LOGIN“Udah izin sama istri ke sini, belom, Mas? Nita nggak mau loh, ada salah paham di antara kita.” Wanita penggoda itu duduk dengan menaikkan sebelah pahanya. Tersingkap sudah kulit putih halus yang ditutupi rok di atas lutut.
“Nggak perlu izin, dia itu istri, bukan atasan, Mas.” Aziz merasa berkuasa.
“Oh, gitu, ya, ya, tapi dia istri kamu, loh, Mas, apa nggak ada rasa berdosa?”
“Justru Mas merasa berdosa karena nggak jadi menikahi kamu. Sekarang Mas tanya, kamu udah nikah belum?”
“Belum.”
“Kita nikah, yuk, Nita, masih ada kesempatan bagi kita untuk mewujudkan mimpi kita yang tertunda.”
“Aku jadi yang kedua? Nikah sirri, diem-dieman, rahasiaan kalau ketemu. Terus belum kena gampar mama kamu, diviralin istri pertama kamu. Itu yang kamu mau? Terus habis itu pasti kamu janji akan berusaha adil antara aku dan siapa nama istri kamu itu?” Nita mendongakkan dagunya dengan angkuh.
“Haira,” jawab Aziz tertunduk malu. “Iya, tapi Mas yakin itu hanya sementara aja, Nita, Haira itu perempuan baik dan hatinya lembut. Dia pasti akan menerima kehadiran kamu walau lambat.”
“Dia yang terima, Mas. Aku yang nggak. Jadi, pertemuan kita cukup sampai di sini aja, ya. Nita kirain ada agenda penting misalnya bisnis gitu yang mau kamu buat sama Nita, Mas, ternyata janji-janji manis berangin surga. Ya, maaf, Nita, pulang duluan, Mas.” Wanita bertubuh singset dengan pakaian pas body itu beranjak meninggalkan Aziz yang melongo sendirian.
Cinta itu masih ada, sangat besar dalam hati Aziz, tapi sayangnya Nita tak menyambut dengan mudah.
“Ini baru pemanasan, Mas. Nanti akan aku buat kamu mengemis cinta sama aku, dan buanglah istri kamu itu jauh-jauh.” Pemilik merk skin care itu melajukan mobilnya.
Bahkan yang ia kendarai kini jauh lebih mewah dari yang sang mantan miliki. Harta kekayaan sudah dimiliki oleh Nita. Hanya saja hatinya masih kosong dari cinta.
***
Aziz pulang ke rumah dengan keadaan patah hati. Tadi ia membayangkan cintanya disambut dengan mudah oleh Nita.
Suara pintu terbuka membuyarkan lamunan lelaki satu anak itu. Bayangan lekuk tubuh Nita berganti dengan wujud Haira yang lebih nyata. Perempuan sederhana dan penyayang yang dipilihkan oleh sang ibu untuknya.
“Mas, tadi aku tu k—”
“Bisa diem dulu nggak, Mas capek, di luar banyak kerjaan. Jadi urus aja semua sendiri. Kamu, kan, udah dikasih uang bulanan yang lebih dari cukup. Jadi nggak ada alasan untuk merengek lagi!” potong Aziz tanpa perasaan.
“Iya, tapi aku bukan ngomongin soal uang, Mas. Ibu kamu sakit, dia minta kamu datang ke rumah.” Biasanya Haira tak suka menyahut. Tapi karena ini soal kesehatan mertuanya ia pun terpaksa berbicara.
“Kenapa nggak ngabarin dari tadi siang, Haira!”
“Kamu, kan, sibuk kalau di luar.”
“Ya, udah besok pagi Mas ke sana.”
“Sama, ya, Mas, Haira juga mau ngurus ibu.”
“Atau kalau repot suruh aja Ibu pindah ke sini. Ibu, kan lebih deket sama kamu. Sampai-sampai Mas harus dijodohon juga sama kamu.”
“Maksudnya, Mas? Kok, tumben yang beginian diungkit lagi?” Kening Nita berkerut mendengar hal itu diulang lagi.
“Maksud, Mas, suruh ibu pindah ke sini, itu aja, ngerti nggak kamu?”
“Ngerti, Mas. Tapi ibunya nggak mau. Dia minta kamu datang ke sana. Ibu mau di rumah itu sampai beliau menutup mata, gitu katanya.”
“Kamu nggak bermaksud doain ibu mati, kan, Haira?”
