibawa ke rumah sakit. Haira takut Ibu kenapa-kenapa.” Ibu satu anak itu memainkan jemari tangannya. Haira gugup. “Kamu, kan, punya hape, kenapa nggak telpon aja sendiri. Jangan bilang nggak ada pulsa, uang bulanan kamu lebih dari cukup, Mas, kasih.” Aziz berbicara tanpa rasa belas kasihan p