Perlahan-lahan mata Ibu Mia terbuka. Wanita berusia kepala enam itu memindai sekeliling. Ruangan putih dengan aroma khas obat-obatan, dan menantunya terbaring di atas kursi serta kepalanya disandarkan asal saja. “Haira, Nak,” panggil Ibu Mia perlahan, beberapa kali hingga sang menantu membuka matanya. “Ibu, sudah sadar, bentar ya, Haira panggil dokter dulu.” Wanita baik hati itu beranjak dari duduknya. Ibu Mia berusaha mengingat apa yang menyebabkan ia dibawa ke rumah sakit. Jalan pikirannya mundur sejenak ke belakang. Wanita di umur senja itu mengingat nama Anita disebutkan oleh Aziz hingga membuat jantungnya serasa tertekan. “Astaghfirullah. Ya Allah, lindungi dan jagalah rumah tangga anakku dari godaan pihak ketiga di luar sana. Haira sangat baik, dia tak boleh disia-siakan oleh anakku.” Ibu Mia menahan nyeri di jantungnya.Wanita itu sudah tua, mungkin umurnya sudah tidak lama lagi di dunia ini. Yang diinginkan Ibu Mia hanya satu, yaitu kehidupan anaknya berjalan lurus tanpa h
“Oke, Mas, udah setengah jam lebih aku dengerin cerita kamu. Tahu, nggak, berapa kerugian yang aku alami demi kamu, loh?” Anita beranjak dari ranjang. Ya, semula mereka di sofa, dan perlahan-lahan menuju kasur, meski tanpa melakukan hal apa pun. “Nita, baru juga setengah jam kamu udah nggak betah.” Aziz belum mau kehilangan kesempatan bersama Anita. Bagaimanapun tekadnya sudah bulat hari ini untuk mendapatkan hati mantannya lagi. “Ada kerjaan, kamu juga harus pulang, kan, Mas. Ini udah jam dua siang loh, bukannya jam lima udah di rumah.”“Sudah Mas, bilang, hari ini semua hanya untuk kamu.” “Manis banget, tapi aku nggak percaya.” Anita merapikan rambutnya yang berantakan. Tak lupa bibirnya ia kulum agar basah secara alami. Hal yang membuat Aziz menelan ludah. “Kenapa nggak percaya sama, Mas?” Tatapan mata lelaki itu begitu sangar menelisik lekuk tubuh Anita. “Jelas kamu tahu jawabannya, Mas.” “Haira.” “Nah itu dia. Pagar kita ketinggian, loh.” “Kamu mau Mas apakah dia?” “Ngga
“Kamu ngapain lihat-lihat punya orang.” Aziz datang dan merampas ponsel di tangan Haira begitu saja. Wanita berjilbab lebar itu menelan ludah. Meski baru sebentar, pesan mesra itu sempat ia baca. Dengan jelas Aziz mengetik, bahwa ia tak pernah mencintai Haira. Ibu satu anak itu hanya memandang punggung suaminya yang baru saja masuk ke kamar mandi. Haira tarik napas dan menenangkan diri sejenak. Saat ini yang harus dipikirkan ialah kesembuhan ibu mertua yang masih tidur lelap. “Besok aku harus jual perhiasan dulu. Setelah ibu sembuh kita harus bahas chat mesra kamu, Mas.” Haira mengatakan pada dirinya sendiri bahwa ia baik-baik saja dan harus mendahulukan yang namanya skala prioritas. “Haira, Mas pulang dulu, ya, mau tidur, capek, ngantuk,” ucap Aziz tanpa ada rasa peduli dengan ibunya sendiri. “Mas, jemput Yoga sekalian gimana? Dia di kosan sama Haima. Kasihan, loh, dari tadi nanyain kamu,” ucap Haira meski hatinya masih berdesir dipenuhi kemarahan tak terucap. “Udah, sama adik
Sampai di rumah Aziz memeriksa ponselnya lagi. Dikirimnya pesan untuk Anita tapi tidak ada balasan sama sekali. Kemudian lelaki itu menghela napas pendek. “Mau cari ke mana uang sebanyak itu, ya? Haira, sih, coba dari dulu daftarin asuransi buat kami, pasti nggak bakalan bingung jadinya!” gerutu Aziz sambil melepas baju. Ia ambil baju kaus dan celana pendek. Rak di meja rias menjadi incaran lelaki itu. Benda yang ia cari sudah ditemukan. “Ini perhiasan waktu aku jadikan mas kawin dulu. Mau nggak ya dijual.” Agak ragu Aziz, sebab kata ibunya mahar menjadi milik perempuan sepenuhnya. Belum pernah dijual oleh Haira. Tapi emasnya juga tidak bertambah sebab uang belanja dari Aziz pas sekali untuk satu bulan. Sisa lebihnya dipegang oleh dirinya sendiri. “Ah, istri harus nurut sama suami. Kalau nggak mau aku ceraikan sekalian.” Perhiasan itu diletakkan kembali di dalam laci. Lelah karena selesai berpetualang cinta dengan Anita sore tadi, ia pun terlelap tanpa memikirkan ibu, istri, juga
