Share

SUMPAH PELAKOR
SUMPAH PELAKOR
Penulis: Rosa Rasyidin

Mantan Terindah

Penulis: Rosa Rasyidin
last update Terakhir Diperbarui: 2023-11-10 01:46:38

“Mas Aziz, iya, itu kan mantanku dulu.” Anita—gadis berusia 32 tahun menyeruput es cream rasa vanila cokelat dengan cepat.

Kedatangan Anita ke kota kenangan ada sebab, selain karena pekerjaan, juga karena rindu dengan lelaki yang pernah memacarinya selama lima tahun. Anita berdiri dan membawa cup es cremnya, kemudian berpura-pura menabrak bahu Aziz hingga lelaki itu yang meminta maaf lebih duluan.

“Anita,” gumam Aziz perlahan dengan mata berbinar.

Lama tak jumpa, Anita makin cantik saja dengan bibir pink yang selalu berhasil membuat jantung Aziz berdebar. Gelora yang masih sama seperti dahulu.

“Mas Aziz, aduh maaf banget, ya, nggak sengaja. Aku buru-buru. Eh, kamu ke sini sama istri kamu, kan? Ya, udah aku duluan, takut salah paham.” Manis mulut Anita berkilah.

“Tunggu, Nit, nomor kamu tukar, ya?” Aziz memegang pergelangan tangan mantannya.

“Iya, sih, kan permintaan mama kamu dulu, Mas, biar aku nggak ketahuan ngilang ke mana.”

“Hah, mama aku, masak?”

“Iya, tanya aja sama dia. Ya udah aku duluan, ya.” Anita seolah terburu-buru.

“Tunggu, boleh aku minta nomor kamu?”

“Untuk apa, Mas? Kamu, kan, udah nikah. Udah punya anak lagi, tuh,” tunjuk Anita pada anak lelaki yang digandeng Aziz.

“Buat silaturahmi aja, masak nggak boleh? Lima tahun, loh, Nit, kita sam—”

“Udah, Mas, udah berlalu juga. Kalau mau silaturahmi boleh tapi jangan sampai istri kamu salah paham ya. Catat nomor aku.” Nita menyembutkan digit nomor ponsel barunya.

Aziz menyimpan dengan cepat sebab tak mau kehilangan kesempatan lagi.

Terlihat Nita sangat buru-buru, padahal tak ada yang menunggunya. Begitulah dia, pandai sekali membuat hati suami orang jumpalitan hanya dengan pesona kedipan mata saja. Bahkan gaya jalan Nita diperhatikan Aziz begitu lama.

“Mas, pulang, yuk, udah sore.” Istri Aziz membawa belanja bulanan kurang lebih tiga kantong.

Mata lelaki itu mencari di mana Nita yang tak terlihat lagi. Ia jadi tak terlalu fokus dengan istrinya. Hati Aziz mulai terbagi. Padahal baru pertemuan pertama.

“Awas aja kamu, Mas, kamu nggak akan bisa lepas lagi dari aku. Lima tahun lalu aku ngaku kalah karena masih miskin. Sekarang aku nggak bisa dipandang sebelah mata termasuk sama mama kamu. Kalau perlu mulut mama kamu aku beli sekalian.” Senyum licik terbit di bibir Anita.

Pebisnis wanita itu sudah bertekad dan tak bisa dicegah lagi untuk kembali bersama dengan Aziz, terserah apa pun caranya. Meski akan ada rumah tangga yang hancur, atau kalau perlu ada yang mati pun tak masalah baginya.

Wanita yang fokus membangun karir itu menaiki mobilnya sendiri. Ia mengikuti ke mana Aziz pulang. Rumah yang dulu sempat Aziz bilang akan menjadi istana bagi mereka berdua. Mata Anita memerah, ia terbakar cemburu lagi.

“Harusnya aku yang di sana, Mas, bukan dia. Aku bersumpah akan merebut semuanya dari tangan istri kamu. Kamu tahu gimana aku kalau udah mau sama sesuatu, harus dapat!” Anita memakai kaca mata hitamnya.

Ia memutar mobil dan pulang menuju rumah baru yang sudah tiga hari ditempati. Bisnis parfum, body dan skin care yang ia tekuni sudah membuahkan hasil yang tak layak lagi dipandang sebelah mata.

