Share

Jatuh Sakit

Penulis: Rosa Rasyidin
last update Terakhir Diperbarui: 2023-12-20 14:34:48

“Ibu, Buk, pakai acara jatuh segala. Haduuh, Haira mana lagi, lelet banget jadi perempuan.” Dengan sekuat tenaga Aziz memapah ibunya yang jatuh ke atas kasur. Ia tak melakukan apa-apa, hanya diam saja, bak orang tak punya pikiran.

Kemudian pintu rumah mereka terbuka. Wanita yang ia tunggu datang dengan kepayahan membawa belanjaan di tangan kiri belum lagi Yoga di tangan kanan. Ditambah perut yang berbunyi keroncongan.

“Kamu ke mana aja? Ibu pingsan tahu, nggak?” tanya Aziz dengan nada tidak suka.

“Hah, kenapa, kok, bisa pingsan, Mas?” Haira menjatuhkan belanjaannya asal saja. Lalu wanita berjilbab lebar itu masuk ke kamar dan melihat keadaan mertua yang ia sayangi.

“Mas, telpon ambulance biar dibawa ke rumah sakit. Haira takut Ibu kenapa-kenapa.” Ibu satu anak itu memainkan jemari tangannya. Haira gugup.

“Kamu, kan, punya hape, kenapa nggak telpon aja sendiri. Jangan bilang nggak ada pulsa, uang bulanan kamu lebih dari cukup, Mas, kasih.” Aziz berbicara tanpa rasa belas kasihan pada dua perempuan di hadapannya.

Haira yang panik langsung saja mengambil ponsel di kantongnya. Belum lagi Yoga yang merengek minta digendong. Aziz sendiri meraih ponsel dan menunggu balasan dari Anita. Hanya saja pesannay centang satu.

“Duh, kenapa harus nunggu antrian, sih,” ucap Haira bercampur kalut.

“Sabar aja, mungkin ambulancenya lagi antri antar pasien yang lain. Haira, kamu urus ibu, ya, pokoknya kalau ada apa-apa, kamu ambil aja keputusan sendiri.” Aziz merapikan kaca mata dan rambutnya. Terlihat sekali ia semakin lupa diri.

“Mas mau ke mana? Ini ibu lagi sakit, loh, nggak sadarkan diri. Di rumah sakit juga nggak boleh bawa anak kecil.”

“Ah, atur aja sendiri. Mas ada rapat penting, mungkin nanti bakalan ke luar kota. Kalau nggak terlalu penting jangan ngabarin Mas dan ini ATM buat kamu, pakai aja buat keperluan apa pun.” Tanpa mendengar keluhan istrinya, Aziz langsung pergi setelah meletakkan ATM di atas meja.

Kemudian lelaki itu berlalu tanpa perasaan sama sekali. Aziz meninggalkan Yoga yang merengek, istri yang kalut dan ibu yang tak sadarkan diri hanya demi Anita.

“Anita, cukup sekali aku kehilangan kamu, nggak akan ada yang kedua kalinya. Sampai ke ujung dunia pun kamu akan aku kejar.” Aziz mendapatkan alamat Anita dari salah satu teman yang biasa mencari keberadaan alamat. Hasrat memilikinya sudah tak bisa dibendung lagi.

Sementara itu, Haira sedang bingung menunggu ambulance yang sudah setengah jam tidak datang juga. Belum lagi perutnya lapar karena tadi tidak sempat sarapan. Terpaksa wanita bermata teduh itu mengunyah roti yang ia beli tadi dan segelas teh dingin yang ada di kulkas.

Beberapa saat kemudian ambulance yang ditunggu tiba juga. Lekas saja Ibu Mia—mertua Haira dibawa masuk dan menimbulkan pertanyaan dari beberapa tetangga yang tak tahu apa yang terjadi.

“Aziz mana, Nak?” tanya tetangga sebelah.

“Ada kerjaan mendadak, Bude, Haira duluan, ya, takut ada apa-apa.” Wanita itu turut masuk ke dalam ambulance, beserta Yoga.

“Kok, anak kecil dibawa, ya, paling nggak si Aziz jagain kenapa. Dasar anak nggak tahu diri,” ucap tetangga yang sedikit banyak tahu bagaimana perangai anak tunggal itu.

