Selang infus menancap di pergelangan tangan Haira. Sementara detak jantungnya terekam di layar monitor kecil di sisi ranjang. Dokter mengatakan kandungannya selamat, untung belum terlambat. Tapi luka yang sebenarnya tak terlihat oleh hasil pemeriksaan medis mana pun.“Napasnya sudah lebih stabil sekarang, Ibu Haira,” ujar perawat sambil mengganti kantong infus yang hampir habis. “Harus banyak istirahat. Jangan stres dulu ya demi si kecil.”Haira hanya mengangguk pelan. Matanya sembab, tetapi sudah tak ada air mata tersisa. Hati yang patah tak selalu menjerit bahkan kadang hanya diam demi menahan sakit.Di luar ruangan, Aziz berdiri terpaku. Ia sudah datang sejak tadi pagi, tapi belum juga masuk. Tangannya gemetar, matanya merah karena kurang tidur. Tapi bukan itu yang paling menyiksa. Bukan rasa bersalah yang menghantui tapi pikirannya masih tertuju pada Anita.“Masuk,” ucap dokter yang keluar dari ruang perawatan. “Bapak suaminya, bukan? Dia butuh dukungan, Pak Aziz. Tapi tolong jang
Di ballroom Museum Kebudayaan Nasional, Rusyana berdiri di podium dengan gaun biru gelap berkerah tinggi. Wanita itu terlihat anggun dan mencuri perhatian. Ia sedang membuka diskusi panel tentang keterlibatan perempuan dalam reformasi transparansi bisnis sektor publik.“Korupsi tidak hanya merusak angka, tapi juga menghancurkan wajah-wajah keluarga,” ucap Rusyana di hadapan diplomat, aktivis, dan tokoh media yang hadir.Tepuk tangan menggema. Di antara para hadirin, satu reporter investigasi bernama Reza Halim mencatat bukan hanya kata-kata Rusyana, tapi ekspresi dan gestur tubuhnya yang menyimpan lebih banyak misteri lebih dari sekadar pidato.Usai acara, Rusyana melangkah menuju ruang privat lantai atas. Di dalam, asistennya sudah menunggu dengan sebuah folder berisi laporan keuangan grup milik Darmadi.“Transfer ke akun Anita Savitri. Dua kali dalam sebulan. Total dua miliar.” Rusyana membuka halaman pertama.“Termasuk pemesanan suite hotel atas nama pihak ketiga.” Asistennya menun
Waktu melambat di ruang pemulihan. Monitor di sisi tempat tidur menampilkan detak jantung yang stabil, lembut, serta teratur. Tanda bahwa prosedur berhasil. Namun di luar tubuh yang tenang, dunia masih bergemuruh di sekitar Haira.Wanita itu duduk di kursi yang sama, jari-jarinya tak lagi menggenggam ponsel, melainkan tangan Ibu Mia yang kini lebih hangat dari pagi tadi. Ia menatap wajah yang sudah dikenal selama beberapa tahun lamanya. Wajah Haira menyimpan rasa syukur yang tak sempat ia ucapkan.“Terima kasih, Bu, sudah bertahan, sekarang cepat sadar ya, biar kita bisa pulang.”Langkah kaki pelan terdengar dari lorong luar. Seorang perawat masuk membawa laporan pasca operasi, tersenyum sambil meletakkan map di meja kecil.“Pasien stabil. Tapi perlu observasi dua hari. Pastikan tidak terlalu banyak pengunjung, ya, Mbak Haira.”Haira mengangguk cepat. “Iya, Mbak. Saya pasti menjaga ibu dengan baik.”Perawat itu kemudian keluar. Lalu di saat yang bersamaan ponsel Haira bergetar.[Giman
Rumah Sakit Harapan Sejahtera pagi itu penuh sesak. Lorong-lorong dipenuhi pasien yang duduk menunggu giliran, beberapa di kursi roda, sebagian lagi bersandar pasrah di dinding.Bau khas rumah sakit yaitu campuran antiseptik, alkohol, dan obat-obatan menguar di udara, dan menusuk hidung tetapi juga membawa rasa aman yang membuat diri merasa tenang.Haira menggenggam tangan Ibu Mia erat-erat saat mereka duduk di ruang tunggu kardiologi. Ibu Mia mengenakan kerudung abu-abu dan jaket tipis, wajahnya tampak pucat tapi tetap tersenyum.“Kamu sudah kasih makan Yoga, kan?” tanya Ibu Mia pelan.“Sudah, Bu. Ima juga janji mau ajak dia main sepeda sore nanti,” jawab Haira sambil tersenyum, meski matanya tak bisa menyembunyikan rasa cemas.“Ima itu baik, ya. Tapi kamu jangan terlalu merepotkan dia.”“Nggak repot, Bu. Yoga juga senang sama Tante Ima.”Suara panggilan dari pengeras suara terdengar. “Pasien atas nama Ibu Mia Suryani, silakan masuk ke ruang 3.”Haira berdiri dan membantu ibunya bang
Haira berdiri di ambang pintu, tubuhnya berada dalam balutan mukena. Pagi itu, aroma kopi hitam buatan Aziz tak lagi menghangatkan ruangan. Haira tahu, begitu pula dengan suaminya, suasana memang sangat tidak bisa diajak berkompromi. Tapi keduanya memilih diam, dan tak mau saling menyapa terlebih dahulu.Di sudut ruang makan, Ibu Mia mengaduk teh hangatnya yang sudah dingin. Tangan tuanya gemetar perlahan, bukan karena usia, tapi karena kesunyian yang tiba-tiba tercipta di dalam rumah. Tatapan mata Ibu Mia berpindah dari Haira ke Aziz, lalu kembali ke cangkir teh yang tak sanggup ia minum.“Apa kalian berdua baik-baik saja?” Suara wanita tua itu terdengar serak.Semakin lama tubuh rapuhnya semakin tidak sehat saja. Sejak Anita mengakui perselingkuhannya dengan Aziz, tidak ada satu hari pun yang luput dari memikirkan keadaanya rumah tangga anaknya.Tak ada jawaban. Hanya langkah Haira yang berbalik perlahan. Wanita itu memilih kembali ke kamar. Aziz menunduk, memperhatikan garis retak
Aziz memarkir mobil miliknya di halaman rumah. Genangan air sisa hujan di pekarangan memantulkan cahaya lampu dari beranda. Udara segar menyeruak ke dalam hidungnya saat ia membuka pintu mobil, bersama dengan aroma yang masih menempel di bajunya.Aroma parfum mahal Anita dan sedikit jejak makanan yang tadi mereka pesan. Aziz sedikit terhuyung karena sampanye yang ia minum . Lebih menyedihkan dan sialnya, bukan dia yang membayar makan malam itu.Anita menggesek kartunya dengan senyum menggoda, seolah membayar tagihan hampir delapan ratus ribu rupiah itu adalah hal kecil. Bagi wanita seperti Anita, mungkin memang iya. Tapi bagi Aziz, itu adalah tamparan. Tamparan lembut dari selingkuhan yang sukses menggores harga diri lelakinya.Aziz menatap pintu rumah yang tertutup rapat. Ia menggertakkan gigi, menahan emosi yang sudah mendidih sejak tadi. Uangnya tipis, mobilnya perlu perbaikkan, dan sekarang wanita yang seharusnya ia ratukan justru membuatnya merasa hina.Lelaki tak tahu diri itu bu