“Aku bukan bebek buruk rupa lagi. Aku sudah menjadi angsa yang indah, angsa yang bisa menenggelamkan bebek sampai mati.” Pebisnis sukses tersebut memandang foto keluarga Aziz, Yoga—putranya, dan Haira—istri Aziz. Mereka tampak kompak dengan baju seragam di hari lebaran.

“Aku janji ini akan jadi lebaran terakhir kamu sama mereka, Mas. Jatuhlah dalam pelukanku seperti dulu, saat kita malam pertama tanpa jadi pengantin. Aku yakin kamu nggak akan pernah lupa sama rasanya gimana.” Anita menggigit bibirnya sendiri.

Sekali pun tak ada penyesalan di dirinya karena telah melepas mahkota tanpa ikatan yang sah. Perebutan takhta dimulai. Harus Anita yang menjadi ratu satu-satunya di hati Aziz.

***

Tengah malam wanita dengan tubuh singset itu sedang memeriksa laporan keuangan bulanan miliknya. Anita melirik ponselnya ketika dan notif masuk. Dari nomor tidak dikenal.

[Hai, Nita, kamu masih cantik aja seperti dulu.] Gombalan itu Nita tahu dari siapa, tapi ia pura-pura jual mahal dan tak mau membalas.

[Nit, ini aku Mas Aziz, tolong jangan bilang kamu lupa. Baru tadi sore, loh, kita ketemu.]

[Mas, Nita lagi sibuk, mending tidur daripada ketahuan istri kamu.]

[Haira udah tidur dari tadi. Dia kecapean ngurus rumah sama anak. Aku kesepian Nit, aku juga rindu sama kamu.]

[Mas, istighfar, kamu udah jadi suami orang.]

[Ayolah, Nit, kamu nggak kasihan sama Mas. Kita ketemuan ya sekali aja, please.]

[Oke, tapi besok aku ada ketemuan sama pemilik pabrik. Jadi sore, ya, Mas.]

Aziz semringah membaca balasan dari Nita. Sesaat kemudian masuk pesan lagi.

[Eh, nggak bisa sore, magriban gitu deh. Aku ada janji temu di hotel anggrek sama klien yang mau nanam modal juga. Kalau Mas mau ya ayok, kalau nggak ya kapan-kapan aja.]

[Oke, Nit, habis maghriban Mas pasti ke sana.] Klik.

Aziz lekas menghapus history chat wa-nya bersama Nita. Haira datang selesai menidurkan anak mereka. Wajah wanita itu terlihat sangat letih selesai mengerjakan ini dan itu yang tak ada habisnya di rumah.

“Mas,” ucap Haira perlahan.

“Mas capek, tidur duluan, ya, kamu juga pasti capek banget. Besok harus ke rumah Mama pagi, kan.”

Aziz sedang terlena dengan kenangan masa lalu dari Anita. Jadi secantik apa pun Haira datang ditambah dengan parfum yang wangi, tak akan ada artinya di mata ayah Yoga.

Haira tersenyum, mungkin benar suaminya letih. Ya, siapa juga yang tidak lelah mengurus pekerjaan dari pagi sampai malam.

***

Anita bertemu dengan pemilik pabrik dan membahas formula skin care apa saja yang harus dicampur agar merknya semakin laris di pasaran. Di tengah gempuran pendatang baru dengan banting harga murah.

Dari siang sampai sore. Dilanjutkan pula dengan klien super ribet yang ingin menanam modal sekian tapi ingin untung banyak. Anita tegas, iya berarti iya, tidak berarti tidak.

Kemudian waktu terus beranjak sampai adzan magrib berkumandang. Wanita cantik dengan lipstick merah menantang itu membuka pesan di ponselnya. Aziz sudah ada di bawah menunggunya dengan penuh kesabaran.

“Masuk juga kamu perangkap aku, Mas. Untuk sekarang kamu punya aku, bukan istri kamu.” Anita mengambil botol parfum terbaru miliknya.

Ia semprotkan di titik-titik nadi hingga wanginya menguar dan membuat lelaki mampu bertekuk lutut padanya. Tak lupa ia hapus make up tebal yang menutupi wajah dan menggantinya dengan polesan tipis-tipis. Anita terlihat seperti lima tahun lalu, yang polos, baik hati dan mudah dirayu.