Tak butuh waktu lama bagi ambulance untuk sampai ke rumah sakit. Haira membawa ke layanan kesehatan terdekat saja. Tidak terlalu besar tapi lebih baik daripada rumah sakit umum. Ibu Mia segera dibawa ke UGD dan diperiksa. Haira dan Yoga diminta menunggu di luar.

“Ibu Haira,” panggil perawat. Wanita itu lekas berdiri.

“Iya, kenapa ya, Dokter?”

“Tidak ada pihak keluarga yang lain?”

“Ada suami saya tapi dianya lagi kerja.”

“Ibu Mia harus dirawat inap dulu sampai ada keputusan dari dokter spesialis, pun kalau misalnya ada operasi, tidak bisa dilakukan di sini karena peralatan kita kurang lengkap. Nah, harus ada yang menunggu Ibu Mia, sayangnya di sini tidak boleh membawa anak kecil, Ibu Haira,” ucap dokter.

“Apa nggak ada toleransi, Dokter, anak saya nggak mau sama orang lain.”

“Kalau begitu diskusi dulu dengan suaminya, ya, dan Ibu Mia harus ada yang menjaga, saya tinggal dulu ya, Ibu, dan jangan lupa diurus administrasinya.” Dokter perempuan itu lantas berlalu. Haira bertambah bingung.

“Aku harus telpon Mas Aziz, walau bagaimanapun dia harus tahu keadaan Ibu.” Wanita itu mendial nomor ponsel suaminya. Tapi sampai panggilan ketiga tidak diangkat bahkan setelah itu nomor suaminya tidak aktif lagi.

“Aduh, aku harus gimana?” Haira duduk lemas.

Yoga datang dan duduk di pangkuan ibunya. Untuk urusan administrasi bisa nanti. Ada satu orang yang bisa ia hubungi, lalu dengan tubuh lemas kurang tenaga Haira pun menghubungi adik perempuannya.

Yoga, Haira titipkan sementara walau anak lelaki itu menangis terisak. Tak ada pilihan lain, terpaksa ia mengambil keputusan sendiri.

“Mas, kamu di mana? Baru kali ini kamu kerja nggak kenal waktu dan keadaan, kamu jadi aneh.” Wanita bermata teduh itu mengirim pesan pada suaminya walau centang satu saja.

***

Anita sedang makan siang di sebuah restaurant. Ia tidak sedang menunggu siapa pun. Jadwal kunjungannya hari ini tidak ada. Sebab itu ia bersantai sendirian menikmati waktu. Hidangan yang menggugah selera terhampar di depannya. Kemudian, tiba-tiba saja …

“Ngapain kamu ke sini, Mas?” tanya Anita yang melihat seorang lelaki duduk di depannya.

“Kangen sama kamu,” jawab Aziz yang bersusah payah menemukan di mata Anita.

“Gombal, udah punya istri juga.”

“Aku nggak cinta sama Haira.”

“Oh, Haira namanya. Nggak cinta tapi ditidurin juga, sampai punya anak lagi, udah lima tahun pernikahan kalian berjalan, nggak mungkin nggak ada cinta sama sekali, Mas.”

“Untuk urusan tidur sama punya anak nggak perlu cinta, Anita.” Aziz memajukan tubuhnya hingga ia lebih jelas memandang Anita yang sangat berbeda dengan lima tahun lalu.

“Oke, stop, aku lagi laper dan aku nggak mau ngomongin cinta dulu, kamu udah makan, Mas?” Anita senang menarik ulur perasaan mantannya.

“Belum, nggak sempat.”

“Makanya istri dibantuin kerja di rumah, kalau nggak kasih ART, gimana, sih kamu. Ya, udah, nih.” Anita memindahkan sesendok nasi ke piring Aziz.

Jadilah di siang hari itu kedua mantan kekasih yang sudah lama tidak bertemu saling berbicara ringan dan bersenda gurau bersama. Anita sengaja melembutkan suaranya di depan Aziz.

Wanita dengan lisptick merah itu tahu, mantan kekasihnya masih terpesona akan dirinya. Belum lagi pakaian yang ia kenakan, kemeja pink dengan dua kancing terbuka, kulit yang putih bersih tanpa cela itu terlihat begitu menggoda.

