Share

Wanita Penggoda

Penulis: Rosa Rasyidin
last update Terakhir Diperbarui: 2023-11-10 01:47:50

“Udah izin sama istri ke sini, belom, Mas? Nita nggak mau loh, ada salah paham di antara kita.” Wanita penggoda itu duduk dengan menaikkan sebelah pahanya. Tersingkap sudah kulit putih halus yang ditutupi rok di atas lutut.

“Nggak perlu izin, dia itu istri, bukan atasan, Mas.” Aziz merasa berkuasa.

“Oh, gitu, ya, ya, tapi dia istri kamu, loh, Mas, apa nggak ada rasa berdosa?”

“Justru Mas merasa berdosa karena nggak jadi menikahi kamu. Sekarang Mas tanya, kamu udah nikah belum?”

“Belum.”

“Kita nikah, yuk, Nita, masih ada kesempatan bagi kita untuk mewujudkan mimpi kita yang tertunda.”

“Aku jadi yang kedua? Nikah sirri, diem-dieman, rahasiaan kalau ketemu. Terus belum kena gampar mama kamu, diviralin istri pertama kamu. Itu yang kamu mau? Terus habis itu pasti kamu janji akan berusaha adil antara aku dan siapa nama istri kamu itu?” Nita mendongakkan dagunya dengan angkuh.

“Haira,” jawab Aziz tertunduk malu. “Iya, tapi Mas yakin itu hanya sementara aja, Nita, Haira itu perempuan baik dan hatinya lembut. Dia pasti akan menerima kehadiran kamu walau lambat.”

“Dia yang terima, Mas. Aku yang nggak. Jadi, pertemuan kita cukup sampai di sini aja, ya. Nita kirain ada agenda penting misalnya bisnis gitu yang mau kamu buat sama Nita, Mas, ternyata janji-janji manis berangin surga. Ya, maaf, Nita, pulang duluan, Mas.” Wanita bertubuh singset dengan pakaian pas body itu beranjak meninggalkan Aziz yang melongo sendirian.

Cinta itu masih ada, sangat besar dalam hati Aziz, tapi sayangnya Nita tak menyambut dengan mudah.

“Ini baru pemanasan, Mas. Nanti akan aku buat kamu mengemis cinta sama aku, dan buanglah istri kamu itu jauh-jauh.” Pemiliki merk skin care itu melajukan mobilnya.

Bahkan yang ia kendarai kini jauh lebih mewah dari yang sang mantan miliki. Harta kekayaan sudah dimiliki oleh Nita. Hanya saja hatinya masih kosong dari cinta.

***

Aziz pulang ke rumah dengan keadaan patah hati. Tadi ia membayangkan cintanya disambut dengan mudah oleh Nita.

Suara pintu terbuka membuyarkan lamunan lelaki satu anak itu. Bayangan lekuk tubuh Nita berganti dengan wujud Haira yang lebih nyata. Perempuan sederhana dan penyayang yang dipilihkan oleh sang ibu untuknya.

“Mas, tadi Haira tu k—”

“Bisa diem dulu nggak, Mas capek, di luar banyak kerjaan. Jadi urus aja semua sendiri. Kamu, kan, udah dikasih uang bulanan yang lebih dari cukup. Jadi nggak ada alasan untuk merengek lagi!” potong Aziz tanpa perasaan.

“Iya, tapi Haira bukan ngomongin soal uang, Mas. Ibu kamu sakit, dia minta kamu datang ke rumah.” Biasanya Haira tak suka menyahut. Tapi karena ini soal kesehatan mertuanya ia pun terpaksa berbicara.

“Kenapa nggak ngabarin dari tadi siang, Haira!”

“Kamu, kan, sibuk kalau di luar.”

“Ya, udah besok pagi Mas ke sana.”

“Sama, ya, Mas, Haira juga mau ngurus ibu.”

“Atau kalau repot suruh aja Ibu pindah ke sini. Ibu, kan lebih deket sama kamu. Sampai-sampai Mas harus dijodohon juga sama kamu.”

“Maksudnya, Mas? Kok, tumben yang beginian diungkit lagi?” Kening Haira berkerut mendengar hal itu diulang lagi.

“Maksud, Mas, suruh ibu pindah ke sini, itu aja, ngerti nggak kamu?”

“Ngerti, Mas. Tapi ibunya nggak mau. Dia minta kamu datang ke sana. Ibu mau di rumah itu sampai beliau menutup mata, gitu katanya.”

“Kamu nggak bermaksud doain ibu mati, kan, Haira?”

“Enggak, loh, Mas, Ya Allah, Haira cuman nyampaikan aja. Mas kenapa, sih? Kok, hari ini ketus?”