“Mas Aziz.” Wanita berambut setengah ikal itu berjalan bak peragawati hampir profesional.

Senyum Anita merekah. Ia mengulurkan tangannya pada Aziz dan lelaki itu tak mengedipkan mata sama sekali.

“Sendiri aja?” tanya Anita.

“Ehm, i-i-iya, eh, nggak Mas sama kamu.” Aziz gugup. Ia tak fokus, wangi parfum Anita seperti ajakan yang lain.

Bersambung …

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Nurmila Karyadi
gadis 32th secantik apa pun tetap ajamenjelang 40
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • SUMPAH PELAKOR   57. Kehilangan

    Udara di gang kos-kosan Ima terasa lembab, sisa hujan semalam yang meninggalkan aroma tanah basah. Di dalam kamar sederhana itu, Haira duduk bersila di atas kasur, berkas-berkas perceraian tertata rapi di depannya, fotokopi KTP, surat nikah, bukti perselingkuhan, dan surat rujukan dari rumah sakit.Ima menyodorkan map biru dan termos kecil berisi teh hangat. “Mbak, jangan lupa minum, kelihatan pucat banget wajahnya.”“Mbak nggak mau tunda lagi, Ma. Semakin lama, nanti takutnya ada perasaan ingin berdamai, kamu tahu sendiri Mbak gampang kasihan, jadi selagi benci itu masih ada, ya urus secepatnya.”Ima mengangguk, lalu memeluk kakaknya sebentar sebelum Haira beranjak pergi. Yoga ditinggal di rumah. Haira memesan taksi online sesuai janji pertemuan dengan pengacara di kantor hukum.Saat ia berjalan ke ujung gang, sebuah mobil berhenti dan jendelanya terbuka. Suara laki-laki yang cukup dikenali terdengar.“Mbak?”Haira menoleh. Restu duduk di kursi penumpang depan, mengenakan kemeja sede

  • SUMPAH PELAKOR   56. Induk Serigala

    “Apa maksudnya ini?” Darmadi tertegun.“Aku pikir kamu perlu diingatkan siapa yang paling bisa menyentuh hidup Anita dari arah yang tak terduga, selain ibunya tentu adiknya.” Rusyana tersenyum penuh kemenangan.“Rusyana, jangan libatkan anak kecil.” Darmadi meletakkan jam tangan pemberian istrinya di meja.Rusyana mengelus rambut Alita pelan, “Mbak Anita akan baik-baik saja, ya, Sayang. Selama Om Darmadi membuat pilihan yang tepat,” bisiknya tajam dan menyakitkan.Alita menoleh dan tersenyum. Belum 24 jam ia di sana tapi perlakuan Rusyana padanya cukup baik. Gadis kecil itu belum mengerti permainan yang sedang berlangsung.“Kamu harus pilih, aku atau Anita. Kalau kamu tetap main dua kaki, aku pastikan Alita akan jadi pintu masuk ke kehancuran Anita. Sekolahnya, masa depannya, bahkan keselamatannya and remember semua barang bukti korupsi kamu tinggal aku beberkan sama KPK.”Darmadi menatap Rusyana, wajahnya mulai pucat. Jika ia dijuluki serigala putih dalam jagad bisnis, maka istrinya

  • SUMPAH PELAKOR   55. Kejam

    Ambulans melaju di jalan demi mengejar waktu untuk menyelamatkan satu buah nyawa. Di dalamnya, Anita duduk di samping ranjang ibunya yang masih koma, tangan ibunya dingin dan tak bergerak.Monitor portabel menunjukkan detak jantung yang stabil tapi lemah. Seorang perawat duduk di ujung, memantau tekanan darah sambil sesekali mencatat.Tujuan mereka rumah sakit besar di kota, tempat Haira dulu dirawat, karena di sana fasilitasnya sangat bagus. Bagi Anita, tempat itu seperti kutukan baginya. Ia ingat sekali secara spontan mendorong Haira hingga kandungan wanita itu gugur lalu ibunya kini yang gantian dirawat.Saat mobil memasuki gerbang rumah sakit, Anita menatap gedung itu dengan mata kosong. Di benaknya, kenangan masa kecilnya yang kelam mulai menyeruak.Ia teringat dengan rumah sempitnya di kampung, dengan dinding triplek dan kipas angin tua yang sudah mulai karatan. Ayahnya, seorang tukang servis elektronik, sering pulang larut malam dengan bau rokok dan parfum perempuan lain. Ibuny