“Aku ke kamar mandi dulu, ya, Mas, kalau kamu ada perlu boleh duluan, kok, tenang aja aku yang bayar nanti.” Anita berdiri. Pandangan mata Aziz tak berkedip sebab mantan pacarnya menggunakan rok mini jauh di atas lutut.

“Astaga, gimana hati nggak bisa lupa. Anita jauh lebih menantang daripada Haira.” Aziz memejamkan mata. Kemudian bayangan kejadian malam pertama tanpa pernikahan terbayang lagi di benaknya.

Lelaki itu mencari tahu keterangan hotel terdekat, bintang lima atau empat, terserah. Mahal atau murah akan ia bayar.

Asalkan bisa menebus malam-malam hampa yang ia lewati tanpa perasaan bersama Haira, padahal hatinya hanya milik Anita saja. Anita yang datang lagi sebagai penggoda.

Bersambung …

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • SUMPAH PELAKOR    29 Luka yang Tak Terlihat

    Selang infus menancap di pergelangan tangan Haira. Sementara detak jantungnya terekam di layar monitor kecil di sisi ranjang. Dokter mengatakan kandungannya selamat, untung belum terlambat. Tapi luka yang sebenarnya tak terlihat oleh hasil pemeriksaan medis mana pun.“Napasnya sudah lebih stabil sekarang, Ibu Haira,” ujar perawat sambil mengganti kantong infus yang hampir habis. “Harus banyak istirahat. Jangan stres dulu ya demi si kecil.”Haira hanya mengangguk pelan. Matanya sembab, tetapi sudah tak ada air mata tersisa. Hati yang patah tak selalu menjerit bahkan kadang hanya diam demi menahan sakit.Di luar ruangan, Aziz berdiri terpaku. Ia sudah datang sejak tadi pagi, tapi belum juga masuk. Tangannya gemetar, matanya merah karena kurang tidur. Tapi bukan itu yang paling menyiksa. Bukan rasa bersalah yang menghantui tapi pikirannya masih tertuju pada Anita.“Masuk,” ucap dokter yang keluar dari ruang perawatan. “Bapak suaminya, bukan? Dia butuh dukungan, Pak Aziz. Tapi tolong jang

  • SUMPAH PELAKOR   28

    Di ballroom Museum Kebudayaan Nasional, Rusyana berdiri di podium dengan gaun biru gelap berkerah tinggi. Wanita itu terlihat anggun dan mencuri perhatian. Ia sedang membuka diskusi panel tentang keterlibatan perempuan dalam reformasi transparansi bisnis sektor publik.“Korupsi tidak hanya merusak angka, tapi juga menghancurkan wajah-wajah keluarga,” ucap Rusyana di hadapan diplomat, aktivis, dan tokoh media yang hadir.Tepuk tangan menggema. Di antara para hadirin, satu reporter investigasi bernama Reza Halim mencatat bukan hanya kata-kata Rusyana, tapi ekspresi dan gestur tubuhnya yang menyimpan lebih banyak misteri lebih dari sekadar pidato.Usai acara, Rusyana melangkah menuju ruang privat lantai atas. Di dalam, asistennya sudah menunggu dengan sebuah folder berisi laporan keuangan grup milik Darmadi.“Transfer ke akun Anita Savitri. Dua kali dalam sebulan. Total dua miliar.” Rusyana membuka halaman pertama.“Termasuk pemesanan suite hotel atas nama pihak ketiga.” Asistennya menun

  • SUMPAH PELAKOR   27

    Waktu melambat di ruang pemulihan. Monitor di sisi tempat tidur menampilkan detak jantung yang stabil, lembut, serta teratur. Tanda bahwa prosedur berhasil. Namun di luar tubuh yang tenang, dunia masih bergemuruh di sekitar Haira.Wanita itu duduk di kursi yang sama, jari-jarinya tak lagi menggenggam ponsel, melainkan tangan Ibu Mia yang kini lebih hangat dari pagi tadi. Ia menatap wajah yang sudah dikenal selama beberapa tahun lamanya. Wajah Haira menyimpan rasa syukur yang tak sempat ia ucapkan.“Terima kasih, Bu, sudah bertahan, sekarang cepat sadar ya, biar kita bisa pulang.”Langkah kaki pelan terdengar dari lorong luar. Seorang perawat masuk membawa laporan pasca operasi, tersenyum sambil meletakkan map di meja kecil.“Pasien stabil. Tapi perlu observasi dua hari. Pastikan tidak terlalu banyak pengunjung, ya, Mbak Haira.”Haira mengangguk cepat. “Iya, Mbak. Saya pasti menjaga ibu dengan baik.”Perawat itu kemudian keluar. Lalu di saat yang bersamaan ponsel Haira bergetar.[Giman