Anita meninggalkan Aziz di tempat mereka janjian tadi pagi. Lalu ia memikirkan tentang pinjaman uang yang dibutuhkan kekasihnya itu. “Lima puluh juta, itu nggak sedikit, Mas, tapi kapan lagi coba aku bisa ngatur kamu,” gumam Anita sembari membuka saldo m bankingnya. Ada beberapa ratus juta hampir M dari hasil menjual skin carenya yang booming di pasaran. Namun, itu belum dikurangi dengan nilai untuk menggaji karyawannya beberapa hari lagi dan menanam modal untuk membuat varian produk baru. Anita harus berhati-hati, takutnya lima puluh juta lepas dan Aziz tetap bersama Haira hanya agar ibunya baik-baik saja. “Aku nggak bisa rugi walau dikit, Mas. Selain uang, aku juga harus bisa dapatkan kamu dan Haira juga harus pergi jauh-jauh, udah gitu aja, simple, kan.” Anita menutup ponselnya. Dua orang karyawan yang duduk di kursi bagian depan hanya saling melirik saja. Yang mereka tahu bos mereka itu memang belum menikah. Namun, tak sampai pula memikirkan kalau Anita akan menjadi perebut k
“Imah, sini kamu.” Darmadi memanggil pembantu yang sedang membersihkan meja makan. Lelaki itu membisikkan sesuatu, antara mereka berdua saja. Bukan urusan cinta terlarang, Darmadi tak suka pembantu. Tapi hal yang diminta cukup membuat Imah membelalakkan mata. “Saya takut, Pak.” Imah ragu-ragu menerima ponsel bosnya. “Buat saja apa yang saya suruh, nanti ada bonus buat kamu. Atau kamu saya pecat!” ancamnya. Imah tak punya pilihan walau ia sebenarnya sudah risih kerja di sana. Ponsel cadangan milik bosnya ia ambil dan diam-diam Imah membuka pintu kamar Anita. Tidak ada orang di sana, suara gemericik air terdengar. Imah membuka pintu perlahan dan mulai merekam Anita yang sedang tak menggunakan sehelai benang pun mulai dari guyuran shower hingga berendam di dalam bath tubh. Cukup, pembantu itu pun keluar dan menyerahkan rekaman pada bosnya. Tak luput beberapa lembaran merah ia terima dan lagi-lagi Imah harus tutup mulut soal permainan kotor Darmadi. Pengusaha itu memasuki kamar Ani
Aziz sampai di rumah sakit dan berniat mengungjungi ibunya sebentar saja. Tak lupa dia bawa perhiasan emas yang milik Haira yang harus dijual untuk menutupi biaya awal operasi. Secara kebetulan pula Aziz berpapasan dengan iparnya, Haima. “Mas, ini Yoga, aku mau ujian.” Tak perlu basa-basi Haima langsung memberikan anak itu pada papanya. “Eh, Ima, Mas nggak bisa, mau kerja.” Aziz tidak mengambil libur kantor hari itu. “Ya, aku ujian, emang Mas aja yang sibuk!” ketus gadis berseragam putih itu. Tak Ima lihat lagi ke belakang. Tadi malam ia sudah berusaha menjaga Yoga dengan baik bahkan sampai pelajarannya terganggu. “Susah ini. Kasih Haira aja udah.” Aziz menggandeng tangan putranya. Namun, saat ingin memasuki ruang di mana Ibu Mia dirawat, Aziz dihadang oleh security perempuan yang berjaga. Anak kecil di bawah usia dua belas tahun tidak boleh masuk. “Tapi saya harus ketemu sama istri saya,” ucap Aziz. Lalu security itu memanggil seseorang yang sudah disebutkan detailnya oleh Aziz
“Pulang juga kamu akhirnya,” gerutu Aziz ketika Haira membuka pintu. “Ngapain aja, lama banget?” “Ya makanya disuruh gantian biar kamu nggak banyak curiga gini, Mas. Nggak mungkin di sana aku duduk santai sambil makan. Ini aja kalau Ima nggak datang Haira nggak bisa ke sini,” jawab wanita itu panjang lebar karena masih kesal. Baru pulang rumah berantakan, ayam dan nasi berserakan di lantai. Nasib baik Yoga sudah tidur dan Haira pun kebagian jatah membersihkan rumah karena diperintah oleh suaminya. Ibu satu anak itu melirik jam. Tidak terasa sudah pukul 02.30 saja, sedangkan Ima minta agar jam lima sore ia sudah di sana sedangkan perjalanan memerlukan wakut sekitar tiga puluh menit. Lelah rasanya tapi mau bagaimana lagi. Waktu yang ada digunakan Haira untuk makan sisa lauk milik Aziz yang ada meja. Setelahnya ia mandi dan memilah baju yang akan dibawa. Mungkin sekitar tiga hari lagi mertuanya akan membaik serta dibawa pulang. Sembari menunggu keputusan dari dokter kapan akan dipasa