“Enggak, loh, Mas, Ya Allah, Haira cuman nyampaikan aja. Mas kenapa, sih? Kok, hari ini ketus?”
“Capek, udah diem ya, jangan ribut lagi.” Aziz merebahkan diri di ranjang. Yoga yang berusia tiga tahun lebih datang, berlari dan langsung melompat ke pelukan ayahnya. “Sana dulu, Papa capek, sama mama aja.” Lelaki itu menepis anaknya sendiri. Pesona Nita telah melampaui akal pikirannya.
“Sini, Nak, ayo balik tidur ke kamar kamu.” Haira membawa Yoga yang merengek, tapi apa mau dikata lagi. Aziz bahkan sudah menutup dirinya dengan selimut. Namun, ketika anak dan istrinya keluar, ia mengambil ponsel dan mencoba menghubungi Nita. Sayangnya tak diangkat.
[Pokoknya besok kita harus ketemu lagi. Akan Mas cari tahu di mana kamu kerja!]
Aziz tak peduli walau tak ada balasan sekali pun. Nita harus menjadi miliknya, walau ia nanti akan menentang kata ibunya.
“Aku suka yang kayak gini. Coba aja kamu agresif dari dulu, Mas. Jadi aku nggak harus menghancurkan rumah tangga orang. Sorry, Haira, tapi Mas Aziz punya aku dari awal.” Nita menatap foto-foto lama mereka berdua ketika masih pacaran. Lima tahun, bukan waktu yang sebentar untuk mengaburkan rasa di dalam hati.
***
Aziz pergi ke rumah ibunya bersama Haira dan Yoga. Sepanjang jalan lelaki itu hanya diam saja. Ia sudah meminta temannya untuk mencari tahu di mana Nita bekerja, tapi belum ada hasil.
“Haira, di rumah ibu ada kebutuhan pokok, nggak?” Tiba-tiba Aziz menghentikan mobilnya.
“Ada, Mas.”
“Kamu beli aja lagi, ya, semuanya, jangan sampai ibu kekurangan, itu di depan ada mini market. Beli semua yang dibutuhin.” Lelaki dengan kumis tipis itu menyerahkan beberapa lembar uang pada Haira.
“Masih ada, kok, Mas, buat apa lagi dibeli.” Wanita dengan jilbab lebar tersebut menatap uang yang diberikan suaminya.
“Bisa nggak kalau disuruh beli tu, beli aja, nggak usah banyak tanya, ngerti nggak?”
“Iya, ngerti, iya, maaf, Mas.” Haira mengalah daripada ribut. Nanti pulang ke rumah mertua dia bisa pakai ojeg pengkolan.
“Sekalian belikan popok buat ibu, Nita. Buat jaga-jaga.”
“Beli popok, Nita? Maksud kamu, Mas? Ibu cuman pusing, bukan … astaghfirullah, kamu tu Mas kayak doain ibu kamu sakit parah!” geram Nita dibuatnya.
Tak mau ribut di pinggir jalan, Aziz menjalankan mobilnya terlebih dahulu. Tiba-tiba saja masuk pesan dari Nita. Dengan senyum lebar lelaki itu membuka dan pesan klise yang tertulis, udah makan belum?
[Belum, Nit, tadi Haira nggak sempat masak,] jawab Aziz jujur. Karena memang dia sendiri yang meminta Haira cepat bersiap.
[Oh, maaf, Mas, salah kirim, pesan bukan buat kamu. Have fun, ya, sama anak istri, sorry ganggu.]
Balasan pesan barusan membuat hati Aziz kian memanas. Ia berpikir Nita sudah punya pacar baru. Sedangkan rasa cinta di hatinya masih sama menggebu-gebu seperti dulu.
“Nggak bisa, nggak! Aku bisa biarin kamu sama laki-laki lain.” Papa Yoga membelokkan mobilnya ke sebuah rumah.
Ia masuk ke rumah ibunya yang sepi. Kemudian suara batuk terdengar, lelaki itu segera ke kamar.
“Ibuk,” ucap Aziz dengan tatapan mata tak suka. Ia ingat kata Nita kalau wanita itu diminta mundur dulu.
“Aziz, Nak, kamu datang juga. Apa kab—”
“Saya mau tanya. Apa bener dulu Ibu yang minta Nita mundur dari hubungan kami?” Alih-alih bertanya bagaimana keadaan ibunya, Aziz malah mengurus yang bukan urusannya.
“Kalau iya, kenapa, Nak?”