  • SUMPAH PELAKOR   26

    Rumah Sakit Harapan Sejahtera pagi itu penuh sesak. Lorong-lorong dipenuhi pasien yang duduk menunggu giliran, beberapa di kursi roda, sebagian lagi bersandar pasrah di dinding.Bau khas rumah sakit yaitu campuran antiseptik, alkohol, dan obat-obatan menguar di udara, dan menusuk hidung tetapi juga membawa rasa aman yang membuat diri merasa tenang.Haira menggenggam tangan Ibu Mia erat-erat saat mereka duduk di ruang tunggu kardiologi. Ibu Mia mengenakan kerudung abu-abu dan jaket tipis, wajahnya tampak pucat tapi tetap tersenyum.“Kamu sudah kasih makan Yoga, kan?” tanya Ibu Mia pelan.“Sudah, Bu. Ima juga janji mau ajak dia main sepeda sore nanti,” jawab Haira sambil tersenyum, meski matanya tak bisa menyembunyikan rasa cemas.“Ima itu baik, ya. Tapi kamu jangan terlalu merepotkan dia.”“Nggak repot, Bu. Yoga juga senang sama Tante Ima.”Suara panggilan dari pengeras suara terdengar. “Pasien atas nama Ibu Mia Suryani, silakan masuk ke ruang 3.”Haira berdiri dan membantu ibunya bang

  • SUMPAH PELAKOR   25

    Haira berdiri di ambang pintu, tubuhnya berada dalam balutan mukena. Pagi itu, aroma kopi hitam buatan Aziz tak lagi menghangatkan ruangan. Haira tahu, begitu pula dengan suaminya, suasana memang sangat tidak bisa diajak berkompromi. Tapi keduanya memilih diam, dan tak mau saling menyapa terlebih dahulu.Di sudut ruang makan, Ibu Mia mengaduk teh hangatnya yang sudah dingin. Tangan tuanya gemetar perlahan, bukan karena usia, tapi karena kesunyian yang tiba-tiba tercipta di dalam rumah. Tatapan mata Ibu Mia berpindah dari Haira ke Aziz, lalu kembali ke cangkir teh yang tak sanggup ia minum.“Apa kalian berdua baik-baik saja?” Suara wanita tua itu terdengar serak.Semakin lama tubuh rapuhnya semakin tidak sehat saja. Sejak Anita mengakui perselingkuhannya dengan Aziz, tidak ada satu hari pun yang luput dari memikirkan keadaanya rumah tangga anaknya.Tak ada jawaban. Hanya langkah Haira yang berbalik perlahan. Wanita itu memilih kembali ke kamar. Aziz menunduk, memperhatikan garis retak

  • SUMPAH PELAKOR   24

    Aziz memarkir mobil miliknya di halaman rumah. Genangan air sisa hujan di pekarangan memantulkan cahaya lampu dari beranda. Udara segar menyeruak ke dalam hidungnya saat ia membuka pintu mobil, bersama dengan aroma yang masih menempel di bajunya.Aroma parfum mahal Anita dan sedikit jejak makanan yang tadi mereka pesan. Aziz sedikit terhuyung karena sampanye yang ia minum . Lebih menyedihkan dan sialnya, bukan dia yang membayar makan malam itu.Anita menggesek kartunya dengan senyum menggoda, seolah membayar tagihan hampir delapan ratus ribu rupiah itu adalah hal kecil. Bagi wanita seperti Anita, mungkin memang iya. Tapi bagi Aziz, itu adalah tamparan. Tamparan lembut dari selingkuhan yang sukses menggores harga diri lelakinya.Aziz menatap pintu rumah yang tertutup rapat. Ia menggertakkan gigi, menahan emosi yang sudah mendidih sejak tadi. Uangnya tipis, mobilnya perlu perbaikkan, dan sekarang wanita yang seharusnya ia ratukan justru membuatnya merasa hina.Lelaki tak tahu diri itu bu

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status