“Capek, udah diem ya, jangan ribut lagi.” Aziz merebahkan diri di ranjang. Yoga yang berusia tiga tahun lebih datang, berlari dan langsung melompat ke pelukan ayahnya. “Sana dulu, Papa capek, sama mama aja.” Lelaki itu menepis anaknya sendiri. Pesona Nita telah melampaui akal pikirannya.

“Sini, Nak, ayo balik tidur ke kamar kamu.” Haira membawa Yoga yang merengek, tapi apa mau dikata lagi. Aziz bahkan sudah menutup dirinya dengan selimut. Namun, ketika anak dan istrinya keluar, ia mengambil ponsel dan mencoba menghubungi Nita. Sayangnya tak diangkat.

[Pokoknya besok kita harus ketemu lagi. Akan Mas cari tahu di mana kamu kerja!]

Aziz tak peduli walau tak ada balasan sekali pun. Nita harus menjadi miliknya, walau ia nanti akan menentang kata ibunya.

“Aku suka yang kayak gini. Coba aja kamu agresif dari dulu, Mas. Jadi aku nggak harus menghancurkan rumah tangga orang. Sorry, Haira, tapi Mas Aziz punya aku dari awal.” Nita menatap foto-foto lama mereka berdua ketika masih pacaran. Lima tahun, bukan waktu yang sebentar untuk mengaburkan rasa di dalam hati.

***

Aziz pergi ke rumah ibunya bersama Haira dan Yoga. Sepanjang jalan lelaki itu hanya diam saja. Ia sudah meminta temannya untuk mencari tahu di mana Nita bekerja, tapi belum ada hasil.

“Haira, di rumah ibu ada kebutuhan pokok, nggak?” Tiba-tiba Aziz menghentikan mobilnya.

“Ada, Mas.”

“Kamu beli aja lagi, ya, semuanya, jangan sampai ibu kekurangan, itu di depan ada mini market. Beli semua yang dibutuhin.” Lelaki dengan kumis tipis itu menyerahkan beberapa lembar uang pada Haira.

“Masih ada, kok, Mas, buat apa lagi dibeli.” Wanita dengan jilbab lebar tersebut menatap uang yang diberikan suaminya.

“Bisa nggak kalau disuruh beli tu, beli aja, nggak usah banyak tanya, ngerti nggak?”

“Iya, ngerti, iya, maaf, Mas.” Haira mengalah daripada ribut. Nanti pulang ke rumah mertua dia bisa pakai ojeg pengkolan.

“Sekalian belikan popok buat ibu, Nita. Buat jaga-jaga.”

“Beli popok, Nita? Maksud kamu, Mas? Ibu cuman pusing, bukan … astagfhirullah, kamu tu Mas kayak doain ibu kamu sakit parah!” geram Haira dibuatnya.

Tak mau ribut di pinggir jalan, Aziz menjalankan mobilnya terlebih dahulu. Tiba-tiba saja masuk pesan dari Nita. Dengan senyum lebar lelaki itu membuka dan pesan klise yang tertulis, udah makan belum?

[Belum, Nit, tadi Haira nggak sempat masak,] jawab Aziz jujur. Karena memang dia sendiri yang meminta Haira cepat bersiap.

[Oh, maaf, Mas, salah kirim, pesan bukan buat kamu. Have fun, ya, sama anak istri, sorry ganggu.]

Balasan pesan barusan membuat hati Aziz kian memanas. Ia berpikir Nita sudah punya pacar baru. Sedangkan rasa cinta di hatinya masih sama menggebu-gebu seperti dulu.

“Nggak bisa, nggak! Aku bisa biarin kamu sama laki-laki lain.” Papa Yoga membelokkan mobilnya ke sebuah rumah.

Ia masuk ke rumah ibunya yang sepi. Kemudian suara batuk terdengar, lelaki itu segera ke kamar.

“Ibuk,” ucap Aziz dengan tatapan mata tak suka. Ia ingat kata Nita kalau wanita itu diminta mundur dulu.

“Aziz, Nak, kamu datang juga. Apa kab—”

“Saya mau tanya. Apa bener dulu Ibu yang minta Nita mundur dari hubungan kami?” Alih-alih bertanya bagaimana keadaan ibunya, Aziz malah mengurus yang bukan urusannya.

“Kalau iya, kenapa, Nak?”

“Alasannya? Ibuk tahu, kan, kalau saya sama Nita pacaran udah lima tahun lebih.”

“Kenapa harus sekarang dibahas, kamu udah nikah malah udah punya anak. Anita cuma masa lalu kamu.”

