Share

SUMPAH PELAKOR
SUMPAH PELAKOR
Penulis: Rosa Rasyidin

Mantan Terindah

“Mas Aziz, iya, itu kan mantanku dulu.” Anita—gadis berusia 32 tahun menyeruput es cream rasa vanila cokelat dengan cepat.

Kedatangan Anita ke kota kenangan ada sebab, selain karena pekerjaan, juga karena rindu dengan lelaki yang pernah memacarinya selama lima tahun. Anita berdiri dan membawa cup es cremnya, kemudian berpura-pura menabrak bahu Aziz hingga lelaki itu yang meminta maaf lebih duluan.

“Anita,” gumam Aziz perlahan dengan mata berbinar.

Lama tak jumpa, Anita makin cantik saja dengan bibir pink yang selalu berhasil membuat jantung Aziz berdebar. Gelora yang masih sama seperti dahulu.

“Mas Aziz, aduh maaf banget, ya, nggak sengaja. Aku buru-buru. Eh, kamu ke sini sama istri kamu, kan? Ya, udah aku duluan, takut salah paham.” Manis mulut Anita berkilah.

“Tunggu, Nit, nomor kamu tukar, ya?” Aziz memegang pergelangan tangan mantannya.

“Iya, sih, kan permintaan mama kamu dulu, Mas, biar aku nggak ketahuan ngilang ke mana.”

“Hah, mama aku, masak?”

“Iya, tanya aja sama dia. Ya udah aku duluan, ya.” Anita seolah terburu-buru.

“Tunggu, boleh aku minta nomor kamu?”

“Untuk apa, Mas? Kamu, kan, udah nikah. Udah punya anak lagi, tuh,” tunjuk Anita pada anak lelaki yang digandeng Aziz.

“Buat silaturahmi aja, masak nggak boleh? Lima tahun, loh, Nit, kita sam—”

“Udah, Mas, udah berlalu juga. Kalau mau silaturahmi boleh tapi jangan sampai istri kamu salah paham ya. Catat nomor aku.” Nita menyembutkan digit nomor ponsel barunya.

Aziz menyimpan dengan cepat sebab tak mau kehilangan kesempatan lagi.

Terlihat Nita sangat buru-buru, padahal tak ada yang menunggunya. Begitulah dia, pandai sekali membuat hati suami orang jumpalitan hanya dengan pesona kedipan mata saja. Bahkan gaya jalan Nita diperhatikan Aziz begitu lama.

“Mas, pulang, yuk, udah sore.” Istri Aziz membawa belanja bulanan kurang lebih tiga kantong.

Mata lelaki itu mencari di mana Nita yang tak terlihat lagi. Ia jadi tak terlalu fokus dengan istrinya. Hati Aziz mulai terbagi. Padahal baru pertemuan pertama.

“Awas aja kamu, Mas, kamu nggak akan bisa lepas lagi dari aku. Lima tahun lalu aku ngaku kalah karena masih miskin. Sekarang aku nggak bisa dipandang sebelah mata termasuk sama mama kamu. Kalau perlu mulut mama kamu aku beli sekalian.” Senyum licik terbit di bibir Anita.

Pebisnis wanita itu sudah bertekad dan tak bisa dicegah lagi untuk kembali bersama dengan Aziz, terserah apa pun caranya. Meski akan ada rumah tangga yang hancur, atau kalau perlu ada yang mati pun tak masalah baginya.

Wanita yang fokus membangun karir itu menaiki mobilnya sendiri. Ia mengikuti ke mana Aziz pulang. Rumah yang dulu sempat Aziz bilang akan menjadi istana bagi mereka berdua. Mata Anita memerah, ia terbakar cemburu lagi.

“Harusnya aku yang di sana, Mas, bukan dia. Aku bersumpah akan merebut semuanya dari tangan istri kamu. Kamu tahu gimana aku kalau udah mau sama sesuatu, harus dapat!” Anita memakai kaca mata hitamnya.

Ia memutar mobil dan pulang menuju rumah baru yang sudah tiga hari ditempati. Bisnis parfum, body dan skin care yang ia tekuni sudah membuahkan hasil yang tak layak lagi dipandang sebelah mata.

“Aku bukan bebek buruk rupa lagi. Aku sudah menjadi angsa yang indah, angsa yang bisa menenggelamkan bebek sampai mati.” Pebisnis sukses tersebut memandang foto keluarga Aziz, Yoga—putranya, dan Haira—istri Aziz. Mereka tampak kompak dengan baju seragam di hari lebaran.