  • SUMPAH PELAKOR   54. Mata dan Telinga

    Taksi online berhenti di depan kos-kosan Ima yang sederhana, Restu turun untuk membuka pintu penumpang. Haira melangkah pelan, tubuhnya masih lemah, wajahnya pucat. Ada tas kecil berisi obat dan surat kontrol didalamnya.Kos-kosan Ima berada di lantai dua, dan Restu menuntunnya naik tangga satu per satu. Ketika masuk, Ima sudah menyiapkan makanan kecil di pojok, dengan kasur bersprei bersih dan termos air hangat di meja.“Mbak, istirahat dulu, ya. Dokter bilang jangan banyak pikiran,” katanya pelan.Haira hanya mengangguk. Ia duduk di kasur, lalu berbaring perlahan. Matanya menatap langit-langit. Di perutnya, bekas luka operasi masih terasa. Tapi yang lebih menyakitkan adalah luka yang tak terlihat.Restu duduk di kursi dekat jendela, sembari menatap ponselnya. Tak ada pesan dari Aziz. Bahkan saat Haira keluar dari rumah sakit tadi pagi.Ima meletakkan selimut di kaki Haira, lalu keluar sebentar untuk menyiapkan makan malam. Di dalam kamar, Restu dan Haira terdiam, Yoga juga masih ter

  • SUMPAH PELAKOR   53. Sumpah Serapah

    Haira ditemukan oleh perawat yang sedang kontrol rutin, lalu dibantu oleh tiga perawat lainnya dan segera dilakukan penanganan pertama.Alarm monitor berbunyi cepat. Detak jantung Haira melonjak, tekanan darahnya turun drastis. Perawat bergegas memanggil dokter jaga, dan dalam hitungan menit, tim medis sudah berkumpul di ruang rawat. Salah satu dokter memeriksa hasil USG.“Janin tidak menunjukkan aktivitas. Ada perdarahan internal ringan. Kita harus ambil tindakan segera,” kata dokter cepat.Haira menggigil, tubuhnya lemah, tapi matanya terbuka. Ia mendengar semuanya. Ia tahu. Tangannya masih di perut, tapi denyut yang tadi menenangkannya kini hilang. Ia tak menangis sebab air matanya telah kering, dan hanya diam.“Pasien butuh tindakan pengangkatan. Kami perlu persetujuan wali,” ujar dokter kepada perawat.“Suaminya?” tanya perawat.“Sedang dalam perjalanan,” jawab Restu yang baru masuk kembali ke ruang tunggu, wajahnya cemas. “Dia bilang sudah dekat.”Dokter mengangguk, tapi waktu t

  • SUMPAH PELAKOR   52. Keputusan

    Restu membawa sebungkus roti isi dan teh hangat yang sudah mulai dingin. Dua hari berlalu sejak Haira dilarikan ke rumah sakit, dan sejak itu, senyumnya seolah ikut menghilang.Ia duduk bersandar di ranjang, menatap jendela yang memantulkan cahaya mentari. Tatapan matanya kosong, seperti sedang berbicara dengan sesuatu yang tak terlihat.Restu melangkah pelan, meletakkan bungkusan di meja kecil.“Aku bawain teh yang kamu suka, Mbak,” katanya. Haira hanya mengangguk, tanpa menoleh.Keheningan menggantung di antara mereka. Restu duduk di kursi, ia ingin bertanya, meski sudah tahu apa jawabannya. Tebakan Restu masalah yang dialami Haira tak jauh dari Aziz dan Anita.“Mbak, kalau kamu mau cerita, nggak apa-apa.”Haira mengedipkan mata perlahan. ”Mas Aziz ke sini hanya sebentar sekali, dia memang tak punya hati.”Restu menahan napas. Ia tahu, luka Haira bukan cuma fisik. Ada sesuatu yang lebih dalam. Ia tak tahu harus berbuat apa, tapi ia tahu satu hal, ia tak akan pergi.“Besok mungkin sud

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status