“Saya cuman ingin tahu.”

“Karena Nita kalau kamu jadikan istri, dia nggak akan bisa patuh sama kamu, dia tipikal perempuan yang mementingkan karir di atas segala-galanya. Dia nggak akan bisa hormat sama kamu, Nak. Kamu sibuk, dia sibuk, yang ngurus anak nanti siapa? Ibu udah sering jumpa perempuan seperti Anita. Nikah sebentar sering ribut ujungnya cerai! Kamu mau seperti itu? Udahlah, udah ada Haira, kan? Dia nggak banyak tingkah dan banyak permintaan. Dia nggak akan buat pusing kamu dengan sikap keras kepalanya.”

Aziz menarik napas sejenak. Alasan yang terlalu mengada-ngada. Ia yakin masih ada yang disembunyikan oleh ibunya.

“Tapi saya masih cinta sama Anita, Buk. Saya ingin menjadikan dia istri, terserah baik ibuk atau Haira nggak setuju. Saya sudah turuti permintaan ibuk untuk menikahi Haira. Sekarang saya harus memikirkan kebahagiaan saya sendiri.”

Bak petir di siang hari wanita paruh baya itu mendengar perkataan anak kesayangannya. Tak cukupkah Haira saja di rumah? Lalu sakit kepalanya kambuh kian menjadi. Ibunya Aziz terjatuh di lantai.

Bersambung …

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • SUMPAH PELAKOR   57. Kehilangan

    Udara di gang kos-kosan Ima terasa lembab, sisa hujan semalam yang meninggalkan aroma tanah basah. Di dalam kamar sederhana itu, Haira duduk bersila di atas kasur, berkas-berkas perceraian tertata rapi di depannya, fotokopi KTP, surat nikah, bukti perselingkuhan, dan surat rujukan dari rumah sakit.Ima menyodorkan map biru dan termos kecil berisi teh hangat. “Mbak, jangan lupa minum, kelihatan pucat banget wajahnya.”“Mbak nggak mau tunda lagi, Ma. Semakin lama, nanti takutnya ada perasaan ingin berdamai, kamu tahu sendiri Mbak gampang kasihan, jadi selagi benci itu masih ada, ya urus secepatnya.”Ima mengangguk, lalu memeluk kakaknya sebentar sebelum Haira beranjak pergi. Yoga ditinggal di rumah. Haira memesan taksi online sesuai janji pertemuan dengan pengacara di kantor hukum.Saat ia berjalan ke ujung gang, sebuah mobil berhenti dan jendelanya terbuka. Suara laki-laki yang cukup dikenali terdengar.“Mbak?”Haira menoleh. Restu duduk di kursi penumpang depan, mengenakan kemeja sede

  • SUMPAH PELAKOR   56. Induk Serigala

    “Apa maksudnya ini?” Darmadi tertegun.“Aku pikir kamu perlu diingatkan siapa yang paling bisa menyentuh hidup Anita dari arah yang tak terduga, selain ibunya tentu adiknya.” Rusyana tersenyum penuh kemenangan.“Rusyana, jangan libatkan anak kecil.” Darmadi meletakkan jam tangan pemberian istrinya di meja.Rusyana mengelus rambut Alita pelan, “Mbak Anita akan baik-baik saja, ya, Sayang. Selama Om Darmadi membuat pilihan yang tepat,” bisiknya tajam dan menyakitkan.Alita menoleh dan tersenyum. Belum 24 jam ia di sana tapi perlakuan Rusyana padanya cukup baik. Gadis kecil itu belum mengerti permainan yang sedang berlangsung.“Kamu harus pilih, aku atau Anita. Kalau kamu tetap main dua kaki, aku pastikan Alita akan jadi pintu masuk ke kehancuran Anita. Sekolahnya, masa depannya, bahkan keselamatannya and remember semua barang bukti korupsi kamu tinggal aku beberkan sama KPK.”Darmadi menatap Rusyana, wajahnya mulai pucat. Jika ia dijuluki serigala putih dalam jagad bisnis, maka istrinya