“Alasannya? Ibuk tahu, kan, kalau saya sama Nita pacaran udah lima tahun lebih.”
“Kenapa harus sekarang dibahas, kamu udah nikah malah udah punya anak. Anita cuma masa lalu kamu.”
“Saya cuman ingin tahu.”
“Karena Nita kalau kamu jadikan istri, dia nggak akan bisa patuh sama kamu, dia tipikal perempuan yang mementingkan karir di atas segala-galanya. Dia nggak akan bisa hormat sama kamu, Nak. Kamu sibuk, dia sibuk, yang ngurus anak nanti siapa? Ibu udah sering jumpa perempuan seperti Anita. Nikah sebentar sering ribut ujungnya cerai! Kamu mau seperti itu? Udahlah, udah ada Haira, kan? Dia nggak banyak tingkah dan banyak permintaan. Dia nggak akan buat pusing kamu dengan sikap keras kepalanya.”
Aziz menarik napas sejenak. Alasan yang terlalu mengada-ngada. Ia yakin masih ada yang disembunyikan oleh ibunya.
“Tapi saya masih cinta sama Anita, Buk. Saya ingin menjadikan dia istri, terserah baik ibuk atau Haira nggak setuju. Saya sudah turuti permintaan ibuk untuk menikahi Haira. Sekarang saya harus memikirkan kebahagiaan saya sendiri.”
Bak petir di siang hari wanita paruh baya itu mendengar perkataan anak kesayangannya. Tak cukupkah Haira saja di rumah? Lalu sakit kepalanya kambuh kian menjadi. Ibunya Aziz terjatuh di lantai.
Bersambung …
Sirene ambulans menyala di malam hari. Haira duduk di sisi tandu, mengenakan sarung tangan medis, matanya terus memantau monitor tekanan darah dan detak jantung janin.Anita masih setengah sadar, wajahnya pucat, pelipis diperban, dan perutnya terlihat mulai membuncit. Sesekali ia mengerang pelan, dan tubuhnya menggigil.Haira menatapnya. “Tenang. Kamu akan sampai di rumah sakit sebentar lagi. Bayimu masih bertahan.”Tenaga medis di sisi lain mengatur infus dan oksigen. Haira meraih ponselnya, membuka kontak Aziz, lalu menekan panggilan.Suara sambungan berdering lalu tersambung.“Ya?” jawab Aziz.“Mas Aziz, ini Haira. Anita kecelakaan. Dia ditabrak mobil di depan klinik. Sekarang Haira ikut ambulans ke rumah sakit. Kamu harus datang, sekarang.”Aziz terdiam sejenak. “Kecelakaan? Parah?”“Cukup serius. Dia lagi hamil. Kamu harus ada.”Aziz menghela napas. “Baik. Mas segera ke sana.”Haira menutup panggilan, lalu menatap Anita yang mulai membuka mata perlahan.“Haira.” Suara Anita nyaris
“Mbak, pasien baru datang, bisa periksa sekarang?” Suara Ima terdengar dari balik pintu ruang istirahat.Haira bangkit dari kursi, merapikan kerudungnya, lalu melangkah ke ruang periksa. Di sana, seorang ibu muda duduk sambil menggendong bayi, wajahnya cemas tapi penuh harapan. Haira menyapa dengan senyum hangat, lalu mulai pemeriksaan.Hari-hari di klinik kini sibuk. Promosi sederhana lewat selebaran dan rekomendasi dari mulut ke mulut mulai membuahkan hasil.Pasien datang dari lingkungan sekitar mulai dari ibu hamil, balita, bahkan lansia yang butuh perawatan ringan. Klinik kecil itu mulai hidup, dan Haira tak lagi punya waktu untuk meratapi masa lalu.Di sela-sela kesibukan, Yoga kini sudah mulai sekolah. Setiap pagi, Haira mengantar anaknya dengan motor kecil, lalu kembali ke klinik dengan semangat baru. Ia mulai fokus pada dirinya sendiri, membaca jurnal medis, menyusun jadwal layanan, bahkan merancang program edukasi untuk ibu muda di sekitar.Namun malam itu, setelah semua pasi