“Aku janji ini akan jadi lebaran terakhir kamu sama mereka, Mas. Jatuhlah dalam pelukanku seperti dulu, saat kita malam pertama tanpa jadi pengantin. Aku yakin kamu nggak akan pernah lupa sama rasanya gimana.” Anita menggigit bibirnya sendiri.

Sekali pun tak ada penyesalan di dirinya karena telah melepas mahkota tanpa ikatan yang sah. Perebutan takhta dimulai. Harus Anita yang menjadi ratu satu-satunya di hati Aziz.

***

Tengah malam wanita dengan tubuh singset itu sedang memeriksa laporan keuangan bulanan miliknya. Anita melirik ponselnya ketika dan notif masuk. Dari nomor tidak dikenal.

[Hai, Nita, kamu masih cantik aja seperti dulu.] Gombalan itu Nita tahu dari siapa, tapi ia pura-pura jual mahal dan tak mau membalas.

[Nit, ini aku Mas Aziz, tolong jangan bilang kamu lupa. Baru tadi sore, loh, kita ketemu.]

[Mas, Nita lagi sibuk, mending tidur daripada ketahuan istri kamu.]

[Haira udah tidur dari tadi. Dia kecapean ngurus rumah sama anak. Aku kesepian Nit, aku juga rindu sama kamu.]

[Mas, istighfar, kamu udah jadi suami orang.]

[Ayolah, Nit, kamu nggak kasihan sama Mas. Kita ketemuan ya sekali aja, please.]

[Oke, tapi besok aku ada ketemuan sama pemilik pabrik. Jadi sore, ya, Mas.]

Aziz semringah membaca balasan dari Nita. Sesaat kemudian masuk pesan lagi.

[Eh, nggak bisa sore, magriban gitu deh. Aku ada janji temu di hotel anggrek sama klien yang mau nanam modal juga. Kalau Mas mau ya ayok, kalau nggak ya kapan-kapan aja.]

[Oke, Nit, habis maghriban Mas pasti ke sana.] Klik.

Aziz lekas menghapus history chat wa-nya bersama Nita. Haira datang selesai menidurkan anak mereka. Wajah wanita itu terlihat sangat letih selesai mengerjakan ini dan itu yang tak ada habisnya di rumah.

“Mas,” ucap Haira perlahan.

“Mas capek, tidur duluan, ya, kamu juga pasti capek banget. Besok harus ke rumah Mama pagi, kan.”

Aziz sedang terlena dengan kenangan masa lalu dari Anita. Jadi secantik apa pun Haira datang ditambah dengan parfum yang wangi, tak akan ada artinya di mata ayah Yoga.

Haira tersenyum, mungkin benar suaminya letih. Ya, siapa juga yang tidak lelah mengurus pekerjaan dari pagi sampai malam.

***

Anita bertemu dengan pemilik pabrik dan membahas formula skin care apa saja yang harus dicampur agar merknya semakin laris di pasaran. Di tengah gempuran pendatang baru dengan banting harga murah.

Dari siang sampai sore. Dilanjutkan pula dengan klien super ribet yang ingin menanam modal sekian tapi ingin untung banyak. Anita tegas, iya berarti iya, tidak berarti tidak.

Kemudian waktu terus beranjak sampai adzan magrib berkumandang. Wanita cantik dengan lipstick merah menantang itu membuka pesan di ponselnya. Aziz sudah ada di bawah menunggunya dengan penuh kesabaran.

“Masuk juga kamu perangkap aku, Mas. Untuk sekarang kamu punya aku, bukan istri kamu.” Anita mengambil botol parfum terbaru miliknya.

Ia semprotkan di titik-titik nadi hingga wanginya menguar dan membuat lelaki mampu bertekuk lutut padanya. Tak lupa ia hapus make up tebal yang menutupi wajah dan menggantinya dengan polesan tipis-tipis. Anita terlihat seperti lima tahun lalu, yang polos, baik hati dan mudah dirayu.

“Mas Aziz.” Wanita berambut setengah ikal itu berjalan bak peragawati hampir profesional.

Senyum Anita merekah. Ia mengulurkan tangannya pada Aziz dan lelaki itu tak mengedipkan mata sama sekali.

“Sendiri aja?” tanya Anita.

“Ehm, i-i-iya, eh, nggak Mas sama kamu.” Aziz gugup. Ia tak fokus, wangi parfum Anita seperti ajakan yang lain.

Bersambung …

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status