  • SUMPAH PELAKOR   55. Kejam

    Ambulans melaju di jalan demi mengejar waktu untuk menyelamatkan satu buah nyawa. Di dalamnya, Anita duduk di samping ranjang ibunya yang masih koma, tangan ibunya dingin dan tak bergerak.Monitor portabel menunjukkan detak jantung yang stabil tapi lemah. Seorang perawat duduk di ujung, memantau tekanan darah sambil sesekali mencatat.Tujuan mereka rumah sakit besar di kota, tempat Haira dulu dirawat, karena di sana fasilitasnya sangat bagus. Bagi Anita, tempat itu seperti kutukan baginya. Ia ingat sekali secara spontan mendorong Haira hingga kandungan wanita itu gugur lalu ibunya kini yang gantian dirawat.Saat mobil memasuki gerbang rumah sakit, Anita menatap gedung itu dengan mata kosong. Di benaknya, kenangan masa kecilnya yang kelam mulai menyeruak.Ia teringat dengan rumah sempitnya di kampung, dengan dinding triplek dan kipas angin tua yang sudah mulai karatan. Ayahnya, seorang tukang servis elektronik, sering pulang larut malam dengan bau rokok dan parfum perempuan lain. Ibuny

  • SUMPAH PELAKOR   54. Mata dan Telinga

    Taksi online berhenti di depan kos-kosan Ima yang sederhana, Restu turun untuk membuka pintu penumpang. Haira melangkah pelan, tubuhnya masih lemah, wajahnya pucat. Ada tas kecil berisi obat dan surat kontrol didalamnya.Kos-kosan Ima berada di lantai dua, dan Restu menuntunnya naik tangga satu per satu. Ketika masuk, Ima sudah menyiapkan makanan kecil di pojok, dengan kasur bersprei bersih dan termos air hangat di meja.“Mbak, istirahat dulu, ya. Dokter bilang jangan banyak pikiran,” katanya pelan.Haira hanya mengangguk. Ia duduk di kasur, lalu berbaring perlahan. Matanya menatap langit-langit. Di perutnya, bekas luka operasi masih terasa. Tapi yang lebih menyakitkan adalah luka yang tak terlihat.Restu duduk di kursi dekat jendela, sembari menatap ponselnya. Tak ada pesan dari Aziz. Bahkan saat Haira keluar dari rumah sakit tadi pagi.Ima meletakkan selimut di kaki Haira, lalu keluar sebentar untuk menyiapkan makan malam. Di dalam kamar, Restu dan Haira terdiam, Yoga juga masih ter

  • SUMPAH PELAKOR   53. Sumpah Serapah

    Haira ditemukan oleh perawat yang sedang kontrol rutin, lalu dibantu oleh tiga perawat lainnya dan segera dilakukan penanganan pertama.Alarm monitor berbunyi cepat. Detak jantung Haira melonjak, tekanan darahnya turun drastis. Perawat bergegas memanggil dokter jaga, dan dalam hitungan menit, tim medis sudah berkumpul di ruang rawat. Salah satu dokter memeriksa hasil USG.“Janin tidak menunjukkan aktivitas. Ada perdarahan internal ringan. Kita harus ambil tindakan segera,” kata dokter cepat.Haira menggigil, tubuhnya lemah, tapi matanya terbuka. Ia mendengar semuanya. Ia tahu. Tangannya masih di perut, tapi denyut yang tadi menenangkannya kini hilang. Ia tak menangis sebab air matanya telah kering, dan hanya diam.“Pasien butuh tindakan pengangkatan. Kami perlu persetujuan wali,” ujar dokter kepada perawat.“Suaminya?” tanya perawat.“Sedang dalam perjalanan,” jawab Restu yang baru masuk kembali ke ruang tunggu, wajahnya cemas. “Dia bilang sudah dekat.”Dokter mengangguk, tapi waktu t

  • SUMPAH PELAKOR   52. Keputusan

    Restu membawa sebungkus roti isi dan teh hangat yang sudah mulai dingin. Dua hari berlalu sejak Haira dilarikan ke rumah sakit, dan sejak itu, senyumnya seolah ikut menghilang.Ia duduk bersandar di ranjang, menatap jendela yang memantulkan cahaya mentari. Tatapan matanya kosong, seperti sedang berbicara dengan sesuatu yang tak terlihat.Restu melangkah pelan, meletakkan bungkusan di meja kecil.“Aku bawain teh yang kamu suka, Mbak,” katanya. Haira hanya mengangguk, tanpa menoleh.Keheningan menggantung di antara mereka. Restu duduk di kursi, ia ingin bertanya, meski sudah tahu apa jawabannya. Tebakan Restu masalah yang dialami Haira tak jauh dari Aziz dan Anita.“Mbak, kalau kamu mau cerita, nggak apa-apa.”Haira mengedipkan mata perlahan. ”Mas Aziz ke sini hanya sebentar sekali, dia memang tak punya hati.”Restu menahan napas. Ia tahu, luka Haira bukan cuma fisik. Ada sesuatu yang lebih dalam. Ia tak tahu harus berbuat apa, tapi ia tahu satu hal, ia tak akan pergi.“Besok mungkin sud

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status