“Jadi, Mbak nggak jadi pinjam uang ke koperasi?” tanya Restu sambil membuka pintu mobil.Haira masuk ke kursi penumpang. “Nggak perlu. Uang dari tuntutan harta gono-gini cukup. Bahkan lebih dari yang Mbak perkirakan.”Restu menyalakan mobil yang ia sewa untuk keperluannya selama dua hari bolak-balik dari satu tempat ke tempat yang lain. “Aziz transfer langsung?”“Iya, sambil jenguk Yoga katanya, tapi udah cukup, nggak ada basa-basi lagi di antara kami,” jawab Haira sambil membuka map berisi daftar lokasi ruko yang sudah ia tandai.Restu tersenyum. “Padahal aku udah siap pinjamin, Mbak. Tapi baguslah kalau kamu bisa berdiri sendiri.”Haira menatap keluar jendela. “Mbak mau klinik ini jadi titik balik. Bukan cuma buat Mbak, tapi buat perempuan-perempuan yang pernah ngerasa nggak punya tempat aman.”Mobil melaju pelan di jalanan kota. Mereka berhenti di lokasi pertama, sebuah ruko dua lantai di pinggir jalan utama. Haira turun, menatap bangunan itu lama.“Lokasinya strategis,” kata Restu
Rumah sakit itu bersih dan sepi di pagi hari. Anita melangkah menggunakan flat shoes di lorong menuju ruang pemeriksaan kandungan. Ia mengenakan blouse longgar dan celana hitam, wajahnya pucat walau sudah dipoles. Di tangannya, map kecil berisi hasil test pack dan kartu pasien.Di ruang pemeriksaan, dokter perempuan paruh baya menyambutnya dengan senyum hangat. Setelah pemeriksaan singkat dengan USG, dokter menatap layar.“Janinnya sehat. Usia kehamilan sekitar tujuh minggu. Tidak ada tanda-tanda komplikasi.”Anita mengangguk, matanya menatap layar monitor yang menampilkan titik kecil yang bergerak pelan. Jantungnya berdetak lebih cepat dari bayinya.Dokter menoleh, mencatat sesuatu di formulir. “Suaminya tidak ikut?”Anita menjawab cepat, disertai kebohongan. “Sedang ke luar negeri.”Dokter hanya mengangguk, tak bertanya lebih jauh. Anita tahu, kebohongan itu hanya untuk menunda pertanyaan yang lebih dalam, bahkan ia belum bisa jawab sendiri.Setelah pemeriksaan selesai, Anita keluar
Aziz duduk di ruang tamu rumah yang selama ini ia tinggali. Dindingnya masih dipenuhi foto-foto lama, pernikahan, liburan yang dekat rumah saja katanya agar jangan boros pada Haira waktu itu, bahkan satu foto kecil Haira saat hamil muda. Namun, semua itu kini terasa seperti potret kesalahan yang tak bisa dihapus olehnya.Di meja, surat penjualan rumah sudah ditandatangani. Agen properti baru saja pergi, dan pembeli akan segera melakukan pelunasan. Nilainya cukup untuk menutup tuntutan harta bersama yang diajukan Haira. Lalu setelah itu ia akan tinggal di mana? Di rumah peninggalan ibunya yang kini sepi dan ia juga kesepian.Ia sempat mencoba membujuk Haira beberapa hari sebelumnya.“Ambil saja rumah ini, Haira. Daripada Mas jual ke orang lain. Ini bisa jadi tempat kamu dan Yoga.”Lagi-lagi Haira hanya menatapnya dengan sorot mata tak suka.“Rumah ini terlalu banyak kenangan dan luka. Di sini Haira melihat adegan perselingkuhan itu. Di sini Mas mengkhianati Haira dan aku nggak mau ting
Sidang kedua antara Haira dan Aziz kembali digelar di Pengadilan Agama, dengan agenda utama pembahasan tuntutan harta bersama atau gono-gini. Ruang sidang terasa lebih sunyi dari sebelumnya. Di antara dua pihak yang pernah saling mencintai kini hanya tersisa perasaan asing saja.Majelis Hakim membuka sidang dengan menyampaikan bahwa perkara telah memasuki tahap pembagian harta bersama sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia. Hakim mengutip Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, khususnya Pasal 35:“Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.”Pengacara Haira berdiri, mengenakan jas hitam dan membawa map berisi dokumen-dokumen pendukung. Dengan suara tenang dan tegas, ia menyampaikan.“Yang Mulia, klien kami mengajukan pembagian harta bersama berdasarkan ketentuan hukum. Selama pernikahan, tidak pernah dibuat perjanjian pisah harta sebagaimana diatur dalam Pasal 29 Undang-Undang Perkawinan. Maka, seluruh aset yang diperoleh sejak tan







